Rabu, 02 Desember 2015

[FF SVT] Taruhan!



~~~~~~
~~~~~~

            Soojin menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Yeoja cantik berambut panjang itu mau menyediakan waktunya untuk berbicara denganku, pastinya ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Dan sejujurnya, aku tahu apa yang ingin ia bicarakan.
“Aku tak suka kau terlalu dekat dengan Hoshi.” Ucapnya. Nah ‘kan? Perkiraanku benar.
“Aku tak tahu apa motif-mu. Tapi tiba-tiba saja kau berubah dekat dengannya, bahkan jika kau menggunakan alasan persahabatan, aku tetap terganggu.” Ia bersedekap dengan angkuh. “Kau harus memahami perasaanku. Aku pacarnya. Dan aku tak nyaman jika kau terus menerus menempel padanya.” Nada suaranya tak lebih seperti sebuah peringatan halus.
“Mian, aku tak bisa menjanjikan apa-apa padamu.” jawabku.
Sojin melebarkan matanya. “Maksudmu?”
Aku mendesah sembari bangkit.

“Aku dan Hoshi sama-sama panitia di festival seni tahun ini. Dan hal yang tidak mungkin bagiku untuk tidak berdekatan dengannya. Yang benar saja? Apa kami harus berkomunikasi, bertukar pikiran lewat telepon?” sergahku.
“Aku tahu dia pacarmu. Dan aku tak tertarik untuk berbuat macam-macam dengannya. Aku menempel padanya karena memang banyak hal yang harus kami kerjakan bersama-sama. Jadi, buang jauh-jauh prasangkamu itu. oke?” 
Sojin tampak tak puas dengan jawabanku. Bibirnya mengerut kesal. Dan aku tak perduli.
“Percayalah, aku takkan merebutnya darimu,” sergahku. Aku berbalik, meninggalkan yeoja itu sendirian tanpa membiarkannya berkata-kata lagi.

Dalam perjalanan kembali ke kelasku, tak henti-hentinya aku merenung.
Sojin menuduhku punya motif tertentu karena sering berdekatan dengan Hoshi.
Wow, aku mengagumi instingnya.

Akhir-akhir ini aku memang dekat dengan Hoshi. Dan itu bukanlah suatu ketidak sengajaan. Aku yang mengaturnya.

Aku mengatur agar bisa masuk panitia festival seni. Aku pula yang mengatur agar kami bisa satu tim.
Motif? Sojin benar.

Aku punya motif terselubung : Taruhan!

Suatu hal yang teramat klise layaknya drama-drama remaja atau opera sabun. Tapi aku benar-benar melakukannya.

Aku sudah bertaruh dengan kedua sahabatku Tiffani dan Sunmi bahwa aku akan bisa membuat hubungan Hoshi dan Sojin berantakan. Mereka harus putus dalam waktu kurang dari satu bulan!
Jika aku yang menang, kedua sahabatku akan berangkat ke sekolah jalan kaki selama satu minggu. Begitu pula sebaliknya, jika aku yang kalah, akulah yang akan berangkat ke sekolah jalan kaki.
Tadinya nyaliku ciut. Berangkat ke sekolah jalan kaki? Seriously? Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 3 kilometer. Harus berangkat jam berapa?
Selain itu, aku berasa seperti yeoja berhati iblis karena tega menghancurkan hubungan seseorang. Percayalah, aslinya aku tidak sejahat itu. Tapi ...

Hoshi dan Sojin terkenal sebagai pasangan paling serasi di sekolah kami. Hoshi tampan dan baik hati, sementara Sojin cantik dan populer. Banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah belahan jiwa. Itu lantaran mereka sudah pacaran sejak kelas 1 SMP. Hebat ‘kan?
Usia pacaran mereka sudah 5 tahun lamanya dan sampai detik ini hubungan mereka adem ayem tak terganggu apapun.  Cinta mereka cinta sejati, itu yang dikatakan teman-teman.
Cinta sejati? Wew, aku tak percaya.
Aku tak punya indera keenam yang mampu  melihat masa depan. Tapi feeling-ku mengatakan bahwa mereka, Hoshi dan Sojin, tidak ditakdirkan untuk bersama!

***

Tiffani dan Sunmi mengekor di belakanganku ketika aku memasuki ruang kelas dengan wajah lesu.
“Apa yang terjadi? Sojin tadi bicara denganmu ‘kan?”
“Apa kalian berantem?”
“Apa kau dilabrak?”
“Apa kalian jambak-jambak’an?”
“Apa kalian ...” Kedua sahabatku nyerocos tanpa henti, nyaris bersamaan. Aku melotot ke arah mereka.
“Oh-my-Gawd! Bisakah kalian bicara satu persatu?”
“Tidak!” Sunmi dan Tiffani menjawab, bersamaan lagi. Aku mendesis, lalu menjatuhkan diriku dibangku.

“Iya, Sojin menyuruhku untuk menjauhi Hoshi. Dia tak suka aku menempel terus padanya.” Jawabku. Kali ini suaraku lebih pelan.
“Itu namanya kau dilabrak?” Tiffany menyahut. Aku cemberut.
“Jadi, mau mundur sekarang?” Sunmi menantang. Aku terkekeh sinis. Ku lingkarkan lenganku ke lehernya, dan aku memitingnya. “Bersiap-siap saja ke sekolah jalan kaki.” Desisku kesal. Sunmi berteriak. “Aduh, kau merusak tatanan rambutku!” teriaknya. Ketika kami kembali asyik bercanda, ekor mataku menangkap sekelebat bayangan melintas dari balik jendela kelasku.
“Hoshi!” Reflek aku langsung memanggil. Namja itu berhenti, mencari asal suara yang memanggilnya, dan ia melihatku. Mengabaikan keberadaan kedua sahabatku aku berlari ke arahnya. Segera aku di sambut dengan senyumnya yang manis. Matanya yang semakin menyipit ketika bibirnya tersenyum terlihat begitu keren.

“Mau kemana?” tanyaku langsung.
“Perpustakaan.” Jawabnya.
“Boleh aku ikut? Aku ingin konsultasi Matematika bab 5.”
Seperti biasa, Hoshi tersenyum ramah lalu mengangguk.
“Sebentar.” Aku berbalik, masuk ke kelas, lalu meraih tasku. Aku merogoh buku matematika dan  sebuah kotak kue. Aku mendengar kedua sahabatku cekikikan dari balik pintu.
Ketika melewati mereka, aku sengaja mengibaskan rambutku dengan gaya dibuat-buat. Dan mereka makin cekikikan.

“Untukmu.” Aku menyodorkan kotak kue ke arah Hoshi. Namja itu tampak bingung.
“Aku membuatnya sendiri. Rasa coklat, kesukaanmu.” Ucapku. Wajah hoshi tampak sumringah.
“Gomawo, Ara-ah. Bagaimana kau tahu aku suka kue coklat?”
Aku tersenyum. “Aku pandai membuat kue. Kalau kau mau, aku bisa membuatkanmu lagi.” tawarku. Hoshi kembali tersenyum, aku melihat wajahnya merona.
“Kalau itu tak merepotkan...”
“Tentu saja tidak.” Jawabku cepat.
Kami berjalan berdampingan menyusuri lorong kelas.
“Bisa kita mampir ke ruang UKS sebentar?” Aku menghentikan langkahku.
“Kenapa? Kau sakit?” Hoshi tampak cemas.
“Hanya sedikit sakit kepala. Tapi sepertinya aku tetap butuh aspirin.” Jawabku. “Tapi kalau kau keberatan, kau bisa ke perpustakaan dulu. Nanti aku menyusul.” Lanjutku.
“Tidak. Aku akan menemanimu ke UKS.” Hoshi berkata tanpa ragu.
Aku tersenyum. “O-ke.” Jawabku.
Dan aku sengaja melakukannya. Karena jika kami ke UKS dulu, kami akan melewati kelas Sojin. Dan aku ingin yeoja itu melihat kami berjalan berduaan.

***

“Ah, oettoke?” Aku mendesis kesal.
Apes, motorku mogok, aku tak mengerti sama sekali soal mesin, phonselku mati, dan cuaca sedang mendung. Dan coba tebak? Sepertinya aku adalah murid terakhir di sekolah karena harus mengerjakan laporan kegiatan terlebih dahulu.
“Ah, oettoke?” Aku kembali mengulang kalimat tersebut sembari meremas  kepalaku dengan gemas.
“Ara?”
Aku nyaris terlonjak karena kaget. Aku berbalik dan menyaksikan Hoshi sedang melangkahkan kakinya ke arahku.
“Hoshi? Ah, syukurlah!” Teriakku spontan.  
“Ada masalah?”
“Motorku mogok.” Air mataku nyaris saja tumpah. Tapi karena Hoshi menatapku dengan lembut, aku menjadi tenang. Namja itu menggulung lengan bajunya dan mulai mengutak-atik sepeda motorku.
“Bukankah tadi kau sudah pulang? Kenapa ada di sini lagi?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian ke arah namja tersebut.
“Iya, tapi karena aku ingat ada yang ketinggalan di sekolah, jadi aku kembali lagi.” jawabnya.
“Apa yang ketinggalan?”
“Kau.” Jawaban Hoshi sempat membuatku merona.
“Aku ingat kau masih mengerjakan laporan sendirian, jadi aku kembali lagi ke sini.” Lanjutnya.
Aku manggut-manggut. Aah, itu maksudnya. Aku terlanjur tersanjung.
“Tak jauh dari sekolah ini ada bengkel. Aku akan membantu membawanya ke sana.” Hoshi bangkit.
“Kenapa haru di bawa ke bengkel?” tanyaku.
“Ada beberapa spare part yang harus diganti. Dan, hanya bengkel yang bisa melakukannya. Jika motor ini harus menginap di sana, aku yang akan mengantarkanmu pulang.” jawabnya.
Aku tertegun.

Dan begitulah akhirnya. Motorku benar-benar harus menginap di bengkel. Dan di sore yang mendung itu, aku diantarkan pulang seorang namja, untuk pertama kalinya.
Dan sumpah, kejadian hari ini, tak ada dalam skenarioku ....

***

Aku baru saja memasuki pintu gerbang sekolah ketika tiba-tiba Tiffany dan Sunmi menghambur ke arahku, menyeretku lenganku, lalu membawaku ke kelas dengan terburu-buru.
“Oh-my-Gawd! Bisakah kalian jalan pelan-pelan?” protesku.
“Tidak!” Mereka menjawab kompak lagi.
“Mwoyaaa??” Tanyaku tak sabaran.
“Hoshi dan Sojin putus. Berita ini sudah dikonfirmasi, dan fix. Mereka benar-benar putus.” Jawab Sunmi. Aku mendelik. “Yang benar?” Aku nyaris berteriak. Mereka mengangguk. Dan aku mematung, setengah tak percaya.

Kok bisa? Padahal ini baru hari ke-20 sejak taruhan kami. Aku bahkan belum mengeluarkan trik-trik khusus demi bisa menghancurkan hubungan mereka. Yang kulakukan selama ini hanyalah cara-cara klise seperti yang ada di drama ataupun opera sabun. Tapi kok ...?
Kalau hanya karena aku rajin nempel pada Hoshi, kenapa mereka bisa putus?
“Heran deh. Kau pakai cara apa hingga mereka benar-benar bisa putus?” Sunmi berkata setengah tak percaya.
“Aku tak yakin kalau mereka putus gara-gara kau. Bisa jadi hubungan mereka selesai karena ada alasan lain. Misalnya, tak disetujui orang tua mereka ...”
Aku mendelik ke arah Tiffaniy. Dan ia tetap saja ngoceh kesana kemari. “Bisa saja mereka memang sudah berniat putus sejak dulu. Bisa saja salah satu dari mereka ada yang terkena penyakit mematikan seperti di film-film. Atau bisa saja Hoshi  ... gay?”
Aku memutar bola mataku dengan kesal.

“Helloooo, intinya mereka sudah putus sebelum satu bulan. Dan itu artinya ....”
“Tapi ini benar-benar tak bisa dipercaya, Ara-ah.” Tiffani merajuk. “Jelas-jelas Sojin lebih cantik darimu. Tidak mungkin Hoshi putus dengannya karena kau?”
Aku melipat lenganku dan melotot ke arah Tiffany. “Intinya taruhan ini aku yang menang. Entah mereka putus karena apa, yang jelas mereka sudah putus. Jadi, mulai besok, silahkan ke sekolah jalan kaki!”

Aku berbalik. Dan sesaat kemudian aku merasakan tubuhku membeku manakala melihat sosoknya di sana. Hoshi, berdiri di samping pintu, menatap nanar ke arahku.
Glek, aku menelan ludah.
“Ho-Hoshi? Sejak kapan kau di sini?” Aku gelagapan. Tatapan Hoshi tajam, menghujam langsung ke ulu hatiku, sakit.
“Belum terlalu lama. Tapi lebih dari cukup untuk mendengar segalanya.” Jawabnya. Ia menggeleng putus asa. “Aku benar-benar tak menyangka kau melakukannya, Ara-ah? Kau, melakukan taruhan konyol, untuk menghancurkan hubunganku dengan Sojin?” Raut wajahnya nampak terpukul.
Dan entah kenapa, aku merasa pantas mati.
“Well, ku harap kau senang sekarang.” Ucapnya lagi seraya menyeret langkahnya meninggalkan kami. Aku, Tiffany dan Sunmi hanya mampu mematung.
Oh-My-Gawd, aku benar-benar yeoja yang berhati buruk!

***

Sudah seminggu aku tak bertemu dengan Hoshi. Bukan dia yang menghilang, tapi aku yang menghindarinya. Kenapa? Karena aku tahu aku salah. Sebuah kesalahan fatal yang mungkin saja tak bisa dimaafkan. Dan aku tak punya muka lagi untuk bertemu dengannya.
Sebenarnya sempat terpikir olehku untuk menghadapinya secara langsung lalu meminta maaf. Tapi nyaliku ciut. Bagaimana jika dia mengamuk? Bagaimana jika dia memakiku? Bagaimana jika dia membenciku dengan sepenuh hatinya? Aah, michigetda ...

“Ara-ah, kami pulang dulu ya? Sudah dijemput tuh.” Suara Sunmi membuyarkan lamunanku. Aku tergagap, lalu tersenyum. “Nde, annyeong ...”
Sunmi dan Tiffany melangkah menuju sebuah SUV hitam yang telah menunggu mereka di pinggir jalan. Rumah mereka searah, jadi mereka memang selalu berangkat dan pulang sekolah bareng.
Oh, aku lupa memberitahu. Taruhan itu kubatalkan. Mereka tak jadi ke sekolah jalan kaki.
“Bisa kita bicara?”
Suara itu membuatku menoleh. Dan aku merasakan dadaku berdesir. Hoshi?
“Ada yang harus kita selesaikan.” Kalimat Hoshi dingin. Sama seperti tatapan matanya. Oh tidak, tamat sudah riwayatku!
Eottoke? Eottokajii?? Aku belum sanggup bertemu dengannya. Aku belum siap bicara dengannya!

Alih-alih menjawab pertanyaan namja tersebut, aku malah memutuskan untuk mengambil langkah seribu dan segera ngacir dari hadapan Hoshi tanpa mengatakan apapun padanya!
Tapi apesnya lagi, bukannya menjauh, Hoshi malah ikut lari mengejarku.
“Berhentiiiii! Urusan kita belum selesaaiiiiiiii!!” Hoshi berteriak lantang. Aku tak menggubris dan terus berlari. Dan sialnya, Hoshi juga terus berlari mengejarku.
Dan terjadilah aksi kejar-kejaran di antara kami di pinggir jalan. Aku berkali-kali menabrak orang, tapi kakiku tak berhenti berlari. Hoshi juga sama. Beberapa kali ia menabrak orang, tapi kakinya juga tak berhenti mengejarku.

Kami sama-sama ngos-ngosan, tapi juga sama-sama tak mau menyerah. Orang-orang hanya bisa terbengong menyaksikan kami melakukan adegan kejar-kejaran bak film action dari Amrik! Ah, whatever!
“Hiyaaaa!!! Kenapa kau masih mengejarkuuuuu????!!” Aku menjerit, melihat Hoshi sekilas dari bahuku, tanpa berhenti berlari.
“Kalau bgitu kenapa kau harus melarikan diri darikuuuu!!??” jawab Hoshi dengan berteriak. Ia juga ngos-ngosan, tapi pantang menyerah.
“Aku lari karena kau mengejarkuu??!!” Aku kembali berteriak.
“Dan aku mengejarmu karena kau lari darikuuu??!!!” Hoshi juga ikut berteriak.
“Sialan!”
“Kau yang sialan! Berhenti atau tidaakk!!??”
“Tidaaakkkk...!!” dan aku terus berlari.
“Yyaaaa...!! Kalau kau tak berhenti, akan kuteriaki kau maling!!” Hoshi kembali berteriak.
Aku tersentak. Namja macam itu?
“Dan aku akan meneriakimu namja cabul yang melakukan pelecehan sex padaku! Coba saja kalau berani?!” Aku menjawab tak kalah sengit.
Jawaban itu seolah menohok jantung Hoshi hingga ia kehilangan konsentrasi lalu menabrak seorang perempuan yang habis berbelanja. Dan ketika ia itu sibuk meminta maaf, aku menggunakan kesempatan itu terus melarikan diri. Dan sukses.

***

Jika usahaku melarikan diri kemarin berhasil. Ternyata tidak untuk hari ini.
Aku sedang mengikuti pelajaran bahasa inggris ketika tiba-tiba Hoshi datang ke kelasku dan dengan memasang tampang manis, ia meminta ijin pada guruku untuk bertemu denganku.
“Soensangnim, saya ada perlu sebentar dengan Ara. Kami harus melanjutkan rapat untuk kegiatan festival seni bulan depan.” Ucapnya dengan nada suara yang sangat-sopan-sekali.
“Oh, tidak apa-apa Hoshi-ah. Lama juga tak apa-apa.” Jawab soensangnim.
Aku mendengus.

Aku masih tertancap di tempat dudukku ketika tatapan Hoshi beradu dengan tatapanku. Bibirnya memang tersenyum manis, tapi matanya tajam menusuk. Ia mengatupkan gigi-giginya dengan kesal seolah ingin mengatakan padaku : keluarlah! Jika tidak, tamat riwayatmu!
Dan aku menyerah. Dengan ogah-ogahan aku bangkit.
Segera setelah aku keluar dari kelas, Hoshi menarik lengan tanganku.
“Mau kemana?” tanyaku bingung.
“Ke tempat lain. Tak baik bertengkar di sini.” Jawabnya.
Rahangku ternganga. “Siapa yang mau bertengkar?” tanyaku lagi.
“Kita.” Hoshi menjawab pendek. Dan aku tesedak. Oh-my-Gawd!
“Aku sudah ijin untuk meninggalkan sekolah lebih awal. Aku mengatakan pada mereka kalau kita harus berbelanja untuk festival nanti. Kita harus menyelesaikan masalah di antara kita hari ini juga. Jika tidak, aku bisa gila karena kau terus menghindariku.” Hoshi menghentikan taksi yang melintas lalu segera mendesakku masuk.

Ketika taksi sudah mulai berjalan, ia tak berbicara padaku sama sekali. Ia hanya membuka suara untuk memberikan arah pada pak sopir.
Dan beberapa menit kemudian taksi berhenti. Hoshi menarik diriku keluar dan di sinilah kami sekarang, pantai di Yeosso.
Hoshi sembar mondar-mandir beberapa saat sebelum akhirnya berdiri menatapku.

“Oke, kalau ada hal yang ingin kau katakan, katakan saja.” Ia membuka suara. Aku mengernyitkan dahiku.
“Bukankah kau yang mengajakku kesini dan ingin membicarakan sesuatu? Kenapa harus aku yang bicara duluan,” sergahku.
“Kau tak ingin meminta maaf padaku?” Hoshi menelengkan kepalanya.
Aku tak segera menjawab. Keadaan hening sesaat.
“Ya, aku minta maaf. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku menjadikan hubunganmu sebagai permainan. Ini taruhan yang konyol, maafkan aku.” Akhirnya aku berdamai dengan situasi. Hoshi terkekeh dan membuang pandangannya ke tempat lain sesaat.
“Kata maaf tidak akan menyelesaikan masalah.” Desisnya.  “Ah, harusnya aku sadar bahwa ada yang tak beres ketika tiba-tiba saja kau mendekatiku.” Ia menarik nafas berat.
“Aku tahu. Mianhae. Aku akan menemui Sojin dan menceritakan segalanya agar kalian bisa berbaikan lagi.” Jawabku.
Hoshi menggeleng.

“Hubungan kami sudah berakhir. Dan itu tak akan bisa di perbaiki meskipun kau minta maaf dan memberinya penjelasan.” Ucapnya.
Aku kembali terdiam. Rasa bersalah semakin menderaku.
“Apa kau membenciku?” tanyaku kemudian.
Hoshi menggeleng.
“Apa kau akan memaafkan aku?”
Hoshi kembali menggeleng. Nyaliku ciut.
“Lalu, apa yang harus ku lakukan untuk menebus kesalahanku?” tanyaku lagi.
“Jadilah pacarku. Maka aku akan memaafkanmu.”
Aku terkekeh.
“Itu tak lucu.” Jawabku.
Hoshi menatapku. Tatapannya tetap serius.
"Ara-ah, ada yang harus kuberitahukan padamu.” ucapnya.
“Apa?”
“Jauh sebelum kau datang mengacau, jauh sebelum kau datang ke kehidupanku dengan taruhan konyolmu itu, hubunganku dengan Sojin sudah labil, retak. Kami bahkan sudah mau putus berkali-kali.” Ia menjelaskan.
Mataku mengerjap.
“Apa itu berarti kalian benar-benar putus bukan karena aku?” Aku nyaris berteriak. Hoshi menggeleng.
“Tidak. Kami benar-benar putus karena dirimu.” Jawabnya.
“Tapi, bukankah tadi kau bilang bahwa hubungan kalian sudah retak sebelum ada taruhan itu?” Aku memastikan.
“Tetap saja kami putus karena kau.”
“Kok bisa?” Bibirku mengerut kesal.
“Karena aku sudah menyukaimu sejak kelas satu.” Jawabnya.
Aku terbelalak. Hah!?
Hoshi menatapku dengan dalam.

“Ara-ah ...  Aku sendiri tak tahu sebenarnya kau punya daya tarik apa. Tapi sejak aku masuk ke SMA dan mengenalmu, perlahan-lahan kau mulai menggantikan posisi Sojin di hatiku. Sekitar 6 bulan yang lalu aku mencoba jujur pada Sojin dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan kami lagi karena aku menyukai yeoja lain. Tapi dia tak terima. Dia senantiasa meminta padaku untuk diberi kesempatan agar hubungan kami kembali membaik. Dan aku mengiyakan. Yaah, siapa tahu dengan saling introspeksi diri, hubungan kami kembali seperti dulu kala. Tapi ... surprise!! Tiba-tiba saja Tuhan mengirimmu untuk datang dengan sendirinya padaku melalui taruhan itu. Bukankah itu yang dinamakan takdir?” Hoshi terkekeh sinis.

“Dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk bersahabat dengan Sojin. Dan kami putus baik-baik,” ia kembali berkata.

Aku hanya melongo mendengar penjelasan Hoshi yang panjang lebar.
Sesaat aku ingat sesuatu. Oh, pantas saja sejak awal semester ini Sojin selalu menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Terlihat jelas bahwa yeoja itu tak menyukaiku. Apa alasannya karena ini?
“Apa ini ... serangan balasan?” tanyaku tanpa sadar.
Hoshi menggeleng. Ia menatapku. Kali ini tatapannya ... lembut.
“Aku menyukaimu, Ara-ah. Tulus, dan dengan sepenuh hatiku. Aku suka melihatmu duduk manyun di bawah pohon cherry sambil melihat anak-anak latihan basket. Aku tahu kau tak suka pelajaran olahraga, terutama basket. Aku suka melihatmu membaca di perpustakaan sambil mengetuk-ngetukan jemarimu di atas meja. Aku suka melihatmu makan ramen di kantin tanpa sambal, tanpa sayuran. Aku tahu kau tak suka makanan pedas dan kau benci semua jenis sayuran.” Di sela-sela ceritanya, Hoshi sempat terkikik.
“Aku hafal semua yang kau suka berikut yang tak kau suka. Aku juga tahu kau punya alergi pada beberapa makanan tertentu. Oh, dan aku juga hafal semua jadwal les-mu.” Lanjutnya.
“Dan ada lagi ...”
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Masih ada lagi?
“Aku hafal semua mantan pacarmu. Aku juga hafal siapa-siapa saja namja yang naksir padamu. Perlu kusebutkan satu-satu?” Hoshi menatapku dengan senyum tertahan.

Glek, aku menelan ludah. Busyet! Bagaimana mungkin dia tahu sebanyak itu tentang aku? Jadi selama ini aku dimata-matai?!
“Kembali ke pertanyaan awal. Maukah kau jadi pacarku? Kalau kau menerima, aku akan sangat berterima kasih. Tapi jika kau menolak, aku tak keberatan untuk mengejar-ngejar cintamu. Aku tahu aku punya banyak saingan karena di luar sana banyak namja yang jungkir balik ingin mendapatkan cintamu. Tapi asal kau tahu, aku sama sekali tak gentar.” Tatapan Hoshi terlihat mantap, tanpa keraguan sedikitpun.
Aku hanya terdiam, linglung.
Oh-My-Gawd!
Ini ... benar-benar tak dapat tak kupercaya. Sepertinya aku butuh waktu beberapa menit untuk ...
“Diam berarti ‘Ya’.”
“Mwo?!” Aku terlonjak. “Pernyataan cinta macam apa itu?” teriakku.
“Jadi kau menolakku? Oke, kalau begitu, pulanglah sendiri.” Hoshi berbalik.
Aku menggigit bibirku kesal.

Begitu saja? Namja macam dia?
Karena jengkel, aku meraih apa saja yang ada dekat denganku. Pasir, kerikil, atau apalah, lalu ku lemparkan begitu saja ke arah namja tersebut. Dan mengenai bajunya.
Hoshi berbalik, mendekatiku dengan langkah panjang, lalu ... mengecup bibirku dengan ringan.
“Ini sebagai pertanda bahwa mulai detik, aku resmi mengejar-ngejar cintamu. Dan aku sudah bertaruh dengan diriku sendiri bahwa kurang dari satu minggu, aku akan menjadikanmu pacarku. Deal.” Hoshi menyeringai puas lalu kembali berbalik.

Aku mematung lagi. Dia tadi baru saja ... apa?
“Oh, ada lagi.” Namja itu memutar tubuhnya ke arahku.
“Jika hati nuranimu mengatakan ‘tidak’, pulanglah sendiri. Tapi jika hati nuranimu mengatakan ‘ya’, pulanglah bersamaku.” Ucapnya, lalu kembali berbalik.
Aku meremas kepalaku dengan kesal. Tapi akhirnya aku berlari mengejarnya.
“Oke, kita pulang bersama.” Jawabku seraya menyamai langkah Hoshi. Dan aku sempat menangkap senyum manis di bibir namja tersebut.
Ah, terserah.
Kau yang menang.


Selesai.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar