Jumat, 30 Mei 2014

Cerpen "Aku cinta kau, titik!"



Sori, gue suka pacar loe.. II
(Aku cinta kau, titik.)

            “Rin, apa itu bener?” Leli datang ke kelasku dengan tergopoh-gopoh.
What?” aku mengernyitkan dahiku.
“Apa bener kamu mo pindah ke Surabaya?” dia bertanya dengan nada kesal. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tega kamu ya! Bagaimana mungkin kamu berencana pindah tanpa memberitahu sahabatmu yang baik ini? Dasar tak berperasaan!”
“aku berencana memberitahumu hari ini, tapi kau keburu mengetahuinya. Jadi ya, maaf banget ya,”
“emang kenapa kok ada acara pindah segala?”
“Papaku dipindah tugaskan ke sana. Jadi ya kami sekeluarga harus ikut kesana juga,”
“Huaaa, bagaimana mungkin kau tega meninggalkanku di sini sendirian,Rin?  Sekolah kita pasti sepi tanpa kehadiranmu,”
Aku manyun.
“Ih, lebay. Kalau gak ada aku, gak akan ada yang sering-sering beliin kamu bakso ‘kan? Makanya kamu sedih,”
“Ih, kamu kok berprasangka buruk gitu sih? Aku serius,Rin,”
Aku mencibir. Leli memelukku dengan tubuhnya yang gembrot hingga membuatku gelagapan.
“Hei, aku gak bisa nafas!” teriakku. Leli hanya nyengir seraya melonggarkan pelukannya.
“Aku pasti akan sering mengunjungimu kok, jangan khawatir,” ujarku.
“Bener?” Leli memastikan. Aku kembali mengangguk.
“Trus, kapan berangkat?”
“mungkin sekitar seminggu lagi,”
“Wah, kok cepet banget sih?” Leli kembali memelukku dengan erat.
“Helloo, aku gak bisa nafas nih,” teriakku lagi.
Leli beranjak lalu menarikku keluar kelas.
“kemana?’
“ke kantin. Hari ini kamu bebas makan apapun yang kamu inginkan. Aku yang traktir,” jawabnya.
“bener nih? Gak nyesel?”
Leli hanya mengangkat jempolnya seraya tersenyum.
Ketika menyusuri lorong kelas, ekor mataku menangkap sepasang muda mudi yang sedang duduk berduaan di taman sekolah. Mereka mengobrol dengan akrab sekali. Amel, teman sekelasku, dengan Boy, pacarnya.
Aku tersenyum kecut. Ah, Boy. Sang ketua OSIS, cowok terpopuler di sekolah kami sekaligus orang yang kutaksir setengah hidup! Ya, aku telah mencintainya sejak 2 tahun yang lalu. Hanya saja, aku harus patah hati karena ternyata ia berpacaran dengan Amel. Namun begitu, aku tak bisa melupakannya. Aku tetap saja mengaguminya, menyukainya, dan merindukannya, walau secara sembunyi-sembunyi. Dia cowok yang baik, ramah, tampan dan pintar. Dan tentu sangat sulit bagiku untuk bisa melupakannya. Ah, sepertinya aku merumitkan hidupku sendiri.
“Hellooo, jalannya jangan pake ngelamun dong buukk,” Leli membuyarkan lamunanku.
“Mikiran apa sih sampe senewen begitu?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum.
“Ah, enggak. Aku ngerasa lapar aja, yuk,” aku mempercepat langkahku dan mendahului Leli.

         
Sehari sebelum kepindahanku ke Surabaya, aku nekat menemui Boy.
L 'Infinite' as Boy
            “Bisa bicara sebentar? Berdua aja?” tanyaku. Boy yang sedang asyik menatap komputer di ruang OSIS, mengalihkan pandangannya padaku.
“hei, Rin. Ada apa? Mukamu kok serius banget begitu?”
Seperti biasa, ia selalu ramah.
Aku tersenyum.
“Ada sesuatu yang harus ku sampaikan, tapi ___”
Boy manggut-manggut.
“Oke, bicara aja. Di sini hanya ada kita berdua kok,” jawabnya.
Aku terdiam. Boy beranjak dari kursinya lalu melangkah mendekatiku.
“Oh iya, kapan berangkat ke Surabaya?” ia kembali bertanya dengan ramah.
“Mm, besok,” jawabku.
“Aku hanya bisa mendo’akan semoga kau kerasan di tempat yang baru dan tentu saja, punya banyak teman seperti di sini,”
Aku tersenyum lagi.
“Terima kasih,” jawabku lagi.
“tadi ___ mo ngomongin apa?” Boy seakan kembali mengingatkan. Aku menatapnya dengan dalam.
“Aku mencintaimu, Boy,” ujarku. Boy mengernyitkan dahinya, kaget dan heran.
“Maksud__mu?”
“Aku mencintaimu, sejak kelas satu.  Itulah perasaan yang kurasakan padamu selama ini. Tidak, jangan salah sangka. Aku tidak bermaksud mengganggu hubunganmu dengan Amel. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku yang sesungguhnya, itu aja. Dan aku lega telah mengatakannya padamu,”
“Rin __”
“Aku tidak pernah menyesal mencintaimu meski kau telah punya kekasih. Buatku, kau adalah cowok terbaik yang pantas ku cintai. Dan aku benar-benar lega karena telah memberitahumu tentang hal ini. Aku rasa, hanya itu yang ingin kusampaikan padamu. Maaf telah mengganggumu dan terima kasih karena kau mau mendengarku,”
Aku beranjak, meninggalkan Boy yang berdiri tertegun, kebingungan, tanpa tahu harus berkata apa.
Dan aku tak peduli! Yang jelas, aku sudah mengatakan apa yang seharusnya kukatakan dan kelak, aku tak akan pernah menyesalinya. Bagiku, itu sudah cukup.
Aah, aku ingin segera sampai rumah. Makan sop ayam buatan mama, menikmati es krim coklat yang lezat,  mandi air hangat, lalu tidur sepuasnya!
Boy, cinta, ah, persetan dengan semuanya!

Selesai


Wiwin Setyobekti
Nganjuk, 19-02-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar