~~~~~~
~~~~~~
Soojin
menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Yeoja cantik berambut panjang itu mau
menyediakan waktunya untuk berbicara denganku, pastinya ada hal penting yang
ingin ia sampaikan. Dan sejujurnya, aku tahu apa yang ingin ia bicarakan.
“Aku tak suka kau terlalu dekat dengan
Hoshi.” Ucapnya. Nah ‘kan? Perkiraanku benar.
“Aku tak tahu apa motif-mu. Tapi
tiba-tiba saja kau berubah dekat dengannya, bahkan jika kau menggunakan alasan
persahabatan, aku tetap terganggu.” Ia bersedekap dengan angkuh. “Kau harus
memahami perasaanku. Aku pacarnya. Dan aku tak nyaman jika kau terus menerus
menempel padanya.” Nada suaranya tak lebih seperti sebuah peringatan halus.
“Mian, aku tak bisa menjanjikan apa-apa
padamu.” jawabku.
Sojin melebarkan matanya. “Maksudmu?”
Aku mendesah sembari bangkit.
“Aku dan Hoshi sama-sama panitia di
festival seni tahun ini. Dan hal yang tidak mungkin bagiku untuk tidak
berdekatan dengannya. Yang benar saja? Apa kami harus berkomunikasi, bertukar
pikiran lewat telepon?” sergahku.
“Aku tahu dia pacarmu. Dan aku tak
tertarik untuk berbuat macam-macam dengannya. Aku menempel padanya karena
memang banyak hal yang harus kami kerjakan bersama-sama. Jadi, buang jauh-jauh
prasangkamu itu. oke?”
Sojin tampak tak puas dengan jawabanku.
Bibirnya mengerut kesal. Dan aku tak perduli.
“Percayalah, aku takkan merebutnya
darimu,” sergahku. Aku berbalik, meninggalkan yeoja itu sendirian tanpa
membiarkannya berkata-kata lagi.
Dalam perjalanan kembali ke kelasku, tak
henti-hentinya aku merenung.
Sojin menuduhku punya motif tertentu
karena sering berdekatan dengan Hoshi.
Wow, aku mengagumi instingnya.
Akhir-akhir ini aku memang dekat dengan
Hoshi. Dan itu bukanlah suatu ketidak sengajaan. Aku yang mengaturnya.
Aku mengatur agar bisa masuk panitia
festival seni. Aku pula yang mengatur agar kami bisa satu tim.
Motif? Sojin benar.
Aku punya motif terselubung : Taruhan!
Suatu hal yang teramat klise layaknya
drama-drama remaja atau opera sabun. Tapi aku benar-benar melakukannya.
Aku sudah bertaruh dengan kedua
sahabatku Tiffani dan Sunmi bahwa aku akan bisa membuat hubungan Hoshi dan
Sojin berantakan. Mereka harus putus dalam waktu kurang dari satu bulan!
Jika aku yang menang, kedua sahabatku
akan berangkat ke sekolah jalan kaki selama satu minggu. Begitu pula
sebaliknya, jika aku yang kalah, akulah yang akan berangkat ke sekolah jalan
kaki.
Tadinya nyaliku ciut. Berangkat ke sekolah
jalan kaki? Seriously? Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 3 kilometer. Harus
berangkat jam berapa?
Selain itu, aku berasa seperti yeoja
berhati iblis karena tega menghancurkan hubungan seseorang. Percayalah, aslinya
aku tidak sejahat itu. Tapi ...
Hoshi dan Sojin terkenal sebagai
pasangan paling serasi di sekolah kami. Hoshi tampan dan baik hati, sementara
Sojin cantik dan populer. Banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah belahan
jiwa. Itu lantaran mereka sudah pacaran sejak kelas 1 SMP. Hebat ‘kan?
Usia pacaran mereka sudah 5 tahun
lamanya dan sampai detik ini hubungan mereka adem ayem tak terganggu apapun. Cinta mereka cinta sejati, itu yang dikatakan
teman-teman.
Cinta sejati? Wew, aku tak percaya.
Aku tak punya indera keenam yang
mampu melihat masa depan. Tapi
feeling-ku mengatakan bahwa mereka, Hoshi dan Sojin, tidak ditakdirkan untuk
bersama!
***
Tiffani dan Sunmi mengekor di
belakanganku ketika aku memasuki ruang kelas dengan wajah lesu.
“Apa yang terjadi? Sojin tadi bicara
denganmu ‘kan?”
“Apa kalian berantem?”
“Apa kau dilabrak?”
“Apa kalian jambak-jambak’an?”
“Apa kalian ...” Kedua sahabatku
nyerocos tanpa henti, nyaris bersamaan. Aku melotot ke arah mereka.
“Oh-my-Gawd! Bisakah kalian bicara satu
persatu?”
“Tidak!” Sunmi dan Tiffani menjawab,
bersamaan lagi. Aku mendesis, lalu menjatuhkan diriku dibangku.
“Iya, Sojin menyuruhku untuk menjauhi
Hoshi. Dia tak suka aku menempel terus padanya.” Jawabku. Kali ini suaraku
lebih pelan.
“Itu namanya kau dilabrak?” Tiffany
menyahut. Aku cemberut.
“Jadi, mau mundur sekarang?” Sunmi
menantang. Aku terkekeh sinis. Ku lingkarkan lenganku ke lehernya, dan aku
memitingnya. “Bersiap-siap saja ke sekolah jalan kaki.” Desisku kesal. Sunmi
berteriak. “Aduh, kau merusak tatanan rambutku!” teriaknya. Ketika kami kembali
asyik bercanda, ekor mataku menangkap sekelebat bayangan melintas dari balik
jendela kelasku.
“Hoshi!” Reflek aku langsung memanggil.
Namja itu berhenti, mencari asal suara yang memanggilnya, dan ia melihatku.
Mengabaikan keberadaan kedua sahabatku aku berlari ke arahnya. Segera aku di
sambut dengan senyumnya yang manis. Matanya yang semakin menyipit ketika
bibirnya tersenyum terlihat begitu keren.
“Mau kemana?” tanyaku langsung.
“Perpustakaan.” Jawabnya.
“Boleh aku ikut? Aku ingin konsultasi
Matematika bab 5.”
Seperti biasa, Hoshi tersenyum ramah
lalu mengangguk.
“Sebentar.” Aku berbalik, masuk ke
kelas, lalu meraih tasku. Aku merogoh buku matematika dan sebuah kotak kue. Aku mendengar kedua
sahabatku cekikikan dari balik pintu.
Ketika melewati mereka, aku sengaja
mengibaskan rambutku dengan gaya dibuat-buat. Dan mereka makin cekikikan.
“Untukmu.” Aku menyodorkan kotak kue ke
arah Hoshi. Namja itu tampak bingung.
“Aku membuatnya sendiri. Rasa coklat,
kesukaanmu.” Ucapku. Wajah hoshi tampak sumringah.
“Gomawo, Ara-ah. Bagaimana kau tahu aku
suka kue coklat?”
Aku tersenyum. “Aku pandai membuat kue.
Kalau kau mau, aku bisa membuatkanmu lagi.” tawarku. Hoshi kembali tersenyum,
aku melihat wajahnya merona.
“Kalau itu tak merepotkan...”
“Tentu saja tidak.” Jawabku cepat.
Kami berjalan berdampingan menyusuri
lorong kelas.
“Bisa kita mampir ke ruang UKS
sebentar?” Aku menghentikan langkahku.
“Kenapa? Kau sakit?” Hoshi tampak cemas.
“Hanya sedikit sakit kepala. Tapi
sepertinya aku tetap butuh aspirin.” Jawabku. “Tapi kalau kau keberatan, kau
bisa ke perpustakaan dulu. Nanti aku menyusul.” Lanjutku.
“Tidak. Aku akan menemanimu ke UKS.”
Hoshi berkata tanpa ragu.
Aku tersenyum. “O-ke.” Jawabku.
Dan aku sengaja melakukannya. Karena
jika kami ke UKS dulu, kami akan melewati kelas Sojin. Dan aku ingin yeoja itu
melihat kami berjalan berduaan.
***
“Ah, oettoke?” Aku mendesis kesal.
Apes, motorku mogok, aku tak mengerti
sama sekali soal mesin, phonselku mati, dan cuaca sedang mendung. Dan coba
tebak? Sepertinya aku adalah murid terakhir di sekolah karena harus mengerjakan
laporan kegiatan terlebih dahulu.
“Ah, oettoke?” Aku kembali mengulang
kalimat tersebut sembari meremas
kepalaku dengan gemas.
“Ara?”
Aku nyaris terlonjak karena kaget. Aku
berbalik dan menyaksikan Hoshi sedang melangkahkan kakinya ke arahku.
“Hoshi? Ah, syukurlah!” Teriakku
spontan.
“Ada masalah?”
“Motorku mogok.” Air mataku nyaris saja
tumpah. Tapi karena Hoshi menatapku dengan lembut, aku menjadi tenang. Namja
itu menggulung lengan bajunya dan mulai mengutak-atik sepeda motorku.
“Bukankah tadi kau sudah pulang? Kenapa
ada di sini lagi?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian ke arah namja tersebut.
“Iya, tapi karena aku ingat ada yang
ketinggalan di sekolah, jadi aku kembali lagi.” jawabnya.
“Apa yang ketinggalan?”
“Kau.” Jawaban Hoshi sempat membuatku
merona.
“Aku ingat kau masih mengerjakan laporan
sendirian, jadi aku kembali lagi ke sini.” Lanjutnya.
Aku manggut-manggut. Aah, itu maksudnya.
Aku terlanjur tersanjung.
“Tak jauh dari sekolah ini ada bengkel.
Aku akan membantu membawanya ke sana.” Hoshi bangkit.
“Kenapa haru di bawa ke bengkel?”
tanyaku.
“Ada beberapa spare part yang harus
diganti. Dan, hanya bengkel yang bisa melakukannya. Jika motor ini harus
menginap di sana, aku yang akan mengantarkanmu pulang.” jawabnya.
Aku tertegun.
Dan begitulah akhirnya. Motorku
benar-benar harus menginap di bengkel. Dan di sore yang mendung itu, aku
diantarkan pulang seorang namja, untuk pertama kalinya.
Dan sumpah, kejadian hari ini, tak ada
dalam skenarioku ....
***
Aku baru saja memasuki pintu gerbang
sekolah ketika tiba-tiba Tiffany dan Sunmi menghambur ke arahku, menyeretku
lenganku, lalu membawaku ke kelas dengan terburu-buru.
“Oh-my-Gawd! Bisakah kalian jalan
pelan-pelan?” protesku.
“Tidak!” Mereka menjawab kompak lagi.
“Mwoyaaa??” Tanyaku tak sabaran.
“Hoshi dan Sojin putus. Berita ini sudah
dikonfirmasi, dan fix. Mereka benar-benar putus.” Jawab Sunmi. Aku mendelik.
“Yang benar?” Aku nyaris berteriak. Mereka mengangguk. Dan aku mematung,
setengah tak percaya.
Kok bisa? Padahal ini baru hari ke-20
sejak taruhan kami. Aku bahkan belum mengeluarkan trik-trik khusus demi bisa menghancurkan
hubungan mereka. Yang kulakukan selama ini hanyalah cara-cara klise seperti
yang ada di drama ataupun opera sabun. Tapi kok ...?
Kalau hanya karena aku rajin nempel pada
Hoshi, kenapa mereka bisa putus?
“Heran deh. Kau pakai cara apa hingga mereka
benar-benar bisa putus?” Sunmi berkata setengah tak percaya.
“Aku tak yakin kalau mereka putus
gara-gara kau. Bisa jadi hubungan mereka selesai karena ada alasan lain.
Misalnya, tak disetujui orang tua mereka ...”
Aku mendelik ke arah Tiffaniy. Dan ia
tetap saja ngoceh kesana kemari. “Bisa saja mereka memang sudah berniat putus
sejak dulu. Bisa saja salah satu dari mereka ada yang terkena penyakit
mematikan seperti di film-film. Atau bisa saja Hoshi ... gay?”
Aku memutar bola mataku dengan kesal.
“Helloooo, intinya mereka sudah putus
sebelum satu bulan. Dan itu artinya ....”
“Tapi ini benar-benar tak bisa
dipercaya, Ara-ah.” Tiffani merajuk. “Jelas-jelas Sojin lebih cantik darimu. Tidak
mungkin Hoshi putus dengannya karena kau?”
Aku melipat lenganku dan melotot ke arah
Tiffany. “Intinya taruhan ini aku yang menang. Entah mereka putus karena apa,
yang jelas mereka sudah putus. Jadi, mulai besok, silahkan ke sekolah jalan
kaki!”
Aku berbalik. Dan sesaat kemudian aku
merasakan tubuhku membeku manakala melihat sosoknya di sana. Hoshi, berdiri di
samping pintu, menatap nanar ke arahku.
Glek, aku menelan ludah.
“Ho-Hoshi? Sejak kapan kau di sini?” Aku
gelagapan. Tatapan Hoshi tajam, menghujam langsung ke ulu hatiku, sakit.
“Belum terlalu lama. Tapi lebih dari
cukup untuk mendengar segalanya.” Jawabnya. Ia menggeleng putus asa. “Aku
benar-benar tak menyangka kau melakukannya, Ara-ah? Kau, melakukan taruhan
konyol, untuk menghancurkan hubunganku dengan Sojin?” Raut wajahnya nampak
terpukul.
Dan entah kenapa, aku merasa pantas
mati.
“Well, ku harap kau senang sekarang.”
Ucapnya lagi seraya menyeret langkahnya meninggalkan kami. Aku, Tiffany dan
Sunmi hanya mampu mematung.
Oh-My-Gawd, aku benar-benar yeoja yang
berhati buruk!
***
Sudah seminggu aku tak bertemu dengan
Hoshi. Bukan dia yang menghilang, tapi aku yang menghindarinya. Kenapa? Karena
aku tahu aku salah. Sebuah kesalahan fatal yang mungkin saja tak bisa
dimaafkan. Dan aku tak punya muka lagi untuk bertemu dengannya.
Sebenarnya sempat terpikir olehku untuk
menghadapinya secara langsung lalu meminta maaf. Tapi nyaliku ciut. Bagaimana
jika dia mengamuk? Bagaimana jika dia memakiku? Bagaimana jika dia membenciku
dengan sepenuh hatinya? Aah, michigetda ...
“Ara-ah, kami pulang dulu ya? Sudah
dijemput tuh.” Suara Sunmi membuyarkan lamunanku. Aku tergagap, lalu tersenyum.
“Nde, annyeong ...”
Sunmi dan Tiffany melangkah menuju
sebuah SUV hitam yang telah menunggu mereka di pinggir jalan. Rumah mereka
searah, jadi mereka memang selalu berangkat dan pulang sekolah bareng.
Oh, aku lupa memberitahu. Taruhan itu
kubatalkan. Mereka tak jadi ke sekolah jalan kaki.
“Bisa kita bicara?”
Suara itu membuatku menoleh. Dan aku
merasakan dadaku berdesir. Hoshi?
“Ada yang harus kita selesaikan.”
Kalimat Hoshi dingin. Sama seperti tatapan matanya. Oh tidak, tamat sudah
riwayatku!
Eottoke? Eottokajii?? Aku belum sanggup
bertemu dengannya. Aku belum siap bicara dengannya!
Alih-alih menjawab pertanyaan namja
tersebut, aku malah memutuskan untuk mengambil langkah seribu dan segera ngacir
dari hadapan Hoshi tanpa mengatakan apapun padanya!
Tapi apesnya lagi, bukannya menjauh,
Hoshi malah ikut lari mengejarku.
“Berhentiiiii! Urusan kita belum
selesaaiiiiiiii!!” Hoshi berteriak lantang. Aku tak menggubris dan terus
berlari. Dan sialnya, Hoshi juga terus berlari mengejarku.
Dan terjadilah aksi kejar-kejaran di
antara kami di pinggir jalan. Aku berkali-kali menabrak orang, tapi kakiku tak
berhenti berlari. Hoshi juga sama. Beberapa kali ia menabrak orang, tapi
kakinya juga tak berhenti mengejarku.
Kami sama-sama ngos-ngosan, tapi juga
sama-sama tak mau menyerah. Orang-orang hanya bisa terbengong menyaksikan kami
melakukan adegan kejar-kejaran bak film action dari Amrik! Ah, whatever!
“Hiyaaaa!!! Kenapa kau masih
mengejarkuuuuu????!!” Aku menjerit, melihat Hoshi sekilas dari bahuku, tanpa
berhenti berlari.
“Kalau bgitu kenapa kau harus melarikan
diri darikuuuu!!??” jawab Hoshi dengan berteriak. Ia juga ngos-ngosan, tapi
pantang menyerah.
“Aku lari karena kau mengejarkuu??!!”
Aku kembali berteriak.
“Dan aku mengejarmu karena kau lari
darikuuu??!!!” Hoshi juga ikut berteriak.
“Sialan!”
“Kau yang sialan! Berhenti atau tidaakk!!??”
“Tidaaakkkk...!!” dan aku terus berlari.
“Yyaaaa...!! Kalau kau tak berhenti,
akan kuteriaki kau maling!!” Hoshi kembali berteriak.
Aku tersentak. Namja macam itu?
“Dan aku akan meneriakimu namja cabul
yang melakukan pelecehan sex padaku! Coba saja kalau berani?!” Aku menjawab tak
kalah sengit.
Jawaban itu seolah menohok jantung Hoshi
hingga ia kehilangan konsentrasi lalu menabrak seorang perempuan yang habis
berbelanja. Dan ketika ia itu sibuk meminta maaf, aku menggunakan kesempatan
itu terus melarikan diri. Dan sukses.
***
Jika usahaku melarikan diri kemarin berhasil.
Ternyata tidak untuk hari ini.
Aku sedang mengikuti pelajaran bahasa
inggris ketika tiba-tiba Hoshi datang ke kelasku dan dengan memasang tampang
manis, ia meminta ijin pada guruku untuk bertemu denganku.
“Soensangnim, saya ada perlu sebentar dengan
Ara. Kami harus melanjutkan rapat untuk kegiatan festival seni bulan depan.”
Ucapnya dengan nada suara yang sangat-sopan-sekali.
“Oh, tidak apa-apa Hoshi-ah. Lama juga
tak apa-apa.” Jawab soensangnim.
Aku mendengus.
Aku masih tertancap di tempat dudukku
ketika tatapan Hoshi beradu dengan tatapanku. Bibirnya memang tersenyum manis,
tapi matanya tajam menusuk. Ia mengatupkan gigi-giginya dengan kesal seolah
ingin mengatakan padaku : keluarlah! Jika tidak, tamat riwayatmu!
Dan aku menyerah. Dengan ogah-ogahan aku
bangkit.
Segera setelah aku keluar dari kelas,
Hoshi menarik lengan tanganku.
“Mau kemana?” tanyaku bingung.
“Ke tempat lain. Tak baik bertengkar di
sini.” Jawabnya.
Rahangku ternganga. “Siapa yang mau
bertengkar?” tanyaku lagi.
“Kita.” Hoshi menjawab pendek. Dan aku
tesedak. Oh-my-Gawd!
“Aku sudah ijin untuk meninggalkan
sekolah lebih awal. Aku mengatakan pada mereka kalau kita harus berbelanja
untuk festival nanti. Kita harus menyelesaikan masalah di antara kita hari ini
juga. Jika tidak, aku bisa gila karena kau terus menghindariku.” Hoshi menghentikan
taksi yang melintas lalu segera mendesakku masuk.
Ketika taksi sudah mulai berjalan, ia
tak berbicara padaku sama sekali. Ia hanya membuka suara untuk memberikan arah
pada pak sopir.
Dan beberapa menit kemudian taksi
berhenti. Hoshi menarik diriku keluar dan di sinilah kami sekarang, pantai di
Yeosso.
Hoshi sembar mondar-mandir beberapa saat
sebelum akhirnya berdiri menatapku.
“Oke, kalau ada hal yang ingin kau katakan, katakan saja.” Ia membuka
suara. Aku mengernyitkan dahiku.
“Bukankah kau yang mengajakku kesini dan ingin membicarakan sesuatu? Kenapa
harus aku yang bicara duluan,” sergahku.
“Kau tak ingin meminta maaf padaku?” Hoshi menelengkan kepalanya.
Aku tak segera menjawab. Keadaan hening sesaat.
“Ya, aku minta maaf. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku menjadikan
hubunganmu sebagai permainan. Ini taruhan yang konyol, maafkan aku.” Akhirnya
aku berdamai dengan situasi. Hoshi terkekeh dan membuang pandangannya ke tempat
lain sesaat.
“Kata maaf tidak akan menyelesaikan masalah.” Desisnya. “Ah, harusnya aku sadar bahwa ada yang tak
beres ketika tiba-tiba saja kau mendekatiku.” Ia menarik nafas berat.
“Aku tahu. Mianhae. Aku akan menemui Sojin dan menceritakan segalanya agar
kalian bisa berbaikan lagi.” Jawabku.
Hoshi menggeleng.
“Hubungan kami sudah berakhir. Dan itu tak akan bisa di perbaiki meskipun
kau minta maaf dan memberinya penjelasan.” Ucapnya.
Aku kembali terdiam. Rasa bersalah semakin menderaku.
“Apa kau membenciku?” tanyaku kemudian.
Hoshi menggeleng.
“Apa kau akan memaafkan aku?”
Hoshi kembali menggeleng. Nyaliku ciut.
“Lalu, apa yang harus ku lakukan untuk menebus kesalahanku?” tanyaku lagi.
“Jadilah pacarku. Maka aku akan memaafkanmu.”
Aku terkekeh.
“Itu tak lucu.” Jawabku.
Hoshi menatapku. Tatapannya tetap serius.
"Ara-ah, ada yang harus kuberitahukan padamu.” ucapnya.
“Apa?”
“Jauh sebelum kau datang mengacau, jauh sebelum kau datang ke kehidupanku
dengan taruhan konyolmu itu, hubunganku dengan Sojin sudah labil, retak. Kami bahkan
sudah mau putus berkali-kali.” Ia menjelaskan.
Mataku mengerjap.
“Apa itu berarti kalian benar-benar putus bukan karena aku?” Aku nyaris
berteriak. Hoshi menggeleng.
“Tidak. Kami benar-benar putus karena dirimu.” Jawabnya.
“Tapi, bukankah tadi kau bilang bahwa hubungan kalian sudah retak sebelum
ada taruhan itu?” Aku memastikan.
“Tetap saja kami putus karena kau.”
“Kok bisa?” Bibirku mengerut kesal.
“Karena aku sudah menyukaimu sejak kelas satu.” Jawabnya.
Aku terbelalak. Hah!?
Hoshi menatapku dengan dalam.
“Ara-ah ... Aku sendiri tak tahu
sebenarnya kau punya daya tarik apa. Tapi sejak aku masuk ke SMA dan
mengenalmu, perlahan-lahan kau mulai menggantikan posisi Sojin di hatiku. Sekitar
6 bulan yang lalu aku mencoba jujur pada Sojin dengan mengatakan bahwa aku
tidak bisa melanjutkan hubungan kami lagi karena aku menyukai yeoja lain. Tapi
dia tak terima. Dia senantiasa meminta padaku untuk diberi kesempatan agar
hubungan kami kembali membaik. Dan aku mengiyakan. Yaah, siapa tahu dengan
saling introspeksi diri, hubungan kami kembali seperti dulu kala. Tapi ... surprise!!
Tiba-tiba saja Tuhan mengirimmu untuk datang dengan sendirinya padaku melalui taruhan
itu. Bukankah itu yang dinamakan takdir?” Hoshi terkekeh sinis.
“Dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk bersahabat dengan Sojin. Dan
kami putus baik-baik,” ia kembali berkata.
Aku hanya melongo mendengar penjelasan Hoshi yang panjang lebar.
Sesaat aku ingat sesuatu. Oh, pantas saja sejak awal semester ini Sojin
selalu menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Terlihat jelas bahwa yeoja itu
tak menyukaiku. Apa alasannya karena ini?
“Apa ini ... serangan balasan?” tanyaku tanpa sadar.
Hoshi menggeleng. Ia menatapku. Kali ini tatapannya ... lembut.
“Aku menyukaimu, Ara-ah. Tulus, dan dengan sepenuh hatiku. Aku suka
melihatmu duduk manyun di bawah pohon cherry sambil melihat anak-anak latihan
basket. Aku tahu kau tak suka pelajaran olahraga, terutama basket. Aku suka melihatmu
membaca di perpustakaan sambil mengetuk-ngetukan jemarimu di atas meja. Aku
suka melihatmu makan ramen di kantin tanpa sambal, tanpa sayuran. Aku tahu kau
tak suka makanan pedas dan kau benci semua jenis sayuran.” Di sela-sela
ceritanya, Hoshi sempat terkikik.
“Aku hafal semua yang kau suka berikut yang tak kau suka. Aku juga tahu kau
punya alergi pada beberapa makanan tertentu. Oh, dan aku juga hafal semua
jadwal les-mu.” Lanjutnya.
“Dan ada lagi ...”
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Masih ada lagi?
“Aku hafal semua mantan pacarmu. Aku juga hafal siapa-siapa saja namja yang
naksir padamu. Perlu kusebutkan satu-satu?” Hoshi menatapku dengan senyum
tertahan.
Glek, aku menelan ludah. Busyet! Bagaimana mungkin dia tahu sebanyak itu
tentang aku? Jadi selama ini aku dimata-matai?!
“Kembali ke pertanyaan awal. Maukah kau jadi pacarku? Kalau kau menerima,
aku akan sangat berterima kasih. Tapi jika kau menolak, aku tak keberatan untuk
mengejar-ngejar cintamu. Aku tahu aku punya banyak saingan karena di luar sana
banyak namja yang jungkir balik ingin mendapatkan cintamu. Tapi asal kau tahu,
aku sama sekali tak gentar.” Tatapan Hoshi terlihat mantap, tanpa keraguan
sedikitpun.
Aku hanya terdiam, linglung.
Oh-My-Gawd!
Ini ... benar-benar tak dapat tak kupercaya. Sepertinya aku butuh waktu
beberapa menit untuk ...
“Diam berarti ‘Ya’.”
“Mwo?!” Aku terlonjak. “Pernyataan cinta macam apa itu?” teriakku.
“Jadi kau menolakku? Oke, kalau begitu, pulanglah sendiri.” Hoshi berbalik.
Aku menggigit bibirku kesal.
Begitu saja? Namja macam dia?
Karena jengkel, aku meraih apa saja yang ada dekat denganku. Pasir,
kerikil, atau apalah, lalu ku lemparkan begitu saja ke arah namja tersebut. Dan
mengenai bajunya.
Hoshi berbalik, mendekatiku dengan langkah panjang, lalu ... mengecup
bibirku dengan ringan.
“Ini sebagai pertanda bahwa mulai detik, aku resmi mengejar-ngejar cintamu.
Dan aku sudah bertaruh dengan diriku sendiri bahwa kurang dari satu minggu, aku
akan menjadikanmu pacarku. Deal.” Hoshi menyeringai puas lalu kembali berbalik.
Aku mematung lagi. Dia tadi baru saja ... apa?
“Oh, ada lagi.” Namja itu memutar tubuhnya ke arahku.
“Jika hati nuranimu mengatakan ‘tidak’, pulanglah sendiri. Tapi jika hati
nuranimu mengatakan ‘ya’, pulanglah bersamaku.” Ucapnya, lalu kembali berbalik.
Aku meremas kepalaku dengan kesal. Tapi akhirnya aku berlari mengejarnya.
“Oke, kita pulang bersama.” Jawabku seraya menyamai langkah Hoshi. Dan aku
sempat menangkap senyum manis di bibir namja tersebut.
Ah, terserah.
Kau yang menang.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar