Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Always It's You #4 - End



Preview :
“Jika kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani mengulangi pertanyaannya.
Wonu terdiam sesaat.
“Kau.” Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia melanjutkan.

Dan ...
Hani beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya lirih.
Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.

~~~~~
~~~~~

Part 4


Setiap hari Hani rajin mengunjungi Wonu di rumahnya. Terkadang ia membawakan buku, terkadang membawakan makanan kesukaannya, terkadang pula membawakan DVD film. Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Entah itu menonton dvd film di home theatre yang ada di rumah, atau hanya sekedar mengobrol di balkon kamar.

Hani juga yang selalu mengantarkan  Wonu untuk kontrol di Rumah Sakit. Dan ketika keadaan lelaki itu membaik, mereka jalan-jalan di taman kota. Seperti yang mereka lakukan sore itu.
“Kapan kau akan kembali ke Seoul?” tanya Wonu. Ia duduk di bangku taman dengan pandangan ke arah jalan raya. “Entahlah.” Hani menjawab asal.

“Lalu, kapan pernikahanmu?” Lelaki itu kembali bertanya. Kali ini menatap perempuan di sampingnya. Hani menarik nafas dan balas menatapnya.
“Aku sudah bilang padamu, aku tak akan menikah dengannya.” Jawabnya. Bibir Wonu berdecak kecewa. “Hani-ah, aku memintamu bersamaku, menemaniku, bukan berarti aku melarangmu menikah.”
“Kau tak melarangku. Aku yang memutuskannya sendiri.” Potong Hani.
Wonu menggeleng-geleng lirih. “Kau harus menikah, Hani-ah. Kau harus bahagia. Maksudku ... umurku tidak akan lama. Aku bisa mati kapan saja. Nanti, besok, lusa, atau lusanya lagi. Jadi ...”
Tangan Hani terulur dan menggenggam tangan Wonu. Ia menautkan jemari-jemari mereka.
“Aku memilih bersamamu. Oke? Jadi, tolong hargai itu.” Gumamnya lembut. Mereka berpandangan. “Kenapa?” Wonu juga bertanya lembut. Hani tersenyum.
“Karena aku mencintaimu.” Jawabnya.
“Karena aku sakit.” Wonu meralat.
“Tidak. Karena aku mencintaimu.” Hani mengoreksi dengan mantap. “Aku mencintaimu. And always it’s you. Jika aku memilih bersamamu, bukan karena kau sakit. Tapi karena aku mencintaimu, sejak dulu, sampai sekarang. Kau harus percaya itu.”
“Dan tunanganmu?”
Hani mengangkat bahu. “Aku akan menjelaskan semua padanya.” Jawabnya. Dan ia memang akan melakukannya. Besok, ia akan memesan tiket ke Seoul. Karena semalam ia menerima email dari Dojun yang berisi : aku menyelesaikan perjalanan bisnisku lebih awal. Besok aku sudah pulang. I miss you ...

***

Hani melepaskan cincin pertunangannya lalu menyorongkannya ke arah Dojun melewati permukaan meja. Selesai sudah!
Ia sudah menceritakan segalanya pada lelaki tampan itu. Tentang Wonu, tentang penyakitnya, tentang masa lalu mereka, dan tentang keinginannya untuk menemaninya di saat-saat terakhir kehidupannya.
“Aku jauh-jauh pulang dari luar negeri tidak untuk menerima lelucon seperti ini, Hani-ah!” Dojun menatap Hani dengan mata nanar. Hani menunduk, air matanya mengalir deras. Untung restoran tempat mereka bertemu dalam kondisi sepi sehingga obrolan mereka tak mengundang perhatian orang lain.
“Aku tak punya pilihan. Wonu sakit, dan dia membutuhkan aku.” Desisnya.
“Lalu apa aku harus sakit dulu agar kau lebih memilih bersamaku?” suara Dojun serak. Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokan Hani terasa tersekat.
“Apakah kau mencintaiku?”
“Aku mencintaimu.” Jawab Hani.
“Tapi kau lebih mencintainya ‘kan? Kau lebih mencintai lelaki sekarat itu ‘kan?”
Kali ini Hani tak menjawab. Air matanya terus mengalir. Dojun mengepalkan tangannya. Rahangnya kaku, ia membuang pandangannya keluar jendela.
Ia tahu, jawaban Hani adalah ‘ya’.
“Aku pernah meninggalkan Wonu begitu saja, Dojun-ssi. Jadi untuk saat ini, aku ingin menebus kesalahanku. Aku ingin menemaninya, melewati waktu yang tersisa bersamanya.” Hani membuka suara.
“Lalu dengan apa kau akan menebus kesalahanmu padaku?” Kali ini Dojun kembali menatap Hani dengan tajam. Hani tersentak. Tatapannya beradu dengan lelaki tersebut.
“Dengan-apa-kau-akan-menebus-kesalahanmu-padaku-Hani?” Gigi Dojun terkatub. Tampak ia sedang menahan emosi.
“Kau memilih bersamanya dan meninggalkanku. Bukankah itu sama saja kau juga melakukan kesalahan padaku. Lantas, dengan apa kau akan menebusnya? Membayarnya di kehidupan yang akan datang?” Ia terkekeh sinis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Aku menyesal membatalkan pernikahan kita, Hani-ah. Aku menyesal telah mengikuti perjalanan bisnis ke Eropa. Dan, aku menyesal karena telah membiarkanmu pergi ke Chanwon.” Ada penyesalan luar biasa pada kalimatnya.
“Mianheo, Dojun-ssi. Mianhae ....” suara Hani nyaris tertelan isak tangisnya.
Dojun menarik nafas berat.
“Oke, pergilah. Pergilah padanya. Tapi jika urusanmu dengannya sudah selesai, kembalilah padaku.” Lelaki itu bangkit. Ia beranjak tanpa mengambil cincin pertunangan mereka.
“Aku takkan kembali padamu, Dojun-ssi. Bahkan jika ia meninggal, aku takkan kembali padamu.” Hani sesenggukan. Dojun berbalik dan menatap perempuan itu dengan pilu. Kedua matanya berkaca-kaca. Kristal-kristal bening itu nyaris berjatuhan.
“Kau akan kembali, Hani-ah. Kau akan kembali padaku. Entah bagaimana caranya.” Ujarnya. Kalimatnya getir, tak bernyawa. Kemudian ia kembali melangkah, meninggalkan Hani sendirian yang terus sesenggukkan.

***

            Wonu duduk bersandar di ujung ranjang. Ia kembali di rawat di Rumah Sakit setelah kemarin sempat drop. Lelaki bermata teduh itu menatap keluar jendela kamarnya dengan bosan. Sudah 2 hari Hani kembali ke Seoul dan sampai  sekarang perempuan itu belum kembali ke Chanwon.
Dan ia merindukannya.
Sempat ada perasaan was-was menghinggapi dirinya.
Akankah Hani akan kembali ke sini? Ke sisinya? Atau ia memutuskan pergi begitu saja, seperti yang ia lakukan dulu?
Tapi toh jika ia tak kembali ke sini, ia tak punya hak untuk marah. Hani orang yang bebas, dan ia berhak pergi kemana saja. 

Lelaki itu memutuskan untuk membaca sebuah buku ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan perlahan dan seorang lelaki seumuran dirinya muncul dari sana.
Keduanya berpandangan. Bingung.
“Ya?” Wonu menyapa duluan.
Lelaki berpakaian rapi itu melangkah mendekat. “Jeon Wonu?” ia bertanya sopan. Wonu mengangguk.
“Aku ... Dojun. Kim Dojun. Tunangan Hani.” Lelaki yang baru masuk itu menjawab. “Oh, lebih tepatnya mantan tunangan karena kemarin kami baru saja putus.” Ia malanjutkan.
Wonu tampak terkejut.
Ia tak mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
Keduanya berpandangan dengan canggung.
“Kau datang dari Seoul?” Wonu memberanikan diri bertanya. Dojun mengangguk.
“Hani tak bersamamu?”
Dojun menggeleng. “Aku datang ke sini tanpa sepengetahuannya.” Jawabnya.
Lelaki itu duduk di sofa di dekat jendela tanpa menunggu dipersilahkan. Hening sesaat. Mereka sama-sama tahu apa yang akan mereka bicarakan.
“Aku putus dengan Hani. Pernikahan kami batal karena kau.” Suara Dojun memecah keheningan.
Wonu meletakkan buku yang ada di tangannya ke atas meja lalu menatap lelaki tersebut.
“Aku minta maaf karena ia lebih memilih lelaki sekarat seperti aku.” Ucapnya.
“Tapi seperti yang kau ketahui, hidupku takkan lama. Jadi, kenapa tak kau pinjamkan saja dia padaku sebentar saja?” Ia terkekeh sinis.
Dojun menatap Wonu dengan tajam. Tangannya terkepal. Jika saja yang ia hadapi adalah lelaki sehat, sudah sejak tadi ia mengajaknya berduel.
“Hani bukan barang yang bisa dipinjamkan. Dasar brengsek.” Ia nyaris berteriak.
Wonu kembali terkekeh sinis. Ia tampak tenang.
“Kalau begitu, berikan dia padaku. Kelak jika aku mati, kau bisa mengambilnya kembali.” Ujarnya.
Dojun menggigit kesal. Lagi-lagi ia menatap Wonu dengan tajam. Ada amarah dalam dirinya yang meluap-luap, namun sengaja ia tahan.
“Keparat kau.” umpatnya.

Wonu tertawa hambar. Sekarang tak hanya tubuhnya yang terasa sakit, tapi juga hatinya. Ia tak tahu kenapa Tuhan menempatkan mereka semua dalam situasi seperti ini.

Hening lagi.

“Aku minta maaf.” Kali ini kalimat Wonu terdengar lirih.
“Aku tak bermaksud membuat hubungan kalian berantakan. Aku benar-benar tak mengira bahwa aku akan bertemu dengan Hani lagi dalam keadaan seperti ini.” Kalimatnya terdengar putus asa hingga membuat Dojun tak mampu berkata-kata.
“Demi Tuhan, aku tak berencana bertemu dengannya lagi setelah bertahun-tahun. Ini ... diluar dugaanku.  Aku tak mengira akan bertemu Hani lagi. Tapi kenyataannya, di sinilah kita sekarang. Bertemu, mencintai orang yang sama, dan terlibat dalam situasi rumit.”  Ia menelan ludah.
“Dojun-ssi, situasi seperti ini tidak hanya sulit untuk kita berdua, tapi juga untuk Hani. Aku tak bermaksud menempatkan dia di posisi untuk memilih antara kau dan aku. Tapi percayalah, jika saja aku tak sakit, ia akan tetap memilih bersamamu.” Kalimat Wonu luruh. Menyiratkan rasa sakit luar biasa.

Dojun menunduk sesaat. Perlahan ia menggeleng.
“Tidak. Ia takkan memilihku.” Gumamnya.
“Dia mencintaimu, Wonu-ssi. Itulah yang sebenarnya. Aku bisa melihat itu ketika ia membicarakanmu, menyebutkan namamu.” Ujarnya. “Bahkan jika kau tak sakit, kemungkinan besar ia tetap memilih bersamamu.” Lanjutnya.

Wonu tertegun. Ia tetap mematung bahkan ketika Dojun bangkit dari tempat duduknya.
“Aku lega sudah bertemu denganmu.” Ucap lelaki berhidung mancung tersebut. “Dan ...” Ia menelan ludah. “Aku merelakan Hani bersamamu.” Ia beranjak.

“Dojun-Ssi!” Wonu memanggil hingga langkah Dojun tertahan. Ia berbalik dan menatap Wonu.
“Jika aku sudah tiada, tolong jangan membenci Hani atas keputusan yang ia ambil. Oke?”
Mendengar ucapan Wonu, Dojun tersenyum getir. Ia menggeleng.
“Aku mencintainya, Wonu-ssi. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku walau ia meninggalkanku. Aku takkan sanggup membencinya atau bahkan mengabaikannya, meski ia memilih bersamamu.” Jawabnya. Kemudian ia berbalik, meninggalkan Wonu. Meninggalkan rumah sakit tersebut dengan hati hancur.

Beberapa saat setelah Dojun pergi, kak Im Na datang ke kamar perawatan bersama dokter. Waktunya kontrol rutin.
“Merasa baikan?” Kak Im Na menyapa seraya mengelus lengan Wonu dengan lembut. Wonu hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Kak Im Na menatapnya dengan penuh selidik.
“Gwaencana?” Ia memastikan. Wonu menggeleng lemah. Melihat kondisi itu, dokter segera melakukan pemeriksaan pada tekanan darahnya. Raut muka kak Im Na mendadak cemas.
“Dokter ...” Wonu memanggil lirih. Ia mendongak, menatap langsung ke arah dokter yang tengah memeriksanya. “Tolong selamatkan aku.” Ucapnya getir. Bibirnya bergetar.

“Tolong selamatkan aku, dokter. Selamatkan aku!” Bersamaan dengan itu air matanya menitik. Lelaki itu mencengkeram lengan dokter dengan erat.
“Aku tak mau mati. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup puluhan tahun lagi! Aku ingin menikah, aku ingin punya anak, aku ingin menghabiskan masa tuaku bersama dengan orang yang ku cintai! Aku tak mau mati... Aku tak mau ....!” Wonu berteriak, histeris. Ia menangis terisak.

Dokter berusaha menenangkannya, namun percuma. Kak Im Na menatap adegan itu dengan pilu. Air matanya juga menitik.
“Selamatkan aku dokter... Tolong selamatkan aku... Aku tak ingin mati...” Wonu kembali meratap. Air matanya terus berderaian. Kak Im Na menghambur ke arah adik satu-satunya tersebut, mendekapnya erat, mengelus punggungnya dengan lembut dan dalam hitungan detik, ia juga terisak.

***

Hani memasuki halaman Rumah Sakit dengan tergesa-gesa. Ia sudah menerima kabar sejak kemarin sore dari kak Im Na bahwa kondisi Wonu drop. Ia juga sudah berusaha secepat mungkin agar bisa segera sampai di Chanwon. Tapi beberapa urusan di Seoul menahan langkahnya.

Ketika ia sampai di lorong rumah sakit tempat Wonu dirawat, ia menyaksikan kak Im Na duduk lesu di kursi tunggu. Sendirian.
“Eonni ...” Panggilnya.
“Bagaimana keadaannya?” Ia bertanya tak sabar. Kak Im Na mendongak. Matanya sembab.
“Aku akan ke kamarnya.” Langkah Hani tertahan ketika kak Im Na melarangnya.
“Jangan. Wonu sedang istirahat. Dokter memberinya obat penenang. Tadi ia sempat ... histeris. Tapi sekarang ia baik-baik saja.” Jelasnya.
Hani menatapnya dengan bingung.
“Ada apa dengannya? Apa kondisinya parah?” raut wajahnya cemas. Kak Im Na menggeleng. “Hanya butuh istirahat.” jawabnya. Perempuan itu terlihat gusar.

“Eonni, ada apa dengannya?” Hani kembali memberondongnya dengan pertanyaan.
Kak Im Na menarik nafas putus asa. Ia menumpukan siku di kedua lututnya lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dan bahunya terguncang. Ia menangis.
Rasa cemas luar biasa segera menyerang benak Hani.
“Apa dia tak sadarkan diri? Apa dia koma? Apa dia ...?”
Kak Im Na menggeleng. Perempuan itu mendongak. Tampak air matanya bercucuran.
“Hani-ah, aku hanya tak mengerti kenapa ia harus bertemu lagi dengamu ...” Ia sesenggukan. Hani mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa?”
Kak Im Na menghapus air matanya dengan punggung tangan.

“Sejak dia diagnosa penyakit itu, sejak dokter mengatakan ia tak punya harapan lagi untuk sembuh, ia sudah pasrah. Ia ikhlas. Ia berniat pergi dengan tenang. Tapi sejak kau datang ke kehidupan Wonu lagi, harapan-harapan itu kembali muncul di matanya. Ia ingin sembuh, ia ingin hidup, ia ingin ...”
“Apa salahnya ia berharap untuk sembuh?”
“Karena ia takkan pernah bisa sembuh!” Kak Im Na berteriak.
“Dan aku tak tega menyaksikannya merana, menderita, meratapi nasib!” Perempuan itu nyaris menjerit lagi. Ia menatap Hani dengan dalam.
“Ia sudah bicara dengan dokter. Ia setuju untuk melakukan operasi kembali. Dan kau tahu itu artinya apa? Operasi itu hanya akan mempercepat kematiannya!”

Hani tercengang. Kata-kata kak Im Na ibarat pisau yang membelah urat nadinya. “Pasti ada keajaiban. Wonu akan sembuh.” Ia mendesis.
Kak Im Na kembali terisak.
“Tidak akan ada keajaiban untuk Wonu, Hani-ah. Tidak akan ada...” Ia mendesis.
Lutut Hani lemas. Tubuhnya terkulai di samping kak Im Na. Dan perempuan itupun menangis.

***

            Hani menggenggam tangan Wonu dengan erat. Ia menatap lelaki itu dengan perasaan cemas berkepanjangan. Wonu tersenyum. “Aku baik-baik saja. Tak usah cemas.” Ucapnya.

            Wonu serius dengan niatnya. Setelah berdiskusi dengan dokter, dengan kakaknya, dengan beberapa keluarganya, ia sepakat melakukan operasi kembali. Lusa.
Operasi yang teramat beresiko. Mengingat tingkat keberhasilannya hanya sekitar 10%.

            “Ku mohon jangan lakukan ini. Jangan ... Please ....” Hani meratap, suaranya tercekat.
Wonu kembali tersenyum. “Aku akan baik-baik saja. Dokter akan berusaha yang terbaik.  Berdoa saja semoga operasinya berhasil. Kalaupun tidak, aku sudah berusaha. Ya ‘kan?” Ia balas menggenggam tangan Hani dengan erat.

Air mata Hani menitik tanpa mampu ia tahan. Tangan Wonu terulur, menghapus butiran-butiran air di pipi perempuan tersebut dengan lembut.
“Aku mencintaimu, Hani-ah ...”
Hani mengangguk. “Aku juga.”
“Operasinya akan berhasil. Aku akan sembuh.”
Hani kembali mengangguk. “Ya, kau akan sembuh.” Ucapnya getir.
“Tapi jika seandainya saja operasinya tak berhasil dan aku tak bangun lagi ...”
“Kau akan sembuh. Operasinya akan berhasil. Aku yakin itu.” Hani meraih tangan Wonu, mengecupnya berulang-ulang. Wonu menatapnya dengan lembut. Perlahan air matanya juga menitik.

            Ia hanya terlalu mencintainya. Demi Tuhan, ia mencintai Hani, dengan sepenuh hati. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan besarnya rasa cinta yang ia rasakan pada perempuan tersebut. Ia tak lelah berdoa agar operasinya berhasil. Agar ia selamat. Agar ia hidup.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tak ada!
Tapi jika seandainya operasinya gagal, ia berdoa agar Hani senantiasa baik-baik saja setelah dirinya tiada.

            “Aku akan baik-baik saja. Nde?” Wonu tersenyum lagi. Ia menangkupkan tangannya di wajah Hani, lalu mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirnya.
Hani terus terisak. Ia menyebut nama Wonu dalam hati berulang-ulang seperti merapalkan doa. Berharap bahwa operasinya berhasil dan lelaki itu baik-baik saja. Dan yang terpenting, ia hidup.

***

            Hani berdiri dengan gusar di depan ruang operasi. Kak Im Na juga. Beberapa kerabat dekat juga ada. Wonu sudah berada di ruang operasi selama hampir 4 jam. Dan belum ada tanda-tanda operasinya akan selesai.

            Bibir Hani bergetar. Telapak tangannya berkeringat. Ia terlalu gugup. Rasa cemas menderanya.

            Selang satu jam kemudian, pintu operasi terbuka. Beberapa dokter bedah dan suster keluar dari balik pintu. Mereka berdiri sesaat, membuka masker yang menutup mulut mereka, lalu menatap para penunggu, termasuk kak Im Na dan Hani, dengan tarikan nafas dalam.
            Dan dari raut muka mereka, Hani tahu bahwa operasinya gagal.

            Kak Im Na segera berteriak histeris. Hanya dalam hitungan detik ruang tunggu operasi dibanjiri isak tangis.

            Hani mematung. Dadanya sesak.
            Dan perempuan itu ambruk.

***

            Pemakaman Wonu berlangsung sederhana dan diwarnai hujan tangis. Kak Im Na tak berhenti meraung-raung di depan makam Wonu. Beberapa orang berusaha menenangkannya. Mereka juga sesenggukan.
Dojun juga datang. Hani memberitahunya. Lelaki itu sampai di Chanwon beberapa saat yang lalu dan langsung menyusul Hani di pemakaman.

Hani duduk bersimpuh, di samping makam Wonu.
Ia mematung. Aneh, ia tak menangis.
Ia hanya merasa tak mampu menangis lagi.  Terlampau sakit.
Ini terlampau menyakitkan buatnya.

            “Hani-ah...” Dojun menyentuh pundaknya dengan lembut. Hani mendongak. Perempuan itu bangkit.
“Aku ingin pulang dulu. Ke rumah Wonu.” Ia bangkit. Tertatih. Dojun membantunya bangkit.
“Gwaencana?” Dojun bertanya cemas.
Hani mangangguk.
“Aku akan menemanimu.” Lelaki itu menawarkan tapi Hani menolak.
“Aku perlu waktu untuk menyendiri.” Jawabnya. Ia terus melangkah. Jarak antara makam dengan rumah Wonu hanya sekitar 300 meter. Dan ia pulang dengan berjalan kaki.

Setelah sampai di sana, perempuan itu segera memasuki kamar Wonu.
Menatap seluruh sudut kamar. Tempat tidur yang kosong, foto-foto mereka yang terpajang di meja dan juga dinding, kutipan novel favoritnya yang diabadikan di pigura, semuanya. Dan ... tiba-tiba saja perasaannya hampa. Air matanya mulai menetes.
Satu titik ...
Dua titik ...
Lalu mulai berderaian.

Perempuan itu menyeret kakinya dengan sempoyongan dan duduk di ranjang. Dengan perlahan ia membelai  bantal, sprei dan juga selimut milik Wonu. Dan akhirnya tangisnya pecah. Ia menghabiskan waktunya di kamar tersebut selama hampir satu jam untuk menangis, sepuasnya.

Pintu kamar terbuka dan kak Im Na menghambur ke arahnya. Perempuan itu memeluk Hani dengan lembut. “Dia sudah pergi, Hani-ah. Dia sudah pergi.” Desisnya. Hani hanya membalas dengan anggukan. Mereka sama-sama terisak lagi.

Setelah beberapa saat kemudian mereka sudah agak tenang, kak Im Na beranjak. Menuju ke arah meja belajar Wonu, menarik laci paling bawah, lalu mengambil sesuatu. Perempuan itu berbalik kemudian menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi ke arah Hani.

“Ini pesan terakhir Wonu. Dia berpesan, jika operasinya gagal ...” bibirnya bergetar. “Ia memintaku memberikan ini padamu.” lanjutnya.
Hani menerimanya dengan tangan gemetar. Kak Im Na menepuk pundaknya dengan lembut lalu meninggalkannya sendirian.
Hani membuka lipatan kertas tersebut dengan hati-hati dan mulai membaca barisan kalimat yang tertulis dengan rapi. Itu tulisan tangan Wonu.

___________
Hani-ah ....

Lupakan aku.
Ini selamat tinggal terakhirku.
Kau harus tetap hidup, tanpa aku.

Maaf karena aku pergi lebih dulu.
Maaf karena aku meninggalkanmu.
Kelak, jika Tuhan mengijinkanku untuk dilahirkan kembali
aku akan menepati janjiku.
Untuk bersamamu.

Hiduplah bahagia ...
Senantiasa ...

Aku mencintaimu.
And always it’s you.

--- Jeon Wonu
________________

Hani memeluk secarik kertas itu dengan erat. Dan tangisnya kembali meledak.
Tubuhnya melorot ke lantai. Ia luruh, merasa hancur.
Beberapa kali ia meneriakkan nama Wonu.
Berharap agar dia di sana bisa mendengarnya.
Berharap agar ia bisa memberitahunya bahwa ia akan baik-baik saja.
Berharap bahwa ia bisa memberitahunya – lagi – bahwa iapun mencintainya, dengan sepenuh hati.

***

The End.

[FF SVT] Always It's You #3

Preview :

Kak Im Na menarik nafas berat sebelum berkata.
“Wonu sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Hani terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Dia sudah menjalani kemo dan beberapa kali operasi. Tapi, tak berjalan baik. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Jadi ... Wonu memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ... pergi dengan tenang.” Kak Im Na menelan ludah. Kalimatnya seperti tertahan.
Hani merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.

~~~~~
~~~~~

Cinta tak melulu soal memiliki dan dimiliki.
Terkadang, ini tak lebih sebagai sebuah harapan. Agar dia, orang yang teramat kau cintai, hidup.
Itu saja.

Part 3

Hani memasuki ruangan perawatan itu dengan hati-hati. Kak Im Na yang memberinya ijin untuk mengunjungi Wonu di kamarnya.
Ketika ia berada di sana, ia melihat sosok lelaki itu terbaring tenang di tempat tidur. Selimut menutupi bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Masih mengenakan topi rajut, mata lelaki itu terpejam.
Air mata Hani kembali menitik. Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Tapi ia tak berhasil. Menutup mulutnya dengan tangan, tetap saja ia sesenggukan, pelan.

Entah karena menyadari keberadaan Hani atau karena mendengar isak tangisnya, tubuh Wonu bergerak. Perlahan kedua matanya terbuka dan ia menoleh. Menatap ke arah Hani dengan lemah. Ia menyipit, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu lelaki itu tersenyum.
“Hani-ah ....” Panggilnya lirih. Dan matanya kembali terpejam. Ia tertidur lagi.

***   

“Harusnya kau mendengarkan kata dokter. Kondisimu masih lemah, mestinya lusa atau lusanya lagi kau baru boleh pulang.” Kak Im Na mengomel kesal.
Tapi toh ia tetap saja membantu Wonu berkemas-kemas. Adik satu-satunya itu hanya terkekeh. Tangannya juga sibuk melipat beberapa baju tipisnya.
Hari ini ia memaksa pulang dari Rumah Sakit meski dokter melarangnya.
“Nuna, aku hanya akan tiduran saja. Oke? Jadi, mau tiduran di rumah atau di rumah sakit, sama saja ‘kan?” Jawabnya. Kak Im Na hanya mendengus kesal. Ia memasukkan beberapa baju Wonu ke tas.

“Nuna, selama aku sakit, apa ada seseorang yang mengunjungiku?”
Pertanyaan Wonu mengalihkan perhatian kak Im Na. Perempuan itu menghentikan tangannya yang sibuk berkemas-kemas. Ia melirik ke arah Wonu sesaat, tapi kemudian asyik berkemas-kemas lagi. “Maksudmu?” Ia bertanya tanpa melihat ke arah adiknya.

Wonu tak segera menjawab. Ia mengangkat bahu, bingung.
“Entahlah. Aku hanya merasa bahwa ....” Ia mendesah. “Nuna masih ingat Hani ‘kan?”
Bibir kak Im Na berdecak. “Ya, ya, tentu saja aku masih ingat dia. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang dia. Kau memajang foto-fotonya di kamarmu selama sekian tahun, mengatakan bahwa dia adalah perempuan satu-satunya yang kau cintai, bagaimana aku bisa lupa tentang dia.”  Jawabnya. “Memangnya ada apa dengannya?” Ia bertanya malas-malasan.

Wonu terdiam lagi.
“Selama aku sakit, aku merasa dia sering mengunjungiku, setiap malam. Di sini. Tapi, itu mustahil ‘kan? Aku pasti sedang bermimpi.” Ia terkekeh.
Kak Im Na mematung sesaat. Ia meletakkan baju-baju yang tadi ia lipat, lalu berbalik menghadap Wonu.
“Kau tak bermimpi.” Ucapnya. Wonu mendongak, menatap ke arah kakaknya. Matanya menyipit tanda tak mengerti.
“Kau tak bermimpi, Wonu-ah. Sejak kau di rawat di sini, Hani memang selalu mengunjungimu. Setiap malam dia ke sini, menungguimu. Aku yang mengijinkannya.” Kak Im Na melanjutkan.
Wonu tak bergerak. Terlihat syok.

“Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Dan ...” Kak Im Na menggigit bibirnya. “Aku menceritakan kondisimu padanya. Semuanya.”

Rahang Wonu tampak kaku. Ekpresinya tak terbaca. Entah ia merasa kaget dengan informasi yang kakaknya sampaikan. Atau entah ia merasa marah karena kak Im Na menceritakan kondisinya pada Hani, perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan namun tak bisa.
“Dia ada di luar. Ingin ku suruh dia masuk?”
Mata Wonu melebar. Hani ada di luar kamar?! Ia nyaris berteriak.
“Dia ... di sini?”
Kak Im Na mengangguk. Dan lutut Wonu terasa lemas seketika. Ia heran ketika menyadari bahwa dirinya tak ambruk. Belum sempat ia mengatakan apapun, kakaknya sudah berteriak.

“Hani-ah, masuklah.” Ucapnya.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan ... sosok perempuan itu muncul dari sana. Seperti sebuah adegan dalam film. Saat ketika Hani melangkahkan kakinya memasuki kamar, adegan itu berlangsung lambat.
Dunia Wonu seperti berhenti berputar. Lelaki itu menelan ludah, nyaris tak bisa bernafas.
Ia hanya ... terlalu terkejut dengan kedatangan perempuan itu.
Ia hanya tak percaya bahwa wanita yang selama ini ia pikirkan sekarang ada di hadapannya, mengetahui kondisinya, mengetahui penyakitnya, mengetahui bahwa ia sekarat!

Hani tersenyum ke arah Wonu. Senyumnya getir. Kedua matanya berkaca-kaca, ia tak tahu kenapa.
“Kita ... bertemu lagi.” Perempuan itu membuka suara seraya mengangkat bahu.  Wonu menatapnya dengan dalam, tanpa mampu berkata.
“Akan kutinggalkan kalian berdua.” Kak Im Na beranjak, meninggalkan Wonu dan Hani berdua saja.
Hening.
Tatapan mereka terkunci. Lama.
“Keningmu kenapa?” Akhirnya Wonu membuka suara.
“Hanya kecelakaan kecil. I’m okay.” Jawab Hani.
“Kenapa kau bisa di sini?” Wonu kembali bertanya dengan lirih.
Hani kembali tersenyum. “Untuk bertemu denganmu.” Jawabnya.

Hening lagi. Sesaat kemudian Wonu terkekeh lirih. Perlahan ia melepaskan topi rajut yang beberapa waktu ini setia menutup sebagian kepalanya.
Dan Hani bisa melihatnya. Kepala itu tak ditumbuhi rambut. Ia tak tahu karena pengaruh kemo atau pengaruh operasi. Tapi yang jelas, Ia bisa melihat ada bekas jahitan melintang di sana.
Hani nyaris berteriak histeris. Dadanya sesak.
Tangisnya hampir meledak, tapi ia menahannya.
“Hani-ah, maaf jika kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini. Seperti yang sudah diceritakan nuna, kondisiku sedang tidak baik. Jadi ...”
“Wonu-ah ....” Hani memotong lembut. Suaranya lirih.
“Bolehkah aku memelukmu?” Lanjutnya. Bibirnya bergetar.
Merasa tak butuh jawaban dari Wonu, perempuan itu bergerak, mendekati lelaki yang masih mematung tersebut, lalu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya. 
Ia hanya ingin memeluk Wonu. Itu saja.

Dan akhirnya, tangis perempuan itu pecah ketika ia merasakan kedua lengan Wonu melingkari tubuhnya, balas memeluknya.

***

Hani membantu Wonu berkemas-kemas. Ia juga ikut mengantarkan lelaki itu pulang ke rumah.
Kedua orang tua Wonu sudah lama meninggal. Jadi selama ini ia tetap tinggal di rumah lama mereka bersama kak Im Na dan keluarganya.
“Rumahnya masih sama kok. Hanya ada perbaikan kecil-kecilan. Mau mampir?” Wonu menawarkan sesaat setelah mereka turun dari taksi. Sementara kak Im Na dan suaminya sudah terlebih dahulu masuk ke rumah membawa barang-barang Wonu.
Hani mengangguk dengan antusias. “Tak mengganggu istirahatmu ‘kan?”
Wonu menggeleng dan menyilakan perempuan cantik itu masuk ke rumah. Awalnya ia hanya ingin mengantar sampai ruang tamu. Tapi karena Wonu harus segera pergi ke kamarnya untuk beristirahat, ia pun mengikutinya.

“Anggap saja rumah sendiri. Toh dulu kau juga sering ke sini ‘kan?” Kak Im Na muncul dari balik pintu sambil membawa 2 botol air mineral.
“Mian, hanya ada air putih.” Ujarnya lagi. Hani tersenyum. “Gomawo Eonni.” Jawabnya.
Kak Im Na tersenyum seraya beranjak meninggalkan mereka berdua di kamar Wonu.

Wonu duduk di pinggir ranjang sementara Hani sibuk berkeliling kamar, melihat-lihat seisi ruangan.
“Kamarnya juga masih sama. Tak ada yang berubah.” Wonu membuka suara.
Hani tak menjawab. Ia terlalu sibuk melihat seisi kamar. Dan ia takjub dengan apa yang dilihatnya.
Kamar itu memang masih sama seperti yang pernah ia datangi beberapa tahun yang lalu. Tempat tidur, perabot, rak buku, koleksi CD musik, bahkan pajangan gitar di dinding, semuanya masih sama. Dan ia juga masih bisa menemukan foto dirinya!
Berdua dengan Wonu, mengenakan seragam SMA. Foto itu terpajang rapi di meja dekat tempat tidur. Tak hanya itu saja, Ia juga bisa menemukan beberapa foto dirinya, ada yang sendiri, ada pula yang berdua dengan Wonu, terpajang di dinding kamarnya yang berwarna hijau cerah.

“Aku tak bisa membuang foto-fotomu. Mian.” Wonu membuka suara.
“Lagipula aku tak punya alasan untuk membuangnya. Foto-foto itu sudah menjadi bagian dari tempat ini.” Lanjutnya.
Tatapan Hani bergerak lagi. Kali ini menangkap sebuah pigura berukuran sekitar 120 cm x 90 cm. Pigura itu tidak berisi foto, tapi sebuah tulisan.

------  Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan sukarela ...... -----------

“Dari Novel?” Hani menggumam setelah selesai membaca tulisan tersebut. Tatapan matanya tak bergerak dari tulisan itu.
“Ya. Aku mengutipnya dari novel kesukaanmu.” Jawab Wonu. Hani merasakan dadanya berdebar.
“Aku juga masih menyimpan semua barang-barang pemberianmu. Ada di lemari. Semuanya di situ.” Lelaki itu menunjuk ke arah lemari unik di dekat rak buku.
Hani menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Dan lelaki berhidug mancung itu hanya mengangguk, mengiyakan. Dan tanpa menunggu lama, Hani bergerak mendekati lemari, membukanya dengan perlahan, dan segera matanya menatap serangkaian benda-benda yang begitu ... bermakna.

Ia ingat semuanya.
Beberapa potong baju, sebuah sweater warna indigo, jaket berkerudung dengan tulisan Liverpool, topi, dan beberapa barang sepele semacam gantungan kunci dan peralatan sekolah. Ya, semua itu Hani-lah yang memberikannya.
Rasa takjubnya tak berhenti di situ karena ia juga masih bisa menemukannya, semua surat-surat cinta mereka, ada di kotak terbuka di rak paling bawah.

“Kau juga masih menyimpan surat-surat ini rupanya?” Hani berujar tanpa melihat ke arah Wonu. Ia berlutut, menyapukan jemarinya di surat-surat tersebut. Seolah mereka adalah benda-benda paling lembut yang pernah ia temui.
“Ya. Aku sudah bilang ‘kan? Selain karena aku tak punya alasan untuk membuangnya, benda-benda itu juga sangat berharga buatku. Benda-benda itu milikku, dan aku berniat untuk merawatnya.” Jawab Wonu tegas.

Hani menggigit bagian dalam bibirnya. Perasaannya campur aduk. Terharu, putus asa.
Beberapa waktu yang lalu ia telah berbicara dengan Kak Im Na. Dan perempuan itu menceritakan segalanya. Menceritakan bahwa selama ini, Wonu tak pernah bisa melupakan dirinya. Bahkan ketika Hani menghilang begitu saja,  laki-laki itu tetap memikirkannya, merindukannya, mencintainya. Dan perasaan itu tak pernah berubah, sedikitpun.
Awalnya Hani tak percaya. Tapi sekarang, dengan melihat apa yang telah Wonu lakukan dengan kenangan-kenangan mereka, ia tak sanggup menghindar lagi!
           
Perempuang itu bangkit, berbalik, lalu menatap Wonu dengan lekat. “Wonu-ah ...” panggilnya. Suaranya serak. “Apa kau masih mencintaiku?”
Wonu tertegun. Tatapan matanya kaget bercampur bingung. Tak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan langsung seperti itu.
Perlahan lelaki itu menarik nafas panjang.
“Hani-ah, aku tahu ini tak penting lagi untuk dibicarakan karena sebentar lagi kau akan menikah. Tapi, umurku tak panjang lagi. Jadi aku tak akan berbohong padamu.  Jika kau bertanya apakah aku masih mencintaimu, maka aku akan menjawab : ya.”  Ia menjawab tegas.

Mendengar jawaban itu, kedua mata Hani berkaca-kaca. Ia terdiam, sabar menunggu kalimat Wonu selanjutnya.
“Sebentar lagi aku mati, Hani-ah. Jadi aku tak ingin menyembunyikan apa-apa darimu, atau dari siapapun. Dari dulu hingga sekarang, aku selalu mencintaimu. And ...  always it’s you.”
Hani menatap lurus ke mata Wonu. Dan ia bisa melihat bahwa mata bening itu juga berkaca-kaca.
“Kamar ini ...” Lelaki itu membentangkan tangannya ke arah seisi kamarnya. “ ... akan terus seperti ini. Aku sudah meminta secara khusus pada Nuna agar membiarkan kamar ini seperti ini, bahkan jika diriku sudah tiada. Permintaan ini mungkin terdengar aneh. Tapi kakakku bersedia menyanggupinya. Yaa ... anggap saja permintaan terakhir dari seseorang yang akan segera menjemput ajal.” Ia tersenyum getir.
“Jadi untuk kedepannya, foto-fotomu, semua barang pemberianmu, juga akan tetap berada di sini, seperti semula. Ku harap kau tak marah.” Lelaki itu menjelaskan.
Hani menelan ludah.
“Kalau begitu, apa yang ingin kau minta dariku?” Suaranya bergetar.
“Hm?” Wonu mengernyitkan dahinya. Tak mengerti.
“Jika kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani mengulangi pertanyaannya.
Wonu terdiam sesaat.
“Kau.” Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia melanjutkan.

Dan ...
Hani beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya lirih.
Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.

***

Bersambung ....

P.S.
Kutipan novel dari Supernova – Dee.