~~~~~~~
~~~~~~~
Aku dan Yoon Ji sudah saling kenal sejak SMA. Tidak ada
persahabatan di antara kami. Kami hanya sebatas seseorang-yang-saling-kenal-karena-satu-sekolah.
Itu saja!
Atau bahkan jika ada yang bertanya hubungan kami seperti apa, maka yang
ada adalah hubungan nemesis.
Karena kami mempunyai terlalu banyak perbedaan? Bukan. Justru karena terlalu banyak
persamaan di antara kami, kami menjadi seteru abadi.
Yoon Ji cantik, aku juga.
Dia pintar, aku juga.
Dia disenangi para guru, aku juga.
Dia aktif di banyak kegiatan sekolah, aku juga.
Dia populer, aku juga.
Dia menyenangkan, aku juga.
Dia pandai bergaul, aku juga.
Dia punya banyak teman, aku juga.
Yang membedakan kami mungkin hanya satu hal.
Dia kaya, aku tidak.
Orang tua Yoon Ji adalah pengusaha sukses,
sementara orang tuaku hanyalah pegawai cleaning service di sebuah perusahaan milik
pemerintah. Sebenarnya
aku tak masalah. Toh aku tetap bahagia dengan keadaanku seperti itu. Orang
tuaku memang sederhana, tapi aku menyayangi mereka melebihi apapun.
Dan, Yoon Ji kerap kali menggunakan kemiskinanku
sebagai bahan olok-olokan. Ia seperti punya kartu ‘As’ yang memberinya celah
untuk memperlakukanku seperti sampah!
Tidak hanya kepadaku sebenarnya, ia
selalu melakukan hal yang sama kepada semua orang yang status sosialnya lebih
rendah darinya! Dan ia seperti punya kepuasan tersendiri ketika berhasil merendahkan
orang lain.
Dan aku lelah...
Aku lelah diperlakukan seperti sampah...
Waktunya membalas, meratakannya dengan tanah!
Surga atau neraka, biar aku yang menanggungnya!
***
Sesaat setelah turun dari taksi, aku
menatap rumah mewah yang berdiri dengan megah di hadapanku. Rumah dengan gaya
eropa itu semakin meriah dengan banyaknya hiasan dan dekorasi khas ulang tahun.
Ya, hari ini, Yoon Ji, teman semasa SMA- ku itu tengah merayakan ulang tahunnya
yang ke 31. Pesta itu dirayakan dengan mewah dan berkelas. Ia bahkan mengundang
sekian ratus tamu undangan dari berbagai kalangan. Artis, pengusaha, politisi
dan kalangan jetset terkemuka di Korea. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa
pesta itu akan berlangsung sangat meriah dan dipenuhi orang-orang penting.
Aku baru saja hendak
melangkahkan kakiku melewati pos security ketika tatapan mataku menangkap 2
sosok perempuan yang sebaya denganku, tengah berdiri dengan ragu di samping
pintu gerbang. Im Jin ah dan Hayun, teman SMA-ku juga. Aku sudah
menduga kalau mereka juga di undang oleh Yoon Ji. Dan aku yakin, masih ada beberapa
teman SMA-ku yang lain yang juga ia undang.
Aku beranjak lalu menghampiri mereka. “Hai,” aku menyapa duluan. Mereka
menoleh dan balik menatapku. Entah kenapa, ada kelegaan di kedua mata mereka.
“Rin-ah,
senang bertemu denganmu di sini,” Im Jin ah menjawab sapaanku. Mereka bergantian
memelukku.
“Masih menunggu siapa lagi? Bukankah acaranya sudah dimulai sekitar 15 menit yang lalu?”
tanyaku seraya sesekali melihat sekelilingku, berharap akan menemukan teman
es-em-a ku yang lain.
“Tidak menunggu siapa-siapa kok.
Sebenarnya ada beberapa teman lain yang di undang, tapi mereka memutuskan untuk
tidak datang. Yaah, kau tahu sendiri lah Yoon Ji orangnya seperti apa. Kalau toh datang, sikapnya ya seperti itu,” ucap Hayun.
Aku manggut-manggut. Ya, aku mengerti maksud perkataan Hayun. Bertemu dengan Yoon Ji harus bermental baja yang
tidak akan gentar dengan sindiran-sindirannya. Tapi tak datang pun, semakin
membuktikan bahwa mereka takut pada Yoon Ji. Dan Yoon Ji akan semakin senang menerima
kenyataan itu. Ia senang menjadi sosok yang disegani sekaligus ditakuti oleh
semua orang.
“Jadi bagaimana?
Mau masuk?” tanyaku lagi.
Im Jin Ah dan Hayun berpandangan.
“Kami ingin seperti kau, Rin-ah. Kau tak gentar menghadapi Yoon Ji, menghadapi semua
kata-kata pedasnya, sindirannya, kesombongannya, sikap tukang pamernya. Tapi
...” Im Jin Ah tampak ragu, begitu pula Hayun.
Aku tersenyum.
“Mau tahu cara ampuh untuk menghadapi Yoon Ji?”
“Apa?” mereka bertanya hampir bersamaan.
“Abaikan saja. Abaikan semua
kata-katanya. Jangan dimasukin hati. Ingat, aku sudah menggunakan cara ini
sejak es-em-a. Dan itu berhasil,” jelasku. Mereka mendesah.
“Andaikan bisa semudah itu, Rin-ah, tentu teman-teman kita pasti
bertahan jadi temannya yoon Ji.
Tapi kau tahu sendiri
‘kan? Mau dicuekin sekalipun, kata-kata Yoon Ji tetap membuat sakit hati. Dia tetap saja memperlakukan
teman-temannya yang tidak sederajat dengannya seperti sampah,” Im Jin Ah menjawab.
Aku kembali tersenyum dengan tenang.
“Ladies, Yoon Ji itu sejak dulu bahkan sampai dia tua sekalipun, kelakuanya
ya seperti itu. Can’t help deh.
Semakin di ambil hati, kita sendiri yang rugi. Berdo’a saja. Semoga suatu saat
akan ada kejadian yang membuat dia bisa berubah lebih baik,” jawabku.
“Masuk yuk. Masak sudah sampai sini mau balik lagi?” tanyaku. Mereka
berpandangan. Keraguan itu tak sirna dari mata mereka. Aku beranjak ke
tengah-tengah mereka dan merangkul pundak mereka.
“Tenang saja, kalau ada apa-apa, ada aku ‘kan?” Aku seolah menawarkan diri sebagai
benteng mereka. Mereka tertawa.
“Nde,”
jawab mereka bersamaan. Dan kami bertiga melangkah bersama memasuki ruangan tempat
diselenggarakannya pesta ulang tahun tersebut.
Aku tak gentar sama sekali...
***
Yoon Ji tak segera menyapa kami
setelah kami tiba di ruang utama tempat diselenggarakannya pesta tersebut. Padahal ia tahu
tentang kedatangan kami. Beberapa saat setelah acara inti selesai, barulah ia
mendatangi kami bertiga. Aku, Im Jin Ah dan Hayun sedang asyik mengobrol di
dekat meja minuman ketika ia menyapa kami.
Ia mengenakan gaun mahal rancangan designer terkenal dari Perancis. Tubuhnya dihiasi berbagai hiasan
dari berlian. Anting, gelang, kalung dan juga cincin. Benar-benar terlihat
glamour dan elegan.
“Selamat datang di pestaku. Bagaimana kabar kalian?” ia
menjabat tangan kami satu persatu, tidak ada pelukan. Sebagai catatan, ia
jarang memberikan pelukan kepada orang. Ia hanya akan memeluk beberapa orang
yang benar-benar ia sebut sebagai sahabat. Dan yang benar-benar ia sebut
sebagai sahabat ialah orang-orang yang punya status sama dengannya. Sama-sama
kaya dan sama-sama terpandang.
“Baik. Terima kasih karena telah mengundang kami,” aku
menjawab. Im Jin Ah dan Hayun tampak tersenyum canggung.
“Selamat ulang tahun, Yoon Ji,” ucap Hayun sekedar berbasa
basi.
“Terima kasih,” Yoon Ji menjawab.
“Pesta yang sangat meriah,” ujarku. Yoon Ji tertawa bangga.
“Tentu saja, tahun depan aku bahkan berencana mengadakan
pesta yang lebih megah daripada ini di Las Vegas,” jawabnya.
“Wow, hebat,” jawabku, dan aku jujur. Perempuan itu kembali
tertawa bangga.
“Oh ya, Rin-ah, kau masih bekerja sebagai pelayan restoran?”
ia bertanya ke arahku.
Aku tersenyum.
“Aku bekerja sebagai kasir, bukan pelayan,” koreksiku. Yoon
Ji mengibaskan tangannya cuek.
“Ah sama saja. Dan gaji yang hanya sekitar ratusan won ‘kan?”
Aku tersenyum dan mengangguk tanpa malu.
“Ah, itu hanya seharga satu kali makan siangku,” ia menjawab
enteng. Aku terkekeh lirih. “Aku enjoy kok,” jawabku.
“Cari saja suami kaya, Rin-ah. Dengan kecantikanmu, kau pasti
bisa menjerat lelaki milyuner di negara ini dan hidupmu bisa berubah lebih
baik,” ucapnya lagi.
Aku tertawa. “Terima kasih atas sarannya. Tapi aku baik-baik
saja dengan kehidupanku yang sekarang,” jawabku. Yoon Ji mencibir, tak percaya.
Ia beralih menatap Hayun. Hayun pucat seketika.
“Dan kau masih tinggal di apartemen kumuh itu ‘kan?” Yoon Ji
menatap Hayun dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapan matanya terlihat
merendahkan mengingat Hayun hanya memakai celana kain hitam biasa yang dipadu
dengan tunik warna biru muda. Itu adalah baju murah yang dibeli dari pasar.
Hayun tersenyum dan mengangguk.
“Gaji suamiku yang hanya bekerja di pabrik memang hanya cukup
untuk membeli rumah di situ. Tapi kami ....”
“Baik-baik saja?” Yoon Ji memotong. “Ah, orang jaman sekarang
memang aneh. Ditengah-tengah kebutuhan yang kian melambung, apa menjadi miskin
memang selalu baik-baik saja?” ia berucap dengan nada jijik.
“Memang dia baik-baik saja, mau bagaimana lagi?” timpalku.
Yoon Ji mencibir tak percaya. Ia beralih menatap Im Jin Ah.
“Dan kudengar kau sudah menjanda tiga kali ya? Ketiga mantan
suamimu berselingkuh dengan perempuan lain ‘kan?” ia bertanya dengan nada
enteng, tanpa beban.
Im Jin Ah mengernyit.
“Darimana kau tahu?”
“Selalu saja ada yang memberitahuku tentang masalah tak
penting seperti ini,” jawab Yoon Ji.
“Jin Ah-ah, jadi perempuan itu harus cantik. Harus pintar
dandan. Harus pandai merawat diri. Lihat dirimu? Mukamu kusut, rambutmu
berantakan, bajumu kuno, bahkan lebih kuno dari yang dipakai Hayun. Dan bentuk
tubuhmu, alamak, seprtinya kau harus diet. Mana ada lelaki yang mau sama
perempuan over-weight sepertimu.
Pantas saja suamimu di ambil orang,” ujar Yoon Ji lagi.
Im Jin Ah tampak membeku. Garis mukanya kaku. Aku tahu ia
sedang menahan amarah.
“Yoon Ji, kau keterlaluan,” desisku.
“Keterlaluan? Sejak dulu aku memang begini ‘kan?” balas Yoon
Ji sambil terkekeh sinis.
“Tapi kau tak seharusnya memberi komentar pada masalah
keluarga orang lain,” ucapku lagi.
“Aku hanya bicara jujur. Salah? Perempuan harus cantik, biar
suaminya tak selingkuh, tak cari perempuan lain. Aku hanya memberi saran pada
Im Jin Ah,” sangkal Yoon Ji.
Aku tertawa lirih. “Kau sendiri, berdandan cantik, tapi
suamimu juga selingkuh,” ucapku tenang.
Yoon Ji membelalak. Im Jin Ah dan Hayun juga.
“Apa kau bilang?” Yoon Ji mendesis seraya menatapku tajam.
Aku pura-pura kaget.
“Ow, jadi kau tak tahu? Suamimu itu pembohong. Dia
berselingkuh dengan perempuan lain sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku tahu
segalanya tentang kelakuan bejat suamimu,”
“Jaga bicaramu!” Yoon Ji berucap dengan gigi terkatup.
Aku terkekeh sinis.
“Mau kuberitahu? Oke, kita bicara di sini atau di ruang
kerjamu?” aku menantang.
Raut muka Yoon Ji menegang. “Oke, ikut aku ke ruanganku,”
Lalu ia beranjak.
“Rin-ah?” Hayun dan Im Jin Ah memanggilku bersamaan.
Aku tersenyum dan menatap mereka.
“Kalian pulanglah sekarang. Nyonya besar ini harus diberi
sedikit pelajaran,” ucapku sambil beranjak mengikuti Yoon Ji.
***
“Omong
kosong apa yang kau bicarakan?!” Yoon Ji berteriak lantang. Matanya merah
karena amarah. Tangannya mencengkeram pinggiran meja sementara tubuhnya condong
menghadapku. Ia menatapku tajam.
Aku duduk tenang di kursiku.
“Aku sedang membicarakan kebenaran dan kau juga sedang tak
salah dengar. Perempuan yang berselingkuh dengan suamimu adalah __ aku,”
jawabku lagi.
Yoon Ji terkekeh sinis.
“Kau pikir aku akan percaya dengan omonganmu?”
Aku mengangkat bahu.
“Aku tidak memintamu percaya. Aku hanya sekedar memberitahumu
saja. Atau ... kita panggil saja suamimu untuk meluruskan segalanya?” tawarku
dengan suara tenang.
Bibir Yoon Ji tampak gemetar.
Aku kembali tersenyum seraya membuka tasku kemudian
mengeluarkan beberapa kertas dokumen. Aku melemparkan kertas-kertas itu ke
depan Yoon Ji.
“Itu hanya salinannya saja. Yang asli masih ada padaku,”
ucapku.
“Apa ini?” Yoon Ji meraih kertas-kertas tersebut.
“Bukti kepemilikan beberapa aset dan properti yang diberikan
suamimu padaku. Dan semuanya sudah atas namaku. Rumah mewah, vila, mobil,
beberapa apartemen. Dan jangan kaget, saham di perusahannya, 25 persennya sudah
resmi kumiliki,” jelasku.
Yoon Ji tampak syok sambil menatap kertas-kertas di
tangannya. Ia terduduk lemas di kursinya.
“Jumlah yang sama dengan punyamu ‘kan?” tambahku lagi.
Perempuan cantik itu menatapku dengan tatapan nanar. Seolah ia siap menerkamku
hidup-hidup.
“Sejak kapan? Sejak kapan kau berhubungan dengan suamiku?”
desisnya.
“Sejak 7 tahun yang lalu. Tepat setahun setelah kau menikah,
aku sengaja mendekati suamimu. Aku menggodanya dan, thanks God, ia tergoda padaku. Seperti yang kau bilang, aku cantik,
aku menarik, aku cerdas. Dan aku menggunakan segala cara untuk menjerat suamimu
hingga jatuh ke pelukanku. Ia bahkan mau memberi apapun yang ku minta. Sudah
ada buktinya ‘kan?” aku kembali tersenyum sinis.
Yoon Ji meremas-remas kertas di tangannya lalu melemparkannya
padaku.
“Kenapa kau melakukan ini padaku? Wae?!” ia berteriak
histeris. Ia bangkit, aku juga bangkit. Kali ini aku menatapnya tajam.
“Karena aku sudah lelah kau perlakukan seperti sampah! Selama
ini kau selalu koar-koar betapa beruntungnya hidupmu, betapa sempurnanya
hidupmu, dirimu, suamimu, rumah tanggamu, semuanya! Kau memperlakukan
orang-orang disekitarmu yang tak sederajat seperti seonggok kotoran yang siap
kau injak-injak dan kau ludahi kapanpun kau inginkan! Dan aku sudah bertekad
untuk memberimu pelajaran!” teriakku.
“Jadi kau sudah merencakan semua ini?” Kedua mata Yoon Ji
melotot
“Ya!” jawabku tegas.
“Aku sudah merencanakan ini, sejak dulu. Aku sudah bersumpah
bahwa suatu saat aku akan menghancurkanmu, meratakanmu dengan tanah, agar kau
tahu bagaimana rasanya hidup di bawah. Yakinlah, bahkan jika aku meminta
suamimu untuk meninggalkanmu, ia pasti akan meninggalkanmu demi diriku! Mau
coba?” ucapku lagi.
Air mata Yoon Ji menitik. Dan aku tak punya rasa iba sama
sekali.
“Dasar kau perempuan jalang!” teriaknya. Aku terkekeh sinis.
“Terima kasih,” jawabku.
“Sesukses apapun dirimu, kau tak berhak memperlakukan
teman-temanmu seperti sampah. Aku sudah bertekad untuk memberimu pelajaran. Bahkan
jika aku harus masuk neraka karenanya, tak jadi soal bagiku,”
“Kau brengsek!” Yoon Ji meraih vas bunga yang berada di
depannya lalu melemparkannya padaku.
Aku menghindar hingga vas dari kaca tersebut jatuh berserakan
di lantai.
Pada saat itulah pintu terbuka. Dan Seung Cheol, suami Yoon
Ji muncul dari balik pintu.
“Ada ribut-ribut apa ini?” Ia bertanya bingung.
Tatapan matanya sempat singgah ke arahku. Ia tertegun sesaat,
tampak terkejut.
Aku mundur beberapa langkah.
“Urusanku sudah selesai di sini, sampai jumpa,” aku beranjak, melintasi ruangan, melewati Seung Cheol.
Ku dengar Yoon Ji berteriak histeris dan menangis.
Seung Cheol berbalik dan menarik lengan tanganku.
“Ada apa?” ia bertanya bingung. Kami berpandangan.
“Menceritakan kebenaran,” jawabku singkat. Aku melepaskan
tanganku dari Seung Cheol lalu melangkah meninggalkannya.
***
Aku sedang
bersiap menghentikan sebuah taksi ketika sosok itu berlari menyusuri trotoar ke arahku. Seung Cheol.
Tadinya aku bersiap jika lelaki itu akan memakiku,
mengumpatku, menghujaniku dengan sumpah serapah karena bagaimanapun juga aku
sudah memberitahukan kisah perselingkuhan kami, dan itu tandanya, keluarganya
pasti berantakan. Tapi nyatanya, aku salah.
“Jangan pergi,” ucapnya lirih. Ia melangkah mendekatiku. Nafasnya
naik turun.
“Jangan pergi dariku, ku mohon.” Desisnya. “Aku tak mau berpisah
denganmu.” Ia menatapku dengan pilu.
Aku menatapnya tak mengerti.
“Rin-ah, aku tak peduli meski kau sengaja menggodaku. Aku tak
peduli meski kau sengaja mendekatiku hanya untuk melampiaskan dendammu pada
Yoon Ji. Yang jelas, aku mencintaimu dengan tulus. Aku mencintaimu, Rin-ah. Aku
tak mau berpisah denganmu. Aku ingin selalu bersamamu, selamanya,” kata-katanya
terdengar tulus.
Aku menatapnya, dalam.
“Seung Cheol-ah ...”
“Bahkan jika kau tak mencintaiku, ijinkan aku tetap
bersamamu. Karena hanya bersamamulah, aku merasa menjadi lelaki seutuhnya. Kau
memperlakukanku dengan hormat, membuatku nyaman, membuatku mengerti tentang
makna cinta yang sebenarnya. Jadi, kumohon jangan berpisah denganku. Aku
bersedia meninggalkan segalanya demi dirimu, Rin-ah. Segalanya ... ” Kedua mata
Seung Cheol yang bening indah itu tampak berkaca-kaca. Aku terdiam sesaat.
Kutatap lelaki tampan di hadapanku itu dengan lekat.
“Kau mencintaiku?” tanyaku.
“Sangat.” Seung Cheol menjawab tegas.
“Meskipun aku sengaja menggodamu, memanfaatkanmu?”
“Aku tak peduli.” Lelaki itu kembali menjawab tegas.
Aku tersenyum lalu perlahan mendekatinya.
Kurapikan letak dasinya yang sedikit berantakan. Ku belai
lembut lapel jasnya. Dan akulah yang berinisiatif
untuk menciumnya.
Memagut bibirnya dengan perlahan, menyesap bibirnya yang
lembut dan manis. Seung Cheol membalas memagut bibirku tak kalah lembut.
Ciumannya posesif, seperti biasanya.
“Kau tak berniat berpisah denganku ‘kan?” Ia bertanya di
sela-sela ciuman kami. Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Jika urusanmu dengan Yoon Ji selesai, datanglah padaku. Aku
tunggu kau di apartemen kita,” ucapku lagi. Ia mengangguk.
Kami saling melepaskan pelukan lalu aku menghentikan taksi
dan segera masuk ke dalamnya.
Sesaat sebelum taksi berjalan, aku kembali tersenyum ke arah Seung
Cheol.
“Jangan membuatku menunggu terlalu lama,” ucapku.
Seolah tak memperkenanku pergi, Seung Cheol beranjak,
melongokkan kepalanya ke dalam taksi melalu jendela pintu, lalu kembali mencium
bibirku. Lebih lembut.
“Saranghae,” bisiknya.
Aku mengangguk. Setelah itu ia mundur beberapa langkah dan
taksi mulai berjalan. Aku tahu, Seung Cheol terus menatap kepergianku.
Aku tersenyum puas.
I’m bitch, that’s fine.
Surga atau neraka, biar aku yang menanggungnya!
Selesai
p.s.
Nama di FF ini sama
dengan FF ku yang lain “Gwaencana, I’m Okay.”
Tapi ceritanya
tak berkaitan.
Versi cerpen
dari FF ini : Aku, Jalang. Ku posting di Gramedia Writing Project.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar