Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Will You Marry Me (Again)




~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            Aku memperlambat langkah kakiku ketika aku menyaksikan puluhan buket bunga berjejer di sepanjang jalan menuju meja kerjaku. Mawar putih, bunga kesukaanku.
“Untukmu semua.” Wei, rekan kerjaku yang meja kerjanya bersebelahan denganku,  membuka suara sambil menunjuk ke arah buket-buket bunga tersebut. Aku menatapnya tak mengerti.

“Baca saja kalau tak percaya,” ia menganjurkan sambil mengambil kartu ucapan dari salah satu buket bunga tersebut.
“Nih,” ia menyodorkannya ke arahku.

“Orang sinting mana yang berniat memindahkan toko bunga ke tempat kerjaku?” gerutuku sambil menyambar kartu ucapan tersebut.
“Kau kenal dekat dengannya kok. Bahkan pernah ter-a-mat dekat.” Perempuan itu kembali  berkata-kata, terdengar sebal.

Bibirku berdecak sambil membalik kartu ucapan tersebut lalu mulai membacanya. Dan mataku segera membelalak. Wei benar, pengirimnya adalah orang yang ku kenal dekat, terlampau dekat malahan.

Untukmu yang tercinta, Hayun...
Dari : Seung Cheol.

Aku menatap Wei dengan kaget. “Mantan suamiku?!” teriakku bingung. Dan ia cuma mengangguk, mengiyakan.
Oh tidak.

***

            Sosok itu berdiri di sana. Di sisi jalan masuk tempatku bekerja. Tatapannya lurus ke arahku. Ia tersenyum lalu melambaikan tangannya. Aku berdiri, mematung, terkejut. Dan otakku masih waras untuk tak membalas senyumannya.

            Beberapa tahun telah berlalu tapi sosok itu masih saja terlihat ... tampan. Tatapan matanya teduh menenangkan. Senyum yang dihiasi lesung pipi juga masih terlihat menawan. Penampilannya masih terkesan sama. Tidak terlalu rapi dan terkesan laki-laki. Celana linen berwarna gelap yang disetrika licin dan dipadukan dengan kemeja abu-abu dengan lengan digulung sampai siku. Kancing kemeja atasnya terbuka hingga dasi yang ia kenakan terlihat sedikit kedodoran. Rambutnya sedikit messy, dan wajahnya terlihat begitu sumringah. Damn, ia masih saja tampan luar biasa!

            Aku menelan ludah dan berusaha mendapatkan akal sehatku kembali. Oh, dia mantan suamiku! Orang yang telah mengkhianatiku, menghancurkan hatiku.

Tapi ... ini ibarat kau puasa selama 24 jam penuh, kemudian kau dihadapkan pada serangkaian menu berbuka puasa yang menggiurkan, lengkap dengan puding dan es buah, tentu kau ingin menyantapnya ‘kan?
Nah, itu yang kurasakan saat ini. Aku ingin menyantap orang ini!  

Seung Cheol, mantan suamiku, lelaki sempurna super tampan yang dulu pernah membuatku jatuh cinta setengah mati – meskipun sekarang masih – tapi kemudian ia menghancurkan hatiku berkeping-keping dan meninggalkanku demi wanita lain!

“Kau menerima bungaku? Surat-suratku?”

Aku tergagap. Suara itu membuyarkan lamunanku. Dan aku baru menyadari bahwa sekarang dia sudah berdiri di hadapanku. Kapan dia melangkah ke sini?

“Hayun?” Ia kembali memanggil, kali ini membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku mundur beberapa langkah dengan gugup, lalu tanpa berkata-kata aku beranjak melewati dirinya menuju trotoar untuk segera menunju halte bis.

Ia berlari mengejarku. Tapi  tak menghalauku, melainkan malah menyamai langkahku.
“Bisa kita bicara sebentar?” Ia kembali berkata.
“Tidak.” Jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya.
“Please.”
“Tidak!” Aku menghentakkan sepatuku ke tanah lalu berhenti, memutar tubuhku ke arahnya dan menatapnya dengan kesal.

Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang masih sama dengan beberapa menit yang lalu. Dan tatapan itu benar-benar menggoda. Oh, orang – santapan – sialan!
Nah, otakku kacau ‘kan sekarang?

“Dengar, aku tahu kemana arah pembicaraanmu. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku anak kecil? Kau mengirimiku berbuket-buket bunga, mengirimiku kartu ucapan dengan kalimat-kalimat manis, mengatakan kau mencintaiku, oh, rayuan gombal! Yang jelas itu semua bukan permohonan maaf ‘kan? Kenapa? Kau ingin kembali padaku? Apa kau ada masalah dengan perempuan itu? Apa kalian bertengkar? Atau ... perempuan itu meninggalkanmu?” Aku berdecak sinis.
“Aku sudah bercerai dengan ...”
“Jangan berani menyebut namanya di depanku!” Aku berteriak.  

Seung Cheol mengangkat bahu. “Oke.” Jawabnya cepat. “Aku bercerai dengan perempuan – itu.” Lanjutnya. Aku terkekeh sinis.
“Sudah kuduga. Bedebah. Bajingan tengik.” Aku mengutuk lalu kembali beranjak. Dan dia tetap saja menyamai langkahku.

“Kau tak ingin tahu dengan apa yang terjadi dengan kami?”
“Tidak.” Jawabku pendek.
“Setidaknya biarkan aku menjelaskan segalanya padamu.”
“Maaf, itu bukan urusanku.” Aku menjawab tak kalah ketus.
“Beri aku kesempatan lagi, Hayun. Aku ingin menebus dosaku padamu.” Kali ini ia menarik lengan tanganku dan menatapku dengan dalam. Aku balas menatapnya dengan rahang mengeras.

“Tidak.” Jawabku lagi seraya menarik tanganku dari genggamannya. Karena frustasi, aku urung melangkahkan kakiku ke halte bis dan malah menghentikan taksi yang melintas. Tanpa bicara, tanpa melihat lagi ke arahnya, aku segera meminta pak sopir untuk meluncur, meninggalkannya.

Well, seperti yang sudah kalian dengar, lelaki tadi memang lelaki yang pernah mencampakkanku. 2  tahun yang lalu, ia menceraikanku demi wanita lain.

Aku tidak menyalahkannya sepenuhnya atas semua itu. Karena, yaa... begitulah. Waktu itu kami memang mengalami masa-masa sulit. Melewati pacaran yang termasuk singkat, hanya 3 bulan, lalu kami buru-buru memutuskan untuk menikah tanpa terlebih dahulu memahami karakter satu sama lain. Pernikahan kami waktu itu hanya didasari satu hal : kami saling jatuh cinta setengah mati!

Tapi cinta hanyalah cinta. Ketika memasuki pernikahan yang sebenarnya, kami kewalahan. Kami sering cekcok. Memang sih kami selalu menemukan cara alami untuk berbaikan kembali. Cinta. Tapi itu saja tidak cukup.

Dan kemudian semua berantakan. Usia pernikahan kami baru memasuki tahun kedua ketika Seung Cheol tergoda dengan sekretaris pribadinya yang cantik, bahenol, dan ... seksi. Dan singkat kata,  dia meninggalkanku demi wanita itu.

Tapi aku sadar, sedalam apapun luka yang telah ia torehkan padaku, aku tetap saja jatuh cinta setengah mati dengan lelaki itu!
Can’t help...

***

            Aku terperangah menyaksikan taburan kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju ruang kerjaku. Kelopak mawar, asli! Membentang dari ujung lorong hingga ujung yang satunya. Bisa kau bayangkan itu?

            Taburan mawar putih di sisi kanan dan kiri, sementara bagian tengah dipenuhi mawar merah yang sengaja dibentuk dengan bentuk – hati. Dan tepat di tengah-tengah bunga berbentuk hati itu, ada kelopak mawar putih yang ditata menjadi tulisan. Mau tau tulisannya apa?

S loves H
Forever

            Perlu kujelaskan inisial huruf tersebut? ‘S’ berarti Seung Cheol, dan ‘H’ berarti Hayun, aku. Nah, sudah jelas ‘kan berarti siapa pelaku tindakan norak, alay bin jablay seperti ini?
           
            Ya Tuhan, aku mendesis dalam hati.

            “Ya Tuhan,” Wei yang berdiri di sampingku, seolah ingin mengulangi desis hatiku. Ia juga tak kalah terperangah. “Hayun, ini benar-benar....”
“Ya, Ya, Ya, aku tahu. Ini norak, ini sinting, ini lebay, ini bener-bener ....”
“Tidak. Justru sebaliknya. Ini bener-bener ... romantis.” Wei terkikik.

Aku mendelik dan menatap sahabatku itu dengan alis bertaut tak mengerti. What?
Aku memutar bola mataku dengan kesal. Romantis? Oh, please deh. Orang sinting mana yang masih melakukan cara norak seperti ini untuk menarik perhatian seorang perempuan.

            “Mana petugas kebersihan?! Singkirkan benda-benda konyol ini, segeraaa!” Aku berteriak seraya melangkahkan kakiku menyusuri taburan bunga itu sambil sesekali menyurukkan ujung sepatuku ke gundukan bunga berbentuk hati - dengan sengaja.  Berantakan, biarkan saja.

            “Yya, Hayun, apa yang kau lakukan? Bunga itu cantik.” Wei berteriak histeris. Aku menatapnya kesal. “Cantik? Ini mengganggu. Panggil petugas kebersihan untuk membersihkan semua ini. Se-ge-ra.” Rahangku mengeras.

“Kau tak ingin tahu siapa yang melakukan hal manis seperti ini?” Mrs. Lee, atasanku, muncul dari balik pintu. Aku menatapnya lurus. “Tak perlu memberitahuku siapa orangnya, bu. Saya sudah tahu.” Jawabku.

“Aku yang memberinya ijin untuk melakukan ini. Menata bunga dengan manis seperti ini.” Ia melanjutkan. Keningku kembali mengernyit. Aku menatap perempuan setengah baya itu dengan tak mengerti. Beliau hanya mengangkat bahu cuek.

“Well, dia bilang dia sedang mencari cara agar kau mau bertemu dan berbicara dengannya. Dan cara ini yang ia pilih. Romantis kan?” ucapnya lagi. Aku menggigit bibir.
“Oke, maaf bu. Ini takkan terulang, saya jamin. Saya akan meminta padanya untuk tidak melakukan hal-hal memalukan seperti ini lagi. Ini benar-benar ...”
“Tunggu. Jangan temui dia dulu, oke?” Mrs. Lee memotong kalimatku. Aku kembali mengernyit. Eh?

“Kau tahu, belakangan ini kita semua sedang kelelahan karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Berada di kantor benar-benar ... membosankan. Tapi akhir-akhir ini suasana kantor berubah menjadi begitu feminin, harum, ceria dan ... romantis. Semua ini berkat ratusan buket bunga yang telah dikirimkan oleh mantan suamimu. Jadi, jangan temui mantan suamimu dulu agar dia terus rajin mengirimkan bunga ke sini. Selain karena menambah keindahan, bunga-bunga yang ia kirimkan cantik sekali.” Beliau tersenyum manis. Aku melongo.

“Buatlah dia agar rajin mengirim berbuket-buket bunga ke sini sekitar seminggu lagi. Taburan bunga seperti ini juga malah bagus. Oke?” Mrs. Lee kembali tersenyum tanpa dosa lalu berbalik, dan tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku menoleh ke arah Wei dengan bingung, sahabatku itu hanya terkikik seraya mengangguk. Ketika aku membuang pandanganku ke sepanjang lorong, beberapa kepala menyembul dari jendela dan juga pintu. Mereka, yang rata-rata perempuan dan notabene adalah rekan kerjaku yang paling baik, menatap ke arahku, tersenyum, lalu juga mengangguk. Senyuman mereka seolah mengatakan : KAMI SETUJU. BUAT MANTAN SUAMIMU MENGIRIM BUNGA KE SINI SELAMA SEMINGGU. ATAU APA SAJA, TERSERAH. KAMI BUTUH HIBURAN. TITIK.

Bahuku terkulai lemas. Frustasi, aku mendengus kesal seraya mengacak-acak rambutku yang tadinya sudah tersanggul rapi. 
Ini yang sableng siapa sih?

***

            Aku tetap ngotot untuk menolak bertemu dan berbicara dengan Seung Cheol. Dan edisi buket bunga – beserta taburannya itu – telah terjadi persis selama seminggu. Mungkin karena merasa cara seperti itu tak mempan, Seung Cheol mengubah strategi. Tidak lagi menggunakan bunga, tapi kali ini menggunakan : band.

            Kami tercengang ketika keesokan paginya, kami menemukan sebuah stage megah yang telah berdiri di halaman gedung. Stage itu nyaris sebesar stage mini konser band-band ternama di Korea. Di stage itu tertulis dengan jelas sebuah pesan yang ditulis dengan huruf kapital : UNTUKMU TERCINTA, HAYUN.

Penyanyi band membawakan lagu-lagu dengan begitu apik. Dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu-lagu dari band favoritku, Maroon 5. Mulai dari lagu This love, Lucky Strike, Makes me wonder, Never gonna Leaves This Bed, Won’t Go Home Without You, One More Night hingga Maps. Dan mereka menyanyikan lagu-lagu itu secara medley dari sejak kantor dibuka hingga ditutup, selama 3 hari! Bisa kau bayangkan itu?

            Reaksi teman-teman sekantor? Oh, jangan ditanya lagi. Mereka girang bukan kepalang. Mendapat hiburan gratis, itu dalih mereka. Beberapa orang bahkan mengusulkan untuk mendatangkan Maroon 5 yang asli. Sinting!

== Aku akan selalu mengganggu kehidupanmu sampai kau jenuh. Sampai kau mau bertemu denganku, berbicara denganku, dan memberiku kesempatan untuk kembali padamu. Tak jadi soal bila aku harus bangkrut untuk melakukan itu semua.==

Itu pesan singkat yang kuterima dari Seung Cheol setelah edisi band tetap tak membuatku luluh.

            Tapi keesokan paginya, kesabaranku nyaris mulai habis ketika aku menemukan sebuah papan reklame terpampang di depan kantorku. Sebuah papan reklame sebesar papan reklame rokok yang biasa terpasang di pinggir jalan. Barisan kalimat tertulis dengan (lagi-lagi) huruf kapital di sana.

            AKU MENCINTAIMU, HAYUN. KEMBALILAH PADAKU.

Dengan kesal, aku mengambil phonselku dan menelpon lelaki itu.
“YYAA! Di mana kau?!!” Aku segera berteriak begitu panggilanku diterima.
“Kau ingin menemuiku?”
“DI MANA -KAU -SEKARANG?!” jeritku.
“Hotel Royal, VVIP room.”
Tanpa berkata-kata lagi, panggilan ku akhiri dan aku segera berlari memanggil taksi.

***

            Begitu pintu dibuka, aku segera menyeruak masuk, mendorong tubuh Seung Cheol dan memukul dadanya berkali-kali.

“Kau sinting! Kau gila! Kau bedebah! Kenapa kau lakukan ini padaku?! Wae?! Waeee?!!” Pukulanku kembali bersarang di dadanya yang bidang. Ia mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna putih. Dan dia tak berusaha menghindari pukulanku sama sekali.

“Aku membencimu. Kau bajingan tengik! Kenapa kau harus muncul lagi di hadapanku!” Kali ini suaraku bergetar. Aku sadar air mataku sudah mengalir deras. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangisku pecah. Pukulanku yang tadinya membabi buta kini melemah. Kedua lenganku terkulai.

            Tanpa mengatakan apapun Seung Cheol bergerak, meremas bahuku lalu meraih tubuhku ke pelukannya. Ia membelai kepalaku dengan lembut. Dan aku menangis di dekapannya, air mataku membasahi kaos t-shirtnya. Adegan itu berlangsung beberapa menit. Aku menangis, dan Seung Cheol menenangkanku.

            “Duduklah.” Suaranya pelan. Ia membimbingku duduk di sebuah sofa yang berada di dekat jendela. Lelaki itu menyentuh pipiku dan membantu menghapus air mataku.

            “Mau minum?” Ia kembali bertanya lirih. Aku menggeleng.
            “Sekarang, bisa aku bicara?” Ia menelengkan kepalanya dan menatap lurus ke arahku dengan tatapan lembut. Aku sesenggukan, lalu mengangguk.

Seung Cheol meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Aku memang bersalah padamu, sayang. Sebuah kesalahan fatal. Dan aku ingin menebusnya, dengan cara apapun, dengan seluruh hidupku.” Ucapnya.
“Aku sudah berpisah dengan wanita itu, sejak satu setengah tahun yang lalu. Hubunganku dengannya hanya bertahan 6 bulan. Karena akhirnya aku sadar, perempuan yang aku cintai adalah kau. Bukan dia.” Ia mengelus punggung tanganku dengan lembut.

“Sejak berpisah dengannya, aku senantisa mencari kabar tentangmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu kau tidak pernah berkencan dengan lelaki manapun sejak bercerai denganku. Hal inilah yang membuatku mantap untuk datang padamu lagi. Aku tidak malu untuk mengemis cinta padamu, sayang. Karena kenyataannya memang aku begitu mencintaimu, sepenuh hatiku. Jadi, tolong beri aku kesempatan. Aku ingin kembali padamu.” Lelaki itu mengecup punggung tanganku dengan lembut.

Aku tak segera menjawab.

“Aku ingin memiliki hatimu lagi, Hayun. Kumohon.”
Aku menggigit bibirku, lalu menggeleng pelan. “Aku tak bisa.” Jawabku lirih.
“Kenapa?” Lelaki itu mempererat genggaman tangannya. Aku kembali menggeleng.
“Kau sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping, Seung Cheol. Jadi tak ada lagi yang bisa kuberikan padamu.” Jawabku.

“Karena itu, biarkan aku menyatukan kepingan-kepingan itu lagi, satu persatu. Aku yang menghancurkan hatimu dan biarkan aku yang memperbaikinya.” Ia menjawab dengan tulus. Aku terdiam. Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Seung Cheol lalu bangkit.

Aku beranjak menuju dekat jendela dan membuang pandanganku, menatap hamparan gedung yang menjulang di mana-mana.
“Kenapa kau tinggal di sini?” tanyaku kemudian. Tiba-tiba aku seolah baru tersadar dengan keanehan ini. Kenapa Seung Cheol menginap di hotel? Toh ia punya apartemen yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari sini.

“Aku sudah tak punya apa-apa lagi.” Lelaki itu menjawab enteng. Aku terbelalak. Hah? Serta merta aku memutar tubuhku dan melihat lelaki itu sudah berdiri di hadapanku.

“Apa maksudmu? Kau bangkrut?” tanyaku to-the-point.
“Tidak, itu ...”
Aku melotot. “Tunggu! Apa jangan-jangan kau bangkrut, lalu datang kepadaku? Begitu? Apa perempuan itu sudah menguras habis semua hartamu?” aku nyaris kembali berteriak.

Seung Cheol tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, bukan seperti itu.”
“Lantas?” Aku bertanya tak sabar.
“Aku sudah menjual semuanya. Properti, rumah, vila, apartemen, mobil, aku sudah menjualnya, semuanya. Tak ada lagi yang tersisa.”
“Apa maksudmu tak ada lagi yang tersisa? Kenapa kau lakukan itu? Apa kau punya banyak hutang? Kau bangkrut? Kau ...?”
“Uang hasil penjualannya sudah ku transfer ke rekeningmu.”
“Iya, tapi tetap saja ....” Aku melotot dan kalimatku terhenti. “KAU BILANG APA?!!” Aku berteriak.

Seung Cheol manggut-manggut.
“Semua uangnya sudah ku transfer ke rekeningmu. Kau tak tahu?”
Aku melongo. “Kapan?” aku menggumam tak sadar.
“Kemarin.” Ia menjawab enteng.
“Kenapa?”
Seung Cheol mengangkat bahu. Ia bergerak mendekatiku, meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Karena aku ingin mempercayakan hidupku padamu. Jadi aku memberikan semua yang aku punya. Jiwa, raga, harta benda, semuanya.” Ucapnya lagi.   
Aku mematung, bingung. Apa-apaan ini?

“Lalu pekerjaanmu?” tanyaku kemudian.
“Masih. Aku masih punya pekerjaan yang mapan. Sekarang, hanya itu yang aku punya. Percayalah, gajiku masih lebih dari cukup untuk menghidupimu.” Jawabnya.
“Jadi, menikahlah denganku lagi, Hayun.” Ia menatapku dengan penuh harap. “Kumohon.” Lanjutnya.

            Aku tak segera menjawab. Hening sesaat.

“Kau akan menyatukan kembali serpihan hatiku yang telah hancur berkeping-keping?” Akhirnya, pertanyaan itu yang meluncur dari mulutku. Seung Cheol mengangguk.
“Bahkan jika itu akan membutuhkan yang lama?”
Lelaki itu kembali mengangguk.
“Aku akan menyatukannya, perlahan-lahan, satu demi satu, sampai hati itu utuh kembali. Tapi kau harus berjanji, jika hati itu telah kembali utuh, kau harus membiarkanku memilikinya, selamanya.” Jawabnya.

Kami berpandangan. Aku terdiam. Tapi Ia tahu, diamku bertarti ‘ya’.

Lelaki itu beranjak, mengecup bibirku dengan lembut. Bukan sebuah ciuman kemenangan, bukan pula ciuman posesif. Ciuman itu berlangsung pelan dan perlahan. Sebuah ciuman hangat yang menandakan bahwa, masalah di antara kami diselesaikan secara alami. Cinta.

Ya, karena masih ada cinta diantara kami ....

“Dan bagaimana kalau ku mengkhianatiku lagi?”
“Tendang saja bokongku,” Seung Cheol menyeringai.

****

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar