Hani
tiba di taman jam 3 lebih 10 menit. Dan ia menyaksikan sosok itu sudah ada di
sana. Mengenakan baju kasual dan topi rajut, duduk di salah satu bangku dengan
begitu elegan. Tatapan matanya menatap ke arah beberapa anak yang tengah asyik
bermain jungkat-jungkit. Sesekali ia tersenyum. Tenang.
Hani
menggigit bibir. Lelaki itu tetap saja memancarkan aura ketampanan yang luar
biasa. Dia tahu bahwa Wonu sudah ganteng sejak SMA. Tapi sekarang,
ketampanannya seakan berlipat ganda.
Hati
Hani berdesir.
Ayolah, Hani. Lelaki itu sudah menikah
dan punya anak! Dan kau sudah bertunangan. Perempuan itu seakan mengingatkan dirinya sendiri. Berharap bahwa itu
akan menghilangkan pesona Wonu, berharap bahwa itu akan menghilangkan
getar-getar cinta yang – sepertinya – masih ia rasakan pada sosok pria yang
berada beberapa meter darinya.
Hani
menarik nafas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mendekati Wonu.
“Hai.”
Ia menyapa duluan. Wonu mendongak. Mata beningnya yang indah menyipit sesaat,
lalu senyum tersungging di bibirnya. Senyum
yang masih saja menawan. Hani kembali memuji dalam hati.
“Hai.”
Lelaki itu menjawab dan serta merta menggeser posisi duduknya. Hani balas
tersenyum dan duduk di samping pria itu. “Sudah lama?” Ia bertanya.
“Lumayan.”
Jawab Wonu.
“Anakmu
tak ikut?” Hani bertanya dengan sedikit gugup.
“Tidak.”
Jawaban itu pendek.
Keduanya
berpandangan sesaat, lalu membuang tatapan mereka masing-masing ke arah yang
berlawanan. Situasi sedikit kikuk. Lebih kikuk dari yang kemarin.
“Setiap
sore aku sering ke taman ini. Terasa tenang saja.” Wonu membuka suara, berniat
mencairkan suasana. Hani manggut-manggut.
“Berapa
lama kau berencana ada di Korea?” Perempuan mungil itu menyilangkan kakinya,
mencoba lebih rileks. Ia menatap ke arah segerombolan anak muda yang bermain
skate board.
“Selamanya.”
Jawaban
Wonu membuat Hani menoleh ke arahnya. “Kau tak berencana balik ke luar negeri?
Lalu pekerjaanmu?” Serta merta ia bertanya antusias.
Wonu
mengangkat bahu.
“Aku
sudah mengundurkan diri. Ada alasan
pribadi yang mengharuskan aku untuk pulang ke sini, selamanya.” Jawabnya. “Mm,
alasan keluarga.” Lanjutnya.
Pasti karena ia tak mau berjauhan dengan
anak dan istrinya, Hani berpikir.
“Ceritakan
tentang dirimu.”
“Hm?”
Hani menatap lelaki tersebut dengan
bingung.
“Ceritakan
tentang dirimu. Maksudku, kau kemana saja setelah pindah dari Chanwon? Aku tahu
pertanyaan ini terdengar tak sopan, tapi ... aku benar-benar ingin tahu tentang
dirimu setelah sekian tahun berlalu.”
Mereka
berpandangan sesaat.
Hani
berdehem lalu kembali membuang pandangannya ke arah lain.
“Well,
tak ada yang istimewa. Setelah pindah ke Seoul, aku melanjutkan sekolah, aku
kuliah, lalu bekerja. Dan beberapa tahun kemudian aku bertemu seseorang, dan
kami memutuskan untuk menikah. Begitu saja.”
“Siapa
nama calon suamimu?”
“Dojun.
Kim Dojun.” Hani menjawab cepat.
“Dia
... pilihanmu sendiri?” Pertanyaan Wonu terdengar ragu. Tapi Hani tak terkejut
mendengar ia menanyakan hal itu. Sepertinya wajar saja ia menanyakan perihal
pilihan hidupnya setelah apa yang mereka alami ketika SMA.
“Sebenarnya
orang tua kami yang mempertemukan kami. Tapi tidak ada paksaan sama sekali.
Keputusan untuk menjalankan suatu hubungan yang lebih serius, itu pilihan kami.
Dia mencintaiku, aku mencintainya, dan begitulah, kami memutuskan menikah.”
Hani menjelaskan dengan bahasa sesederhana yang ia bisa. “Kau sendiri?
Ceritakan tentang kehidupanmu.” Kali ini ia yang bertanya pada Wonu. Lelaki itu
tersenyum.
“Sama
sepertimu. Semua berjalan biasa saja. Setelah tamat SMA aku kuliah, aku bekerja,
lalu bertemu seseorang, kemudian menikah dan punya anak.” Ia menjawab.
Keduanya
manggut-manggut.
“Aku
berharap kau bisa datang ke pernikahanku. Itupun kalau kau tak repot.” Ujar
Hani.
Wonu
tersenyum dan mengangguk. “Akan ku usahakan. Diselenggarakan di Seoul?”
Kali
ini Hani yang mengangguk. Tapi ia yakin Wonu hanya berbasa-basi. Ia yakin
lelaki itu tak berniat datang ke pesta pernikahannya.
“Hani-ah
... Aku ingin menanyakan sesuatu hal padamu.”
Kalimat
Wonu terdengar lirih. Hati Hani berdesir.
Hani-ah... Wonu memanggilnya Hani-ah...
Sebuah
panggilan yang manis, lembut, penuh kasih. Sebuah panggilan yang menandakan
bahwa mereka pernah sangat dekat.
“Apakah
aku telah berbuat salah padamu?”
Pertanyaan
yang meluncur dari mulut Wonu membuat Hani tercengang. “Maksudmu?”
Lelaki
itu tak segera menjawab.
“Waktu
itu kau pergi. Kau meninggalkanku, begitu saja. Begitu saja, Hani-ah. Kau menghilang seperti ditelan bumi hingga
aku tak bisa menemukanmu. Setelah kau pergi, aku berusaha mencarimu. Tapi ... kau
lenyap.” Ia menelan ludah.
“Dan
aku terus bertanya-tanya, apa yang telah kulakukan padamu? Apakah aku telah
menyakitimu hingga kau pergi dariku? Aku tahu bahwa orang tuamu tidak
menyukaiku. Tapi setidaknya, bukankah aku layak mendapat penjelasan darimu?”
Tenggorokan
Hani terasa kering. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan penuh penyesalan.
“Maafkan
aku, Wonu.” Akhirnya kalimat itu yang keluar terlebih dahulu. “Maafkan aku.” Ia
mengulanginya lagi.
“Aku
memang berutang penjelasan padamu. Dan ....” Ia menggeleng. “Kau tak salah. Kau
tak menyakitiku. Justru akulah yang telah melukaimu dengan meninggalkanmu
begitu saja.” Lanjutnya. Hani menunduk sebentar hanya untuk mengerjapkan
matanya yang berair.
“Kau
benar. Ayahku memang tak menyukaimu. Ia menyuruhku meninggalkanmu, dan aku
menurutinya. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena ... aku pergi
begitu saja.”
Hanya
sebatas itu. Hanya sebatas itu yang Hani mampu katakan.
Sebelum
ke taman tadi sebenarnya ia sudah menyusun serangkaian kalimat panjang yang
ingin ia utarakan pada Wonu sebagai ungkapan maaf. Tapi semua seakan menguap
begitu saja sehingga yang tersisa hanyalah secuil kata-kata tersebut.
Ia
juga tak sanggup menatap mata Wonu. Ia takut.
Ia
takut bahwa mata yang senantiasa menatap dengan penuh kehangatan itu akan
berubah tajam dan penuh amarah.
Hani
mendengar Wonu menarik nafas pelan. Hening sesaat.
“Sekarang
aku lega.” Ucapnya. “Aku lega karena kau sudah menjelaskan segalanya padaku.”
Ucapnya.
“Kau
membenciku?” tanya Hani spontan. Dan mereka kembali beradu pandang.
Perempuan
itu takjub. Karena sepasang mata teduh milik Wonu ternyata tetap memandang
dirinya dengan hangat.
“Aku
tak bisa membencimu, Hani-ah.” Jawab Wonu.
“Aku
tak mungkin bisa membencimu karena kau adalah satu-satunya perempuan yang ...”
Tiba-tiba kalimatnya terhenti. Seolah kalimat selanjutnya akan menjadi sebuah
dosa hingga lelaki itu harus menghentikannya.
Hani
mematung. Tidak. Tidak mungkin Wonu masih
merasakan perasaan yang sama dengannya .... Tidak mungkin bahwa ....
Cepat-cepat
perempuan itu bangkit. Ada yang tidak benar di sini!
Jika
ia terus berada di sisi lelaki itu, pertahanannya akan goyah. Lelaki itu sudah
menikah, dan ia sendiri juga akan menikah. Jadi ...
“Hani-ah...?”
Wonu memanggil lirih, heran karena perempuan itu bangkit dengan tiba-tiba.
“Maaf,
Wonu-ssi.” Sikap sopannya terdengar berlebihan.
“Aku
harus pergi dulu. Aku lupa kalau hari ini aku juga ada janji dengan seorang
kawan lama.” Dengan gugup Hani berbalik dan beranjak.
“Hani-ah....”
Wonu kembali memanggil namanya dengan lembut. Kali ini lelaki itu juga bangkit.
Meski ia tak berusaha mengejar, tapi panggilan itu cukup untuk membuat langkah Hani
terhenti. Perempuan itu berbalik dan kembali menatap Wonu dengan tatapan syarat
emosi yang tertahan.
“Aku
lega kau baik-baik aja.” Ucap Wonu lagi.
“A-aku
juga lega kau baik-baik aja.” Hani mengangguk dan menjawab dengan gugup.
“Terima
kasih kau mau menjelaskan sedikit kesalah pahaman di antara kita. Dan ...
terima kasih karena kau mau menemuiku hari ini.” Wonu melanjutkan kalimatnya.
“Aku senang.” Lelaki itu tersenyum.
Hani
menggigit bibir frustasi lalu kambali mengangguk. “Aku juga senang.” Jawabnya.
“Untuk
pernikahanmu, maaf, sepertinya aku tak bisa datang.” Kali ini kalimat Wonu
lirih. Ia memasukkan tangannya ke saku celana dengan canggung. Sementara Hani
juga sibuk meremas-remas tali tas-nya dengan canggung pula. Ia tersenyum kaku
lalu mengangguk lagi.
“Tak
apa-apa. Aku tahu kau sibuk.” Jawabnya. “Well, sepertinya aku harus pergi ...”
“Ya,
pergilah. Mungkin temanmu sudah menunggu. Hati-hati.”
“Kau
juga, hati-hati pulangnya nanti.”
“Oke.”
“Oke.”
Keduanya
saling melempar senyum. Kemudian dengan segera Hani berbalik dan melangkahkan
kakinya dengan tergesa-gesa. Meninggalkan taman, menyeberang jalan, berjalan
begitu saja tanpa tahu arah mana yang ia tuju.
Ia
hanya tahu bahwa ia harus segera menyingkir dari sini, dari dekat Wonu.
Lelaki
itu ibarat magnet, dan ia takut tertarik lagi ke arahnya. Karena jika ia sampai
tertarik lagi, ia takkan pernah bisa menyelamatkan diri dari pesonanya. Takkan
bisa.
Sambil
merutuk dalam hati, Hani terus melangkah. Ketika sampai di ujung jalan, dekat
dengan perempatan lampu merah, tiba-tiba saja kaki mungilnya terperosok ke
sebuah lubang kecil di dekat trotoar dan tubuhnya terjerembab. Ia memekik
ketika selanjutnya ia merasakan kepalanya menghantam pot pinggir jalan!
***
Hani
mematut bayangannya di cermin yang berada di kamar mandi rumah sakit. Perban
selebar 4 centi menempel di kening sebelah kiri.
Kemarin,
setelah ia mengalami kecelakaan kecil, jatuh terjerembab di trotoar dengan
kening menghantam ke pot bunga, ia segera pergi ke rumah sakit. Dan alhasil, ia
harus menerima 3 jahitan.
Sebenarnya
hari ini belum waktunya kontrol. Tapi ia memang sengaja datang ke Rumah Sakit dan menemui dokter. Ia tak sabar
untuk meminta pada dokter agar memberinya obat terbaik, berapapun harganya,
demi bisa mempercepat proses penyembuhan lukanya. Dan lebih penting lagi,
menghilangkan bekas luka jahitan di keningnya. Beberapa minggu lagi ia akan
menikah, dan ia tak mau menikah dengan bekas jahitan di kening. Terlebih lagi,
ia tak mau capek-capek memberikan penjelasan perihal kecelakaan kecil yang ia
alami kepada Dojun kalau dia pulang nanti.
Ketika
Dojun kembali dari perjalanan bisnisnya, lukanya harus sembuh, seratus persen.
Titik!
Tapi
dokter bilang, Hani tak memerlukan obat khusus. Luka yang ia alami termasuk
ringan. Dan ia memastikan, luka itu akan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka
yang berarti, saat ia menikah nanti.
“Semoga
kau bisa dipercaya, dok.” Ia mendesis seraya merapikan rambutnya lalu beranjak
keluar. Ia berniat kembali ke hotel.
Perempuan
itu sampai di halaman Rumah Sakit dan berniat memanggil taksi ketika tatapan
matanya menangkap sesosok perempuan yang tengah bermain-main di taman dengan
seorang anak kecil. Wajah mereka familiar. Perempuan itu, dan juga anak kecil
yang bersamanya.
Lama
Hani termangu, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tak salah lihat. Dan ia memang
benar. Perempuan itu Jeon Im Na, kakak perempuan Wonu. Dan balita yang
bersamanya adalah anak Wonu.
“Eonni!”
Hani menyapa tanpa ragu seraya melangkah mendekati perempuan tersebut. Yang
dipanggil namanya menoleh, menatap Hani sesaat, lalu tersenyum sumringah.
“Hani-ah?”
Ia memastikan. Hani mengangguk. Dan segera keduanya berpelukan. Tak aneh jika
mereka terlihat akrab, karena dulu ketika Hani masih menjadi pacar Wonu, ia
sering bermain ke rumahnya dan bertemu dengan Kakak perempuannya. Hubungan di
antara mereka terjalin dengan sangat baik. Perempuan cantik itu bahkan sudah
menganggap Hani sebagai adik sendiri.
“Omo,
lama tak bertemu kau makin cantik saja. Kudengar kau di Seoul.” Ucap kak Im Na
seraya meremas bahu Hani dengan gemas. Hani mengangguk.
“Aku
ke sini hanya untuk berkunjung saja, eonni. Beberapa hari lagi aku akan kembali
ke Seoul.” Jawabnya.
“Keningmu
...” Kak Im Na menunju kening Hani yang diperban. Hani terkekeh. “Gwaencana.
Hanya kecelakaan kecil” Jawabnya.
“Eonni
sendiri, untuk apa di sini?”
Kak
Im Na belum sempat menjawab ketika balita perempuan itu bergelayut rewel di
kakinya. Hani berjongkok dan menyapa anak kecil itu dengan gemas.
“Annyeong
... ” Ia menggapai tubuh mungil itu dengan kedua lengannya. Dan di luar dugaan,
balita mungil itu menurut untuk berada di gendongan Hani. Kak Im Na tertawa.
“Padahal
kalian ‘kan baru bertemu, kenapa dia mau kau gendong? Biasanya dia rewel dengan
orang yang baru ia temui,” ujarnya.
Hani
tersenyum. “Aku sudah bertemu dengannya kok, eonni. Beberapa yang hari yang
lalu di taman, dengan ayahnya.” Ia menjawab ragu. Kak Im Na mengernyit.
“Kau
bertemu dengan suamiku?”
Hani
menggeleng. “Oh, bukan. Aku bertemu dengannya dan Wonu.” Jawabnya cepat.
Kak
Im Na kembali mengernyit. “Wonu?”
Hani
mengangguk. “Dia anaknya Wonu ‘kan?” ucap perempuan itu lagi.
Sesaat
kemudian kak Im Na tertawa. “Ah, kau pasti dikerjai oleh Wonu.” Ujarnya.
Hani
mengernyit. “Maksudnya?”
Kak
Im Na kembali tertawa lirih. “Wonu belum menikah, bagaimana mungkin dia punya
anak. Dan si kecil ini ___” ia menunju anak kecil di gendongan Hani. “Dia
anakku.” Lanjutnya.
Hani
terperangah. Untuk sesaat ia masih nampak bingung. Tapi sekian detik kemudian
ia tertawa.
Ah,
bagaimana ia bisa lupa? Wonu lelaki pendiam, tapi terkadang ia gemar sekali bercanda.
Dulu
ketika mereka masih berpacaran, lelaki itu suka sekali menggodanya.
Entah itu dengan berpura-pura marah, kemudian
ujung-ujungnya memberinya hadiah. Mengatakan ia tak bisa menemaninya nonton
konser musik, tapi tiba-tiba kemudian ia
muncul di hadapannya dengan cengengesan sambil bilang ‘Saranghe’. Ah, Wonu-ah
....
Kak
Im Na tersenyum. “Sini sayang...” Perempuan berumur sekitar 37 tahun itu meraih
putri kecilnya dari gendongan Hani.
“Oh
iya, untuk apa eonni di sini? Siapa yang sedang sakit?” Hani menjumput untaian
rambut anak kak Im Na lalu menyelipkan ke belakang telinganya.
“Kemarin
Wonu drop lagi. Jadi dia harus dirawat. Dokter bilang ...”
“Siapa
yang drop?” Hani memotong cepat.
Kak
Im Na menatapnya, terlihat bingung. Merasa keceplosan.
“Wonu
...? Kenapa ... ?” Hani seperti meminta penegasan. Kak Im Na terdiam sesaat.
“Jadi
kau belum tahu?” Ia bertanya ragu. Hani menggeleng pelan.
Kak
Im Na melihat sekeliling. Ia memanggil seorang lelaki seumuran dirinya yang
berada di depan pintu masuk. Lelaki itu melangkah ke arahnya.
“Yeobo,
ajak dia jalan-jalan dulu sebentar ya.” Kak Im Na menyerahkan putrinya kepada
lelaki tersebut, yang ternyata adalah suaminya. Setelah itu mereka bermain di
sisi taman yang satunya.
Hani
masih nampak kebingungan dengan keadaan tersebut. Hingga kak Im Na merangkul
pundaknya lalu mengajaknya duduk di bangku
yang berada di dekat mereka. Perempuan itu nampak ragu untuk membuka
suara.
“Eonni
...” Hani memanggil lirih. Seakan tak sabar untuk mendengar penjelasan
selanjutnya.
Kak
Im Na menarik nafas berat sebelum berkata.
“Wonu
sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Hani
terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Dia
sudah menjalani kemo dan beberapa kali operasi. Tapi, tak berjalan baik. Beberapa
hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter
bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Jadi ... Wonu
memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ...
pergi dengan tenang.” Kak Im Na menelan ludah. Kalimatnya seperti tertahan.
Hani
merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.
“Obat
yang diberikan dokter hanya bersifat sementara. Itu hanya untuk memperpanjang
hidupnya selama ... beberapa bulan saja.” Kali ini kedua mata kak Im Na nampak
berkaca-kaca. Namun perempuan itu nampak tegar.
Tapi tidak bagi Hani. Perempuan itu tampak terpukul. Air
matanya sudah mengalir deras, sejak beberapa detik yang lalu.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar