Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Always It's You #1




Sinopsis singkat :
Pernikahan antara Hani dengan Dojun terpaksa diundur karena lelaki itu harus melakukan perjalanan bisnis ke Eropa yang tak bisa ditunda. Kecewa dengan perubahan rencana pernikahan tersebut, Hani memutuskan untuk bepergian ke Chanwon.
Di samping ingin mencari suasana baru, ia juga rindu dengan tempat itu karena Chanwon adalah kampung halamannya.
Tak di sangka, dia malah bertemu dengan Jeon Wonu, mantan pacarnya ketika SMA, dan juga cinta pertamanya.
Lelaki itu menjadi sosok yang sangat berbeda.
Terlebih ketika Hani tahu, ada seorang anak kecil bersamanya.


Part 1

~~~~~~~
~~~~~~~

Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan sukarela ......
[Dee ~ Supernova]

~~~~~~~
~~~~~~~

Dojun menatap wajah Hani dengan tatapan penuh penyesalan. Berkali-kali lelaki berpenampilan parlente itu menarik nafas berat. “Aku tak tahu harus bicara apa lagi, Hani-ah. Aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar ...”
Hani terkekeh sebelum Dojun selesai melanjutkan kalimatnya. “Gwaencana. Kita sudah membahasnya kan? Pernikahan kita hanya ditunda, tidak dibatalkan. Ya ‘kan?” ujarnya, tegar.
Dojun menelangkupkan kedua tangannya di pipi Hani lalu mengecup keningnya dengan ringan.
“Iya, pernikahan kita hanya ditunda, dua bulan saja. Aku janji. Setelah perjalanan bisnis ini selesai, kita akan segera melangsungkan pernikahan kita. Oke?” Ucapnya lembut. Hani tersenyum lalu mengangguk.
Ya, seharusnya tiga minggu lagi ia dan Dojun akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi sesuatu terjadi. Tiba-tiba saja Dojun harus melakukan perjalanan bisnis ke Eropa selama 2 bulan dan esok pagi ia berangkat.
Kepergiannya ke Eropa bisa dikatakan penting karena jika Dojun berhasil, ia akan mendapatkan kontrak bisnis senilai ratusan milyar. Sungguh peluang yang teramat menggiurkan.
Tadinya lelaki itu sempat terpikir untuk membatalkan kepergiannya ke sana, tapi setelah berdiskusi dengan Hani dan seluruh keluarga besar mereka, pernikahan mereka sepakat ditunda. Toh perjalanan bisnis Dojun ke Eropa juga demi masa depan dirinya dan Hani ‘kan?
Itulah mengapa, Hani mengiyakan saja penundaan rencana pernikahan mereka.

“Aku akan menunggu kepulanganmu. Jadi, pergilah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik.” Ucap Hani lagi dengan lembut. Dojun mengangguk. Lelaki itu balas tersenyum haru seraya merengkuh tubuh perempuan yang teramat ia cintai tersebut.
“Terima kasih, jagiya. Terima kasih karena kau memahami pekerjaanku.” Bisiknya.
“Berliburlah. Sambil menunggu kepulanganku, berliburlah. Kemana kau ingin pergi? Aku akan segera menyuruh orang untuk mengurusnya.” Ucapnya lagi.
Hani menggeleng. “Anio. Aku akan di rumah saja sambil menyiapkan pesta pernikahan kita.” Jawabnya.
Dojun menarik tubuhnya dan menatap Hani dengan tatapan protes.
“Mana bisa begitu? Toh persiapan pernikahan kita sudah disiapkan mamaku ‘kan? Ayolah, kemana kau ingin pergi? Aku tak mau kau suntuk menjelang pernikahan kita.” Ia memaksa.
Hani tersenyum dan terdiam sesaat. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. 
“Aku ingin ke Chanwon.” Jawabnya kemudian. Dojun mengangguk-angguk.
“Geurae, aku akan segera menyiapkan segalanya agar kau bisa ke sana besok pagi.” Ucapnya sambil membelai rambut Hani. Perempuan itu menggeleng.
I don’t need a travel agency. Aku akan ke sana sendiri. Sepertinya itu lebih nyaman. Aku bisa berangkat semauku, dan pulang semauku. Aku juga bisa menginap di hotel semauku dan juga pergi kemana-mana semauku.” Jawab Hani.
Dojun menyipitkan matanya, terlihat sedikit ragu.
“Kau yakin?” Ia memastikan. Hani mengangguk mantap. Lelaki di hadapannya terlihat sedang menimbang-nimbang. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Oke, deh. Apapun yang kau mau, bersenang-senanglah.” Ujarnya kemudian.

***

Hani memutuskan untuk bepergian ke Chanwon dua hari sesudahnya. Sebenarnya kepergiannya ke sana bukanlah tanpa alasan. Ia memang sudah berencana bernostalgia di sana sebelum menikah. Bagaimanapun juga, Chanwon, kota yang terkenal dengan industri beratnya itu adalah kota kelahirannya. Ia menghabiskan masa kecil, masa sekolah, masa remaja, di sana. Jika saja papanya tidak mengajak ia dan keluarga besarnya pindah ke Seoul beberapa tahun yang lalu, tentu saat ini ia masih bermukim di kota tersebut.

Setelah sampai di hotel, tak butuh waktu lama baginya untuk segera bepergian keliling kota. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu biasa ia jadikan tempat nongkrong dan juga mengunjungi beberapa sahabat akrab yang masih bermukim di sana meski tak banyak. Itu karena sebagian teman akrabnya sewaktu es-em-a sudah melanglang buana seantero jagad. Ada yang di kota lain, bahkan di benua berbeda.

Lelah setelah berkeliling, Hani kembali ke hotel untuk tidur selama 3 jam saja. Karena setelah itu, ia melanjutkan aksinya hang out-nya dan keliling kota semau dia, sendirian saja.

***

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Cuaca nampak begitu cerah. Taman kota yang Hani kunjungi terlihat ramai oleh orang yang berlalu lalang. Maklum, ini adalah hari minggu.
Perempuan cantik itu duduk di sebuah bangku kecil dekat air mancur. Yang ia lakukan hanyalah menatap orang-orang yang berseliweran. Ia memang sengaja melakukannya. Hari ini ia sengaja membuat jadwal : duduk diam di taman kota dan tak melakukan apa-apa.

Hani tengah asyik mengamati aktivitas-aktivitas orang di sekelilingnya ketika tanpa sengaja tatapan matanya menangkap sosok itu.
Sosok lelaki tampan yang mengenakan topi rajut dan berbaju kasual. Sosok lelaki yang sepertinya juga – hanya – tengah duduk-duduk saja di salah satu bangku taman yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya berada. Hani menyipitkan mata dan berusaha meyakinkan tatapannya. Dan ia yakin, ia memang tak salah lihat. Sosok itu memang dia!

Hani meraih tasnya lalu bangkit. Kemudian dengan langkah mantap, ia mendekati lelaki itu.
“Wonu?” Panggil Hani yakin. Sosok itu mendongak, lalu menatap langsung ke arah Hani. Kedua matanya yang teduh menyipit dengan indah. Awalnya tak ada ekspresi. Namun beberapa detik kemudian,  kedua mata itu menyiratkan keterkejutan. “Hani?” Ia mendesis lirih. Hani tersenyum. Dan perlahan lelaki itu juga.
“Kau ... di sini?” Tanya Hani spontan.
“Kau juga. Kau ... di sini?” Wonu juga bertanya heran.
“Ku dengar kau di luar negeri?” Hani kembali bertanya.
“Dan ku dengar kau juga tinggal di Seoul?” Wonu juga kembali bertanya.
Keduanya terkekeh. Mereka berjabat tangan. Wonu menggeser tempat duduknya untuk menyisakan tempat bagi Hani agar ia bisa ikut duduk di sampingnya.
“Bagaimana kabarnya?” Hani kembali bertanya duluan. “Baik. Kau?” balas Wonu.
“Baik juga.” Hani menjawab tanpa kehilangan senyum di bibirnya.
“Ku dengar kau ada di luar negeri sejak beberapa tahun yang lalu.” Perempuan itu kembali melanjutkan.
“Aku baru kembali sebulan yang lalu. Biasa, urusan pekerjaan. Kau?”
“Hanya berkunjung saja.” Jawab Hani.

Mereka terus mengobrol, asyik menanyakan kabar selayaknya teman es-em-a yang lama tak bertemu.
“Sendirian saja?” Tanya Hani lagi.
“Anio. Tuh,” dengan dagunya, Wonu menunjuk ke arah seorang anak perempuan berumur sekitar 4 tahun yang tengah asyik bermain di taman bermain.
Hani melongo. Ia menatap ke arah anak tersebut, lalu  beralih ke arah Wonu.
“Anakmu?” ia bertanya antusias.
Wonu tersenyum dan mengangguk. Hani tertawa. “Woa, daebak. Selamat ya. Aku tak menyangka kau ... sudah menikah dan punya anak. Dia ... kyewoo. Ibunya mana?” Hani menatap sekeliling, berharap bertemu dengan istri Wonu.
“Dia tak ikut. Dia di rumah.” Jawaban Wonu membuat Hani sedikit kecewa.
“Kau sendiri, sudah menikah?” Wonu balik bertanya. Hani tersenyum sambil menunjukkan cincin di jari manisnya. “Bertunangan.” Jawabnya.
Kali ini, Wonu yang ganti manggut-manggut. “Selamat ya.” Ucapnya kemudian.
Hani tersenyum. “Thanks.” Jawabnya. 

Wonu menatap sekelilingnya. “Tunanganmu tak ikut?”
Hani menggeleng. “Tidak. Dia ada pekerjaan.” Jawabnya.
“Berencana berapa lama di sini?”
Hani mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin sekitar beberapa hari.” Jawabnya.
Wonu tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika phonselnya berdering. “Sebentar.” Ia seakan meminta ijin pada Hani seraya meraih phonsel di sakunya. Lelaki itu bangkit dan melangkah menjauhi Hani untuk segera menerima telpon. Tak berapa lama kemudian ia terlibat pembicaraan singkat.  Setelah selesai, ia kembali menghampiri Hani.
“Sori ya, si kecil sudah dicariin ibunya tuh. Aku pergi dulu, tak keberatan ‘kan?” ia memohon.
Hani tersenyum dan menggeleng. “Oke,” jawabnya pendek. Wonu tersenyum lalu berbalik.

Harusnya Hani membiarkannya. Harusnya ia membiarkan Wonu pergi dari hadapannya. Tapi hati nuraninya tak bisa diajak kompromi. Alih-alih, ia malah bangkit dan meneriakkan namanya.
“Wonu!” Panggilnya. Yang dipanggil berbalik. “Ya?” ia menjawab, menatap Hani dengan penasaran.
Hani melangkah mendekatinya dengan mantap. “Boleh aku minta nomer phonselmu?” Ia bertanya langsung. Wonu tertegun sesaat. Tapi kemudian ia tersenyum lalu mengangguk. Dan segera sederet nomor meluncur dari bibirnya.
Hani menyimpan nomor phonselnya.

***

            Hani menatap deretan nomor itu dengan seksama. Hampir 10 menit lamanya ia menatap layar phonsel yang menampilkan nomor Wonu.
            Wonu.
            Jeon Wonu.
            Ia hanya tak menyangka bahwa ia akan dipertemukan lagi dengan sosok itu. Sosok yang pernah ia pacari ketika mereka masih duduk di bangku SMA, lalu ia campakkan begitu saja!
Bisa kau catat itu? Hani mencampakkan Wonu, begitu saja. Tak perlu diulangi lagi ‘kan?
Waktu itu mereka masih sangat muda. Dan Hani sadar dia begitu egois, melakukan kesalahan.
            Wonu cinta pertamanya.
            Wonu juga pacar pertamanya.
Mereka pernah berpacaran selama hampir 6 bulan. Tapi hubungan itu kandas karena orang tua Hani tak pernah menyetujui hubungan mereka. Alasannya klise. Status.
Orang tua Hani termasuk keluarga yang berada. Sementara orang tua Wonu hanyalah buruh pabrik. Ayah Hani mengancam tidak akan pernah merestui hubungan mereka walau hanya sebatas pacar, sampai kapanpun.
Dan kemudian, orang tua Hani harus pindah ke Seoul karena urusan pekerjaan. Hani menuruti kemauan orang tuanya. Ia ikut ke Seoul, meninggalkan Wonu, begitu saja.
Ia pergi meninggalkan lelaki itu, tanpa penjelasan, tanpa mengatakan apapun.

            Meskipun begitu, selama ini Hani rajin mencari tahu keadaan Wonu dari teman-temannya yang ada di Chanwon. Itulah kenapa ia tahu bahwa mantan pacarnya itu sudah beberapa tahun menetap di luar negeri. Mereka bilang,  ia mendapatkan pekerjaan yang mapan sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan jasa. Hanya saja ia tak tahu bahwa ternyata lelaki itu ada di sini, sudah menikah, dan punya anak!

            Dan sekarang, tentu ia kaget mendapati Wonu berada di Chanwon. Hatinya sempat bertanya-tanya. Kenapa Tuhan mempertemukan lagi ia dengannya? Apakah ini isyarat bahwa Hani memang harus bertemu dengan Wonu dan meminta maaf padanya karena beberapa tahun yang lalu ia pergi meninggalkannya, begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab?
            Mungkin iya.
            Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Hani untuk meminta maaf pada Wonu sebelum ia menikah dengan Dojun. Setidaknya dengan begitu, ia takkan punya beban lagi karena terus menerus dirundung penyesalan.

            Hani menarik nafas berat.
            Gamang. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menelpon Wonu.
            Dalam hati ia berujar, jika yang menjawab telponnya adalah Wonu sendiri, maka ia akan meminta maaf padanya. Tapi jika yang menjawab telponnya adalah istrinya, maka ia memutuskan untuk tidak menghubungi lelaki itu, selamanya.

            Tut ... tut ... tut ....
            Terdengar bunyi klik. Seseorang menerima telpon tersebut. Hati Hani berdebar, menanti dengan perasaan cemas.
            Yoboseyo.”
Itu suara Wonu!
“Yoboseyo.” Hani menjawab, suaranya tergagap. Tiba-tiba saja perasaannya campur aduk tak menentu.
“Wonu?” Ia memastikan.
“Nde.”
“Aku ... Hani.”
             Hening sesaat.
            “Oh, Hani. Ini ... kejutan. Aku tak  menyangka kau bersedia menelponku.” Suara Wonu terdengar riang. Hani tertawa lirih.
            “Mumpung aku di sini dan kita ketemu. Jadi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku tak mengganggu ‘kan?” Ucapan Hani ragu. Terdengar Wonu juga tertawa lirih.
            Tidak. Sama sekali tidak. Aku malah senang  kau .... mau menelponku.” Jawab lelaki tersebut.
            Hening sesaat.
            “Wonu, beberapa minggu lagi aku akan menikah. Aku ingin mengundangmu secara resmi. Jadi jika kau tak keberatan ...”
            “Hani, besok aku akan ada di taman sekitar jam 3 sore.”
            Hani tertegun. Kenapa Wonu mengatakan bahwa ia akan di sana jam 3 sore? Apa ini artinya lelaki itu mengajaknya bertemu? Atau ...
            Hening lagi.
            “Oke. Kita akan ketemu lagi di sana.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Hani. Sempat ada perasaan deg-degan karena ia cemas dengan jawaban Wonu selanjutnya. Bagaimana jika lelaki itu tak mengajaknya bertemu? Bagaimana jika Wonu hanya sekedar memberitahu bahwa ia akan di taman jam 3 sore? Bagaimana jika ...

            Perasaan cemas itu berubah menjadi sebuah senyuman di bibir Hani ketika akhirnya ia mendengar Wonu menjawab : “Oke. Kita bertemu di sana. Jam 3 sore.”

***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar