~~~~~~
~~~~~~
Jam istirahat, makhluk manis itu kembali duduk
dengan santai di taman, di bawah pohon, seperti biasanya. Kepalanya
mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari earphone yang terpasang di
telinganya. Sesekali namja itu mengetuk-etukan jemarinya di bangku yang ia
duduki. Kadang-kadang pula ia membolak-balik buku yang ia pegang. Entah buku
apa yang ia baca.
Tae Hee tersenyum. Beberapa hari terakhir ini ia memang rajin memperhatikan
tingkah sosok itu, diam-diam, dari balik jendela kelasnya. Sesosok namja
berhidung bulat dan berwajah manis. Manis luar biasa, itu yang ada di kepala
Tae Hee.
“Senyum-senyum sendiri seperti orang sakit jiwa, kenapa?” Yewon membuyarkan
lamunan Tae Hee. Yeoja cantik itu hanya tersenyum. Mulanya ia berniat bungkam
dari sahabat baiknya tersebut, seperti biasanya. Tapi entah kenapa, hari ini ia
serasa tak tahan lagi membendung gejolak di dalam hatinya. Ia ingin cerita
semuanya pada Yewon, mengenai makhluk manis yang telah membuat jantungnya
berlompatan.
Dan akhirnya, ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah sosok yang masih
duduk dengan santai di taman.
“Kau tahu siapa dia?” Ia bertanya santai.
Yewon membetulkan letak kaca matanya lalu mengikuti arah telunjuk Tae Hee.
“Ow, itu. Ming Hao maksudmu?”
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Ming Hao?”
Yewon mengangguk.
“Pura-pura tak tahu, gitu?” Ia mengomel.
Tae Hee menggeleng dengan polos hingga membuat Yewon tersentak.
“Jadi kau bener-benar tak tahu siapa dia!?” suaranya yang tebal
menggelegar. Dan Tae Hee-pun kembali menggeleng.
“Astaga, kau benar-benar tega ya? Ming Hao itu memang murid biasa di
sekolah kita, tapi ‘kan dia dari kelas sebelah. Masak begitu saja kau tak tahu?”
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Dia dari kelas sebelah?” nada suaranya terdengar kaget.
“Jadi kau juga tak tahu kalau dia dari kelas sebelah?” Yewon memastikan,
dan Tae Hee pun kembali menggeleng. Sahabatnya itu menepuk jidatnya sendiri
lalu duduk di samping Tae Hee.
“Ok, aku paham kenapa dia yang berasal dari kelas sebelah saja kau tak
kenal. Kau terlalu popular, terlalu sibuk. Sibuk ekstrakurikuler, sibuk
belajar, sibuk organisasi, sibuk chearleader, sibuk pemotretan, sibuk ini,
sibuk itu, bla bla bla,”
Yewon menjabarkan semua kegiatan Tae Hee dari A sampek Z, lalu kembali lagi
ke A, layaknya seorang manajer yang lagi brieafing jadwal sama
artisnya!
Well, yang dikatakan Yewon memang benar. Selama ini Tae Hee memang masuk
jajaran siswi aktif di sekolah. Ia benar-benar popular di kalangan semua siswa
maupun guru. Maklum, hampir semua kegiatan sekolah ia ikuti. Dari ekstra yang
menguras tenaga fisik seperti karate, sampai melukis dan menari. Ia juga termasuk
siswa cemerlang di sekolah. Terbukti dengan keikut sertaannya sebagai
perwakilan dalam beberapa lomba ataupun olimpiade. Ia juga berprofesi sebagai
foto model, meski belum sepenuhnya. Wajahnya yang cantik jelita sering menghiasi
cover majalah.
Yewon benar. Ia terlalu sibuk. Apalagi soal urusan namja. Sampai akhirnya
ia baru menyadari sosok manis yang ternyata berasal dari kelas sebelah!
“Kenapa ingin tahu? Naksir?”
“Ya,” Tae Hee menjawab cepat hingga membuat sahabatnya terbelalak.
“Whatt???” ia memekik.
“Jinjja???”
Tae Hee hanya tersenyum.
“Tae Hee, kau serius?” nada suara Yewon setengah barbisik, seolah-olah
takut akan terdengar oleh siswa yang lain. Dan Tae Hee pun menatap sahabatnya
dengan serius.
“Well, sebetulnya aku sendiri belum yakin akan perasaanku. Tapi, jujur aku
suka melihat dia. Tiap kali melihat dia, hatiku berdebar, jungkir balik tak
karuan. Jika itu termasuk tanda cinta, berarti kemungkinan aku memang jatuh
cinta padanya,” suara Tae Hee juga terdengar pelan, setengah berbisik.
“Ku harap kau bisa menjaga rahasai ini,” sambungnya lagi.
Yewon hanya melongo selama beberapa saat.
“Apa kau gila? Apa kau salah makan hari ini?” tanya yeoja itu heran.
Tae Hee menatap sahabatnya denga heran pula, kelopak matanya mengerjap.
“Ada masalah?”
“Anio, cuma aneh saja kalau siswa sepertimu bisa jatuh cinta padanya.”
Jawab Yewon.
Tae Hee mengangkat bahu.
“Bukankah aku sudah bilang. Aku juga belum yakin akan perasaanku. Maka dari
itu, biarkan aku mencari tahu dulu, Nde?” ujarnya.
“Caranya?” Yewon bertanya bingung.
“Tentu saja dengan mendekatinya,” jawab Tae Hee tegas. Dan untuk kesekian
kalinya, Yewon kembali melongo kaget. Jujur, baru kali ini Tae Hee bertingkah
seperti ini.
***
“Hai, boleh aku duduk
sini?” tanya Tae Hee pada Ming Hao ketika siang itu ia menyapanya. Namja manis
itu tengah asyik duduk-duduk di taman, sambil menonton beberapa siswa yang
sedang latihan basket.
Ming Hao mendongak, menatap Tae Hee sesaat lalu melepaskan earphone dari
telinganya.
“Boleh aku duduk di sini?” Tae Hee kembali mengulangi pertanyaannnya ketika menyadari bahwa namja itu
tengah memakai earphone.
Ming Hao tersenyum, manis sekali.
“Silahkan. Dengan senang hati,” jawab Ming Hao ramah seraya menggeser
duduknya dan menyisakan space untuk Tae Hee. Tae Hee segera duduk di samping
namja tersebut. Ia tak menyangka kalau Ming Hao akan membalasnya dengan ramah.
Sesaat ada perdebatan batin di hati Tae Hee. Antara memeperkenalkan diri pada
Ming Hao, ataukah tidak? Ia takut namja itu tak mengenali dirinya, sama seperti
dirinya yang juga seolah-olah baru tahu keberadaan Ming Hao.
“Oh iya, bukankah bulan depan kau akan mewakili sekolah mengikuti lomba
pidato bahasa inggris?”
Tae Hee terhenyak mendengar pertanyaan Ming Hao. Ia tahu?
“Kau tahu?” Ia bertanya spontan. Ming Hao terkekeh.
“Tentu saja. Bukankah kemarin di umumkan oleh pak kepala sekolah ketika
upacara,”
“Jadi kau tahu siapa aku ‘kan?”
Ming Hao tergelak.
“Ya ampun, Tae Hee-ssi. Pertanyaanmu aneh,”
ucapnya.
Tae Hee tersenyum lega begitu mendengar Ming Hao memanggil namanya.
“Tidak latihan? Beberapa hari ini aku melihatmu berlatih dengan mr. Smith
di ruang seni,” tanya Ming Hao lagi dengan ramah.
“Baru saja selesai,” jawab Tae Hee.
“Semoga berhasil.” Ucapan Ming Hao terdengar begitu tulus.
“Gomawo,” Tae Hee kembali menjawab dengan sedikit bengong.
Ternyata Ming Hao juga tahu tentang aktifitasnya? Ah, tiba-tiba saja Tae
Hee begitu gembira.
Ming Hao memang terlihat pendiam. Tapi begitu sudah ngobrol dengannya,
kelihatan sekali kalau ia orang yang mudah bergaul. Setiap kalimat yang keluar
dari mulutnya selalu ramah, tak ada nada canggung sama sekali. Seolah-olah saja
mereka adalah sahabat akrab. Dan, Tae Hee benar-benar senang.
“Oh iya, sepertinya baru kali ini kau menyapaku dan kita mengobrol lama
seperti ini.” Ujar Ming Hao hingga membuat Tae Hee Nyengir.
“Oh ... ya?” Ia agak bingung mencari jawaban yang tepat.
Ming Hao tersenyum.
“Gwaencana. Aku tahu kau bukan anak yang sombong. Kau cuma tak sempat saja mengobrol
dengan banyak teman yang lain karena kau sibuk. Ikut lomba, ikut pemotretan,
ah, apa kau tak lelah dengan aktifitas sebanyak itu?”
“Aku sudah terbiasa.” Jawab Tae Hee takjub. Ia senang sekali mendengar
kalimat yang meluncur dari mulut Ming Hao.
Keduanya terus mengobrol dengan akrab.
“Oh iya, aku sering melihatmu mendengarkan musik lewat earphone. Aku juga
sering melihatmu membaca. Musik apa yang kau dengarkan? Pop? Rock? Hip Hop? Dan
novel apa yang kau baca? Romance? Action? Horror?” Tae Hee bertanya dengan
antusias. Ming Hao tertawa.
“Woa, apa anak-anak berprestasi selalu bertanya dengan antusias seperti
ini?” ujarnya.
Tae Hee terkekeh menyadari dirinya yang seolah-olah lepas kontrol.
Selanjutnya, kedua matanya yang bening segera berbinar-binar ceria ketika ia tahu bahwa Ming Hao
ternyata punya kegemaran yang juga sama dengan dirinya. Membaca novel klasik
dan mendengarkan musik rock!
Kelihatan tak nyambung memang, tapi itu benar.
“Punya banyak koleksi novel? Boleh aku pinjam?” Tae Hee memancing.
“Iya, aku punya banyak koleksi buku. Tentu saja boleh. Kapan-kapan aku
bawakan yang bagus. Atau, kau boleh datang ke rumahku kalau mau. Kau bisa
memilih sendiri mana yang kau suka,”
Tae Hee nyaris berteriak kegirangan mendengar kata-katanya.
“Aku boleh ke rumahmu? Jinjja?” Ia kembali antusias. Ming Hao tersenyum dan
mengangguk.
Dan, sejak saat itu, Tae Hee makin bisa mendekati Ming Hao secara alami.
Mereka bertemu, mengobrol, saling bercanda, dimana saja. Di perpustakaan, di
kantin, di taman, atau bahkan di rumah Ming Hao, karena Tae Hee mulai sering ke
rumah namja tersebut untuk meminjam ataupun mengembalikan novel. Ia tak
menyangka bahwa koleksi novelnya lebih banyak 3 kali lipat dibanding yang ia
punya.
Satu persatu, Tae Hee makin tahu banyak hal tentang Ming Hao. Ia juga tahu
kalau Ming Hao adalah anak yang mandiri. Ia bahkan punya sebuah band yang
sering diundang tampil di kafe-kafe maupun acara lainnya. Dari situ pula ia
bisa mendapatkan uang sendiri, padahal ia berasal dari kelurga yang
berkecukupun.
***
“Aku benar-benar jatuh cinta padanya, Yewon-ah,” ucap Tae Hee setengah
berbisik ketika siang itu mereka menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan
mengobrol di perpustakaan.
Yewon menatap sahabatnya itu dengan kecewa.
“Apa kau yakin?”
Tae Hee mengangguk.
“Sangat. Dia benar-benar namja yang luar biasa menyenangkan. Aku merasa nyaman
dan bahagia di sampingnya. Aku senang mengobrol dengannya, bertukar pendapat
dengannya, menonton dia main drum, pokoknya, aku benar-benar suka semua yang
ada di dirinya,”
Keduanya berbicara dengan cukup pelan agar tidak di dengar orang lain.
“Kenapa kau bisa jatuh cinta dengan namja semacam dia, Tae Hee-ah? Aku
heran dengan jalan pikiranmu,” ucapan Yewon terdengar kesal.
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Memangnya kenapa? Ada masalah?” Ia bertanya heran.
Yewon mendesah.
“Oke, aku mengerti kalau Ming Hao namja yang baik, ramah, mudah bergaul
dengan siapa saja dan dia ... manis. Tapi, kau bisa mendapatkan namja yang
lebih dari pada dia. Kau siswi paling cantik dan paling populer di sekolah kita.
Seabrek namja yang ngantri ingin jadi pacarmu. Jadi mestinya kau juga dapat namja yang lebih popular, lebih pintar, lebih
ganteng, maksudku, tentu saja yang lebih daripada Ming hao,” jelasnya.
Tae Hee menatap sahabatnya dengan dalam.
“Yewon-ah, ini untuk pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini pada
seorang namja. Dan namja itu adalah Ming Hao. Aku tak mau membohongi perasaanku
sendiri. Bukankah aku pernah bilang, cinta itu bisa datang pada siapa saja,
kapan saja dan dimana saja. Dan jika sekarang cinta itu datang padaku untuk
Ming Hao, tentu aku akan menerimanya. Dan kau harus tahu, aku tidak pernah
melihat seseorang dari popularitas ataupun tampangnya saja,” jawab Tae Hee
panjang lebar.
“Iya, tapi aku merasa kalu kau bisa mendapatkan yang lebih baik daripada
Ming hao.”
”Bagiku Ming Hao adalah yang terbaik,” potong Tae Hee lagi. Dan Yewon hanya
bisa diam, mencoba mengiyakan keputusan Tae Hee, meski itu berat.
***
Tae Hee merasa sedikit
terkejut ketika pulang sekolah, Ming Hao menemuinya di depan kelas dan
mengatakan bahwa ia ingin bicara sebentar dengannya. Hingga akhirnya, mereka
memutuskan untuk mengobrol di bangku taman.
“Maaf jika aku harus membuat kepulanganmu tertunda,” ucapnya. Tae Hee
tersenyum dan menggeleng.
“It’s okey. Mau bicara apa?”
Ming Hao terdiam sesaat.
“Tadi siang ketika jam istirahat aku mendengarmu mengobrol dengan Yewon di
perpustkaan dan ___”
Tae Hee terhenyak.
“Dan aku mendengar semuanya tentang perasaanmu padaku,”
Kata-kata Ming Hao membuat Tae Hee menegang, sesaat.
“Apakah itu benar? Bahwa kau mencintaiku?” Ming Hao langsung bertanya ke
inti pembicaraan. Tae Hee sempat linglung dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.
Tapi akhirnya ia mengangguk.
“Ya,” jawabnya.
Ming Hao menatapnya dengan dalam, nyaris tanpa ekspresi hingga membuat
jantung Tae Hee berdebar-debar.
“Kalau begitu, boleh aku mengatakan tentang perasaanku padamu?” Ming Hao
seolah minta ijin. Tae Hee merasakan dadanya bergejolak hebat. Dan kemudian ia
mengangguk.
“Aku hanya bisa menganggapmu sebagai sahabat. Tak lebih,” ucap Ming hao
lagi.
Duarr! Tae Hee merasakan ada sesuatu yang meledak di atas kepalanya. Ia
benar-benar tak menyangka bahwa ia akan menerima penolakan secepat ini.
“Aku tak suka sesuatu yang bertele-tele atau berbelit-belit, Tae Hee. Jadi,
kau butuh jawabanku atau tidak, aku akan tetap mengatakan perasaanku padamu
karena aku sudah terlanjur mengetahui tentang perasaanmu padaku. Jujur, kau
yeoja yang baik. Aku kagum padamu. Hanya saja, aku bener-bener menganggapmu
sebagai sahabat baikku. Dan tak bisa lebih,”
Ming Hao menatap Tae Hee dengan lekat.
Dan segera yeoja itu merasakan hatinya patah, jadi 5!
****
Bersambung ...
Judul : Makhluk manis dari
kelas sebelah #2 (End)
Penulis : Wiwin Setyobekti
Genre : Romance
Cast : Minghao Seventeen
Length : Two Shoot
Tokoh permpuan fiksi
~~~~~~
~~~~~~
“Aku tak suka sesuatu yang bertele-tele atau berbelit-belit, Tae Hee. Jadi,
kau butuh jawabanku atau tidak, aku akan tetap mengatakan perasaanku padamu
karena aku sudah terlanjur mengetahui tentang perasaanmu padaku. Jujur, kau
yeoja yang baik. Aku kagum padamu. Hanya saja, aku bener-bener menganggapmu
sebagai sahabat baikku. Dan tak bisa lebih,”
Ming Hao menatap Tae Hee dengan lekat.
Dan segera yeoja itu merasakan hatinya patah, jadi 5!
“Lagipula, apa yang dikatakan Yewon itu benar. Yeoja cantik dan populer sepertimu,
tak seharusnya suka dengan orang biasa seperti aku. Kau bisa mendapatkan yang
lebih baik dari aku. Yang tentunya, lebih sepadan denganmu, selevel denganmu
___”
Tae Hee menatap Ming Hao dengan tajam hingga membuat namja tersebut
menghentikan kata-katanya. Ia berdiri.
“Ming Hao-ssi, kau tak seharusnya bicara seperti itu! Oke, aku bisa
menerima penolakanmu dengan mengatakan bahwa kau hanya bisa menganggapku
sebagai sahabat. Tapi mengatakan bahwa aku harus mencari namja yang sepadan,
itu benar-benar membuatku tersinggung. Mencari pasangan yang serasi dan sesuai level?
Hah, kau kira ini main game harus ada level-level-an segala?” Tae Hee setengah
berteriak.
“Lagipula, cinta yang kurasakan, itu urusanku. Dan kau, atau siapapun tidak
berhak untuk mencampuri urusan cintaku. Kalian tak berhak mengatur aku harus
suka dengan siapa. Karena apa? Karena itu adalah hakku!”
Tae Hee beranjak. Ming Hao mengekor, ia menarik tangan Tae Hee dan mencoba
menghentikan langkah yeoja tersebut.
“Kau marah?” Kalimatnya terdengar menyesal. Tae Hee kembali menatap namja
tersebut dengan tajam.
“Aku tak marah atas penolakanmu. Tapi kau menyinggung masalah level dan
kesepadanan dalam urusan percintaan. Dan aku tak suka itu! Jika kau mau tahu,
aku mencintaimu dengan tulus. Aku suka semua yang ada pada dirimu, tak peduli
kau ini A, B, atau C. Cinta adalah cinta, itu saja!” Tae Hee melepaskan pegangan
tangan Ming Hao lalu kembali melangkahkan kakinya dan hilang dari pandangan
namja tersebut. Ming Hao hanya mampu menatap kepergiannya tanpa tahu harus
berkata apa lagi.
***
“Apaaa?!! Dia menolakmu!?” suara Yewon hampir saja
menggelegar jika saja Tae Hee tak keburu mencubit lengannya untuk menyuruh
yeoja itu mengecilkan volume suaranya.
“Tae Hee-ah, dia pasti gila. Namja macam dia pasti tak waras. Bagaimana
mungkin ia menolak cinta seorang yeoja sepertimu? Mestinya dia bersyukur karena
kau mengharapkan cintanya. Dasar sinting! Dia pasti tak normal!”
“Ssstt, jaga bicaramu,” ucap Tae Hee.
Yewon menatap sahabatnya dengan kesal.
“Ini benar-benar tak bisa dipercaya, Tae Hee-ah. Unbelieveable!” Lagi-lagi,
ia nyaris berteriak.
“Ah, sudahlah. Kenyataannya aku memang sudah ditolak. Mau bagaimana lagi?”
jawab Tae Hee lirih. Ia kembali terdiam.
“Kau butuh bantuanku untuk bicara dengannya?” Yewon menawarkan diri.
“Bicara dengannya lagi? Untuk apa?” Tae Hee menjawab ogah-ogahan.
“Untuk menanyakan kenapa ia tak menyukaimu? Dan untuk menanyakan apa dia
normal atau tidak? Jangan-jangan ... dia gay!”
Tae Hee nyaris tergelak mendengar jawaban Yewon. Tapi kemudian ia kembali
terdiam, memikirkan sesuatu.
“Kau benar, Yewon-ah. Sepertinya aku memang harus menanyakan itu padanya,”
Tae Hee bangkit dari tempat duduknya. Yewon tersentak.
“Menanyakan apa? Menanyakan kenapa ia menolakmu?”
“Bukan. Aku akan menanyakan apa dia normal atau gay!”
“Hah?” Yewon membelalak. “Jangaaaan, tadi aku hanya bercanda,” Yewon
berusaha menghalau langkah Tae Hee.
“Tidak. Aku harus bertemu langsung dengannya, bicara dengannya, dan
bertanya apa dia gay atau bukan,” jawabnya.
“Tapi ...”
“Aku bisa mati penasaran jika tak mengetahuinya.”
“Tapi aku hanya bercandaaaa.....” Yewon berteriak.
Tae hee tak menggubris. Ia terus melangkah, menuju kelas Ming Hao. Ia sudah
memutuskan, jika Ming hao gay, ia akan menyerah. Tapi jika tidak, dia akan maju
terus memperjuangkannya.
***
Ketika Tae Hee sampai di kelas Ming Hao, ia menemukan namja itu tengah
duduk tercenung di bangkunya. Bangku pojok paling belakang. Ketika ia melihat
kedatangan Tae Hee, namja manis itu tampak terkejut.
“Bisa kita bicara, berdua saja. Tapi tak disini,” Tae Hee menyapa.
“Sekarang?” Ming hao menatapnya bingung.
Tae Hee mengangguk.
Ming Hao berdiri lalu mengikuti langkah
Tae Hee menuju taman belakang sekolah. Mereka duduk di bangku di samping
taman.
“Tae Hee-ssi, maaf soal kemarin. Aku tak bermaksud membuatmu marah. Maaf,
aku salah telah menyinggung tentang namja yang tepat atau yang tak tepat
untukmu. Itu adalah hakmu sepenuhnya,” Ming Hao yang membuka suara pertama
kali. Keduanya berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kau bicarakan?” Namja manis itu seakan mengingatkan
maksud kedatangan mereka ke taman karena ia menyadari sejak tadi Tae Hee hanya
terdiam.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?” Akhirnya yeoja itu membuka suara.
Ming Hao mengangguk.
“Apa kau gay?”
Pertanyaan Tae Hee membuat Ming Hao mendelik.
“Itu pertanyaan yang tidak sopan, Tae Hee-ssi.” Desisnya.
“Jawab saja pertanyaanku. Kau gay atau bukan?” Tae Hee nyaris berteriak.
Ming Hao memutar bola matanya dengan kesal. “Aku tersinggung kau menanyakan hal
itu.”
“Ya atau tidak? Apa sih susahnya jawab!” Tae Hee terdengar tak sabaran.
Ming Hao mendesah. “Aku normal.” Jawabnya kemudian.
Tae Hee nyaris terlonjak. “Bagus. Oke, pertanyaan selanjutnya.”
“Masih ada lagi?” mata Ming Hao menyipit. Tae Hee mengangguk mantap.
“Apa kau sudah punya pacar?” Kali ini ia bertanya dengan nada yang lebih
lembut.
Ming Hao menggeleng. “Tidak.”
“Apa kau sedang naksir atau suka pada seorang yeoja yang lain?”
Dan Ming Hao kembali menggeleng. “Tidak.”
“Lalu, adakah dari diriku yang tidak kau sukai?”
Ming Hao kembali menyipitkan matanya. “Ada berapa pertanyaan yang harus ku
jawab?”
“Tak banyak.” Ceplos Tae Hee. “Jadi ... adakah dari diriku yang tidak kau
suka?” lanjutnya.
Ming Hao terdiam sesaat. Ia menatap Tae Hee seolah mencari jawaban di sosok
itu.
“Tidak ada. Tak ada dari dirimu yang tak aku suka. Kau cantik, kau baik,
kau ramah, kau ... intinya, aku tak menemukan hal-hal yang tak aku suka darimu.”
jawabnya kemudian.
Tae Hee menatap namja itu denga serius.
“Kalau begitu, beri aku kesempatan,” ujarnya lagi.
“Heh?” Ming Hao mengernyitkan dahinya.
“Bukankah kau bilang, kau bukan gay, kau tak punya pacar, kau tak punya
yeoja yang kau taksir, dan kau juga tak menemukan hal-hal yang tak kau sukai
dari diriku. Jadi, beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu menyukaiku. Beri
aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padaku,”
Ming Hao melongo mendengar serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir
mungil Tae Hee.
“Kita tetap bisa memulainya dari bersahabat ‘kan?” ucap Tae Hee lagi.
Ming Hao tercengang, tak bersuara.
“Jadi ... intinya adalah ....”
“Aku menyatakan cinta padamu, tapi kau menolakku. And that’s fine. Lalu aku
meminta padamu untuk memberiku kesempatan agar aku bisa membuatmu jatuh cinta
padaku. Bisakah?” kalimat Tae Hee tegas.
Ming Hao menatap yeoja cantik di depannya dengan takjub. “Woah, daebak.” Ia
mendesis lirih tanpa sadar.
“Aku tak menyangka kalau ternyata kita punya pikiran yang sama,” lanjutnya.
Tae Hee memiringkan kepalanya, heran. “Maksudmu?” Sekarang ia yang bengong.
“Jujur aku mengagumimu, Tae Hee-ssi. Kau benar-benar yeoja yang luar biasa.
Kau baik dan ramah. Kau cantik tapi tak merasa sok cantik. Kau pintar tapi tak
sombong. Dan yang pasti, aku menyukai sikapmu yang apa adanya. Tak ada
kepura-puraan sama sekali karena itulah dirimu.”
“Itu pujian ‘kan?” Tae Hee seolah memastikan.
“Ya.” Jawab Ming Hao.
“Jadi?”
“Berada di sisimu terlalu lama, akan sangat sulit untuk tidak jatuh cinta,”
Tae Hee terkesiap mendengar jawaban Ming Hao.
“Jadi?”
Ming Hao menarik nafas sebelum melanjutkan perkataannya.
“Semalam aku merenung, dan aku ingin sekali memberi kesempatan pada diriku
sendiri untuk menyadari pentingnya kehadiranmu disisiku,”
“Jadi?”
“Kok sedari tadi –jadi- jadi- terus sih?”
“Oke, lantas?”
Ming Hao tertawa mendengar Tae Hee merubah kata ‘jadi’ menjadi ‘lantas’.
Toh itu sama saja.
“Aku ingin membuka hatiku untukmu, Tae Hee-ssi. Tentu saja jika kau mau
menerimaku setelah kemarin aku sempat menolakmu,” Namja tersebut menatap Tae
Hee dengan lembut.
Tae Hee merasakan tubuhnya meleleh.
“Kau akan memberiku kesempatan?”
Ming Hao mengangguk. Keduanya berpandangan dengan dalam.
“Bisa aku minta satu hal?”
“Apalagi?” Ming hao mengernyitkan dahinya.
“Biarkan aku menjadi satu-satunya yeoja yang kau beri kesempatan itu. Nde?”
ucap Tae Hee lagi. Ming Hao tersipu. Perlahan ia tersenyum.
“Ya. Kau akan jadi satu-satunya,” jawabnya kemudian. Pipinya merona.
Kedua bola mata Tae Hee yang bulat indah berbinar-binar ceria. Senyum
mengembang dengan indah dibibirnya yang mungil. Jika saja mereka tak di
sekolah, Tae Hee pasti sudah menghambur ke arah Ming Hao lalu memeluknya dengan
erat.
Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, Ming
Hao-sii..
Aku janji.
Ucap Tae Hee dalam hati dengan penuh keyakinan.
***
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar