Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Always It's You #2



Hani tiba di taman jam 3 lebih 10 menit. Dan ia menyaksikan sosok itu sudah ada di sana. Mengenakan baju kasual dan topi rajut, duduk di salah satu bangku dengan begitu elegan. Tatapan matanya menatap ke arah beberapa anak yang tengah asyik bermain jungkat-jungkit. Sesekali ia tersenyum. Tenang.

Hani menggigit bibir. Lelaki itu tetap saja memancarkan aura ketampanan yang luar biasa. Dia tahu bahwa Wonu sudah ganteng sejak SMA. Tapi sekarang, ketampanannya seakan berlipat ganda.
Hati Hani berdesir.
Ayolah, Hani. Lelaki itu sudah menikah dan punya anak! Dan kau sudah bertunangan. Perempuan itu seakan mengingatkan dirinya sendiri. Berharap bahwa itu akan menghilangkan pesona Wonu, berharap bahwa itu akan menghilangkan getar-getar cinta yang – sepertinya – masih ia rasakan pada sosok pria yang berada beberapa meter darinya.

Hani menarik nafas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mendekati Wonu.
“Hai.” Ia menyapa duluan. Wonu mendongak. Mata beningnya yang indah menyipit sesaat, lalu senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang masih saja menawan. Hani kembali memuji dalam hati.
“Hai.” Lelaki itu menjawab dan serta merta menggeser posisi duduknya. Hani balas tersenyum dan duduk di samping pria itu. “Sudah lama?” Ia bertanya.
“Lumayan.” Jawab Wonu.
“Anakmu tak ikut?” Hani bertanya dengan sedikit gugup.
“Tidak.” Jawaban itu pendek.
Keduanya berpandangan sesaat, lalu membuang tatapan mereka masing-masing ke arah yang berlawanan. Situasi sedikit kikuk. Lebih kikuk dari yang kemarin.
“Setiap sore aku sering ke taman ini. Terasa tenang saja.” Wonu membuka suara, berniat mencairkan suasana. Hani manggut-manggut.
“Berapa lama kau berencana ada di Korea?” Perempuan mungil itu menyilangkan kakinya, mencoba lebih rileks. Ia menatap ke arah segerombolan anak muda yang bermain skate board.
“Selamanya.”
Jawaban Wonu membuat Hani menoleh ke arahnya. “Kau tak berencana balik ke luar negeri? Lalu pekerjaanmu?” Serta merta ia bertanya antusias.
Wonu mengangkat bahu.
“Aku sudah mengundurkan diri.  Ada alasan pribadi yang mengharuskan aku untuk pulang ke sini, selamanya.” Jawabnya. “Mm, alasan keluarga.” Lanjutnya.
Pasti karena ia tak mau berjauhan dengan anak dan istrinya, Hani berpikir.
“Ceritakan tentang dirimu.”
“Hm?” Hani  menatap lelaki tersebut dengan bingung.
“Ceritakan tentang dirimu. Maksudku, kau kemana saja setelah pindah dari Chanwon? Aku tahu pertanyaan ini terdengar tak sopan, tapi ... aku benar-benar ingin tahu tentang dirimu setelah sekian tahun berlalu.”
Mereka berpandangan sesaat.
Hani berdehem lalu kembali membuang pandangannya ke arah lain.
“Well, tak ada yang istimewa. Setelah pindah ke Seoul, aku melanjutkan sekolah, aku kuliah, lalu bekerja. Dan beberapa tahun kemudian aku bertemu seseorang, dan kami memutuskan untuk menikah. Begitu saja.”
“Siapa nama calon suamimu?”
“Dojun. Kim Dojun.” Hani menjawab cepat.
“Dia ... pilihanmu sendiri?” Pertanyaan Wonu terdengar ragu. Tapi Hani tak terkejut mendengar ia menanyakan hal itu. Sepertinya wajar saja ia menanyakan perihal pilihan hidupnya setelah apa yang mereka alami ketika SMA.

“Sebenarnya orang tua kami yang mempertemukan kami. Tapi tidak ada paksaan sama sekali. Keputusan untuk menjalankan suatu hubungan yang lebih serius, itu pilihan kami. Dia mencintaiku, aku mencintainya, dan begitulah, kami memutuskan menikah.” Hani menjelaskan dengan bahasa sesederhana yang ia bisa. “Kau sendiri? Ceritakan tentang kehidupanmu.” Kali ini ia yang bertanya pada Wonu. Lelaki itu tersenyum.
“Sama sepertimu. Semua berjalan biasa saja. Setelah tamat SMA aku kuliah, aku bekerja, lalu bertemu seseorang, kemudian menikah dan punya anak.” Ia menjawab.
Keduanya manggut-manggut.
“Aku berharap kau bisa datang ke pernikahanku. Itupun kalau kau tak repot.” Ujar Hani.
Wonu tersenyum dan mengangguk. “Akan ku usahakan. Diselenggarakan di Seoul?”
Kali ini Hani yang mengangguk. Tapi ia yakin Wonu hanya berbasa-basi. Ia yakin lelaki itu tak berniat datang ke pesta pernikahannya.
“Hani-ah ... Aku ingin menanyakan sesuatu hal padamu.”
Kalimat Wonu terdengar lirih. Hati Hani berdesir.
Hani-ah... Wonu memanggilnya Hani-ah...
Sebuah panggilan yang manis, lembut, penuh kasih. Sebuah panggilan yang menandakan bahwa mereka pernah sangat dekat.

“Apakah aku telah berbuat salah padamu?”
Pertanyaan yang meluncur dari mulut Wonu membuat Hani tercengang. “Maksudmu?”
Lelaki itu tak segera menjawab.
“Waktu itu kau pergi. Kau meninggalkanku, begitu saja. Begitu saja, Hani-ah. Kau menghilang seperti ditelan bumi hingga aku tak bisa menemukanmu. Setelah kau pergi, aku berusaha mencarimu. Tapi ... kau lenyap.” Ia menelan ludah.
“Dan aku terus bertanya-tanya, apa yang telah kulakukan padamu? Apakah aku telah menyakitimu hingga kau pergi dariku? Aku tahu bahwa orang tuamu tidak menyukaiku. Tapi setidaknya, bukankah aku layak mendapat penjelasan darimu?”
Tenggorokan Hani terasa kering. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan penuh penyesalan.
“Maafkan aku, Wonu.” Akhirnya kalimat itu yang keluar terlebih dahulu. “Maafkan aku.” Ia mengulanginya lagi.
“Aku memang berutang penjelasan padamu. Dan ....” Ia menggeleng. “Kau tak salah. Kau tak menyakitiku. Justru akulah yang telah melukaimu dengan meninggalkanmu begitu saja.” Lanjutnya. Hani menunduk sebentar hanya untuk mengerjapkan matanya yang berair.
“Kau benar. Ayahku memang tak menyukaimu. Ia menyuruhku meninggalkanmu, dan aku menurutinya. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena ... aku pergi begitu saja.”
Hanya sebatas itu. Hanya sebatas itu yang Hani mampu katakan.
Sebelum ke taman tadi sebenarnya ia sudah menyusun serangkaian kalimat panjang yang ingin ia utarakan pada Wonu sebagai ungkapan maaf. Tapi semua seakan menguap begitu saja sehingga yang tersisa hanyalah secuil kata-kata tersebut.
Ia juga tak sanggup menatap mata Wonu. Ia takut.
Ia takut bahwa mata yang senantiasa menatap dengan penuh kehangatan itu akan berubah tajam dan penuh amarah.

Hani mendengar Wonu menarik nafas pelan. Hening sesaat.
“Sekarang aku lega.” Ucapnya. “Aku lega karena kau sudah menjelaskan segalanya padaku.” Ucapnya.
“Kau membenciku?” tanya Hani spontan. Dan mereka kembali beradu pandang.
Perempuan itu takjub. Karena sepasang mata teduh milik Wonu ternyata tetap memandang dirinya dengan hangat.
“Aku tak bisa membencimu, Hani-ah.” Jawab Wonu.
“Aku tak mungkin bisa membencimu karena kau adalah satu-satunya perempuan yang ...” Tiba-tiba kalimatnya terhenti. Seolah kalimat selanjutnya akan menjadi sebuah dosa hingga lelaki itu harus menghentikannya.
Hani mematung. Tidak. Tidak mungkin Wonu masih merasakan perasaan yang sama dengannya .... Tidak mungkin bahwa ....

Cepat-cepat perempuan itu bangkit. Ada yang tidak benar di sini!
Jika ia terus berada di sisi lelaki itu, pertahanannya akan goyah. Lelaki itu sudah menikah, dan ia sendiri juga akan menikah. Jadi ...
“Hani-ah...?” Wonu memanggil lirih, heran karena perempuan itu bangkit dengan tiba-tiba.
“Maaf, Wonu-ssi.” Sikap sopannya terdengar berlebihan.
“Aku harus pergi dulu. Aku lupa kalau hari ini aku juga ada janji dengan seorang kawan lama.” Dengan gugup Hani berbalik dan beranjak.
“Hani-ah....” Wonu kembali memanggil namanya dengan lembut. Kali ini lelaki itu juga bangkit. Meski ia tak berusaha mengejar, tapi panggilan itu cukup untuk membuat langkah Hani terhenti. Perempuan itu berbalik dan kembali menatap Wonu dengan tatapan syarat emosi yang tertahan.
“Aku lega kau baik-baik aja.” Ucap Wonu lagi.
“A-aku juga lega kau baik-baik aja.” Hani mengangguk dan menjawab dengan gugup.
“Terima kasih kau mau menjelaskan sedikit kesalah pahaman di antara kita. Dan ... terima kasih karena kau mau menemuiku hari ini.” Wonu melanjutkan kalimatnya. “Aku senang.” Lelaki itu tersenyum.

Hani menggigit bibir frustasi lalu kambali mengangguk. “Aku juga senang.” Jawabnya.
“Untuk pernikahanmu, maaf, sepertinya aku tak bisa datang.” Kali ini kalimat Wonu lirih. Ia memasukkan tangannya ke saku celana dengan canggung. Sementara Hani juga sibuk meremas-remas tali tas-nya dengan canggung pula. Ia tersenyum kaku lalu mengangguk lagi.
“Tak apa-apa. Aku tahu kau sibuk.” Jawabnya. “Well, sepertinya aku harus pergi ...”
“Ya, pergilah. Mungkin temanmu sudah menunggu. Hati-hati.”
“Kau juga, hati-hati pulangnya nanti.”
“Oke.”
“Oke.”
Keduanya saling melempar senyum. Kemudian dengan segera Hani berbalik dan melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Meninggalkan taman, menyeberang jalan, berjalan begitu saja tanpa tahu arah mana yang ia tuju.
Ia hanya tahu bahwa ia harus segera menyingkir dari sini, dari dekat Wonu.
Lelaki itu ibarat magnet, dan ia takut tertarik lagi ke arahnya. Karena jika ia sampai tertarik lagi, ia takkan pernah bisa menyelamatkan diri dari pesonanya. Takkan bisa.
Sambil merutuk dalam hati, Hani terus melangkah. Ketika sampai di ujung jalan, dekat dengan perempatan lampu merah, tiba-tiba saja kaki mungilnya terperosok ke sebuah lubang kecil di dekat trotoar dan tubuhnya terjerembab. Ia memekik ketika selanjutnya ia merasakan kepalanya menghantam pot pinggir jalan!

***  

Hani mematut bayangannya di cermin yang berada di kamar mandi rumah sakit. Perban selebar 4 centi menempel di kening sebelah kiri.
Kemarin, setelah ia mengalami kecelakaan kecil, jatuh terjerembab di trotoar dengan kening menghantam ke pot bunga, ia segera pergi ke rumah sakit. Dan alhasil, ia harus menerima 3 jahitan.

Sebenarnya hari ini belum waktunya kontrol. Tapi ia memang sengaja datang ke  Rumah Sakit dan menemui dokter. Ia tak sabar untuk meminta pada dokter agar memberinya obat terbaik, berapapun harganya, demi bisa mempercepat proses penyembuhan lukanya. Dan lebih penting lagi, menghilangkan bekas luka jahitan di keningnya. Beberapa minggu lagi ia akan menikah, dan ia tak mau menikah dengan bekas jahitan di kening. Terlebih lagi, ia tak mau capek-capek memberikan penjelasan perihal kecelakaan kecil yang ia alami kepada Dojun kalau dia pulang nanti.
Ketika Dojun kembali dari perjalanan bisnisnya, lukanya harus sembuh, seratus persen. Titik!

Tapi dokter bilang, Hani tak memerlukan obat khusus. Luka yang ia alami termasuk ringan. Dan ia memastikan, luka itu akan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka yang berarti, saat ia menikah nanti.
“Semoga kau bisa dipercaya, dok.” Ia mendesis seraya merapikan rambutnya lalu beranjak keluar. Ia berniat kembali ke hotel.

Perempuan itu sampai di halaman Rumah Sakit dan berniat memanggil taksi ketika tatapan matanya menangkap sesosok perempuan yang tengah bermain-main di taman dengan seorang anak kecil. Wajah mereka familiar. Perempuan itu, dan juga anak kecil yang bersamanya.
Lama Hani termangu, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tak salah lihat. Dan ia memang benar. Perempuan itu Jeon Im Na, kakak perempuan Wonu. Dan balita yang bersamanya adalah anak Wonu.
“Eonni!” Hani menyapa tanpa ragu seraya melangkah mendekati perempuan tersebut. Yang dipanggil namanya menoleh, menatap Hani sesaat, lalu tersenyum sumringah.
“Hani-ah?” Ia memastikan. Hani mengangguk. Dan segera keduanya berpelukan. Tak aneh jika mereka terlihat akrab, karena dulu ketika Hani masih menjadi pacar Wonu, ia sering bermain ke rumahnya dan bertemu dengan Kakak perempuannya. Hubungan di antara mereka terjalin dengan sangat baik. Perempuan cantik itu bahkan sudah menganggap Hani sebagai adik sendiri.
           
“Omo, lama tak bertemu kau makin cantik saja. Kudengar kau di Seoul.” Ucap kak Im Na seraya meremas bahu Hani dengan gemas. Hani mengangguk.
“Aku ke sini hanya untuk berkunjung saja, eonni. Beberapa hari lagi aku akan kembali ke Seoul.” Jawabnya.
“Keningmu ...” Kak Im Na menunju kening Hani yang diperban. Hani terkekeh. “Gwaencana. Hanya kecelakaan kecil” Jawabnya.
“Eonni sendiri, untuk apa di sini?”
Kak Im Na belum sempat menjawab ketika balita perempuan itu bergelayut rewel di kakinya. Hani berjongkok dan menyapa anak kecil itu dengan gemas.
“Annyeong ... ” Ia menggapai tubuh mungil itu dengan kedua lengannya. Dan di luar dugaan, balita mungil itu menurut untuk berada di gendongan Hani. Kak  Im Na tertawa.
“Padahal kalian ‘kan baru bertemu, kenapa dia mau kau gendong? Biasanya dia rewel dengan orang yang baru ia temui,” ujarnya.
Hani tersenyum. “Aku sudah bertemu dengannya kok, eonni. Beberapa yang hari yang lalu di taman, dengan ayahnya.” Ia menjawab ragu. Kak Im Na mengernyit.
“Kau bertemu dengan suamiku?”
Hani menggeleng. “Oh, bukan. Aku bertemu dengannya dan Wonu.” Jawabnya cepat.
Kak Im Na kembali mengernyit. “Wonu?”
Hani mengangguk. “Dia anaknya Wonu ‘kan?” ucap perempuan itu lagi.
Sesaat kemudian kak Im Na tertawa. “Ah, kau pasti dikerjai oleh Wonu.” Ujarnya.
Hani mengernyit. “Maksudnya?”

Kak Im Na kembali tertawa lirih. “Wonu belum menikah, bagaimana mungkin dia punya anak. Dan si kecil ini ___” ia menunju anak kecil di gendongan Hani. “Dia anakku.” Lanjutnya.
Hani terperangah. Untuk sesaat ia masih nampak bingung. Tapi sekian detik kemudian ia tertawa.
Ah, bagaimana ia bisa lupa? Wonu lelaki pendiam, tapi terkadang ia  gemar sekali bercanda.
Dulu ketika mereka masih berpacaran, lelaki itu suka sekali menggodanya.
 Entah itu dengan berpura-pura marah, kemudian ujung-ujungnya memberinya hadiah. Mengatakan ia tak bisa menemaninya nonton konser musik, tapi tiba-tiba kemudian  ia muncul di hadapannya dengan cengengesan sambil bilang ‘Saranghe’. Ah, Wonu-ah ....

Kak Im Na tersenyum. “Sini sayang...” Perempuan berumur sekitar 37 tahun itu meraih putri kecilnya dari gendongan Hani.
“Oh iya, untuk apa eonni di sini? Siapa yang sedang sakit?” Hani menjumput untaian rambut anak kak Im Na lalu menyelipkan ke belakang telinganya.
“Kemarin Wonu drop lagi. Jadi dia harus dirawat. Dokter bilang ...”
“Siapa yang drop?” Hani memotong cepat.
Kak Im Na menatapnya, terlihat bingung. Merasa keceplosan.
“Wonu ...? Kenapa ... ?” Hani seperti meminta penegasan. Kak Im Na terdiam sesaat.
“Jadi kau belum tahu?” Ia bertanya ragu. Hani menggeleng pelan.
Kak Im Na melihat sekeliling. Ia memanggil seorang lelaki seumuran dirinya yang berada di depan pintu masuk. Lelaki itu melangkah ke arahnya.
“Yeobo, ajak dia jalan-jalan dulu sebentar ya.” Kak Im Na menyerahkan putrinya kepada lelaki tersebut, yang ternyata adalah suaminya. Setelah itu mereka bermain di sisi taman yang satunya.         
Hani masih nampak kebingungan dengan keadaan tersebut. Hingga kak Im Na merangkul pundaknya lalu mengajaknya duduk di bangku  yang berada di dekat mereka. Perempuan itu nampak ragu untuk membuka suara.
“Eonni ...” Hani memanggil lirih. Seakan tak sabar untuk mendengar penjelasan selanjutnya.
Kak Im Na menarik nafas berat sebelum berkata.
“Wonu sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Hani terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Dia sudah menjalani kemo dan beberapa kali operasi. Tapi, tak berjalan baik. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Jadi ... Wonu memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ... pergi dengan tenang.” Kak Im Na menelan ludah. Kalimatnya seperti tertahan.
Hani merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.
“Obat yang diberikan dokter hanya bersifat sementara. Itu hanya untuk memperpanjang hidupnya selama ... beberapa bulan saja.” Kali ini kedua mata kak Im Na nampak berkaca-kaca. Namun perempuan itu nampak tegar.
Tapi tidak bagi Hani. Perempuan itu tampak terpukul. Air matanya sudah mengalir deras, sejak beberapa detik yang lalu.
***
Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar