Preview
:
“Jika
kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani
mengulangi pertanyaannya.
Wonu
terdiam sesaat.
“Kau.”
Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku
adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku
ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia
melanjutkan.
Dan
...
Hani
beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur,
jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya
lirih.
Ia
membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.
~~~~~
~~~~~
Part 4
Setiap
hari Hani rajin mengunjungi Wonu di rumahnya. Terkadang ia membawakan buku,
terkadang membawakan makanan kesukaannya, terkadang pula membawakan DVD film.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Entah itu menonton dvd film di
home theatre yang ada di rumah, atau hanya sekedar mengobrol di balkon kamar.
Hani
juga yang selalu mengantarkan Wonu untuk
kontrol di Rumah Sakit. Dan ketika keadaan lelaki itu membaik, mereka
jalan-jalan di taman kota. Seperti yang mereka lakukan sore itu.
“Kapan
kau akan kembali ke Seoul?” tanya Wonu. Ia duduk di bangku taman dengan
pandangan ke arah jalan raya. “Entahlah.” Hani menjawab asal.
“Lalu,
kapan pernikahanmu?” Lelaki itu kembali bertanya. Kali ini menatap perempuan di
sampingnya. Hani menarik nafas dan balas menatapnya.
“Aku
sudah bilang padamu, aku tak akan menikah dengannya.” Jawabnya. Bibir Wonu
berdecak kecewa. “Hani-ah, aku memintamu bersamaku, menemaniku, bukan berarti
aku melarangmu menikah.”
“Kau
tak melarangku. Aku yang memutuskannya sendiri.” Potong Hani.
Wonu
menggeleng-geleng lirih. “Kau harus menikah, Hani-ah. Kau harus bahagia.
Maksudku ... umurku tidak akan lama. Aku bisa mati kapan saja. Nanti, besok,
lusa, atau lusanya lagi. Jadi ...”
Tangan
Hani terulur dan menggenggam tangan Wonu. Ia menautkan jemari-jemari mereka.
“Aku
memilih bersamamu. Oke? Jadi, tolong hargai itu.” Gumamnya lembut. Mereka
berpandangan. “Kenapa?” Wonu juga bertanya lembut. Hani tersenyum.
“Karena
aku mencintaimu.” Jawabnya.
“Karena
aku sakit.” Wonu meralat.
“Tidak.
Karena aku mencintaimu.” Hani mengoreksi dengan mantap. “Aku mencintaimu. And always it’s you. Jika aku memilih
bersamamu, bukan karena kau sakit. Tapi karena aku mencintaimu, sejak dulu,
sampai sekarang. Kau harus percaya itu.”
“Dan
tunanganmu?”
Hani
mengangkat bahu. “Aku akan menjelaskan semua padanya.” Jawabnya. Dan ia memang
akan melakukannya. Besok, ia akan memesan tiket ke Seoul. Karena semalam ia
menerima email dari Dojun yang berisi : aku
menyelesaikan perjalanan bisnisku lebih awal. Besok aku sudah pulang. I miss
you ...
***
Hani
melepaskan cincin pertunangannya lalu menyorongkannya ke arah Dojun melewati
permukaan meja. Selesai sudah!
Ia
sudah menceritakan segalanya pada lelaki tampan itu. Tentang Wonu, tentang
penyakitnya, tentang masa lalu mereka, dan tentang keinginannya untuk
menemaninya di saat-saat terakhir kehidupannya.
“Aku
jauh-jauh pulang dari luar negeri tidak untuk menerima lelucon seperti ini,
Hani-ah!” Dojun menatap Hani dengan mata nanar. Hani menunduk, air matanya
mengalir deras. Untung restoran tempat mereka bertemu dalam kondisi sepi
sehingga obrolan mereka tak mengundang perhatian orang lain.
“Aku
tak punya pilihan. Wonu sakit, dan dia membutuhkan aku.” Desisnya.
“Lalu
apa aku harus sakit dulu agar kau lebih memilih bersamaku?” suara Dojun serak.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokan Hani terasa tersekat.
“Apakah
kau mencintaiku?”
“Aku
mencintaimu.” Jawab Hani.
“Tapi
kau lebih mencintainya ‘kan? Kau lebih mencintai lelaki sekarat itu ‘kan?”
Kali
ini Hani tak menjawab. Air matanya terus mengalir. Dojun mengepalkan tangannya.
Rahangnya kaku, ia membuang pandangannya keluar jendela.
Ia
tahu, jawaban Hani adalah ‘ya’.
“Aku
pernah meninggalkan Wonu begitu saja, Dojun-ssi. Jadi untuk saat ini, aku ingin
menebus kesalahanku. Aku ingin menemaninya, melewati waktu yang tersisa
bersamanya.” Hani membuka suara.
“Lalu
dengan apa kau akan menebus kesalahanmu padaku?” Kali ini Dojun kembali menatap
Hani dengan tajam. Hani tersentak. Tatapannya beradu dengan lelaki tersebut.
“Dengan-apa-kau-akan-menebus-kesalahanmu-padaku-Hani?”
Gigi Dojun terkatub. Tampak ia sedang menahan emosi.
“Kau
memilih bersamanya dan meninggalkanku. Bukankah itu sama saja kau juga
melakukan kesalahan padaku. Lantas, dengan apa kau akan menebusnya? Membayarnya
di kehidupan yang akan datang?” Ia terkekeh sinis. Ia mengacak-acak rambutnya
dengan frustasi.
“Aku
menyesal membatalkan pernikahan kita, Hani-ah. Aku menyesal telah mengikuti
perjalanan bisnis ke Eropa. Dan, aku menyesal karena telah membiarkanmu pergi
ke Chanwon.” Ada penyesalan luar biasa pada kalimatnya.
“Mianheo, Dojun-ssi. Mianhae ....” suara Hani nyaris tertelan isak tangisnya.
Dojun
menarik nafas berat.
“Oke,
pergilah. Pergilah padanya. Tapi jika urusanmu dengannya sudah selesai,
kembalilah padaku.” Lelaki itu bangkit. Ia beranjak tanpa mengambil cincin
pertunangan mereka.
“Aku
takkan kembali padamu, Dojun-ssi. Bahkan jika ia meninggal, aku takkan kembali
padamu.” Hani sesenggukan. Dojun berbalik dan menatap perempuan itu dengan
pilu. Kedua matanya berkaca-kaca. Kristal-kristal bening itu nyaris berjatuhan.
“Kau
akan kembali, Hani-ah. Kau akan kembali padaku. Entah bagaimana caranya.”
Ujarnya. Kalimatnya getir, tak bernyawa. Kemudian ia kembali melangkah,
meninggalkan Hani sendirian yang terus sesenggukkan.
***
Wonu duduk bersandar di ujung
ranjang. Ia kembali di rawat di Rumah Sakit setelah kemarin sempat drop. Lelaki
bermata teduh itu menatap keluar jendela kamarnya dengan bosan. Sudah 2 hari Hani
kembali ke Seoul dan sampai sekarang
perempuan itu belum kembali ke Chanwon.
Dan
ia merindukannya.
Sempat
ada perasaan was-was menghinggapi dirinya.
Akankah
Hani akan kembali ke sini? Ke sisinya? Atau ia memutuskan pergi begitu saja,
seperti yang ia lakukan dulu?
Tapi
toh jika ia tak kembali ke sini, ia tak punya hak untuk marah. Hani orang yang
bebas, dan ia berhak pergi kemana saja.
Lelaki
itu memutuskan untuk membaca sebuah buku ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan
perlahan dan seorang lelaki seumuran dirinya muncul dari sana.
Keduanya
berpandangan. Bingung.
“Ya?”
Wonu menyapa duluan.
Lelaki
berpakaian rapi itu melangkah mendekat. “Jeon Wonu?” ia bertanya sopan. Wonu
mengangguk.
“Aku
... Dojun. Kim Dojun. Tunangan Hani.” Lelaki yang baru masuk itu menjawab. “Oh,
lebih tepatnya mantan tunangan karena kemarin kami baru saja putus.” Ia malanjutkan.
Wonu
tampak terkejut.
Ia
tak mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
Keduanya
berpandangan dengan canggung.
“Kau
datang dari Seoul?” Wonu memberanikan diri bertanya. Dojun mengangguk.
“Hani
tak bersamamu?”
Dojun
menggeleng. “Aku datang ke sini tanpa sepengetahuannya.” Jawabnya.
Lelaki
itu duduk di sofa di dekat jendela tanpa menunggu dipersilahkan. Hening sesaat.
Mereka sama-sama tahu apa yang akan mereka bicarakan.
“Aku
putus dengan Hani. Pernikahan kami batal karena kau.” Suara Dojun memecah
keheningan.
Wonu
meletakkan buku yang ada di tangannya ke atas meja lalu menatap lelaki
tersebut.
“Aku
minta maaf karena ia lebih memilih lelaki sekarat seperti aku.” Ucapnya.
“Tapi
seperti yang kau ketahui, hidupku takkan lama. Jadi, kenapa tak kau pinjamkan
saja dia padaku sebentar saja?” Ia terkekeh sinis.
Dojun
menatap Wonu dengan tajam. Tangannya terkepal. Jika saja yang ia hadapi adalah
lelaki sehat, sudah sejak tadi ia mengajaknya berduel.
“Hani
bukan barang yang bisa dipinjamkan. Dasar brengsek.” Ia nyaris berteriak.
Wonu
kembali terkekeh sinis. Ia tampak tenang.
“Kalau
begitu, berikan dia padaku. Kelak jika aku mati, kau bisa mengambilnya
kembali.” Ujarnya.
Dojun
menggigit kesal. Lagi-lagi ia menatap Wonu dengan tajam. Ada amarah dalam
dirinya yang meluap-luap, namun sengaja ia tahan.
“Keparat
kau.” umpatnya.
Wonu
tertawa hambar. Sekarang tak hanya tubuhnya yang terasa sakit, tapi juga
hatinya. Ia tak tahu kenapa Tuhan menempatkan mereka semua dalam situasi
seperti ini.
Hening
lagi.
“Aku
minta maaf.” Kali ini kalimat Wonu terdengar lirih.
“Aku
tak bermaksud membuat hubungan kalian berantakan. Aku benar-benar tak mengira bahwa
aku akan bertemu dengan Hani lagi dalam keadaan seperti ini.” Kalimatnya terdengar
putus asa hingga membuat Dojun tak mampu berkata-kata.
“Demi
Tuhan, aku tak berencana bertemu dengannya lagi setelah bertahun-tahun. Ini ...
diluar dugaanku. Aku tak mengira akan
bertemu Hani lagi. Tapi kenyataannya, di sinilah kita sekarang. Bertemu,
mencintai orang yang sama, dan terlibat dalam situasi rumit.” Ia menelan ludah.
“Dojun-ssi,
situasi seperti ini tidak hanya sulit untuk kita berdua, tapi juga untuk Hani.
Aku tak bermaksud menempatkan dia di posisi untuk memilih antara kau dan aku.
Tapi percayalah, jika saja aku tak sakit, ia akan tetap memilih bersamamu.”
Kalimat Wonu luruh. Menyiratkan rasa sakit luar biasa.
Dojun
menunduk sesaat. Perlahan ia menggeleng.
“Tidak.
Ia takkan memilihku.” Gumamnya.
“Dia
mencintaimu, Wonu-ssi. Itulah yang sebenarnya. Aku bisa melihat itu ketika ia membicarakanmu,
menyebutkan namamu.” Ujarnya. “Bahkan jika kau tak sakit, kemungkinan besar ia
tetap memilih bersamamu.” Lanjutnya.
Wonu
tertegun. Ia tetap mematung bahkan ketika Dojun bangkit dari tempat duduknya.
“Aku
lega sudah bertemu denganmu.” Ucap lelaki berhidung mancung tersebut. “Dan ...”
Ia menelan ludah. “Aku merelakan Hani bersamamu.” Ia beranjak.
“Dojun-Ssi!”
Wonu memanggil hingga langkah Dojun tertahan. Ia berbalik dan menatap Wonu.
“Jika
aku sudah tiada, tolong jangan membenci Hani atas keputusan yang ia ambil.
Oke?”
Mendengar
ucapan Wonu, Dojun tersenyum getir. Ia menggeleng.
“Aku
mencintainya, Wonu-ssi. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku walau ia
meninggalkanku. Aku takkan sanggup membencinya atau bahkan mengabaikannya,
meski ia memilih bersamamu.” Jawabnya. Kemudian ia berbalik, meninggalkan Wonu.
Meninggalkan rumah sakit tersebut dengan hati hancur.
Beberapa
saat setelah Dojun pergi, kak Im Na datang ke kamar perawatan bersama dokter.
Waktunya kontrol rutin.
“Merasa
baikan?” Kak Im Na menyapa seraya mengelus lengan Wonu dengan lembut. Wonu
hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Kak Im Na menatapnya dengan penuh
selidik.
“Gwaencana?”
Ia memastikan. Wonu menggeleng lemah. Melihat kondisi itu, dokter segera
melakukan pemeriksaan pada tekanan darahnya. Raut muka kak Im Na mendadak
cemas.
“Dokter
...” Wonu memanggil lirih. Ia mendongak, menatap langsung ke arah dokter yang
tengah memeriksanya. “Tolong selamatkan aku.” Ucapnya getir. Bibirnya bergetar.
“Tolong
selamatkan aku, dokter. Selamatkan aku!” Bersamaan dengan itu air matanya
menitik. Lelaki itu mencengkeram lengan dokter dengan erat.
“Aku
tak mau mati. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup puluhan tahun lagi! Aku ingin
menikah, aku ingin punya anak, aku ingin menghabiskan masa tuaku bersama dengan
orang yang ku cintai! Aku tak mau mati... Aku tak mau ....!” Wonu berteriak,
histeris. Ia menangis terisak.
Dokter
berusaha menenangkannya, namun percuma. Kak Im Na menatap adegan itu dengan
pilu. Air matanya juga menitik.
“Selamatkan
aku dokter... Tolong selamatkan aku... Aku tak ingin mati...” Wonu kembali
meratap. Air matanya terus berderaian. Kak Im Na menghambur ke arah adik
satu-satunya tersebut, mendekapnya erat, mengelus punggungnya dengan lembut dan
dalam hitungan detik, ia juga terisak.
***
Hani
memasuki halaman Rumah Sakit dengan tergesa-gesa. Ia sudah menerima kabar sejak
kemarin sore dari kak Im Na bahwa kondisi Wonu drop. Ia juga sudah berusaha
secepat mungkin agar bisa segera sampai di Chanwon. Tapi beberapa urusan di Seoul
menahan langkahnya.
Ketika
ia sampai di lorong rumah sakit tempat Wonu dirawat, ia menyaksikan kak Im Na
duduk lesu di kursi tunggu. Sendirian.
“Eonni
...” Panggilnya.
“Bagaimana
keadaannya?” Ia bertanya tak sabar. Kak Im Na mendongak. Matanya sembab.
“Aku
akan ke kamarnya.” Langkah Hani tertahan ketika kak Im Na melarangnya.
“Jangan.
Wonu sedang istirahat. Dokter memberinya obat penenang. Tadi ia sempat ...
histeris. Tapi sekarang ia baik-baik saja.” Jelasnya.
Hani
menatapnya dengan bingung.
“Ada
apa dengannya? Apa kondisinya parah?” raut wajahnya cemas. Kak Im Na menggeleng.
“Hanya butuh istirahat.” jawabnya. Perempuan itu terlihat gusar.
“Eonni,
ada apa dengannya?” Hani kembali memberondongnya dengan pertanyaan.
Kak
Im Na menarik nafas putus asa. Ia menumpukan siku di kedua lututnya lalu
menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dan bahunya terguncang. Ia menangis.
Rasa
cemas luar biasa segera menyerang benak Hani.
“Apa
dia tak sadarkan diri? Apa dia koma? Apa dia ...?”
Kak
Im Na menggeleng. Perempuan itu mendongak. Tampak air matanya bercucuran.
“Hani-ah,
aku hanya tak mengerti kenapa ia harus bertemu lagi dengamu ...” Ia
sesenggukan. Hani mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa?”
Kak
Im Na menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Sejak
dia diagnosa penyakit itu, sejak dokter mengatakan ia tak punya harapan lagi
untuk sembuh, ia sudah pasrah. Ia ikhlas. Ia berniat pergi dengan tenang. Tapi
sejak kau datang ke kehidupan Wonu lagi, harapan-harapan itu kembali muncul di
matanya. Ia ingin sembuh, ia ingin hidup, ia ingin ...”
“Apa
salahnya ia berharap untuk sembuh?”
“Karena
ia takkan pernah bisa sembuh!” Kak Im Na berteriak.
“Dan
aku tak tega menyaksikannya merana, menderita, meratapi nasib!” Perempuan itu nyaris
menjerit lagi. Ia menatap Hani dengan dalam.
“Ia
sudah bicara dengan dokter. Ia setuju untuk melakukan operasi kembali. Dan kau
tahu itu artinya apa? Operasi itu hanya akan mempercepat kematiannya!”
Hani
tercengang. Kata-kata kak Im Na ibarat pisau yang membelah urat nadinya. “Pasti
ada keajaiban. Wonu akan sembuh.” Ia mendesis.
Kak
Im Na kembali terisak.
“Tidak
akan ada keajaiban untuk Wonu, Hani-ah. Tidak akan ada...” Ia mendesis.
Lutut
Hani lemas. Tubuhnya terkulai di samping kak Im Na. Dan perempuan itupun
menangis.
***
Hani menggenggam tangan Wonu dengan
erat. Ia menatap lelaki itu dengan perasaan cemas berkepanjangan. Wonu tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Tak usah cemas.” Ucapnya.
Wonu serius dengan niatnya. Setelah
berdiskusi dengan dokter, dengan kakaknya, dengan beberapa keluarganya, ia
sepakat melakukan operasi kembali. Lusa.
Operasi
yang teramat beresiko. Mengingat tingkat keberhasilannya hanya sekitar 10%.
“Ku mohon jangan lakukan ini. Jangan
... Please ....” Hani meratap,
suaranya tercekat.
Wonu
kembali tersenyum. “Aku akan baik-baik saja. Dokter akan berusaha yang
terbaik. Berdoa saja semoga operasinya
berhasil. Kalaupun tidak, aku sudah berusaha. Ya ‘kan?” Ia balas menggenggam
tangan Hani dengan erat.
Air
mata Hani menitik tanpa mampu ia tahan. Tangan Wonu terulur, menghapus
butiran-butiran air di pipi perempuan tersebut dengan lembut.
“Aku
mencintaimu, Hani-ah ...”
Hani
mengangguk. “Aku juga.”
“Operasinya
akan berhasil. Aku akan sembuh.”
Hani
kembali mengangguk. “Ya, kau akan sembuh.” Ucapnya getir.
“Tapi
jika seandainya saja operasinya tak berhasil dan aku tak bangun lagi ...”
“Kau
akan sembuh. Operasinya akan berhasil. Aku yakin itu.” Hani meraih tangan Wonu,
mengecupnya berulang-ulang. Wonu menatapnya dengan lembut. Perlahan air matanya
juga menitik.
Ia hanya terlalu mencintainya. Demi
Tuhan, ia mencintai Hani, dengan sepenuh hati. Tak ada kata-kata yang mampu
menggambarkan besarnya rasa cinta yang ia rasakan pada perempuan tersebut. Ia
tak lelah berdoa agar operasinya berhasil. Agar ia selamat. Agar ia hidup.
Tak
ada yang lebih membahagiakan selain bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tak
ada!
Tapi
jika seandainya operasinya gagal, ia berdoa agar Hani senantiasa baik-baik saja
setelah dirinya tiada.
“Aku akan baik-baik saja. Nde?” Wonu
tersenyum lagi. Ia menangkupkan tangannya di wajah Hani, lalu mendaratkan sebuah
ciuman lembut di bibirnya.
Hani
terus terisak. Ia menyebut nama Wonu dalam hati berulang-ulang seperti
merapalkan doa. Berharap bahwa operasinya berhasil dan lelaki itu baik-baik
saja. Dan yang terpenting, ia hidup.
***
Hani berdiri dengan gusar di depan
ruang operasi. Kak Im Na juga. Beberapa kerabat dekat juga ada. Wonu sudah
berada di ruang operasi selama hampir 4 jam. Dan belum ada tanda-tanda
operasinya akan selesai.
Bibir Hani bergetar. Telapak
tangannya berkeringat. Ia terlalu gugup. Rasa cemas menderanya.
Selang satu jam kemudian, pintu
operasi terbuka. Beberapa dokter bedah dan suster keluar dari balik pintu.
Mereka berdiri sesaat, membuka masker yang menutup mulut mereka, lalu menatap para
penunggu, termasuk kak Im Na dan Hani, dengan tarikan nafas dalam.
Dan dari raut muka mereka, Hani tahu
bahwa operasinya gagal.
Kak Im Na segera berteriak histeris.
Hanya dalam hitungan detik ruang tunggu operasi dibanjiri isak tangis.
Hani mematung. Dadanya sesak.
Dan perempuan itu ambruk.
***
Pemakaman Wonu berlangsung sederhana
dan diwarnai hujan tangis. Kak Im Na tak berhenti meraung-raung di depan makam
Wonu. Beberapa orang berusaha menenangkannya. Mereka juga sesenggukan.
Dojun
juga datang. Hani memberitahunya. Lelaki itu sampai di Chanwon beberapa saat
yang lalu dan langsung menyusul Hani di pemakaman.
Hani
duduk bersimpuh, di samping makam Wonu.
Ia
mematung. Aneh, ia tak menangis.
Ia
hanya merasa tak mampu menangis lagi.
Terlampau sakit.
Ini
terlampau menyakitkan buatnya.
“Hani-ah...” Dojun menyentuh
pundaknya dengan lembut. Hani mendongak. Perempuan itu bangkit.
“Aku
ingin pulang dulu. Ke rumah Wonu.” Ia bangkit. Tertatih. Dojun membantunya
bangkit.
“Gwaencana?”
Dojun bertanya cemas.
Hani
mangangguk.
“Aku
akan menemanimu.” Lelaki itu menawarkan tapi Hani menolak.
“Aku
perlu waktu untuk menyendiri.” Jawabnya. Ia terus melangkah. Jarak antara makam
dengan rumah Wonu hanya sekitar 300 meter. Dan ia pulang dengan berjalan kaki.
Setelah
sampai di sana, perempuan itu segera memasuki kamar Wonu.
Menatap
seluruh sudut kamar. Tempat tidur yang kosong, foto-foto mereka yang terpajang
di meja dan juga dinding, kutipan novel favoritnya yang diabadikan di pigura,
semuanya. Dan ... tiba-tiba saja perasaannya hampa. Air matanya mulai menetes.
Satu
titik ...
Dua
titik ...
Lalu
mulai berderaian.
Perempuan
itu menyeret kakinya dengan sempoyongan dan duduk di ranjang. Dengan perlahan
ia membelai bantal, sprei dan juga
selimut milik Wonu. Dan akhirnya tangisnya pecah. Ia menghabiskan waktunya di
kamar tersebut selama hampir satu jam untuk menangis, sepuasnya.
Pintu
kamar terbuka dan kak Im Na menghambur ke arahnya. Perempuan itu memeluk Hani
dengan lembut. “Dia sudah pergi, Hani-ah. Dia sudah pergi.” Desisnya. Hani
hanya membalas dengan anggukan. Mereka sama-sama terisak lagi.
Setelah
beberapa saat kemudian mereka sudah agak tenang, kak Im Na beranjak. Menuju ke
arah meja belajar Wonu, menarik laci paling bawah, lalu mengambil sesuatu.
Perempuan itu berbalik kemudian menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi
ke arah Hani.
“Ini
pesan terakhir Wonu. Dia berpesan, jika operasinya gagal ...” bibirnya
bergetar. “Ia memintaku memberikan ini padamu.” lanjutnya.
Hani
menerimanya dengan tangan gemetar. Kak Im Na menepuk pundaknya dengan lembut
lalu meninggalkannya sendirian.
Hani
membuka lipatan kertas tersebut dengan hati-hati dan mulai membaca barisan
kalimat yang tertulis dengan rapi. Itu tulisan tangan Wonu.
___________
Hani-ah ....
Lupakan aku.
Ini selamat tinggal terakhirku.
Kau harus tetap hidup, tanpa aku.
Maaf karena aku pergi lebih dulu.
Maaf karena aku meninggalkanmu.
Kelak, jika Tuhan mengijinkanku untuk
dilahirkan kembali
aku akan menepati janjiku.
Untuk bersamamu.
Hiduplah bahagia ...
Senantiasa ...
Aku mencintaimu.
And always it’s you.
--- Jeon Wonu
________________
Hani
memeluk secarik kertas itu dengan erat. Dan tangisnya kembali meledak.
Tubuhnya
melorot ke lantai. Ia luruh, merasa hancur.
Beberapa
kali ia meneriakkan nama Wonu.
Berharap
agar dia di sana bisa mendengarnya.
Berharap
agar ia bisa memberitahunya bahwa ia akan baik-baik saja.
Berharap
bahwa ia bisa memberitahunya – lagi – bahwa iapun mencintainya, dengan sepenuh
hati.
***
The End.