~~~~~~
~~~~~~
“Kita akan bahagia bila melihat orang
yang kita cintai bahagia, meskipun akhirnya ia bersanding dengan orang lain.”
***
Yein sudah mendengar kalimat itu ratusan
kali. Entah dari omongan teman, atau dari status teman-temannya di sosial media.
Dan menurutnya, it’s totally bulshit! Nonsense alias omong kosong!
Bagaimana mungkin mereka bisa bahagia bila
orang yang mereka cintai bersanding dengan orang lain? Kenyataan bahwa orang
yang mereka cintai setengah mati tak lagi bersama mereka, bukankah itu
menyakitkan?
Oh, ayolah. Tak perlu berpura-pura
tegar. Merasa sakit hati, terluka, berdarah-darah, itu manusiawi. Kenapa Yein
mengatakan ini? Karena Ia mengalaminya.
Yein manusia biasa, dan ia akan jujur,
ia takkan pernah rela bila melihat orang yang ia cintai hidup bahagia dengan
orang lain!
***
Yein masih bergelung dengan selimut tebal
di tempat tidur ketika Mina datang berkunjung ke rumahnya. Dan reaksi pertama
yang ia alami ketika melihat keadaan Yein adalah : menjerit! Shock!
Yein sudah dua minggu ini mengurung diri
di kamar. Ia hanya akan meninggalkan tempat tidur untuk makan dan ke kamar
kecil. Ia tidak mandi, Ia tidak ganti baju, Ia tidak menyisir rambutku.
Jadi, bisa di bayangkan keadaannya?
Menjijikkan.
Mengerikan.
Menyedihkan.
Patah hati. Itu alasan yang membuatnya
bertingkah senewen seperti ini. Tepat dua minggu yang lalu, Yein putus dengan
Jun. Lelaki paling keren di kampus yang sudah ia pacari selama hampir dua tahun.
Alasannya klise : restu orang tua.
Well, Yein tidak bermaksud sombong. Tapi
jika harus mendeskripsikan tentang keberadaannya secara jujur, Ia termasuk
perempuan high profile. Ia cantik, ia menarik, ia pintar, dan tentu saja ... ia
kaya. Oh, jangan salah paham. Maksudnya, orang tuanya-lah yang kaya. Mereka
pengusaha sukses yang punya beberapa perusahaan dan ribuan karyawan. Tapi, Yein
anak mereka. (Anak kandung, sumpah!) Jadi, apa yang mereka punya adalah
miliknya juga ‘kan? So, biarpun orang tuanya yang kaya, tetap saja Yein
kecipratan kaya. (Serius...)
Sementara Jun, dia memang lelaki paling
keren dan paling kece di kampus. Tapi satu-satunya alasan yang membuatnya bisa
kuliah di kampus – yang notabene adalah
kampus paling mahal – adalah karena beasiswa. Yup, jika bukan karena beasiswa,
Jun tidak akan bisa kuliah di sana. Tahu alasannya? Karena orang tuanya
hanyalah buruh pabrik yang gajinya tak seberapa.
Tapi, apapun keadaannya, Yein
mencintai lelaki itu dengan tulus. Ia
tak pernah memandangnya rendah ataupun meremehkan keadaan finansialnya. Dia
benar-benar lelaki paling tampan, paling baik, dan paling sempurna yang pernah
ia temui. Sayangnya, pemikirannya tidak selaras dengan papanya. Beliau bahkan
mengatakan, walau harus dibawa ke liang kubur, dia takkan memberi restu pada
Yein dan juga Jun.
Masalah strata, tentu saja. Papa Yein
menganggap bahwa masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih mapan darinya.
Dan Jun tak pantas bersanding dengan Yein hanya karena ia tak kaya.
Awalnya Yein berontak. Dengan segala
cara ia melawan papanya. Ia percaya, dengan berjalannya waktu, papanya pasti
mau menerima Jun. Tapi ternyata ia salah. Dia lebih keras kepala dari yang ia duga.
Beberapa minggu yang lalu papanya jatuh
sakit. Dan beliau mengatakan bahwa ia akan mati jika Yein tetap melanjutkan
hubungannya dengan Jun.
Dan akhirnya, Yein menyerah.
Dengan berderai air mata, ia menemui
Jun, bicara dengannya, dan mengatakan bahwa hubungan mereka berakhir!
Sejak saat itu, hatinya remuk. Hancur
berkeping-keping.
“Oh, astaga. Yein-ah!” Suara Mina
melengking. Ia menarik-narik selimut yang menutupi tubuh Yein.
“Ada apa denganmu? Kau ... mengerikan.”
Dengan kasar, ia menghempaskan pantatnya di samping Yein.
“Seperti yang kau lihat? Aku patah
hati.” Jawab Yein cepat.
Mina menarik nafas panjang frustasi.
“Kau aneh. Kaulah orang yang memutuskan untuk mengakhiri hubunganmu dengan Jun.
Kenapa malah kau yang harus patah hati?” Nada suaranya kesal.
Yein menatapnya dengan jengkel.
“Aku memutuskannya bukan karena
kemauanku, ingat? Itu kehendak papaku.” Jawabnya sengit.
“Tapi itu sudah dua minggu? Setidaknya
kau harus cepet move on. Kau terpuruk terlalu lama.” Ia mengomel. Yein
menggigit bibir lalu menyentakkan selimut di kakinya.
“Orang sableng mana yang bisa move on
hanya dalam waktu dua minggu setelah putus cinta? Aku hancur, Mina. Berkeping-keping.
Setidaknya, aku butuh waktu berminggu-minggu lagi untuk pulih.” Ucapnya. Mina bersedekap.
“Itu terlalu lama. Jun bahkan sudah
selangkah lebih maju darimu.”
Ucapan Mina membuat Yein tersentak. Ia
bangkit dengan seketika lalu menatap Mina dengan dalam dalam. “Maksudmu?”
Keningny berkerut.
Mina kembali menarik nafas panjang.
Sengaja mengulur waktu.
“Jun sudah masuk kuliah lagi setelah
beberapa hari sempat tak kelihatan batang hidungnya. Sejak 3 hari yang lalu ia
sudah aktif di kampus. Dan kau tahu apa yang terjadi, ia sering jalan bareng
dengan Tae Hee.” Ucapnya.
Yein menelengkan kepalanya dengan
bingung.
“Tae Hee?” Ia bertanya heran.
“Tae Hee. Anak teater juga, sama dengan
Jun. Yang rambutnya keriting sebahu,” jawab Mina.
Yein terdiam sesaat. Mencoba
mengutak-utak memori otakku untuk mencari gambaran tentang si Tae Hee.
Oh, ia ingat sekarang. Hwang Tae Hee.
Teman Jun sejak SMP. Dia pernah cerita sedikit tentang dia. Jika tidak salah,
Yein juga pernah bertemu dengannya beberapa kali.
“Itu tidak mungkin.” Yein segera
beranjak turun dari tempat tidur. Mina menatapnya bingung.
“Mau kemana?”
“Aku ingin melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri.” Jawabnya.
“Setidaknya kau harus mandi dan
berdandan dulu. Kau bau.” Teriak Mina.
Langkah Yein terhenti di ambang pintu
lalu tanpa berkata apa-apa, ia berbalik arah menuju kamar mandi.
***
Mereka duduk berdampingan di bangku
taman. Mengobrol dengan akrab dan terlihat ... dekat. Jun tertawa ketika
mendengar Tae Hee bercerita tentang sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.
Tae Hee, perempuan berambut sebahu dan
berkulit agak gelap. Dia bahkan tidak cantik sama sekali!
Gigi Yein bergemerutuk dan tangannya
mengepal. Setelah menarik nafas berkali-kali, ia melangkahkan kakinya ke arah
mereka.
“Jun, bisa bicara sebentar?” Ia menyela
obrolan mereka. Obrolan mereka terhenti dan mereka menatap Yein secara
bersamaan. Jun tampak kaget melihat kedatangan perempuan itu, sementara Tae Hee
tampak sedikit bingung.
“Yein?” panggilan itu keluar dari mulut
Jun.
“Aku ingin bicara denganmu, berdua
saja.” Yein melirik ke arah Tae Hee. Perempuan itu seakan menerima sinyal rasa
tak suka tersebut. Dengan kaku ia berdiri.
“Kalau begitu, aku ke aula dulu ya, Jun.
Kita lanjutkan saja ngobrolnya nanti.” Ia berucap lalu pamit pada Jun, sembari
melirik ke arah Yein. Jun tersenyum lalu mengangguk.
Mereka berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kau bicarakan? Apa
masih ada hal yang harus dibicarakan di antara kita?” Ucapan Jun terdengar
sedikit ketus.
“Baru dua minggu kita putus dan kau
sudah dekat dengan perempuan lain?” tanya Yein sinis. Jun terkekeh.
“Lalu aku harus bagaimana? Menangisimu?” jawabnya. “Aku
sudah berusaha bangkit dari luka akibat kau campakkan, Yein. Dan aku sedang
berusaha untuk menatap ulang kehidupanku.” Lanjutnya.
“Aku tak bermaksud mencampakkanmu. Kau
tahu bahwa aku melakukan semua itu karena papaku.” Yein nyaris berteriak. Jun
kembali terkekeh sinis. Ia bahkan tidak berdiri dari tempat duduknya.
“Kenyataannya kau sudah membuat pilihan.
Kau memilih menuruti orang tuamu dan melepasku. Jadi, mau bagaimana lagi? Tak
ada jalan lain selain menerima keputusanmu ‘kan?” tukasnya.
Mereka kembali berpandangan. Yein
merasakan air matanya menitik.
“Apa kau tak mencintaiku lagi?” suaranya
parau. Jun tak menjawab.
“Aku hancur, Jun. Aku hancur,
berkeping-keping. Ini tak semudah yang kubayangkan. Menerima kenyataan bahwa kau tak bersamaku
ternyata lebih sulit daripada harus beradu argumen dengan papaku seumur
hidupku!” Yein berteriak. Air matanya mengalir deras. Dan kedua mata Jun juga
tampak berkaca-kaca.
Lelaki itu bangkit. Tapi ia tak berusaha
menenangkan perempuan di hadapannya. Ia bahkan tak menyentuhnya.
Ia menelan ludah lalu menatap Yein lebih
dalam.
“Yein, dengar ... Akupun pernah
mengalaminya. Ketika kau memutuskanku, hatiku hancur berkeping-keping. Aku
bahkan menangis meraung-raung seperti bayi. Aku jatuh, jungkir balik. Tapi itu
tak lama. Setelah sadar, aku mulai merenung. Kenyataan bahwa kita benar-benar
berada di dunia yang berbeda,
benar-benar membuat mataku terbuka. Aku mencintaimu, tapi cinta tidak harus
diakhiri dengan kebersamaan ‘kan?” tatapan Jun lembut.
“Hatimu mungkin hancur berkeping-keping.
Tapi percayalah, kau akan mampu mengatasinya. Kau pasti bisa bangkit lagi.
Menata ulang kehidupanmu, hatimu. Dan jika suatu saat kau bertemu dengan lelaki yang lebih baik dariku, aku pasti akan
mendoakan kebahagiaanmu. Dan jika kau bahagia, percayalah, aku juga bahagia.
Untukmu.” Ucapnya.
Yein balas menatapnya.
“Apa itu artinya kau sudah siap membuka
hatimu untuk perempuan lain? Perempuan tadi?” Yein nyerocos. Jun mengangkat
bahu. “Aku tak tahu. Tapi jika itu terjadi, suatu saat nanti aku siap untuk
jatuh cinta lagi. Aku siap untuk menata ulang kehidupanku.” Jawabnya.
Yein menatapnya tajam.
“Dan aku tidak akan pernah rela,”
desisnya.
“Yein ...”
“Aku mencintaimu, dan aku takkan pernah
rela melihatmu bahagia dengan perempuan manapun, selain aku!” ia berteriak.
“Yein ....” Suara Jun terdengar lembut.
Tangannya terulur berusaha menyentuh lengan Yein, namun perempuan berhidung
mancung itu mundur beberapa langkah.Ia tatap lurus ke arah mata Jun.
“Jika suatu saat nanti kau harus jatuh
cinta lagi, maka jatuh cintalah lagi denganku. Jika suatu saat nanti kau ingin
memulai segalanya dari awal, maka mulailah lagi segalanya dari awal, denganku.”
Ujarnya.
“Jun ...
dulu kaulah orang yang mengejar cintaku. Dan sekarang, aku tak keberatan
untuk ganti mengejar cintamu. Bahkan jika kau sudah tak punya cinta lagi
untukku, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku, demi bisa membuatmu jatuh cinta
lagi padaku. Camkan itu.” Ia berbalik, lalu beranjak meninggalkan Jun dengan
air mata yang terus bercucuran.
Ia tidak bercanda.
Ia serius.
Ia takkan pernah rela melihatnya bahagia
dengan perempuan lain.
Dan jika harus mengerahkan seluruh energinya
demi bisa mendapatkannya kembali, akan ia lakukan.
Ia cantik dan pintar.
Dan ia pasti menemukan cara membuat Jun
kembali padanya.
Pasti.
***
“TA-DA!”
Jun membelalak ketika menyaksikan Yein
ada di depan apartemennya yang sederhana. Perempuan itu tersenyum sumringah dan
menyapa Jun dengan ceria.
“Selamat pagi.” Ia kembali menyapa. Jun
masih tertegun sesaat sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ia tak bermimpi.
“Untuk apa kau di sini?” Akhirnya
kalimat itu yang keluar.
“Mulai sekarang kita jadi tetangga.”
Jawab Yein. “Aku menyewa aparteman sebelah.” Ia menunjuk ke arah apartemen yang
berada tepat di sebelah apartemen Jun.
Kedua mata bening Jun mengerjap.
“Untuk apa kau melakukannya?”
Yein kembali tersenyum. “Untuk
mendapatkan kembali cintamu.” Jawabnya enteng. “Kau tak menyuruhku masuk?”
“Tidak. Aku sedang tak ingin diganggu.”
Tukas Jun ketus. Dan Yein tampak tak tersinggung sama sekali. Perempuan itu
tetap saja tersenyum manis.
“Kenapa kau harus repot-repot menyewa
kamar sebelah?” Jun kembali bertanya.
Yein menatapnya lurus.
“Seperti yang sudah kubilang. Aku akan
berjuang untuk mendapatkan cintamu kembali. Aku akan berusaha mendapatkan
perhatianmu. Dan aku tak keberatan untuk mengejarmu sampai sini.” Jawabnya.
Bibir Jun terangkat sinis.
“Terserah kau saja. Aku tak tertarik.”
Dan ia menutup pintu, dengan satu sentakan keras.
Yein berdiri mematung, rahangnya kaku.
Tapi ia sudah bersumpah, ia takkan mundur.
***
Yein serius dengan ucapannya. Ia ibarat
hantu yang siap mengganggu hidup Jun selama 24 jam penuh!
Setiap pagi, ketika Jun baru nongol dari
pintu apartemennya, perempuan itu sudah berada di hadapannya, menyapanya,
tersenyum padanya, dan tak jarang membawakannya sarapan.
Begitu pula ketika Jun baru pulang dari
kampus atau dari kerja paruh waktunya, Yein juga sudah menungguinya di depan
pintu apartemennya.
“Kau tak lelah bermain peran seperti ini
selama hampir seminggu?” Pertanyaan Jun sinis. Ia hanya tak tahu bagaimana lagi
bersikap manis setelah apa yang Yein perbuat padanya, setelah perempuan itu
memutuskannya dengan cara yang menyakitkan. Hanya dengan melihat sosok
perempuan itu, amarahnya seperti kembali meledak.
“Aku tak bermain peran. Aku tak
bersandiwara. Kehidupanku sekarang beginilah adanya. Kenapa harus lelah?” Yein
menyanggah. Jun mendengus.
“Kalau kau sudah capek beramain-main,
pulanglah. Ini bukan tempatmu.” Lelaki itu beranjak membuka pintu.
“Aku membuatkanmu makam malam.” Yein
menyodorkan wadah yang berisi makan malam.
“Aku sudah makan.” Jun menjawab tanpa
melihat ke arah Yein, lalu menutup pintu dengan kasar.
Yein termangu sambil menatap wadah
makanan di tangannya. Ia menggigit bagian dalam bibirnya dengan keras hingga
terasa sakit. Dan kedua matanya berkaca-kaca.
***
Yein menyusuri jalanan menuju
apartemennya dengan langkah ringan. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Itu yang
memberanikan dirinya untuk berhenti di depan apartemen Jun lalu mengetuk
pintunya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu
pintu terbuka. Jun muncul dari balik sana.
“Hai, selamat malam. Aku membawakanmu
sup kacang merah. Ini.”
“Aku sedang ada tamu. Bisakah kau datang
besok saja?” Jun memotong.
“Oh ya?” Kening Yein berkerut. Perempuan
itu menelengkan kepalanya, melihat ke sisi dalam apartemen melalui sela tubuh
Jun. Dan dadanya terasa sesak seketika.
Ia melihatnya. Ia melihat Tae Hee ada di
dalam sana.
“Tae Hee?” Suara Yein setengah mendesis.
Ia mendongak dan menatap Jun dengan tatapan tak percaya.
“Kami .... mengerjakan tugas kampus.”
Jawab Jun.
Raut muka Yein tampak pucat, Jun bisa
melihatnya dengan jelas. Perempuan itu tersenyum dengan kaku lalu manggut-manggut.
“Aku tak pernah melihatmu lagi di
kampus?” Tanya Jun kemudian. Yein menggeleng.
“Tidak.” Suaranya bergetar. “Ini ___”
Yein menyodorkan bungkusan di tangannya.
“Sup kacang merah. Ibumu yang
membuatkannya.” Ujarnya.
Jun menatapnya tak percaya. “Ibuku?”
Yein mengangguk.
“Aku pergi ke kampung halamanmu dan
mengunjungi ibumu. Aku memintanya membuatkan makanan kesukaanmu. Dan ia
membuatkannya.” Jawabnya.
“Kau ... mengunjungi ibuku?”
Yein kembali mengangguk.
“Untuk apa?”
Yein mengangkat bahu. “Aku tak bekerja.
Jadi aku memutuskan untuk mengunjunginya.”
“Kau bekerja?” Jun kembali bertanya
dengan nada tak percaya.
“Begitulah.” Jawaban Yein terdengar
getir.
Jun menatap perempuan pucat di
hadapannya dengan tak mengerti. Membayangkan ia menempuh perjalanan sejauh itu
ke kampung halamannya demi untuk membawakan makanan kesukaannya, dan sekarang
ketika ia sampai di sini, ia malah bersifat tak ramah padanya. Astaga, Jun merasa menjadi lelaki paling jahat di
dunia.
Yein meraih tangan Jun, meletakkan
bungkusan itu di tangannya. Dan setelah yakin Jun memegangnya erat, perempuan
itu berbalik.
“Terima kasih.” Ucap Jun, tulus.
Yein tak bersuara. Ia hanya mengibaskan
tangannya tanpa melihat balik ke arah Jun. Perempuan itu terus melangkah menuju
pintu. Air matanya menitik. Dan sesaat setelah ia masuk ke apartemennya,
tangisnya pecah.
Dulu ketika ia masih menjadi pacar Jun,
hanya Yein perempuan yang pernah berkunjung ke apartemennya. Dan sekarang,
mengetahui bahwa ada perempuan lain yang juga sering berkunjung ke sana,
hatinya terasa teriris-iris. Sakit luar biasa.
Tapi Yein pantang mundur. Ia sudah
bertekad untuk berjuang mendapatkan Jun kembali. Ia akan merendahkan diri jika
perlu. Bahkan jika harus melemparkan dirinya ke dalam api neraka, ia akan
melakukannya dengan sukarela.
Ia takkan menampik jika memang ada
kedekatan antara Jun dan Tae Hee. Tapi ia takkan mundur sejengkalpun. Sampai
Jun menyuruhnya pergi, ia akan bersaing dengan perempuan manapun di muka bumi
ini.
***
Yein tahu ada orang lain di dalam
apartemen Jun karena ia mendengar obrolan dan senda gurau dari dalam sana. Bisa
saja itu teman kuliahnya, bisa saja itu Tae Hee – lagi. Nyali Yein sempat ciut,
ia sempat meratap. Tapi, sekali lagi, ia akan berjuang dengan sportif. Apapun
hasilnya.
Perempuan bertubuh mungil itu mengangkat
tangannya dan mengetuk pintu. Sesaat pintu terbuka dan Jun muncul. Raut muka
lelaki berhidung mancung itu tampak lebih santai sekarang.
“Untuk kali ini, biarkan aku masuk.
Okey?” Yein merajuk.
Jun belum mengatakan apapun ketika
tiba-tiba saja Yein menyeruak masuk.
Dan dugaannya benar. Tae Hee ada di
dalam sana. Duduk menghadap sebuah meja di lantai yang dipenuhi dengan
buku-buku dan peralatan tulis. Perempuan berambut keriting itu tampak terkejut.
Tapi perlahan ia tersenyum kaku. Yein balas tersenyum.
“Annyeong...” Yein menyapa terlebih
dahulu dengan nada ceria.
“Apa kalian sedang belajar? Aku
membawakan makanan dan cemilan. Aku membuatnya sendiri.” Yein menunjukkan kotak
di tangannya. Ia menatap ke arah Jun dan Tae Hee secara bergantian.
“Aku sudah banyak berlatih kok. Makanan
buatanku lumayan enak sekarang. Kalian lanjutkan saja belajarnya. Aku akan
menyiapkannya di dapur.” Ujar Yein lagi.
“Dapurnya masih tetap ‘kan?” Kali ini ia
kembali menatap Jun. Jun tampak sedikit kikuk, tapi akhirnya ia mengangguk.
“Aku hanya akan menyiapkan ini sebentar,
setelah itu akan pulang. Aku takkan mengganggu belajar kalian. oke?” Ucap Yein
lagi sambil beranjak, menuju dapur mungil Jun.
Ia senang karena ternyata tak ada yang
berubah dari apartemen sederhana itu. Ruangannya
masih sama, perabotnya juga masih sama. Cara menata barang-barang di dapur pun
masih sama. Dan Yein-lah yang menatanya.
“Aku akan membantumu.” Di luar dugaan,
Jun mengekor di belakang Yein.
“Tak apa-apa, aku akan menyiapkan
sendiri.” Yein menyahut lirih seraya mengambil beberapa piring dari rak dan
mulai menata makanan yang ia bawa. Jun membantunya tanpa berkata. Keadaan
hening sesaat.
Yein asyik menata makanan, Jun asyik
membantu sambil sesekali memperhatikan perempuan cantik di sampingnya.
Jun tak bisa menyangkal, perempuan itu
tetap saja cantik walau penampilannya sekarang lebih sederhana. Tak ada lagi
perhiasan mahal, tak ada lagi baju mahal, tak ada lagi dandanan berlebih.
Sekarang ia lebih kasual. Mengenakan celana jeans dan blouse tipis, ia tetap
saja menawan. Dan satu hal yang tak pernah Jun lupakan, aroma tubuh Yein masih
sama. Wangi khas buah-buahan yang menyegarkan.
Sesaat Jun kembali terpesona. Ia asyik
mengagumi Yein, memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, tanpa
perempuan itu ketahui. Hingga akhirnya Jun sadar, jemari-jemari Yein tampak terluka.
Jemari-jemari lentik itu dipenuhi
goresan dan plester di sana sini. Kukunya tak lagi rapi. Beberapa bahkan tampak
patah. Dan kutex-nya yang biasanya berwarna-warni
dan begitu elegan, sekarang tampak memudar dan tak beraturan lagi.
Reflek, Jun meraih tangan perempuan
tersebut dan menatapnya dengan miris.
“Kenapa dengan jari-jarimu?”
Pertanyaannya lirih.
“Tak apa-apa, aku belajar memasak. Dan
beginilah hasilnya. Hanya luka gores biasa.” Yein berusaha menarik tangannya
dari genggaman Jun, tapi lelaki itu menahannya.
Jun terus menatap jemari Yein dengan iba
dan membelainya dengan lembut. Jemari yang dulu begitu indah dan lentik,
sekarang terlihat lelah, sedikit kasar dan tak terawat.
“Kau harus berhenti, Yein.” Jun berbisik
seraya menatap perempuan di hadapannya dengan dalam.
“Berhenti, dan pulanglah. Cara ini
takkan berhasil. Kita ... takkan bisa kembali lagi. Terlalu banyak masalah.
Kita takkan bisa melewatinya.” Ucapnya pelan.
Keduanya berpandangan.
“Pulanglah, Yein. Pulanglah ke rumahmu.
Ku mohon.” Ucap Jun lagi.
Yein menelan ludah. Ia menarik tangannya
dari genggaman Jun.
“Aku ... akan kembali ke apartemenku.”
Jawabnya serak seraya beranjak dari hadapan Jun. Perempuan itu melangkah
melewati ruang tamu tempat Tae Hee berada, dan sambil menyapanya sekilas, ia
keluar.
Jun mematung sesaat. Lelah berdebat
dengan hati nuraninya, ia berbalik.
“Tae Hee, sebentar ya.” Ia pamit pada
Tae Hee, lalu berlari kecil menyusul Yein.
Yein baru saja meraih knop pintu ketika
Jun berhasil meraihnya.
“Aku serius, Yein. Pulanglah. Ini bukan
tempatmu. Kau tak pantas berada di sini.” Ucap Jun lagi.
Yein mematung. Salah satu tangannya yang
memegang knop pintu, luruh.
“Dan kau harus kembali masuk kuliah. Aku
tahu beberapa hari ini kau tak hadir di kelas.” Jun melanjutkan.
Yein memutar tubuhnya menghadap Jun,
lalu menatap lelaki itu dengan pedih.
“Aku sudah berhenti kuliah.” Jawabnya
parau.
Jun tersentak. “Apa maksudmu?”
Air mata Yein merebak.
“Aku tak punya biaya lagi untuk kuliah.
Aku pergi dari rumah. Aku meninggalkan
segalanya. Papa menarik semua uangku dan semua kartu kreditku. Dan aku siap
dengan konsekuensi itu. Sekarang, di sinilah aku. Menjadi gadis biasa yang
tinggal di apartemen murahan, bekerja di restoran cepat saji demi bisa makan
dan membayar sewa apartemen, dan ... berusaha mengemis cinta padamu.” Air mata
Yein menitik tanpa mampu ia bendung.
Penjelasan Yein membuat jantung Jun mencelos. Sakit.
“Jun, aku tahu mungkin usahaku sia-sia.
Aku tahu mungkin usahaku untuk kembali padamu takkan berhasil. Tapi setidaknya aku ingin tetap
memperjuangkanmu. Aku ingin berada di sisimu, dekat denganmu, seperti dulu. Jika
kau menyuruhku pulang, aku tak tahu harus pulang kemana. Karena menurutku, aku
tak punya rumah lagi selain ... di sini.” Perempuan itu terisak. Ia kembali
menarik knop pintu, bergerak masuk, dan mengunci pintu dari dalam. Dan Jun
mendengar tangis perempuan itu pecah.
Lelaki itu merasakan lututnya lemas. Ia
mundur dengan terhuyung. Kepalanya seperti di pukul dengan bongkahan batu.
Pening.
Ada apa dengannya? Kemarahannya pada
Yein seperti menutupi akal sehatnya?
Kenapa ia tak tahu? Kenapa ia tak tahu
bahwa selama ini Yein juga menyimpan beban?
Kenapa ia tak tahu bahwa perempuan itu
juga sama menderitanya seperti dirinya?
***
Jun tercenung di kamarnya yang tiba-tiba
saja terasa pengap dan sesak. Padahal semua jendela telah ia buka dan ruangan
juga telah ia bersihkan berkali-kali.
Lelaki berhidung mancung itu menatap
phonselnya yang tergeletak di meja. Ia sudah memandangi benda tipis itu selama
sekian jam. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ingin ia berlari
ke apartemen Yein dan meminta maaf padanya, tapi nyalinya ciut.
Ingin ia mencoba menelpon atau berkirim
pesan padanya, lagi-lagi ia seperti tak punya keberanian. Ia hanya merasa
begitu jahat, tak berperasaan.
Lelaki itu tengah mondar-mandir ketika
ia mendengar bunyi ribut-ribut di luar. Awalnya ia cuek, tapi tiba-tiba saja ia
mendengar suara perempuan berteriak. Dan serta merta pikirannya tertuju pada
satu hal : Yein!
Jun segera beranjak, berlari ke luar
apartemen. Dan ketakutannya ternyata terbukti.
Tepat ketika ia sampai di luar, ia
melihat beberapa orang tengah menyeret Yein ke sebuah mobil. Perempuan mungil
itu terus meronta.
“Maaf, agasshi (nona). Kami hanya
menjalankan perintah. Ayah anda menyuruh kami untuk membawa anda pulang.”
Seorang lelaki bertubuh kekar berusaha menenangkan Yein.
“Aku tidak akan pulang! Papa sudah
menyuruhku pergi, kenapa ia harus membawaku kembali ke rumah itu lagi!” Yein berteriak.
Ia terus meronta ketika beberapa orang terus memeganginya.
“Apa yang kalian lakukan padanya?!” Jun
berteriak seraya berlari ke arah mereka.
Yein menoleh. “Jun!” Ia memanggil
namanya dengan harapan lelaki itu akan menolongnya. Tapi ia kalah cepat, karena
orang-orang bertubuh kekar itu berhasil memasukkannya ke dalam mobil dengan
paksa.
“Yein!” Jun kembali berteriak. Dan mobil
itu mulai berjalan.
“Yeiiinn!!” Jun berlari mengejar.
Sementara itu di dalam mobil, Yein tak
berhenti melakukan perlawanan. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa Jun tengah
berusaha mengejar mobil yang mereka tumpangi.
“Hentikan mobilnya!” Teriaknya. “Kalian
takkan bisa membawaku pulang!” Ia membentak seraya terus berusaha melepaskan
diri.
“Maafkan kami, agasshi. Kami hanya menjalankan
perintah.” Seseorang bertubuh kekar berusaha menenangkan Yein. Perempuan itu
makin kalap.
“Jika kalian terus memaksa, aku akan
menyakiti diriku sendiri agar papaku memberi kalian pelajaran!” Ia mengancam.
Beberapa orang yang memegangi Yein tampak bingung. Dan kesempatan itu
dipergunakan Yein untuk menggigit tangannya dan menonjok mereka dengan membabi
buta. Terjadi keributan di dalam mobil. Kendaraan itu berjalan tersendat, dan
Yein nekat membuka pintu mobil dari kursi penumpang, lalu meloncat keluar.
Dan, Jun menyaksikannya. Ia menyaksikan
ketika mobil itu berjalan zig zag, tersendat, lalu berjalan lagi. Dan tiba-tiba
pintu mobil terbuka, lalu sosok mungil itu terlempar keluar.
Tubuh Yein terhempas ke jalan lalu
berguling beberapa kali. Entah karena takut atau karena alasan lain, mobil yang
membawanya tadi terus melaju dengan kencang, meninggalkannya.
Jun melihat adegan itu dengan mata
terbelalak.
Tenggorokannya tercekat. Ia yakin bahwa
jantungnya sempat berhenti berdetak, sekian saat.
Jun mendekati sosok yang tergeletak itu
dengan langkah terhuyung.
Lelaki itu tersengal, kehabisan nafas.
Mulanya Jun mengira Yein mati. Tapi ia
lega ketika perlahan sosok itu bergerak, lalu berusaha bangkit.
“Paboya??!!! (Apa kau bodoh?!)” Jun berteriak
marah ke arah pada perempuan itu.
Yein tampak meringis menahan sakit. Luka
gores memenuhi lengan dan juga tungkai kakinya.
“Apa kau gila??!! Apa kau tak waras??!!
Apa yang ada dikepalamu hingga kau harus meloncat dari mobil, hahh??!!” Jun
kembali berteriak kalap.
“Bagaimana jika kau mati?? Bagaimana
jika ...” Kedua matanya nampak berkaca-kaca. Ia menyisir rambutnya dengan
frustasi.
“Aku tak mati.” Jawab Yein kemudian.
“Aku tak mati.” Ulangnya.
Jun mendengus, dan ia jatuh berlutut.
“Jangan ...” desisnya. “Jangan pernah
lakukan ini lagi, Yein. Jangan menakutiku lagi dengan cara seperti ini. Aku
takkan bisa melihatmu celaka. Takkan pernah bisa ...”
Air mata Jun menitik.
Dan akhirnya Yein tahu, lelaki itu masih
sangat mencintainya...
***
Jun menggendong Yein dan membawanya
kembali ke apartemennya. Ia memeriksa luka di tubuh Yein tanpa mengatakan
apapun. Lelaki itu berubah pendiam.
“Katakan sesuatu. Kenapa kau jadi diam
begini?” Yein bersuara.
Jun tak menjawab. Ia mengolesi luka di
kaki Yein dengan obat merah.
“Kau marah padaku?”
Jun kembali tak menjawab.
“Apa aku berbuat salah padamu?” Yein
kembali bertanya.
Lelaki itu menggeleng pelan. Ia bangkit,
mengambil tas besar di dalam lemari, lalu memasukkan beberapa potong baju ke
dalamnya.
“Kau juga akan mengusirku?” Yein
bertanya getir.
“Kau akan pulang, ke apartemenku.” Jawab
Jun sambil terus memasukkan beberapa potong baju ke tas besar tersebut.
Yein tertegun. Setengah tak percaya
dengan apa yang didengarnya.
“Kenapa?” Ia memberanikan diri
menanyakannya.
Jun menarik nafas panjang, lalu menatap
Yein dengan lembut.
“Karena tak ada perempuan lain di
hatiku, selain dirimu. Dulu, sekarang, dan selamanya.” Jawabnya kemudian.
Kedua mata Yein berbinar. Senyum haru
tersungging dalam bibirnya.
Jun berlutut di hadapannya lalu
menggenggam tangannya dengan lembut.
“Aku memang marah padamu setelah apa
yang kau lakukan padaku. Tapi satu hal pasti, aku takkan berhenti mencintaimu.”
Ucapnya, sembari mencium punggung tangan Yein.
“Sementara ini, kau akan tinggal di
apertemenku, sampai luka-lukamu sembuh. Aku akan merawatmu.” Ia membopong tubuh
Yein yang ringan, lalu membawa ke apartemennya.
“Aku tahu ini akan sulit untuk kita.
Tapi aku akan segera lulus dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku pasti bisa
menghidupimu dan mencukupi kebutuhanmu. Suatu saat kita juga akan punya rumah
sendiri, tak perlu mewah, tapi nyaman untuk ditempati anak-anak kita. Dan jika
segalanya sudah membaik, aku yakin papamu pasti merestui kita.” Jun menata baju-baju Yein di samping bajunya.
“Aku tahu cara mendapatkan restu papaku
dengan lebih cepat.” Cetus Yein.
Jun menoleh. “Apa?”
“Punya bayi, mungkin.” Pipi Yein merona
ketika menjawabnya.
Jun terkekeh. Ia menggeleng.
“Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Kau
perempuan terhormat, Yein. Dan kau layak mendapatkan perlakuan lebih baik
dariku, tidak hanya sekedar menidurimu dan menghamilimu.” Jawab Jun.
“Kita akan melakukannya sesuai urutan.
Aku bekerja, kita menikah dengan sebuah pesta, lalu baru punya anak.”
Lanjutnya.
Yein manggut-manggut. Jun bergerak dan
mencium keningnya dengan lembut.
“Tidurlah. Besok aku akan ke tempat
kerjamu untuk memintakan ijinmu. Dan mungkin besok aku akan pulang agak
terlambat. Aku berniat bekerja paruh waktu di dua tempat sekaligus.”
“Kenapa?” pertanyaan Yein terdengar
protes.
“Aku harus bekerja keras, agar kau bisa
kuliah lagi. Oke?” lelaki itu membelai pipinya dengan lembut. Dan untuk
kesekian kalinya, ia terharu.
***
Jun pulang larut. Ia sampai di
apartemennya dan mendapati tempat tinggalnya itu berantakan. Dan Yein tak ada
di sana. Ia mencari perempuan itu di apartemennya sendiri, tapi apertemen itu
juga kosong.
Jun menendang tempat sampah dengan
kesal. Tangannya terkepal dan nafasnya naik turun karena amarah. Ia tahu, Yein
pasti dibawa pulang dengan paksa oleh orang-orang papanya.
Lelaki itu segera beranjak, menuju jalan
raya dengan langkah panjang lalu menghentikan sebuah taksi yang melintas. Taksi
itu akan membawanya ke rumah Yein.
Seperti dugaannya, ketika ia sampai di
rumah mewah Yein, beberapa orang penjaga menahan dirinya dan melarangnya masuk.
Tapi Jun melakukan perlawanan. Ia mahir bela diri, sehingga tak pelak lagi,
terjadi keributan di antara mereka.
Jun sendiri tak peduli. Ia akan masuk ke
rumah itu dan menemukan Yein, bahkan jika ia harus membuat keonaran.
“Yein!”
Ia berteriak memanggil, lalu memasuki
ruang tamu setelah terlebih dahulu melumpuhkan tiga penjaga yang tadi sempat
menahannya.
“Aku bisa memasukkanmu ke penjara karena
kau membuat masalah di rumahku!” Seorang lelaki setengah baya berdiri dengan
tegap di depan tangga. Ia menatap tajam ke arah Jun.
Jun balas menatapnya tak kalah sengit.
Lelaki itu adalah papa Yein.
“Lakukan saja semau anda. Masukkan aku
ke penjara bila itu membuatmu puas. Tapi aku akan membawa Yein keluar dari
rumah ini, titik!” Jun berteriak lantang.
“Kenapa dia harus pergi dari sini. Ini
rumahnya.”
“Karena ia tak bahagia di sini!” Jun
kembali berteriak.
“Aku tak tahu kenapa anda tak
menyukaiku. Jika anda tak menyukaiku karena aku miskin, aku akan bekerja keras.
Aku akan mendapatkan pekerjaan mapan dan percayalah, aku bisa menghidupi Yein.”
Kali ini suara Jun terdengar lebih tenang. Ia mencoba berdamai dengan
situasi.
“Setidaknya beri kami kesempatan untuk
membuktikannya.” Lanjutnya lagi.
Lelaki setengah baya itu terkekeh.
“Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan
yang mapan. Aku berniat menghubungi kampusmu agar beasiswamu dihentikan dan kau dikeluarkan karena
kau berani mengganggu putriku.” Dengusnya.
Jun menarik nafas berat.
“Oke, lakukan saja. Keluarkan aku dari
kampus. Tapi biarkan aku memiliki Yein.” Jawabnya tegas.
Kening lelaki setengah baya itu
mengernyit.
“Kau terlalu impulsif anak muda. Kau gegabah
mengambil keputusan.” Ucapnya dengan suaranya yang berat.
Jun menggeleng mantap.
“Tidak. Aku tidak pernah gegabah
mengambil keputusan. Apapun pilihan yang kau berikan, aku akan tetap memilih
Yein. Aku akan memperjuangkannya, bahkan jika itu harus menukar dengan nyawaku.
Lalukan saja semau anda. Tapi satu hal yang tak bisa anda pungkiri, akulah
satu-satunya orang yang mampu membuat Yein bahagia.” Jun kembali menatap mata
tua itu dengan tajam.
“Jadi, dimana dia sekarang?”
Lelaki setengah baya bertubuh agak gemuk
itu tak segera menjawab.
“Haruskah aku menggeledah rumah ini
sendiri? Oke, aku tak keberatan melakukannya.” Jun beranjak, memasuki beberapa
ruangan di lantai tersebut dan menyerukan nama Yein.
“Dia di kamar atas.” Papa Yein berucap.
Kali ini suaranya terdengar tenang.
Jun memutar arah dan bergerak menuju
tangga tanpa mengucapkan terima kasih.
“Dan .... dia menolak untuk makan.”
Lelaki itu kembali berucap hingga membuat langkah Jun terhenti. “Sejak dibawa ke sini, ia menolak untuk
makan. Bujuklah dia agar mau makan. Dia ... terlihat tidak sehat.”
Jun tak salah dengar. Lelaki itu
mengkhawatirkan putrinya.
Jun berbalik dan menatap lelaki tersebut
dengan dalam.
“Aku akan menjaganya.” Ucapnya singkat
seraya kembali menaiki anak tangga. Langkahnya panjang, seolah-olah ia ingin
menaiki dua anak tangga sekaligus demi bisa segera bertemu dengan Yein.
Ia menyeruak ke kamar Yein dan menemukan
perempuan cantik tersebut duduk meringkuk di bawah jendela. Ia menekuk kedua
lututnya, menopangkan kedua lengannya di sana, dan menyembunyikan wajahnya di
dalam lipatan tangan tersebut.
Jun menatapnya dengan lega. Tanpa sadar,
kedua matanya berkaca-kaca.
“Yein...” Panggil Jun lirih.
Yein mendongak. Wajahnya pucat pasi.
Kedua matanya merah, seolah yang ia lakukan selama ini adalah menangis.
“Jun ...” Ia menjawab lirih. Ada nada
kegembiraan di sana.
Jun tersenyum dan mengangguk.
“Aku menjemputmu. Ayo kita pulang.”
Jawabnya. Suaranya parau.
Yein tertegun. Selanjutnya kedua matanya
berbinar. “Aku ... lelah.” Bisiknya. Air matanya mulai merebak.
Jun kembali mengangguk. Ia mendekati
perempuan tersebut. Berlutut di hadapannya.
“It’s okay. Aku akan menggendongmu.”
Jawabmu. Ia membelai wajah Yein dengan lembut, lalu bangkit kemudian membopong
tubuhnya.
“Kita akan pulang ke apartemenmu?” Yein
bertanya lirih. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jun.
Lelaki itu mengangguk. “Ya, kita akan
pulang. Ke tempat seharusnya kita berada.” Jawabnya.
Ia membawa perempuan itu menuruni tangga
dan keluar dari rumah mewah tersebut. Sesaat sebelum ia berhasil memanggil
taksi, ia menyaksikan papa Yein berdiri di luar rumah, memandang dalam ke arah
mereka. Tatapan itu bukan tatapan kemarahan, bukan pula tatapan restu. Tak apa-apa,
ini toh sudah bagus.
Lagipula, ia tahu bahwa ia telah
mengambil keputusan yang benar.
Bersama Yein, bersama orang yang ia
cintai, di sampingnya.
Itu saja.
~~~~~
~~~~~
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar