Rabu, 02 Desember 2015

[FF SEVENTEEN] Gwaencana, I'm okay



~~~~
~~~~


Aku menatap arloji di pergelangan tanganku dengan sedikit kesal. God, I’ve been waiting for 25 minutes! Ini sudah terlalu lama!

Kemana Seung  Cheol? Biasanya dia tak pernah terlambat seperti ini. Dia juga tak mungkin lupa menjemputku sepulang les. Dia toh hafal semua jadwalku. Tapi….

Aku mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali. Tapi nihil. Nomornya tak aktif.
“Oke, aku bisa pulang naik kendaraan umum,“ gumamku lirih. Sesaat aku kembali mendesah.

Shit, jam segini mana ada kendaraan umum?

Aku memencet nomor di ponselku dengan geram. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Bora, sahabat baikku, untuk menjemputku.

Malamnya, aku menerima sms permintaan maaf dari Seung  Cheol karena tidak  bisa menjemputku. Dia ketiduran. Well, I forgive him….

Tapi, kejadian di hari itu kembali terulang lagi dan ... lagi. Dia lupa menjemputku dari tempat les. Dan, untuk ke sekian kalinya, aku kembali memaafkannya.

***

“Mungkin aku akan putus dengan Seung Cheol,” Aku mendesah.
Kedua mata Bora membeliak, menatapku kaget. Setengah tak percaya.

“Memangnya kenapa? Kalian bertengkar? Bukannya selama ini kalian baik-baik saja? Jangan karena akhir-akhir ini dia sering lupa menjemputmu di tempat les, lantas kau mau putus dengannya? Dia ‘kan sudah minta maaf, dan kau juga selalu memaafkannya. Baikan lagi deh kalian, ya ‘kan?”

Aku terdiam sesaat. “Tadinya sih iya, sekarang tidak lagi. Lagipula, masalahnya bukan itu saja. Ada ... ada yeoja lain yang ia suka,” jawabku kemudian, sedikit ragu.
Bora tertawa mendengar jawabanku.
“Aigoo, Rin-ah. Please deh, aku tuh sudah kenal Seung Cheol sejak lama. Aku tahu siapa dia. Dia bukan tipe  namja  yang mudah terpesona dengan yeoja lain. Dan satu hal yang pasti, dia mencintaimu,” ujar Bora.

Aku tetap terdiam. Bora menepuk pundakku dengan lembut.
“Tenang saja, tak usah terlalu dipikirkan. Kalian ‘kan sudah pacaran sejak kelas 2 SMP, sudah 4 tahun lebih. Tak mungkin  bisa putus semudah itu,” hiburnya.

Aku kembali mendesah pelan. Well, akupun berharap hubunganku dengan Seung Cheol akan baik-baik saja. Tapi, kenyataan sudah di depan mata. Hubungan kami sedang dalam masalah. Terasa hambar. Tak ada kehangatan. Yang ada hanya rasa dingin bak gunung es dari kutub utara!
Aku tahu, Seung Cheol tengah memikirkan sesuatu. Ada yang bergejolak di hatinya. Dan aku tahu itu apa? Jujur, aku merasa takut mengakuinya. Aku berharap ini salah. Tapi....

Ada yeoja lain yang ia suka. Ada yeoja lain yang singgah di hatinya. Dan yeoja itu adalah -- Yoon Ji.

Yeoja manis dari kelas sebelah yang juga jago main basket, sama seperti Seung Cheol. Aku sering memergoki mereka berduaan. Seung Cheol menatapnya dengan cara yang berbeda. Cara yang sama ketika ia mengungkapkan cinta dan mengajakku berpacaran. Mata bening itu masih saja dipenuhi dengan kehangatan dan cinta. Hanya saja, sekarang cinta itu bukan untukku. Melainkan untuk dia. Untuk Yoon Ji!

Aku kembali mendesah. Ku letakkan kepalaku di bangku. Dadaku rasanya sesak, sakit.

“Rin-ah, gwaencana?”
Aku tak menjawab pertanyaan Bora. Ku rasakan sebuah sentuhan lembut di keningku. “Rin-ah, kau sakit?”
Deg, itu suara Seung Cheol. Aku mendongak. Seung Cheol tengah menatapku dengan cemas. Sesaat aku hanya terdiam hingga membuat Seung Cheol mengulangi pertanyaannya.
“Kau sakit?”
Aku gelagapan. “Ng.... tidak,” jawabku.

Ku tatap mata bening itu dengan lekat. Kemana binar itu?
Binar mata penuh cinta yang beberapa tahun ini menjadi milikku. Aku mencoba mencari dan menyelaminya ke dalam mata bening Seung Cheol, tapi tak ada!

“Ayo ke kantin,” ajaknya.
“e... iya,” jawabku seraya beranjak.
Kami berlalu meninggalkan Bora yang tetap tersenyum penuh support kepadaku.

***

Siang itu ketika jam istirahat pertama, hatiku berdebar ketika melewati kelas Yoon Ji. Lagi-lagi dia ada di sana. Seung Cheol ada di dalam kelas itu. Bersama yeoja berwajah cantik tersebut, duduk di sampingnya, mengobrol dengannya, bercanda dengannya dan... akrab sekali.

Ku percepat langkah kakiku dengan harapan mereka tak melihatku. Tapi telat. Ekor mata Seung Cheol keburu menangkapku.

“Rin-ah!” Seung Cheol beranjak dan berlari menghampiriku. “Kemana saja? Dari tadi aku mencarimu?”
Aku tersenyum blo’on mendengar pertanyaan Seung Cheol. “Yaa.. berputar-putar saja. Dari kantin, ke  perpustakaan, ke gedung kesenian, ke lapangan basket, pokoknya ... berputar-putar saja,” jawabku asal.

Seung Cheol hanya manggut-manggut mendengar jawabanku yang agak senewen. “Pulang bareng’kan?” ia kembali bertanya. Aku hanya mengangguk.

Pulang bareng? Hah, bukankah selama ini kami memang selalu pulang bareng? Kenapa dia masih harus bertanya lagi? Gerutuku dalam hati.

“Yoon Ji-ah, aku pulang dulu ya, annyeong,” Seung Cheol melambaikan tangan. Yeoja itu tersenyum. Sesaat senyumannya sempat singgah padaku. Apa boleh buat, akupun ikut tersenyum. Tanpa sadar aku sempat mengumpat dalam hati. Sialan! Situasi macam ini!!??

***

Bora melangkah dengan tergesa-gesa ke arahku. “Rin-ah, ayo ke kantin. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu,” wajahnya tampak ragu.

Aku mengernyitkan dahiku. “Penting?”
Ia mengangguk. “Penting sekali.” Jawabnya.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. “Mmm, bagaimana ya? Aku masih ada sedikit urusan dengan ketua OSIS. Bisakah kita bicarakan setelah pulang sekolah?” aku menyarankan.

Bora terdiam. “Bisa sih. Tapi mulutku sudah tak tahan ingin bicara,” raut wajah Bora terlibat tak sabar.
Aku mengalah. “Oke, tunggu di kantin saja, sepuluh menit lagi aku menyusul,” jawabku. “Oke,” Bora mengangguk lalu ngacir ke sana. Aku melanjutkan langkahku menuju ruang OSIS. 10 menit kemudian aku baru bisa menemui Bora.

“Mau bicara apa? Kelihatannya serius sekali?” tanyaku. Bora kembali menyeruput minumannya sebelum akhirnya menjawab.
“Rin-ah, janji ya kau tak akan marah padaku kalau aku memberitahumu masalah ini?” ujarnya. Aku tersenyum. “Masalah apa? Belum-belum kok sudah ada MOU,” jawabku. Meta mendesah. “Ini soal Seung Cheol,” bisiknya.

Aku mengernyitkan dahiku. “So....?”
“Kemarin waktu di Mall, tanpa sengaja aku melihat Seung Cheol,” Bora kembali terdiam sesaat. “Dan... dia tak sendirian. Ada Yoon Ji di sampingnya,” Ia menatapku dengan serius.

Aku menelan ludah. Rasanya aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya.

“Mereka tak melihatku, tapi aku bisa melihat mereka dengan jelas. Mereka begitu akrab dan .... mesra. Oke, anggap saja aku punya intepretasi yang salah soal mereka. Tapi ... apa Seung Cheol bilang padamu kalau kemarin ia keluar dengan Yoon Ji?”
Aku menggeleng.

“Rin-ah, kau tak berpikir kalau aku sedang mengarang cerita ‘kan?” Bora bertanya agak canggung. Aku tersenyum dan kembali menggeleng.
“Bora-ah, aku percaya dengan apa yang kau lihat. Tapi, mungkin saja mereka ketemu di Mall secara tak sengaja,” aku berusaha membohongi diriku sendiri. Aku tidak meragukan cerita Bora. Tapi aku hanya berusaha untuk tidak membiarkanku jatuh terlalu dalam.

Memikirkan mereka berduaan saja sudah cukup membuat hatiku terluka. Apalagi kalau Bora melihatnya sendiri. 

“Tapi, Rin-ah. Ini sudah yang ketiga kalinya aku memergoki mereka jalan berduaan,”

Deg. Jantungku rasanya berdentum dengan keras. What!? Yang ketiga kalinya!? Aku menjerit dalam hati.

“Begini saja, Rin-ah. Aku akan membantumu untuk membicarakan hal ini dengan Seung Cheol. Yaa barangkali saja selama ini ia memang tak jujur padamu,” ucap Bora lagi.

Aku menggeleng. “Tidak usah. Biar aku saja yang bicara sendiri dengannya,”   
“Kau yakin?” Bora memastikan yang kemudian ku jawab dengan anggukan.

Ah, entahlah.
Apakah aku punya cukup keberanian untuk mengajaknya bicara  tentang Yoon Ji?
Mungkin tidak. Tapi, sampai kapan aku akan terus berada pada posisi yang tak jelas seperti ini?

Aku mencintai Seung Cheol. Sangat. Aku bahkan sanggup melakukan apapun untuknya, jika dia memintanya.

Tapi, seandainya dia memang sudah tidak menginginkan hubungan kami berlanjut, aku harus bagaimana?
Harus bagaimana?

***

Aku menatap Seung Cheol dengan seksama. Raut mukanya tegang. Ada yang bergejolak di sana, di dalam hatinya. Aku bukan peramal. Tapi sepertinya aku tahu apa yang akan dia bicarakan.

“Ingin membicarakan apa? Kenapa kau jadi tegang begitu? Tak biasanya kau mengajakku jalan-jalan di jam-jam begini. Pentingkah?” tanyaku memastikan.
Seung Cheol tak segera menjawab pertanyaanku. Terdengar ia hanya mendesah pelan.

“Rin-ah, sebelumnya aku minta maaf padamu karena harus mengungkapkan ini. Tapi, sepertinya ... kita sudah tak bisa lagi melanjutkan hubungan kita.” Kalimatnya lirih, tapi terdengar jelas di telingaku.

Nafasku terasa berhenti sejenak. Ah, akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutnya.
Apa yang harus aku lakukan? Berteriak dan menangis meraung-raung? Ah, tidak. Sepertinya itu hanya akan memperburuk suasana hatiku.

“Aku tahu ini menyakitkan buatmu, tapi kalau dipaksakan, rasa-rasanya akan semakin menyakitimu. Aku tahu di antara kita tidak ada masalah yang serius. Tapi, tidakkah kau merasa bahwa hubungan kita semakin hambar dan...”   
“Ada yeoja lain yang kau suka?” potongku.

Seung Cheol balas menatapku ragu. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Apa aku mengenalnya?” tanyaku lagi. Dan perlahan ia kembali mengangguk.

Keparat kau! Aku memaki dalam hati.

“Dia ....”     
“Yoon Ji ‘kan?” aku kembali memotong.

Seung Cheol terlihat kaget.
Namja itu terdiam. Aku tahu pasti, diamnya dia berarti ‘ya’.

Dan hatiku hancur.

“Seung Cheol-ah, apakah selama ini aku tidak cukup baik bagimu sehingga kau harus melakukan ini padaku?” Suaraku lirih. Aku berusaha mengendalikan emosiku.
Seung Cheol menggeleng.
“Tidak, Rin-ah. Kau adalah yeoja yang sangat baik. Bahkan terlampau baik bagiku. Akulah yang salah, akulah yang tidak bisa menjaga hatiku hingga ini terjadi. Aku .... ” kata-kata Seung Cheol  terhenti sesaat.

“Mianhae, Rin-ah. Aku tak pernah merencanakan hal ini. Kami tak pernah meminta pada Tuhan untuk diberikan rasa cinta ini. Semua terjadi begitu saja, begitu alami. Dan kami sama-sama tak bisa mencegahnya. Maafkan aku. Maafkan aku.” Suara Seung Cheol tak ubahnya seperti sebuah ratapan penyesalan. Bibirku bergetar.

“Aku memang bukan namja yang baik bagimu. Tapi percayalah, aku tidak akan pernah melupakan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama. Kau adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki. Kelak, kau pasti bisa mendapatkan namja yang lebih baik dariku,”

Fffhh, anugerah terindah!? Persetan!

Aku menunduk dan bersamaan itu air mataku menitik. Namun aku segera menghapusnya. Hatiku mengatakan, aku tak pantas  menangis lagi untuk orang ini!

Ku tatap Seung Cheol dengan dalam. Aku tersenyum. Ku lihat matanya bergetar dan berkaca-kaca. Seung Cheol pernah berkata, hal yang senantiasa membuatnya takhluk padaku adalah senyumanku.
Ah, whatever-lah! I don’t care!

“Ok, fine. Gomawo, Seung Cheol-ah. Gomawo untuk semuanya. Untuk cinta, waktu dan perhatianmu selama ini. Aku tidak akan menyesal pernah menjadi pacarmu. Dan aku hanya bisa berharap semoga kau bahagia bersamanya. Tapi ingatlah satu hal ...” Aku menelan ludah. “Kelak, jika suatu saat nanti Yoon Ji mencampakkanmu, datanglah padaku. Maka aku akan menerimamu kembali,” lanjutku.

Kemudian aku beranjak lalu meninggalkan Seung Cheol, begitu saja.
Ya, begitu saja tanpa membiarkan ia berkata-kata lagi.
Bahkan jika ia memanggilku, aku takkan berbalik lagi padanya.

== Kelak, jika Yoon Ji mencampakkanmu, datanglah padaku. Maka aku akan menerimamu kembali ...=

Aku tersenyum kecut, lalu terkekeh sinis. Dan air mataku menitik.

Menerimanya kembali? Hah, yang benar saja!!?? Apa hanya dia satu-satunya namja di muka bumi ini?!!
Bullshit!

Setelah sempat sesenggukan, aku meraih ponsel di tasku.
“Yoeboseyo, Bora-ah? Sekarang aku sedang ada di taman kota. Bisakah kau kesini menjemputku?” tanyaku setelah terlebih dulu menghapus air mataku.

---di taman kota? Jam segini? Untuk apa? Kau bersama Seung Cheol? Kau ...---     
“Aku putus dengannya,” potongku. 
“Whattt!?” Bora berteriak.

Aku kembali tersenyum kecut.
“Sudahlah. Tak usah cemas. Gwaencana. I’m okay. Kau tak sibuk ‘kan? Cepat datang ke sini dan pikirkan cara untuk menghibur sahabatmu yang sedang patah hati ini. Oke?”

---Wait a minute. I’ll be there ...---

Dan pembicaraan ku akhiri.

Aku kembali sesenggukan, sendirian, di sudut taman kota.

Aku tahu ini akan sulit bagiku. Aku tahu aku akan sangat terluka.

Tapi aku yakin, waktu akan menyembuhkan luka yang ditorehkan Seung Cheol padaku.

Gwaencana.

Aku akan baik-baik saja.

Pasti.

***

Selesai.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar