Sinopsis
singkat :
Pernikahan
antara Hani dengan Dojun terpaksa diundur karena lelaki itu harus melakukan
perjalanan bisnis ke Eropa yang tak bisa ditunda. Kecewa dengan perubahan
rencana pernikahan tersebut, Hani memutuskan untuk bepergian ke Chanwon.
Di
samping ingin mencari suasana baru, ia juga rindu dengan tempat itu karena
Chanwon adalah kampung halamannya.
Tak
di sangka, dia malah bertemu dengan Jeon Wonu, mantan pacarnya ketika SMA, dan
juga cinta pertamanya.
Lelaki
itu menjadi sosok yang sangat berbeda.
Terlebih
ketika Hani tahu, ada seorang anak kecil bersamanya.
Part
1
~~~~~~~
~~~~~~~
Dengan
sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku
arungi perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun
orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada
dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan
aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh,
dengan sukarela ......
[Dee
~ Supernova]
~~~~~~~
~~~~~~~
Dojun
menatap wajah Hani dengan tatapan penuh penyesalan. Berkali-kali lelaki
berpenampilan parlente itu menarik nafas berat. “Aku tak tahu harus bicara apa
lagi, Hani-ah. Aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar ...”
Hani
terkekeh sebelum Dojun selesai melanjutkan kalimatnya. “Gwaencana. Kita sudah
membahasnya kan? Pernikahan kita hanya ditunda, tidak dibatalkan. Ya ‘kan?”
ujarnya, tegar.
Dojun
menelangkupkan kedua tangannya di pipi Hani lalu mengecup keningnya dengan
ringan.
“Iya,
pernikahan kita hanya ditunda, dua bulan saja. Aku janji. Setelah perjalanan
bisnis ini selesai, kita akan segera melangsungkan pernikahan kita. Oke?”
Ucapnya lembut. Hani tersenyum lalu mengangguk.
Ya,
seharusnya tiga minggu lagi ia dan Dojun akan segera melangsungkan pernikahan.
Tapi sesuatu terjadi. Tiba-tiba saja Dojun harus melakukan perjalanan bisnis ke
Eropa selama 2 bulan dan esok pagi ia berangkat.
Kepergiannya
ke Eropa bisa dikatakan penting karena jika Dojun berhasil, ia akan mendapatkan
kontrak bisnis senilai ratusan milyar. Sungguh peluang yang teramat menggiurkan.
Tadinya
lelaki itu sempat terpikir untuk membatalkan kepergiannya ke sana, tapi setelah
berdiskusi dengan Hani dan seluruh keluarga besar mereka, pernikahan mereka
sepakat ditunda. Toh perjalanan bisnis Dojun ke Eropa juga demi masa depan
dirinya dan Hani ‘kan?
Itulah
mengapa, Hani mengiyakan saja penundaan rencana pernikahan mereka.
“Aku
akan menunggu kepulanganmu. Jadi, pergilah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik.”
Ucap Hani lagi dengan lembut. Dojun mengangguk. Lelaki itu balas tersenyum haru
seraya merengkuh tubuh perempuan yang teramat ia cintai tersebut.
“Terima
kasih, jagiya. Terima kasih karena kau memahami pekerjaanku.” Bisiknya.
“Berliburlah.
Sambil menunggu kepulanganku, berliburlah. Kemana kau ingin pergi? Aku akan
segera menyuruh orang untuk mengurusnya.” Ucapnya lagi.
Hani
menggeleng. “Anio. Aku akan di rumah saja sambil menyiapkan pesta pernikahan
kita.” Jawabnya.
Dojun
menarik tubuhnya dan menatap Hani dengan tatapan protes.
“Mana
bisa begitu? Toh persiapan pernikahan kita sudah disiapkan mamaku ‘kan? Ayolah,
kemana kau ingin pergi? Aku tak mau kau suntuk menjelang pernikahan kita.” Ia
memaksa.
Hani
tersenyum dan terdiam sesaat. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Aku
ingin ke Chanwon.” Jawabnya kemudian. Dojun mengangguk-angguk.
“Geurae,
aku akan segera menyiapkan segalanya agar kau bisa ke sana besok pagi.” Ucapnya
sambil membelai rambut Hani. Perempuan itu menggeleng.
“I don’t need a travel agency. Aku akan
ke sana sendiri. Sepertinya itu lebih nyaman. Aku bisa berangkat semauku, dan
pulang semauku. Aku juga bisa menginap di hotel semauku dan juga pergi
kemana-mana semauku.” Jawab Hani.
Dojun
menyipitkan matanya, terlihat sedikit ragu.
“Kau
yakin?” Ia memastikan. Hani mengangguk mantap. Lelaki di hadapannya terlihat
sedang menimbang-nimbang. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Oke,
deh. Apapun yang kau mau, bersenang-senanglah.” Ujarnya kemudian.
***
Hani
memutuskan untuk bepergian ke Chanwon dua hari sesudahnya. Sebenarnya
kepergiannya ke sana bukanlah tanpa alasan. Ia memang sudah berencana
bernostalgia di sana sebelum menikah. Bagaimanapun juga, Chanwon, kota yang
terkenal dengan industri beratnya itu adalah kota kelahirannya. Ia menghabiskan
masa kecil, masa sekolah, masa remaja, di sana. Jika saja papanya tidak
mengajak ia dan keluarga besarnya pindah ke Seoul beberapa tahun yang lalu,
tentu saat ini ia masih bermukim di kota tersebut.
Setelah
sampai di hotel, tak butuh waktu lama baginya untuk segera bepergian keliling
kota. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu biasa ia jadikan tempat nongkrong dan
juga mengunjungi beberapa sahabat akrab yang masih bermukim di sana meski tak
banyak. Itu karena sebagian teman akrabnya sewaktu es-em-a sudah melanglang
buana seantero jagad. Ada yang di kota lain, bahkan di benua berbeda.
Lelah
setelah berkeliling, Hani kembali ke hotel untuk tidur selama 3 jam saja.
Karena setelah itu, ia melanjutkan aksinya hang
out-nya dan keliling kota semau dia, sendirian saja.
***
Jam
menunjukkan pukul 10 pagi. Cuaca nampak begitu cerah. Taman kota yang Hani
kunjungi terlihat ramai oleh orang yang berlalu lalang. Maklum, ini adalah hari
minggu.
Perempuan
cantik itu duduk di sebuah bangku kecil dekat air mancur. Yang ia lakukan
hanyalah menatap orang-orang yang berseliweran. Ia memang sengaja melakukannya.
Hari ini ia sengaja membuat jadwal : duduk diam di taman kota dan tak melakukan apa-apa.
Hani
tengah asyik mengamati aktivitas-aktivitas orang di sekelilingnya ketika tanpa
sengaja tatapan matanya menangkap sosok itu.
Sosok
lelaki tampan yang mengenakan topi rajut dan berbaju kasual. Sosok lelaki yang
sepertinya juga – hanya – tengah duduk-duduk saja di salah satu bangku taman
yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya berada. Hani menyipitkan mata dan
berusaha meyakinkan tatapannya. Dan ia yakin, ia memang tak salah lihat. Sosok
itu memang dia!
Hani
meraih tasnya lalu bangkit. Kemudian dengan langkah mantap, ia mendekati lelaki
itu.
“Wonu?”
Panggil Hani yakin. Sosok itu mendongak, lalu menatap langsung ke arah Hani.
Kedua matanya yang teduh menyipit dengan indah. Awalnya tak ada ekspresi. Namun
beberapa detik kemudian, kedua mata itu
menyiratkan keterkejutan. “Hani?” Ia mendesis lirih. Hani tersenyum. Dan
perlahan lelaki itu juga.
“Kau
... di sini?” Tanya Hani spontan.
“Kau
juga. Kau ... di sini?” Wonu juga bertanya heran.
“Ku
dengar kau di luar negeri?” Hani kembali bertanya.
“Dan
ku dengar kau juga tinggal di Seoul?” Wonu juga kembali bertanya.
Keduanya
terkekeh. Mereka berjabat tangan. Wonu menggeser tempat duduknya untuk
menyisakan tempat bagi Hani agar ia bisa ikut duduk di sampingnya.
“Bagaimana
kabarnya?” Hani kembali bertanya duluan. “Baik. Kau?” balas Wonu.
“Baik
juga.” Hani menjawab tanpa kehilangan senyum di bibirnya.
“Ku
dengar kau ada di luar negeri sejak beberapa tahun yang lalu.” Perempuan itu
kembali melanjutkan.
“Aku
baru kembali sebulan yang lalu. Biasa, urusan pekerjaan. Kau?”
“Hanya
berkunjung saja.” Jawab Hani.
Mereka
terus mengobrol, asyik menanyakan kabar selayaknya teman es-em-a yang lama tak
bertemu.
“Sendirian
saja?” Tanya Hani lagi.
“Anio.
Tuh,” dengan dagunya, Wonu menunjuk ke arah seorang anak perempuan berumur
sekitar 4 tahun yang tengah asyik bermain di taman bermain.
Hani
melongo. Ia menatap ke arah anak tersebut, lalu
beralih ke arah Wonu.
“Anakmu?”
ia bertanya antusias.
Wonu
tersenyum dan mengangguk. Hani tertawa. “Woa, daebak. Selamat ya. Aku tak
menyangka kau ... sudah menikah dan punya anak. Dia ... kyewoo. Ibunya mana?”
Hani menatap sekeliling, berharap bertemu dengan istri Wonu.
“Dia
tak ikut. Dia di rumah.” Jawaban Wonu membuat Hani sedikit kecewa.
“Kau
sendiri, sudah menikah?” Wonu balik bertanya. Hani tersenyum sambil menunjukkan
cincin di jari manisnya. “Bertunangan.” Jawabnya.
Kali
ini, Wonu yang ganti manggut-manggut. “Selamat ya.” Ucapnya kemudian.
Hani
tersenyum. “Thanks.” Jawabnya.
Wonu
menatap sekelilingnya. “Tunanganmu tak ikut?”
Hani
menggeleng. “Tidak. Dia ada pekerjaan.” Jawabnya.
“Berencana
berapa lama di sini?”
Hani
mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin sekitar beberapa hari.” Jawabnya.
Wonu
tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika
phonselnya berdering. “Sebentar.” Ia seakan meminta ijin pada Hani seraya
meraih phonsel di sakunya. Lelaki itu bangkit dan melangkah menjauhi Hani untuk
segera menerima telpon. Tak berapa lama kemudian ia terlibat pembicaraan
singkat. Setelah selesai, ia kembali
menghampiri Hani.
“Sori
ya, si kecil sudah dicariin ibunya tuh. Aku pergi dulu, tak keberatan ‘kan?” ia
memohon.
Hani
tersenyum dan menggeleng. “Oke,” jawabnya pendek. Wonu tersenyum lalu berbalik.
Harusnya
Hani membiarkannya. Harusnya ia membiarkan Wonu pergi dari hadapannya. Tapi
hati nuraninya tak bisa diajak kompromi. Alih-alih, ia malah bangkit dan
meneriakkan namanya.
“Wonu!”
Panggilnya. Yang dipanggil berbalik. “Ya?” ia menjawab, menatap Hani dengan
penasaran.
Hani
melangkah mendekatinya dengan mantap. “Boleh aku minta nomer phonselmu?” Ia
bertanya langsung. Wonu tertegun sesaat. Tapi kemudian ia tersenyum lalu
mengangguk. Dan segera sederet nomor meluncur dari bibirnya.
Hani
menyimpan nomor phonselnya.
***
Hani menatap deretan nomor itu
dengan seksama. Hampir 10 menit lamanya ia menatap layar phonsel yang
menampilkan nomor Wonu.
Wonu.
Jeon Wonu.
Ia hanya tak menyangka bahwa ia akan
dipertemukan lagi dengan sosok itu. Sosok yang pernah ia pacari ketika mereka
masih duduk di bangku SMA, lalu ia campakkan begitu saja!
Bisa
kau catat itu? Hani mencampakkan Wonu, begitu
saja. Tak perlu diulangi lagi ‘kan?
Waktu
itu mereka masih sangat muda. Dan Hani sadar dia begitu egois, melakukan
kesalahan.
Wonu cinta pertamanya.
Wonu juga pacar pertamanya.
Mereka pernah berpacaran selama hampir 6 bulan. Tapi
hubungan itu kandas karena orang tua Hani tak pernah menyetujui hubungan
mereka. Alasannya klise. Status.
Orang
tua Hani termasuk keluarga yang berada. Sementara orang tua Wonu hanyalah buruh
pabrik. Ayah Hani mengancam tidak akan pernah merestui hubungan mereka walau
hanya sebatas pacar, sampai kapanpun.
Dan
kemudian, orang tua Hani harus pindah ke Seoul karena urusan pekerjaan. Hani
menuruti kemauan orang tuanya. Ia ikut ke Seoul, meninggalkan Wonu, begitu
saja.
Ia
pergi meninggalkan lelaki itu, tanpa penjelasan, tanpa mengatakan apapun.
Meskipun begitu, selama ini Hani
rajin mencari tahu keadaan Wonu dari teman-temannya yang ada di Chanwon. Itulah
kenapa ia tahu bahwa mantan pacarnya itu sudah beberapa tahun menetap di luar
negeri. Mereka bilang, ia mendapatkan
pekerjaan yang mapan sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan jasa. Hanya
saja ia tak tahu bahwa ternyata lelaki itu ada di sini, sudah menikah, dan
punya anak!
Dan sekarang, tentu ia kaget
mendapati Wonu berada di Chanwon. Hatinya sempat bertanya-tanya. Kenapa Tuhan
mempertemukan lagi ia dengannya? Apakah ini isyarat bahwa Hani memang harus bertemu
dengan Wonu dan meminta maaf padanya karena beberapa tahun yang lalu ia pergi
meninggalkannya, begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab?
Mungkin iya.
Mungkin ini adalah saat yang tepat
bagi Hani untuk meminta maaf pada Wonu sebelum ia menikah dengan Dojun.
Setidaknya dengan begitu, ia takkan punya beban lagi karena terus menerus
dirundung penyesalan.
Hani menarik nafas berat.
Gamang. Tapi akhirnya ia memutuskan
untuk mencoba menelpon Wonu.
Dalam hati ia berujar, jika yang
menjawab telponnya adalah Wonu sendiri, maka ia akan meminta maaf padanya. Tapi
jika yang menjawab telponnya adalah istrinya, maka ia memutuskan untuk tidak
menghubungi lelaki itu, selamanya.
Tut ... tut ... tut ....
Terdengar bunyi klik. Seseorang menerima
telpon tersebut. Hati Hani berdebar, menanti dengan perasaan cemas.
“Yoboseyo.”
Itu suara Wonu!
“Yoboseyo.” Hani menjawab, suaranya tergagap.
Tiba-tiba saja perasaannya campur aduk tak menentu.
“Wonu?” Ia memastikan.
“Nde.”
“Aku ... Hani.”
Hening sesaat.
“Oh,
Hani. Ini ... kejutan. Aku tak menyangka
kau bersedia menelponku.” Suara Wonu terdengar riang. Hani tertawa lirih.
“Mumpung aku di sini dan kita
ketemu. Jadi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku tak mengganggu ‘kan?”
Ucapan Hani ragu. Terdengar Wonu juga tertawa lirih.
“Tidak.
Sama sekali tidak. Aku malah senang kau ....
mau menelponku.” Jawab lelaki tersebut.
Hening sesaat.
“Wonu, beberapa minggu lagi aku akan
menikah. Aku ingin mengundangmu secara resmi. Jadi jika kau tak keberatan ...”
“Hani,
besok aku akan ada di taman sekitar jam 3 sore.”
Hani tertegun. Kenapa Wonu
mengatakan bahwa ia akan di sana jam 3 sore? Apa ini artinya lelaki itu
mengajaknya bertemu? Atau ...
Hening lagi.
“Oke. Kita akan ketemu lagi di
sana.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Hani. Sempat ada perasaan
deg-degan karena ia cemas dengan jawaban Wonu selanjutnya. Bagaimana jika
lelaki itu tak mengajaknya bertemu? Bagaimana jika Wonu hanya sekedar
memberitahu bahwa ia akan di taman jam 3 sore? Bagaimana jika ...
Perasaan cemas itu berubah menjadi sebuah
senyuman di bibir Hani ketika akhirnya ia mendengar Wonu menjawab : “Oke. Kita bertemu di sana. Jam 3 sore.”
***
Bersambung
....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar