Rabu, 02 Desember 2015

[FF SVT] Stay With Me



~~~~~~
~~~~~~

“Kita akan bahagia bila melihat orang yang kita cintai bahagia, meskipun akhirnya ia bersanding dengan orang lain.”

*** 

Yein sudah mendengar kalimat itu ratusan kali. Entah dari omongan teman, atau dari status teman-temannya di sosial media. Dan menurutnya, it’s totally bulshit! Nonsense alias omong kosong!
Bagaimana mungkin mereka bisa bahagia bila orang yang mereka cintai bersanding dengan orang lain? Kenyataan bahwa orang yang mereka cintai setengah mati tak lagi bersama mereka, bukankah itu menyakitkan?
Oh, ayolah. Tak perlu berpura-pura tegar. Merasa sakit hati, terluka, berdarah-darah, itu manusiawi. Kenapa Yein mengatakan ini? Karena Ia mengalaminya.
Yein manusia biasa, dan ia akan jujur, ia takkan pernah rela bila melihat orang yang ia cintai hidup bahagia dengan orang lain!

***

Yein masih bergelung dengan selimut tebal di tempat tidur ketika Mina datang berkunjung ke rumahnya. Dan reaksi pertama yang ia alami ketika melihat keadaan Yein adalah : menjerit! Shock!
Yein sudah dua minggu ini mengurung diri di kamar. Ia hanya akan meninggalkan tempat tidur untuk makan dan ke kamar kecil. Ia tidak mandi, Ia tidak ganti baju, Ia tidak menyisir rambutku.
Jadi, bisa di bayangkan keadaannya?
Menjijikkan.
Mengerikan.
Menyedihkan.

Patah hati. Itu alasan yang membuatnya bertingkah senewen seperti ini. Tepat dua minggu yang lalu, Yein putus dengan Jun. Lelaki paling keren di kampus yang sudah ia pacari selama hampir dua tahun. Alasannya klise : restu orang tua.
Well, Yein tidak bermaksud sombong. Tapi jika harus mendeskripsikan tentang keberadaannya secara jujur, Ia termasuk perempuan high profile. Ia cantik, ia menarik, ia pintar, dan tentu saja ... ia kaya. Oh, jangan salah paham. Maksudnya, orang tuanya-lah yang kaya. Mereka pengusaha sukses yang punya beberapa perusahaan dan ribuan karyawan. Tapi, Yein anak mereka. (Anak kandung, sumpah!) Jadi, apa yang mereka punya adalah miliknya juga ‘kan? So, biarpun orang tuanya yang kaya, tetap saja Yein kecipratan kaya. (Serius...)

Sementara Jun, dia memang lelaki paling keren dan paling kece di kampus. Tapi satu-satunya alasan yang membuatnya bisa kuliah di kampus – yang notabene  adalah kampus paling mahal – adalah karena beasiswa. Yup, jika bukan karena beasiswa, Jun tidak akan bisa kuliah di sana. Tahu alasannya? Karena orang tuanya hanyalah buruh pabrik yang gajinya tak seberapa.

Tapi, apapun keadaannya, Yein mencintai  lelaki itu dengan tulus. Ia tak pernah memandangnya rendah ataupun meremehkan keadaan finansialnya. Dia benar-benar lelaki paling tampan, paling baik, dan paling sempurna yang pernah ia temui. Sayangnya, pemikirannya tidak selaras dengan papanya. Beliau bahkan mengatakan, walau harus dibawa ke liang kubur, dia takkan memberi restu pada Yein dan juga Jun.
Masalah strata, tentu saja. Papa Yein menganggap bahwa masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih mapan darinya. Dan Jun tak pantas bersanding dengan Yein hanya karena ia tak kaya.

Awalnya Yein berontak. Dengan segala cara ia melawan papanya. Ia percaya, dengan berjalannya waktu, papanya pasti mau menerima Jun. Tapi ternyata ia salah. Dia lebih keras kepala dari yang ia duga.
Beberapa minggu yang lalu papanya jatuh sakit. Dan beliau mengatakan bahwa ia akan mati jika Yein tetap melanjutkan hubungannya dengan Jun.
Dan akhirnya, Yein menyerah.
Dengan berderai air mata, ia menemui Jun, bicara dengannya, dan mengatakan bahwa hubungan mereka berakhir!
Sejak saat itu, hatinya remuk. Hancur berkeping-keping.

“Oh, astaga. Yein-ah!” Suara Mina melengking. Ia menarik-narik selimut yang menutupi tubuh Yein.
“Ada apa denganmu? Kau ... mengerikan.” Dengan kasar, ia menghempaskan pantatnya di samping Yein.
“Seperti yang kau lihat? Aku patah hati.” Jawab Yein cepat.
Mina menarik nafas panjang frustasi. “Kau aneh. Kaulah orang yang memutuskan untuk mengakhiri hubunganmu dengan Jun. Kenapa malah kau yang harus patah hati?” Nada suaranya kesal.
Yein menatapnya dengan jengkel.
“Aku memutuskannya bukan karena kemauanku, ingat? Itu kehendak papaku.” Jawabnya sengit.
“Tapi itu sudah dua minggu? Setidaknya kau harus cepet move on. Kau terpuruk terlalu lama.” Ia mengomel. Yein menggigit bibir lalu menyentakkan selimut di kakinya.
“Orang sableng mana yang bisa move on hanya dalam waktu dua minggu setelah putus cinta? Aku hancur, Mina. Berkeping-keping. Setidaknya, aku butuh waktu berminggu-minggu lagi untuk pulih.” Ucapnya.  Mina bersedekap.
“Itu terlalu lama. Jun bahkan sudah selangkah lebih maju darimu.”
Ucapan Mina membuat Yein tersentak. Ia bangkit dengan seketika lalu menatap Mina dengan dalam dalam. “Maksudmu?” Keningny berkerut.
Mina kembali menarik nafas panjang. Sengaja mengulur waktu.
“Jun sudah masuk kuliah lagi setelah beberapa hari sempat tak kelihatan batang hidungnya. Sejak 3 hari yang lalu ia sudah aktif di kampus. Dan kau tahu apa yang terjadi, ia sering jalan bareng dengan Tae Hee.” Ucapnya.
Yein menelengkan kepalanya dengan bingung.
“Tae Hee?” Ia bertanya heran.
“Tae Hee. Anak teater juga, sama dengan Jun. Yang rambutnya keriting sebahu,” jawab Mina.
Yein terdiam sesaat. Mencoba mengutak-utak memori otakku untuk mencari gambaran tentang si Tae Hee.
Oh, ia ingat sekarang. Hwang Tae Hee. Teman Jun sejak SMP. Dia pernah cerita sedikit tentang dia. Jika tidak salah, Yein juga pernah bertemu dengannya beberapa kali.

“Itu tidak mungkin.” Yein segera beranjak turun dari tempat tidur. Mina menatapnya bingung.
“Mau kemana?”
“Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.” Jawabnya.
“Setidaknya kau harus mandi dan berdandan dulu. Kau bau.” Teriak Mina.
Langkah Yein terhenti di ambang pintu lalu tanpa berkata apa-apa, ia berbalik arah menuju kamar mandi.

***

Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Mengobrol dengan akrab dan terlihat ... dekat. Jun tertawa ketika mendengar Tae Hee bercerita tentang sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.
Tae Hee, perempuan berambut sebahu dan berkulit agak gelap. Dia bahkan tidak cantik sama sekali!
Gigi Yein bergemerutuk dan tangannya mengepal. Setelah menarik nafas berkali-kali, ia melangkahkan kakinya ke arah mereka.
“Jun, bisa bicara sebentar?” Ia menyela obrolan mereka. Obrolan mereka terhenti dan mereka menatap Yein secara bersamaan. Jun tampak kaget melihat kedatangan perempuan itu, sementara Tae Hee tampak sedikit bingung.
“Yein?” panggilan itu keluar dari mulut Jun.
“Aku ingin bicara denganmu, berdua saja.” Yein melirik ke arah Tae Hee. Perempuan itu seakan menerima sinyal rasa tak suka tersebut. Dengan kaku ia berdiri.
“Kalau begitu, aku ke aula dulu ya, Jun. Kita lanjutkan saja ngobrolnya nanti.” Ia berucap lalu pamit pada Jun, sembari melirik ke arah Yein. Jun tersenyum lalu mengangguk.
Mereka berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kau bicarakan? Apa masih ada hal yang harus dibicarakan di antara kita?” Ucapan Jun terdengar sedikit ketus.
“Baru dua minggu kita putus dan kau sudah dekat dengan perempuan lain?” tanya Yein sinis. Jun terkekeh.
“Lalu aku  harus bagaimana? Menangisimu?” jawabnya. “Aku sudah berusaha bangkit dari luka akibat kau campakkan, Yein. Dan aku sedang berusaha untuk menatap ulang kehidupanku.” Lanjutnya.
“Aku tak bermaksud mencampakkanmu. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu karena papaku.” Yein nyaris berteriak. Jun kembali terkekeh sinis. Ia bahkan tidak berdiri dari tempat duduknya.
“Kenyataannya kau sudah membuat pilihan. Kau memilih menuruti orang tuamu dan melepasku. Jadi, mau bagaimana lagi? Tak ada jalan lain selain menerima keputusanmu ‘kan?” tukasnya.
Mereka kembali berpandangan. Yein merasakan air matanya menitik.
“Apa kau tak mencintaiku lagi?” suaranya parau. Jun tak menjawab.
“Aku hancur, Jun. Aku hancur, berkeping-keping. Ini tak semudah yang kubayangkan.  Menerima kenyataan bahwa kau tak bersamaku ternyata lebih sulit daripada harus beradu argumen dengan papaku seumur hidupku!” Yein berteriak. Air matanya mengalir deras. Dan kedua mata Jun juga tampak berkaca-kaca.
Lelaki itu bangkit. Tapi ia tak berusaha menenangkan perempuan di hadapannya. Ia bahkan tak menyentuhnya.
Ia menelan ludah lalu menatap Yein lebih dalam.
“Yein, dengar ... Akupun pernah mengalaminya. Ketika kau memutuskanku, hatiku hancur berkeping-keping. Aku bahkan menangis meraung-raung seperti bayi. Aku jatuh, jungkir balik. Tapi itu tak lama. Setelah sadar, aku mulai merenung. Kenyataan bahwa kita benar-benar berada di dunia yang  berbeda, benar-benar membuat mataku terbuka. Aku mencintaimu, tapi cinta tidak harus diakhiri dengan kebersamaan ‘kan?” tatapan Jun lembut.
“Hatimu mungkin hancur berkeping-keping. Tapi percayalah, kau akan mampu mengatasinya. Kau pasti bisa bangkit lagi. Menata ulang kehidupanmu, hatimu. Dan jika suatu saat kau bertemu dengan  lelaki yang lebih baik dariku, aku pasti akan mendoakan kebahagiaanmu. Dan jika kau bahagia, percayalah, aku juga bahagia. Untukmu.” Ucapnya.
Yein balas menatapnya.
“Apa itu artinya kau sudah siap membuka hatimu untuk perempuan lain? Perempuan tadi?” Yein nyerocos. Jun mengangkat bahu. “Aku tak tahu. Tapi jika itu terjadi, suatu saat nanti aku siap untuk jatuh cinta lagi. Aku siap untuk menata ulang kehidupanku.” Jawabnya.
Yein menatapnya tajam.
“Dan aku tidak akan pernah rela,” desisnya.
“Yein ...”
“Aku mencintaimu, dan aku takkan pernah rela melihatmu bahagia dengan perempuan manapun, selain aku!” ia berteriak.
“Yein ....” Suara Jun terdengar lembut. Tangannya terulur berusaha menyentuh lengan Yein, namun perempuan berhidung mancung itu mundur beberapa langkah.Ia tatap lurus ke arah mata Jun.
“Jika suatu saat nanti kau harus jatuh cinta lagi, maka jatuh cintalah lagi denganku. Jika suatu saat nanti kau ingin memulai segalanya dari awal, maka mulailah lagi segalanya dari awal, denganku.” Ujarnya.
“Jun ...  dulu kaulah orang yang mengejar cintaku. Dan sekarang, aku tak keberatan untuk ganti mengejar cintamu. Bahkan jika kau sudah tak punya cinta lagi untukku, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku, demi bisa membuatmu jatuh cinta lagi padaku. Camkan itu.” Ia berbalik, lalu beranjak meninggalkan Jun dengan air mata yang terus bercucuran.
Ia tidak bercanda.
Ia serius.
Ia takkan pernah rela melihatnya bahagia dengan perempuan lain.
Dan jika harus mengerahkan seluruh energinya demi bisa mendapatkannya kembali, akan ia lakukan.
Ia cantik dan pintar.
Dan ia pasti menemukan cara membuat Jun kembali padanya.
Pasti.

***

“TA-DA!”
Jun membelalak ketika menyaksikan Yein ada di depan apartemennya yang sederhana. Perempuan itu tersenyum sumringah dan menyapa Jun dengan ceria.
“Selamat pagi.” Ia kembali menyapa. Jun masih tertegun sesaat sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ia tak bermimpi.
“Untuk apa kau di sini?” Akhirnya kalimat itu yang keluar.
“Mulai sekarang kita jadi tetangga.” Jawab Yein. “Aku menyewa aparteman sebelah.” Ia menunjuk ke arah apartemen yang berada tepat di sebelah apartemen Jun.
Kedua mata bening Jun mengerjap.
“Untuk apa kau melakukannya?”
Yein kembali tersenyum. “Untuk mendapatkan kembali cintamu.” Jawabnya enteng. “Kau tak menyuruhku masuk?”
“Tidak. Aku sedang tak ingin diganggu.” Tukas Jun ketus. Dan Yein tampak tak tersinggung sama sekali. Perempuan itu tetap saja tersenyum manis.
“Kenapa kau harus repot-repot menyewa kamar sebelah?” Jun kembali bertanya.
Yein menatapnya lurus.
“Seperti yang sudah kubilang. Aku akan berjuang untuk mendapatkan cintamu kembali. Aku akan berusaha mendapatkan perhatianmu. Dan aku tak keberatan untuk mengejarmu sampai sini.” Jawabnya. Bibir Jun terangkat sinis.
“Terserah kau saja. Aku tak tertarik.” Dan ia menutup pintu, dengan satu sentakan keras.
Yein berdiri mematung, rahangnya kaku. Tapi ia sudah bersumpah, ia takkan mundur.

***

Yein serius dengan ucapannya. Ia ibarat hantu yang siap mengganggu hidup Jun selama 24 jam penuh!
Setiap pagi, ketika Jun baru nongol dari pintu apartemennya, perempuan itu sudah berada di hadapannya, menyapanya, tersenyum padanya, dan tak jarang membawakannya sarapan.
Begitu pula ketika Jun baru pulang dari kampus atau dari kerja paruh waktunya, Yein juga sudah menungguinya di depan pintu apartemennya.
“Kau tak lelah bermain peran seperti ini selama hampir seminggu?” Pertanyaan Jun sinis. Ia hanya tak tahu bagaimana lagi bersikap manis setelah apa yang Yein perbuat padanya, setelah perempuan itu memutuskannya dengan cara yang menyakitkan. Hanya dengan melihat sosok perempuan itu, amarahnya seperti kembali meledak.
“Aku tak bermain peran. Aku tak bersandiwara. Kehidupanku sekarang beginilah adanya. Kenapa harus lelah?” Yein menyanggah. Jun mendengus.
“Kalau kau sudah capek beramain-main, pulanglah. Ini bukan tempatmu.” Lelaki itu beranjak membuka pintu.
“Aku membuatkanmu makam malam.” Yein menyodorkan wadah yang berisi makan malam.
“Aku sudah makan.” Jun menjawab tanpa melihat ke arah Yein, lalu menutup pintu dengan kasar.
Yein termangu sambil menatap wadah makanan di tangannya. Ia menggigit bagian dalam bibirnya dengan keras hingga terasa sakit. Dan kedua matanya berkaca-kaca.

***

Yein menyusuri jalanan menuju apartemennya dengan langkah ringan. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Itu yang memberanikan dirinya untuk berhenti di depan apartemen Jun lalu mengetuk pintunya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu pintu terbuka. Jun muncul dari balik sana.
“Hai, selamat malam. Aku membawakanmu sup kacang merah. Ini.”
“Aku sedang ada tamu. Bisakah kau datang besok saja?” Jun memotong.
“Oh ya?” Kening Yein berkerut. Perempuan itu menelengkan kepalanya, melihat ke sisi dalam apartemen melalui sela tubuh Jun. Dan dadanya terasa sesak seketika.
Ia melihatnya. Ia melihat Tae Hee ada di dalam  sana.
“Tae Hee?” Suara Yein setengah mendesis. Ia mendongak dan menatap Jun dengan tatapan tak percaya.
“Kami .... mengerjakan tugas kampus.” Jawab Jun.
Raut muka Yein tampak pucat, Jun bisa melihatnya dengan jelas. Perempuan itu tersenyum dengan  kaku lalu manggut-manggut.
“Aku tak pernah melihatmu lagi di kampus?” Tanya Jun kemudian. Yein menggeleng.
“Tidak.” Suaranya bergetar. “Ini ___” Yein menyodorkan bungkusan di tangannya.
“Sup kacang merah. Ibumu yang membuatkannya.” Ujarnya.
Jun menatapnya tak percaya. “Ibuku?”
Yein mengangguk.
“Aku pergi ke kampung halamanmu dan mengunjungi ibumu. Aku memintanya membuatkan makanan kesukaanmu. Dan ia membuatkannya.” Jawabnya.
“Kau ... mengunjungi ibuku?”
Yein kembali mengangguk.
“Untuk apa?”
Yein mengangkat bahu. “Aku tak bekerja. Jadi aku memutuskan untuk mengunjunginya.”
“Kau bekerja?” Jun kembali bertanya dengan nada tak percaya.
“Begitulah.” Jawaban Yein terdengar getir.
Jun menatap perempuan pucat di hadapannya dengan tak mengerti. Membayangkan ia menempuh perjalanan sejauh itu ke kampung halamannya demi untuk membawakan makanan kesukaannya, dan sekarang ketika ia sampai di sini, ia malah bersifat tak ramah padanya. Astaga,  Jun merasa menjadi lelaki paling jahat di dunia.
Yein meraih tangan Jun, meletakkan bungkusan itu di tangannya. Dan setelah yakin Jun memegangnya erat, perempuan itu berbalik.
“Terima kasih.” Ucap Jun, tulus.
Yein tak bersuara. Ia hanya mengibaskan tangannya tanpa melihat balik ke arah Jun. Perempuan itu terus melangkah menuju pintu. Air matanya menitik. Dan sesaat setelah ia masuk ke apartemennya, tangisnya pecah.

Dulu ketika ia masih menjadi pacar Jun, hanya Yein perempuan yang pernah berkunjung ke apartemennya. Dan sekarang, mengetahui bahwa ada perempuan lain yang juga sering berkunjung ke sana, hatinya terasa teriris-iris. Sakit luar biasa.
Tapi Yein pantang mundur. Ia sudah bertekad untuk berjuang mendapatkan Jun kembali. Ia akan merendahkan diri jika perlu. Bahkan jika harus melemparkan dirinya ke dalam api neraka, ia akan melakukannya dengan sukarela.
Ia takkan menampik jika memang ada kedekatan antara Jun dan Tae Hee. Tapi ia takkan mundur sejengkalpun. Sampai Jun menyuruhnya pergi, ia akan bersaing dengan perempuan manapun di muka bumi ini.

***

Yein tahu ada orang lain di dalam apartemen Jun karena ia mendengar obrolan dan senda gurau dari dalam sana. Bisa saja itu teman kuliahnya, bisa saja itu Tae Hee – lagi. Nyali Yein sempat ciut, ia sempat meratap. Tapi, sekali lagi, ia akan berjuang dengan sportif. Apapun hasilnya.
Perempuan bertubuh mungil itu mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Sesaat pintu terbuka dan Jun muncul. Raut muka lelaki berhidung mancung itu tampak lebih santai sekarang.
“Untuk kali ini, biarkan aku masuk. Okey?” Yein merajuk.
Jun belum mengatakan apapun ketika tiba-tiba saja Yein menyeruak masuk.
Dan dugaannya benar. Tae Hee ada di dalam sana. Duduk menghadap sebuah meja di lantai yang dipenuhi dengan buku-buku dan peralatan tulis. Perempuan berambut keriting itu tampak terkejut. Tapi perlahan ia tersenyum kaku. Yein balas tersenyum.
“Annyeong...” Yein menyapa terlebih dahulu dengan nada ceria.
“Apa kalian sedang belajar? Aku membawakan makanan dan cemilan. Aku membuatnya sendiri.” Yein menunjukkan kotak di tangannya. Ia menatap ke arah Jun dan Tae Hee secara bergantian.
“Aku sudah banyak berlatih kok. Makanan buatanku lumayan enak sekarang. Kalian lanjutkan saja belajarnya. Aku akan menyiapkannya di dapur.” Ujar Yein lagi.
“Dapurnya masih tetap ‘kan?” Kali ini ia kembali menatap Jun. Jun tampak sedikit kikuk, tapi akhirnya ia mengangguk.
“Aku hanya akan menyiapkan ini sebentar, setelah itu akan pulang. Aku takkan mengganggu belajar kalian. oke?” Ucap Yein lagi sambil beranjak, menuju dapur mungil Jun.
Ia senang karena ternyata tak ada yang berubah dari apartemen sederhana itu.  Ruangannya masih sama, perabotnya juga masih sama. Cara menata barang-barang di dapur pun masih sama. Dan Yein-lah yang menatanya.
“Aku akan membantumu.” Di luar dugaan, Jun mengekor di belakang Yein.
“Tak apa-apa, aku akan menyiapkan sendiri.” Yein menyahut lirih seraya mengambil beberapa piring dari rak dan mulai menata makanan yang ia bawa. Jun membantunya tanpa berkata. Keadaan hening sesaat.
Yein asyik menata makanan, Jun asyik membantu sambil sesekali memperhatikan perempuan cantik di sampingnya.
Jun tak bisa menyangkal, perempuan itu tetap saja cantik walau penampilannya sekarang lebih sederhana. Tak ada lagi perhiasan mahal, tak ada lagi baju mahal, tak ada lagi dandanan berlebih. Sekarang ia lebih kasual. Mengenakan celana jeans dan blouse tipis, ia tetap saja menawan. Dan satu hal yang tak pernah Jun lupakan, aroma tubuh Yein masih sama. Wangi khas buah-buahan yang menyegarkan.
Sesaat Jun kembali terpesona. Ia asyik mengagumi Yein, memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, tanpa perempuan itu ketahui. Hingga akhirnya Jun sadar, jemari-jemari Yein tampak terluka.
Jemari-jemari lentik itu dipenuhi goresan dan plester di sana sini. Kukunya tak lagi rapi. Beberapa bahkan tampak patah. Dan kutex-nya yang biasanya  berwarna-warni dan begitu elegan, sekarang tampak memudar dan tak beraturan lagi.
Reflek, Jun meraih tangan perempuan tersebut dan menatapnya dengan miris.
“Kenapa dengan jari-jarimu?” Pertanyaannya lirih.
“Tak apa-apa, aku belajar memasak. Dan beginilah hasilnya. Hanya luka gores biasa.” Yein berusaha menarik tangannya dari genggaman Jun, tapi lelaki itu menahannya.
Jun terus menatap jemari Yein dengan iba dan membelainya dengan lembut. Jemari yang dulu begitu indah dan lentik, sekarang terlihat lelah, sedikit kasar dan tak terawat.
“Kau harus berhenti, Yein.” Jun berbisik seraya menatap perempuan di hadapannya dengan dalam.
“Berhenti, dan pulanglah. Cara ini takkan berhasil. Kita ... takkan bisa kembali lagi. Terlalu banyak masalah. Kita takkan bisa melewatinya.” Ucapnya pelan.
Keduanya berpandangan.
“Pulanglah, Yein. Pulanglah ke rumahmu. Ku mohon.” Ucap Jun lagi.
Yein menelan ludah. Ia menarik tangannya dari genggaman Jun.
“Aku ... akan kembali ke apartemenku.” Jawabnya serak seraya beranjak dari hadapan Jun. Perempuan itu melangkah melewati ruang tamu tempat Tae Hee berada, dan sambil menyapanya sekilas, ia keluar.
Jun mematung sesaat. Lelah berdebat dengan hati nuraninya, ia berbalik.
“Tae Hee, sebentar ya.” Ia pamit pada Tae Hee, lalu berlari kecil menyusul Yein.

Yein baru saja meraih knop pintu ketika Jun berhasil meraihnya.
“Aku serius, Yein. Pulanglah. Ini bukan tempatmu. Kau tak pantas berada di sini.” Ucap Jun lagi.
Yein mematung. Salah satu tangannya yang memegang knop pintu, luruh.
“Dan kau harus kembali masuk kuliah. Aku tahu beberapa hari ini kau tak hadir di kelas.” Jun melanjutkan.
Yein memutar tubuhnya menghadap Jun, lalu menatap lelaki itu dengan pedih.
“Aku sudah berhenti kuliah.” Jawabnya parau.
Jun tersentak. “Apa maksudmu?”
Air mata Yein merebak.
“Aku tak punya biaya lagi untuk kuliah. Aku pergi dari rumah.  Aku meninggalkan segalanya. Papa menarik semua uangku dan semua kartu kreditku. Dan aku siap dengan konsekuensi itu. Sekarang, di sinilah aku. Menjadi gadis biasa yang tinggal di apartemen murahan, bekerja di restoran cepat saji demi bisa makan dan membayar sewa apartemen, dan ... berusaha mengemis cinta padamu.” Air mata Yein menitik tanpa mampu ia bendung.
Penjelasan  Yein membuat jantung Jun mencelos. Sakit.
“Jun, aku tahu mungkin usahaku sia-sia. Aku tahu mungkin usahaku untuk kembali padamu takkan  berhasil. Tapi setidaknya aku ingin tetap memperjuangkanmu. Aku ingin berada di sisimu, dekat denganmu, seperti dulu. Jika kau menyuruhku pulang, aku tak tahu harus pulang kemana. Karena menurutku, aku tak punya rumah lagi selain ... di sini.” Perempuan itu terisak. Ia kembali menarik knop pintu, bergerak masuk, dan mengunci pintu dari dalam. Dan Jun mendengar tangis perempuan itu pecah.
Lelaki itu merasakan lututnya lemas. Ia mundur dengan terhuyung. Kepalanya seperti di pukul dengan bongkahan batu. Pening.
Ada apa dengannya? Kemarahannya pada Yein seperti menutupi akal sehatnya?
Kenapa ia tak tahu? Kenapa ia tak tahu bahwa selama ini Yein juga menyimpan beban?
Kenapa ia tak tahu bahwa perempuan itu juga sama menderitanya seperti dirinya?

***

Jun tercenung di kamarnya yang tiba-tiba saja terasa pengap dan sesak. Padahal semua jendela telah ia buka dan ruangan juga telah ia bersihkan berkali-kali.
Lelaki berhidung mancung itu menatap phonselnya yang tergeletak di meja. Ia sudah memandangi benda tipis itu selama sekian jam. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ingin ia berlari ke apartemen Yein dan meminta maaf padanya, tapi nyalinya ciut.
Ingin ia mencoba menelpon atau berkirim pesan padanya, lagi-lagi ia seperti tak punya keberanian. Ia hanya merasa begitu jahat, tak berperasaan.

Lelaki itu tengah mondar-mandir ketika ia mendengar bunyi ribut-ribut di luar. Awalnya ia cuek, tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara perempuan berteriak. Dan serta merta pikirannya tertuju pada satu hal : Yein!
Jun segera beranjak, berlari ke luar apartemen. Dan ketakutannya ternyata terbukti.
Tepat ketika ia sampai di luar, ia melihat beberapa orang tengah menyeret Yein ke sebuah mobil. Perempuan mungil itu terus meronta.
“Maaf, agasshi (nona). Kami hanya menjalankan perintah. Ayah anda menyuruh kami untuk membawa anda pulang.” Seorang lelaki bertubuh kekar berusaha menenangkan Yein.
“Aku tidak akan pulang! Papa sudah menyuruhku pergi, kenapa ia harus membawaku kembali ke rumah itu lagi!” Yein berteriak. Ia terus meronta ketika beberapa orang terus memeganginya.
“Apa yang kalian lakukan padanya?!” Jun berteriak seraya berlari ke arah mereka.
Yein menoleh. “Jun!” Ia memanggil namanya dengan harapan lelaki itu akan menolongnya. Tapi ia kalah cepat, karena orang-orang bertubuh kekar itu berhasil memasukkannya ke dalam mobil dengan paksa.
“Yein!” Jun kembali berteriak. Dan mobil itu mulai berjalan.
“Yeiiinn!!” Jun berlari mengejar.

Sementara itu di dalam mobil, Yein tak berhenti melakukan perlawanan. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa Jun tengah berusaha mengejar mobil yang mereka tumpangi.
“Hentikan mobilnya!” Teriaknya. “Kalian takkan bisa membawaku pulang!” Ia membentak seraya terus berusaha melepaskan diri.
“Maafkan kami, agasshi. Kami hanya menjalankan perintah.” Seseorang bertubuh kekar berusaha menenangkan Yein. Perempuan itu makin kalap.
“Jika kalian terus memaksa, aku akan menyakiti diriku sendiri agar papaku memberi kalian pelajaran!” Ia mengancam. Beberapa orang yang memegangi Yein tampak bingung. Dan kesempatan itu dipergunakan Yein untuk menggigit tangannya dan menonjok mereka dengan membabi buta. Terjadi keributan di dalam mobil. Kendaraan itu berjalan tersendat, dan Yein nekat membuka pintu mobil dari kursi penumpang, lalu meloncat keluar.

Dan, Jun menyaksikannya. Ia menyaksikan ketika mobil itu berjalan zig zag, tersendat, lalu berjalan lagi. Dan tiba-tiba pintu mobil terbuka, lalu sosok mungil itu terlempar keluar.
Tubuh Yein terhempas ke jalan lalu berguling beberapa kali. Entah karena takut atau karena alasan lain, mobil yang membawanya tadi terus melaju dengan kencang, meninggalkannya.
Jun melihat adegan itu dengan mata terbelalak.
Tenggorokannya tercekat. Ia yakin bahwa jantungnya sempat berhenti berdetak, sekian saat.
Jun mendekati sosok yang tergeletak itu dengan langkah terhuyung.
Lelaki itu tersengal, kehabisan nafas.
Mulanya Jun mengira Yein mati. Tapi ia lega ketika perlahan sosok itu bergerak, lalu berusaha bangkit.
“Paboya??!!! (Apa kau bodoh?!)” Jun berteriak marah ke arah pada perempuan itu.
Yein tampak meringis menahan sakit. Luka gores memenuhi lengan dan juga tungkai kakinya.
“Apa kau gila??!! Apa kau tak waras??!! Apa yang ada dikepalamu hingga kau harus meloncat dari mobil, hahh??!!” Jun kembali berteriak kalap.
“Bagaimana jika kau mati?? Bagaimana jika ...” Kedua matanya nampak berkaca-kaca. Ia menyisir rambutnya dengan frustasi. 
“Aku tak mati.” Jawab Yein kemudian. “Aku tak mati.” Ulangnya.
Jun mendengus, dan ia jatuh berlutut.
“Jangan ...” desisnya. “Jangan pernah lakukan ini lagi, Yein. Jangan menakutiku lagi dengan cara seperti ini. Aku takkan bisa melihatmu celaka. Takkan pernah bisa ...”
Air mata Jun menitik.
Dan akhirnya Yein tahu, lelaki itu masih sangat mencintainya...

***

Jun menggendong Yein dan membawanya kembali ke apartemennya. Ia memeriksa luka di tubuh Yein tanpa mengatakan apapun. Lelaki itu berubah pendiam.
“Katakan sesuatu. Kenapa kau jadi diam begini?” Yein bersuara.
Jun tak menjawab. Ia mengolesi luka di kaki Yein dengan obat merah.
“Kau marah padaku?”
Jun kembali tak menjawab.
“Apa aku berbuat salah padamu?” Yein kembali bertanya.
Lelaki itu menggeleng pelan. Ia bangkit, mengambil tas besar di dalam lemari, lalu memasukkan beberapa potong baju ke dalamnya.
“Kau juga akan mengusirku?” Yein bertanya getir.
“Kau akan pulang, ke apartemenku.” Jawab Jun sambil terus memasukkan beberapa potong baju ke tas besar tersebut.
Yein tertegun. Setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kenapa?” Ia memberanikan diri menanyakannya.
Jun menarik nafas panjang, lalu menatap Yein dengan lembut.
“Karena tak ada perempuan lain di hatiku, selain dirimu. Dulu, sekarang, dan selamanya.” Jawabnya kemudian.
Kedua mata Yein berbinar. Senyum haru tersungging dalam bibirnya.
Jun berlutut di hadapannya lalu menggenggam tangannya dengan lembut.
“Aku memang marah padamu setelah apa yang kau lakukan padaku. Tapi satu hal pasti, aku takkan berhenti mencintaimu.” Ucapnya, sembari mencium punggung tangan Yein.
“Sementara ini, kau akan tinggal di apertemenku, sampai luka-lukamu sembuh. Aku akan merawatmu.” Ia membopong tubuh Yein yang ringan, lalu membawa ke apartemennya.

“Aku tahu ini akan sulit untuk kita. Tapi aku akan segera lulus dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku pasti bisa menghidupimu dan mencukupi kebutuhanmu. Suatu saat kita juga akan punya rumah sendiri, tak perlu mewah, tapi nyaman untuk ditempati anak-anak kita. Dan jika segalanya sudah membaik, aku yakin papamu pasti merestui kita.”  Jun menata baju-baju Yein di samping bajunya.
“Aku tahu cara mendapatkan restu papaku dengan lebih cepat.” Cetus Yein.
Jun menoleh. “Apa?”
“Punya bayi, mungkin.” Pipi Yein merona ketika menjawabnya.
Jun terkekeh. Ia menggeleng.
“Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Kau perempuan terhormat, Yein. Dan kau layak mendapatkan perlakuan lebih baik dariku, tidak hanya sekedar menidurimu dan menghamilimu.” Jawab Jun.
“Kita akan melakukannya sesuai urutan. Aku bekerja, kita menikah dengan sebuah pesta, lalu baru punya anak.” Lanjutnya.
Yein manggut-manggut. Jun bergerak dan mencium keningnya dengan lembut.
“Tidurlah. Besok aku akan ke tempat kerjamu untuk memintakan ijinmu. Dan mungkin besok aku akan pulang agak terlambat. Aku berniat bekerja paruh waktu di dua tempat sekaligus.”
“Kenapa?” pertanyaan Yein terdengar protes.
“Aku harus bekerja keras, agar kau bisa kuliah lagi. Oke?” lelaki itu membelai pipinya dengan lembut. Dan untuk kesekian kalinya, ia terharu.

***

Jun pulang larut. Ia sampai di apartemennya dan mendapati tempat tinggalnya itu berantakan. Dan Yein tak ada di sana. Ia mencari perempuan itu di apartemennya sendiri, tapi apertemen itu juga kosong.
Jun menendang tempat sampah dengan kesal. Tangannya terkepal dan nafasnya naik turun karena amarah. Ia tahu, Yein pasti dibawa pulang dengan paksa oleh orang-orang papanya.
Lelaki itu segera beranjak, menuju jalan raya dengan langkah panjang lalu menghentikan sebuah taksi yang melintas. Taksi itu akan membawanya ke rumah Yein.

Seperti dugaannya, ketika ia sampai di rumah mewah Yein, beberapa orang penjaga menahan dirinya dan melarangnya masuk. Tapi Jun melakukan perlawanan. Ia mahir bela diri, sehingga tak pelak lagi, terjadi keributan di antara mereka.
Jun sendiri tak peduli. Ia akan masuk ke rumah itu dan menemukan Yein, bahkan jika ia harus membuat keonaran.

“Yein!”
Ia berteriak memanggil, lalu memasuki ruang tamu setelah terlebih dahulu melumpuhkan tiga penjaga yang tadi sempat menahannya.
“Aku bisa memasukkanmu ke penjara karena kau membuat masalah di rumahku!” Seorang lelaki setengah baya berdiri dengan tegap di depan tangga. Ia menatap tajam ke arah Jun.
Jun balas menatapnya tak kalah sengit. Lelaki itu adalah papa Yein.
“Lakukan saja semau anda. Masukkan aku ke penjara bila itu membuatmu puas. Tapi aku akan membawa Yein keluar dari rumah ini, titik!” Jun berteriak lantang.
“Kenapa dia harus pergi dari sini. Ini rumahnya.”
“Karena ia tak bahagia di sini!” Jun kembali berteriak.
“Aku tak tahu kenapa anda tak menyukaiku. Jika anda tak menyukaiku karena aku miskin, aku akan bekerja keras. Aku akan mendapatkan pekerjaan mapan dan percayalah, aku bisa menghidupi Yein.” Kali ini suara Jun terdengar lebih tenang. Ia mencoba berdamai dengan situasi. 
“Setidaknya beri kami kesempatan untuk membuktikannya.” Lanjutnya lagi.
Lelaki setengah baya itu terkekeh.
“Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan. Aku berniat menghubungi kampusmu agar  beasiswamu dihentikan dan kau dikeluarkan karena kau berani mengganggu putriku.” Dengusnya.
Jun menarik nafas berat.
“Oke, lakukan saja. Keluarkan aku dari kampus. Tapi biarkan aku memiliki Yein.” Jawabnya tegas.
Kening lelaki setengah baya itu mengernyit. 
“Kau terlalu impulsif anak muda. Kau gegabah mengambil keputusan.” Ucapnya dengan suaranya yang berat.
Jun menggeleng mantap.
“Tidak. Aku tidak pernah gegabah mengambil keputusan. Apapun pilihan yang kau berikan, aku akan tetap memilih Yein. Aku akan memperjuangkannya, bahkan jika itu harus menukar dengan nyawaku. Lalukan saja semau anda. Tapi satu hal yang tak bisa anda pungkiri, akulah satu-satunya orang yang mampu membuat Yein bahagia.” Jun kembali menatap mata tua itu dengan tajam.
“Jadi, dimana dia sekarang?”
Lelaki setengah baya bertubuh agak gemuk itu tak segera menjawab.
“Haruskah aku menggeledah rumah ini sendiri? Oke, aku tak keberatan melakukannya.” Jun beranjak, memasuki beberapa ruangan di lantai tersebut dan menyerukan nama Yein.
“Dia di kamar atas.” Papa Yein berucap. Kali ini suaranya terdengar  tenang.
Jun memutar arah dan bergerak menuju tangga tanpa mengucapkan terima kasih.
“Dan .... dia menolak untuk makan.” Lelaki itu kembali berucap hingga membuat langkah Jun terhenti.  “Sejak dibawa ke sini, ia menolak untuk makan. Bujuklah dia agar mau makan. Dia ... terlihat tidak sehat.”
Jun tak salah dengar. Lelaki itu mengkhawatirkan putrinya.

Jun berbalik dan menatap lelaki tersebut dengan dalam.
“Aku akan menjaganya.” Ucapnya singkat seraya kembali menaiki anak tangga. Langkahnya panjang, seolah-olah ia ingin menaiki dua anak tangga sekaligus demi bisa segera bertemu dengan Yein.
Ia menyeruak ke kamar Yein dan menemukan perempuan cantik tersebut duduk meringkuk di bawah jendela. Ia menekuk kedua lututnya, menopangkan kedua lengannya di sana, dan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan tangan tersebut.
Jun menatapnya dengan lega. Tanpa sadar, kedua matanya berkaca-kaca.
“Yein...” Panggil Jun lirih.
Yein mendongak. Wajahnya pucat pasi. Kedua matanya merah, seolah yang ia lakukan selama ini adalah menangis.
“Jun ...” Ia menjawab lirih. Ada nada kegembiraan di sana.
Jun tersenyum dan mengangguk.
“Aku menjemputmu. Ayo kita pulang.” Jawabnya. Suaranya parau.
Yein tertegun. Selanjutnya kedua matanya berbinar. “Aku ... lelah.” Bisiknya. Air matanya  mulai merebak.
Jun kembali mengangguk. Ia mendekati perempuan tersebut. Berlutut di hadapannya.
“It’s okay. Aku akan menggendongmu.” Jawabmu. Ia membelai wajah Yein dengan lembut, lalu bangkit kemudian membopong tubuhnya.
“Kita akan pulang ke apartemenmu?” Yein bertanya lirih. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jun.
Lelaki itu mengangguk. “Ya, kita akan pulang. Ke tempat seharusnya kita berada.” Jawabnya. 
Ia membawa perempuan itu menuruni tangga dan keluar dari rumah mewah tersebut. Sesaat sebelum ia berhasil memanggil taksi, ia menyaksikan papa Yein berdiri di luar rumah, memandang dalam ke arah mereka. Tatapan itu bukan tatapan kemarahan, bukan pula tatapan restu. Tak apa-apa, ini toh sudah bagus.
Lagipula, ia tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang benar.
Bersama Yein, bersama orang yang ia cintai, di sampingnya.
Itu saja.

~~~~~ 
~~~~~

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar