~~~~
~~~~
Aku menatap arloji di pergelangan tanganku dengan sedikit
kesal. God, I’ve been waiting for 25 minutes! Ini sudah terlalu lama!
Kemana Seung Cheol?
Biasanya dia tak pernah terlambat seperti ini. Dia juga tak mungkin lupa
menjemputku sepulang les. Dia toh hafal semua jadwalku. Tapi….
Aku mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali. Tapi
nihil. Nomornya tak aktif.
“Oke,
aku bisa pulang naik kendaraan umum,“ gumamku lirih. Sesaat aku kembali mendesah.
Shit, jam segini mana ada kendaraan
umum?
Aku
memencet nomor di ponselku dengan geram. Akhirnya aku memutuskan untuk
menghubungi Bora, sahabat baikku, untuk menjemputku.
Malamnya,
aku menerima sms permintaan maaf dari Seung Cheol karena tidak bisa menjemputku. Dia ketiduran. Well, I
forgive him….
Tapi, kejadian di hari itu kembali terulang lagi dan ... lagi.
Dia lupa menjemputku dari tempat les. Dan, untuk ke sekian kalinya, aku kembali
memaafkannya.
***
“Mungkin aku akan putus dengan Seung Cheol,” Aku mendesah.
Kedua mata Bora membeliak, menatapku kaget. Setengah tak
percaya.
“Memangnya kenapa? Kalian bertengkar? Bukannya selama ini
kalian baik-baik saja? Jangan karena akhir-akhir ini dia sering lupa menjemputmu
di tempat les, lantas kau mau putus dengannya? Dia ‘kan sudah minta maaf, dan
kau juga selalu memaafkannya. Baikan lagi deh kalian, ya ‘kan?”
Aku terdiam sesaat. “Tadinya sih iya, sekarang tidak lagi.
Lagipula, masalahnya bukan itu saja. Ada ... ada yeoja lain yang ia suka,”
jawabku kemudian, sedikit ragu.
Bora tertawa mendengar jawabanku.
“Aigoo, Rin-ah. Please deh, aku tuh sudah kenal Seung
Cheol sejak lama. Aku tahu siapa dia. Dia bukan tipe namja yang mudah terpesona dengan yeoja lain. Dan satu
hal yang pasti, dia mencintaimu,” ujar Bora.
Aku tetap terdiam. Bora menepuk pundakku dengan lembut.
“Tenang saja, tak usah terlalu dipikirkan. Kalian ‘kan sudah
pacaran sejak kelas 2 SMP, sudah 4 tahun lebih. Tak mungkin bisa putus semudah itu,” hiburnya.
Aku kembali mendesah pelan. Well, akupun berharap
hubunganku dengan Seung Cheol akan baik-baik saja. Tapi, kenyataan sudah di
depan mata. Hubungan kami sedang dalam masalah. Terasa hambar. Tak ada
kehangatan. Yang ada hanya rasa dingin bak gunung es dari kutub utara!
Aku tahu, Seung Cheol tengah memikirkan sesuatu. Ada yang
bergejolak di hatinya. Dan aku tahu itu apa? Jujur, aku merasa takut
mengakuinya. Aku berharap ini salah. Tapi....
Ada yeoja lain yang ia suka. Ada yeoja lain yang singgah
di hatinya. Dan yeoja itu adalah -- Yoon Ji.
Yeoja manis dari kelas sebelah yang juga jago main basket,
sama seperti Seung Cheol. Aku sering memergoki mereka berduaan. Seung Cheol menatapnya
dengan cara yang berbeda. Cara yang sama ketika ia mengungkapkan cinta dan
mengajakku berpacaran. Mata bening itu masih saja dipenuhi dengan kehangatan
dan cinta. Hanya saja, sekarang cinta itu bukan untukku. Melainkan untuk dia.
Untuk Yoon Ji!
Aku kembali mendesah. Ku letakkan kepalaku di bangku.
Dadaku rasanya sesak, sakit.
“Rin-ah, gwaencana?”
Aku tak menjawab pertanyaan Bora. Ku rasakan sebuah
sentuhan lembut di keningku. “Rin-ah, kau sakit?”
Deg, itu suara Seung Cheol. Aku mendongak. Seung Cheol tengah
menatapku dengan cemas. Sesaat aku hanya terdiam hingga membuat Seung Cheol
mengulangi pertanyaannya.
“Kau sakit?”
Aku gelagapan. “Ng.... tidak,” jawabku.
Ku tatap mata bening itu dengan lekat. Kemana binar itu?
Binar mata penuh cinta yang beberapa tahun ini menjadi
milikku. Aku mencoba mencari dan menyelaminya ke dalam mata bening Seung Cheol,
tapi tak ada!
“Ayo ke kantin,” ajaknya.
“e... iya,” jawabku seraya beranjak.
Kami berlalu meninggalkan Bora yang tetap tersenyum penuh
support kepadaku.
***
Siang itu ketika jam istirahat pertama, hatiku berdebar
ketika melewati kelas Yoon Ji. Lagi-lagi dia ada di sana. Seung Cheol ada di
dalam kelas itu. Bersama yeoja berwajah cantik tersebut, duduk di sampingnya,
mengobrol dengannya, bercanda dengannya dan... akrab sekali.
Ku percepat langkah kakiku dengan harapan mereka tak melihatku.
Tapi telat. Ekor mata Seung Cheol keburu menangkapku.
“Rin-ah!” Seung Cheol beranjak dan berlari menghampiriku.
“Kemana saja? Dari tadi aku mencarimu?”
Aku tersenyum blo’on mendengar pertanyaan Seung Cheol. “Yaa..
berputar-putar saja. Dari kantin, ke
perpustakaan, ke gedung kesenian, ke lapangan basket, pokoknya ...
berputar-putar saja,” jawabku asal.
Seung Cheol hanya manggut-manggut mendengar jawabanku yang
agak senewen. “Pulang bareng’kan?” ia kembali bertanya. Aku hanya mengangguk.
Pulang bareng? Hah, bukankah selama ini kami memang selalu
pulang bareng? Kenapa dia masih harus bertanya lagi? Gerutuku dalam hati.
“Yoon Ji-ah, aku pulang dulu ya, annyeong,” Seung Cheol
melambaikan tangan. Yeoja itu tersenyum. Sesaat senyumannya sempat singgah
padaku. Apa boleh buat, akupun ikut tersenyum. Tanpa sadar aku sempat mengumpat
dalam hati. Sialan! Situasi macam ini!!??
***
Bora melangkah dengan tergesa-gesa ke arahku. “Rin-ah, ayo
ke kantin. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu,” wajahnya tampak ragu.
Aku mengernyitkan dahiku. “Penting?”
Ia mengangguk. “Penting sekali.” Jawabnya.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. “Mmm, bagaimana ya? Aku
masih ada sedikit urusan dengan ketua OSIS. Bisakah kita bicarakan setelah
pulang sekolah?” aku menyarankan.
Bora terdiam. “Bisa sih. Tapi mulutku sudah tak tahan
ingin bicara,” raut wajah Bora terlibat tak sabar.
Aku mengalah. “Oke, tunggu di kantin saja, sepuluh menit
lagi aku menyusul,” jawabku. “Oke,” Bora mengangguk lalu ngacir ke sana. Aku
melanjutkan langkahku menuju ruang OSIS. 10 menit kemudian aku baru bisa
menemui Bora.
“Mau bicara apa? Kelihatannya serius sekali?” tanyaku. Bora
kembali menyeruput minumannya sebelum akhirnya menjawab.
“Rin-ah, janji ya kau tak akan marah padaku kalau aku
memberitahumu masalah ini?” ujarnya. Aku tersenyum. “Masalah apa? Belum-belum
kok sudah ada MOU,” jawabku. Meta mendesah. “Ini soal Seung Cheol,” bisiknya.
Aku mengernyitkan dahiku. “So....?”
“Kemarin waktu di Mall, tanpa sengaja aku melihat Seung
Cheol,” Bora kembali terdiam sesaat. “Dan... dia tak sendirian. Ada Yoon Ji di
sampingnya,” Ia menatapku dengan serius.
Aku menelan ludah. Rasanya aku sudah bisa menebak arah
pembicaraannya.
“Mereka tak melihatku, tapi aku bisa melihat mereka dengan
jelas. Mereka begitu akrab dan .... mesra. Oke, anggap saja aku punya intepretasi
yang salah soal mereka. Tapi ... apa Seung Cheol bilang padamu kalau kemarin ia
keluar dengan Yoon Ji?”
Aku menggeleng.
“Rin-ah, kau tak berpikir kalau aku sedang mengarang
cerita ‘kan?” Bora bertanya agak canggung. Aku tersenyum dan kembali
menggeleng.
“Bora-ah, aku percaya dengan apa yang kau lihat. Tapi,
mungkin saja mereka ketemu di Mall secara tak sengaja,” aku berusaha membohongi
diriku sendiri. Aku tidak meragukan cerita Bora. Tapi aku hanya berusaha untuk
tidak membiarkanku jatuh terlalu dalam.
Memikirkan mereka berduaan saja sudah cukup membuat hatiku
terluka. Apalagi kalau Bora melihatnya sendiri.
“Tapi, Rin-ah. Ini sudah yang ketiga kalinya aku memergoki
mereka jalan berduaan,”
Deg. Jantungku rasanya berdentum dengan keras. What!? Yang
ketiga kalinya!? Aku menjerit dalam hati.
“Begini saja, Rin-ah. Aku akan membantumu untuk
membicarakan hal ini dengan Seung Cheol. Yaa barangkali saja selama ini ia
memang tak jujur padamu,” ucap Bora lagi.
Aku menggeleng. “Tidak usah. Biar aku saja yang bicara
sendiri dengannya,”
“Kau yakin?” Bora memastikan yang kemudian ku jawab dengan
anggukan.
Ah, entahlah.
Apakah aku punya cukup keberanian untuk mengajaknya
bicara tentang Yoon Ji?
Mungkin tidak. Tapi, sampai kapan aku akan terus berada
pada posisi yang tak jelas seperti ini?
Aku mencintai Seung Cheol. Sangat. Aku bahkan sanggup
melakukan apapun untuknya, jika dia memintanya.
Tapi, seandainya dia memang sudah tidak menginginkan
hubungan kami berlanjut, aku harus bagaimana?
Harus bagaimana?
***
Aku menatap Seung Cheol dengan seksama. Raut mukanya tegang.
Ada yang bergejolak di sana, di dalam hatinya. Aku bukan peramal. Tapi
sepertinya aku tahu apa yang akan dia bicarakan.
“Ingin membicarakan apa? Kenapa kau jadi tegang begitu?
Tak biasanya kau mengajakku jalan-jalan di jam-jam begini. Pentingkah?” tanyaku
memastikan.
Seung Cheol tak segera menjawab pertanyaanku. Terdengar ia
hanya mendesah pelan.
“Rin-ah, sebelumnya aku minta maaf padamu karena harus
mengungkapkan ini. Tapi, sepertinya ... kita sudah tak bisa lagi melanjutkan hubungan
kita.” Kalimatnya lirih, tapi terdengar jelas di telingaku.
Nafasku terasa berhenti sejenak. Ah, akhirnya kata-kata
itu meluncur dari mulutnya.
Apa yang harus aku lakukan? Berteriak dan menangis
meraung-raung? Ah, tidak. Sepertinya itu hanya akan memperburuk suasana hatiku.
“Aku tahu ini menyakitkan buatmu, tapi kalau dipaksakan,
rasa-rasanya akan semakin menyakitimu. Aku tahu di antara kita tidak ada
masalah yang serius. Tapi, tidakkah kau merasa bahwa hubungan kita semakin
hambar dan...”
“Ada yeoja lain yang kau suka?” potongku.
Seung Cheol balas menatapku ragu. Tapi perlahan ia
mengangguk.
“Apa aku mengenalnya?” tanyaku lagi. Dan perlahan ia
kembali mengangguk.
Keparat kau! Aku memaki dalam hati.
“Dia ....”
“Yoon Ji ‘kan?” aku kembali memotong.
Seung Cheol terlihat kaget.
Namja itu terdiam. Aku tahu pasti, diamnya dia berarti
‘ya’.
Dan hatiku hancur.
“Seung Cheol-ah, apakah selama ini aku tidak cukup baik
bagimu sehingga kau harus melakukan ini padaku?” Suaraku lirih. Aku berusaha
mengendalikan emosiku.
Seung Cheol menggeleng.
“Tidak, Rin-ah. Kau adalah yeoja yang sangat baik. Bahkan
terlampau baik bagiku. Akulah yang salah, akulah yang tidak bisa menjaga hatiku
hingga ini terjadi. Aku .... ” kata-kata Seung Cheol terhenti sesaat.
“Mianhae, Rin-ah. Aku tak pernah merencanakan hal ini.
Kami tak pernah meminta pada Tuhan untuk diberikan rasa cinta ini. Semua terjadi
begitu saja, begitu alami. Dan kami sama-sama tak bisa mencegahnya. Maafkan aku.
Maafkan aku.” Suara Seung Cheol tak ubahnya seperti sebuah ratapan penyesalan.
Bibirku bergetar.
“Aku memang bukan namja yang baik bagimu. Tapi percayalah,
aku tidak akan pernah melupakan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama.
Kau adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki. Kelak, kau pasti bisa
mendapatkan namja yang lebih baik dariku,”
Fffhh, anugerah terindah!? Persetan!
Aku menunduk dan bersamaan itu air mataku menitik. Namun
aku segera menghapusnya. Hatiku mengatakan, aku tak pantas menangis lagi untuk orang ini!
Ku tatap Seung Cheol dengan dalam. Aku tersenyum. Ku lihat
matanya bergetar dan berkaca-kaca. Seung Cheol pernah berkata, hal yang
senantiasa membuatnya takhluk padaku adalah senyumanku.
Ah, whatever-lah! I don’t care!
“Ok, fine. Gomawo, Seung Cheol-ah. Gomawo untuk semuanya.
Untuk cinta, waktu dan perhatianmu selama ini. Aku tidak akan menyesal pernah
menjadi pacarmu. Dan aku hanya bisa berharap semoga kau bahagia bersamanya.
Tapi ingatlah satu hal ...” Aku menelan ludah. “Kelak, jika suatu saat nanti
Yoon Ji mencampakkanmu, datanglah padaku. Maka aku akan menerimamu kembali,”
lanjutku.
Kemudian aku beranjak lalu meninggalkan Seung Cheol,
begitu saja.
Ya, begitu saja tanpa membiarkan ia berkata-kata lagi.
Bahkan jika ia memanggilku, aku takkan berbalik lagi padanya.
== Kelak, jika Yoon
Ji mencampakkanmu, datanglah padaku. Maka aku akan menerimamu kembali ...=
Aku tersenyum kecut, lalu terkekeh sinis. Dan air mataku
menitik.
Menerimanya kembali? Hah, yang benar saja!!?? Apa hanya
dia satu-satunya namja di muka bumi ini?!!
Bullshit!
Setelah sempat sesenggukan, aku meraih ponsel di tasku.
“Yoeboseyo, Bora-ah? Sekarang aku sedang ada di taman
kota. Bisakah kau kesini menjemputku?” tanyaku setelah terlebih dulu menghapus
air mataku.
---di taman kota?
Jam segini? Untuk apa? Kau bersama Seung Cheol? Kau ...---
“Aku putus dengannya,” potongku.
“Whattt!?” Bora berteriak.
Aku kembali tersenyum kecut.
“Sudahlah. Tak usah cemas. Gwaencana. I’m okay. Kau tak
sibuk ‘kan? Cepat datang ke sini dan pikirkan cara untuk menghibur sahabatmu
yang sedang patah hati ini. Oke?”
---Wait a minute.
I’ll be there ...---
Dan pembicaraan ku akhiri.
Aku kembali sesenggukan, sendirian, di sudut taman kota.
Aku tahu ini akan sulit bagiku. Aku tahu aku akan sangat
terluka.
Tapi aku yakin, waktu akan menyembuhkan luka yang
ditorehkan Seung Cheol padaku.
Gwaencana.
Aku akan baik-baik saja.
Pasti.
***
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar