Preview
:
Kak
Im Na menarik nafas berat sebelum berkata.
“Wonu
sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Hani
terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Dia
sudah menjalani kemo dan beberapa kali operasi. Tapi, tak berjalan baik. Beberapa
hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter
bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Jadi ... Wonu
memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ...
pergi dengan tenang.” Kak Im Na menelan ludah. Kalimatnya seperti tertahan.
Hani
merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.
~~~~~
~~~~~
Cinta
tak melulu soal memiliki dan dimiliki.
Terkadang,
ini tak lebih sebagai sebuah harapan. Agar dia, orang yang teramat kau cintai,
hidup.
Itu
saja.
Part
3
Hani
memasuki ruangan perawatan itu dengan hati-hati. Kak Im Na yang memberinya ijin
untuk mengunjungi Wonu di kamarnya.
Ketika
ia berada di sana, ia melihat sosok lelaki itu terbaring tenang di tempat
tidur. Selimut menutupi bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Masih
mengenakan topi rajut, mata lelaki itu terpejam.
Air
mata Hani kembali menitik. Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Tapi ia tak
berhasil. Menutup mulutnya dengan tangan, tetap saja ia sesenggukan, pelan.
Entah
karena menyadari keberadaan Hani atau karena mendengar isak tangisnya, tubuh
Wonu bergerak. Perlahan kedua matanya terbuka dan ia menoleh. Menatap ke arah
Hani dengan lemah. Ia menyipit, setengah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Lalu lelaki itu tersenyum.
“Hani-ah
....” Panggilnya lirih. Dan matanya kembali terpejam. Ia tertidur lagi.
***
“Harusnya
kau mendengarkan kata dokter. Kondisimu masih lemah, mestinya lusa atau lusanya
lagi kau baru boleh pulang.” Kak Im Na mengomel kesal.
Tapi
toh ia tetap saja membantu Wonu berkemas-kemas. Adik satu-satunya itu hanya
terkekeh. Tangannya juga sibuk melipat beberapa baju tipisnya.
Hari
ini ia memaksa pulang dari Rumah Sakit meski dokter melarangnya.
“Nuna,
aku hanya akan tiduran saja. Oke? Jadi, mau tiduran di rumah atau di rumah
sakit, sama saja ‘kan?” Jawabnya. Kak Im Na hanya mendengus kesal. Ia memasukkan
beberapa baju Wonu ke tas.
“Nuna,
selama aku sakit, apa ada seseorang yang mengunjungiku?”
Pertanyaan
Wonu mengalihkan perhatian kak Im Na. Perempuan itu menghentikan tangannya yang
sibuk berkemas-kemas. Ia melirik ke arah Wonu sesaat, tapi kemudian asyik
berkemas-kemas lagi. “Maksudmu?” Ia bertanya tanpa melihat ke arah adiknya.
Wonu
tak segera menjawab. Ia mengangkat bahu, bingung.
“Entahlah.
Aku hanya merasa bahwa ....” Ia mendesah. “Nuna masih ingat Hani ‘kan?”
Bibir
kak Im Na berdecak. “Ya, ya, tentu saja aku masih ingat dia. Bagaimana mungkin
aku bisa lupa tentang dia. Kau memajang foto-fotonya di kamarmu selama sekian
tahun, mengatakan bahwa dia adalah perempuan satu-satunya yang kau cintai,
bagaimana aku bisa lupa tentang dia.”
Jawabnya. “Memangnya ada apa dengannya?” Ia bertanya malas-malasan.
Wonu
terdiam lagi.
“Selama
aku sakit, aku merasa dia sering mengunjungiku, setiap malam. Di sini. Tapi,
itu mustahil ‘kan? Aku pasti sedang bermimpi.” Ia terkekeh.
Kak
Im Na mematung sesaat. Ia meletakkan baju-baju yang tadi ia lipat, lalu
berbalik menghadap Wonu.
“Kau
tak bermimpi.” Ucapnya. Wonu mendongak, menatap ke arah kakaknya. Matanya
menyipit tanda tak mengerti.
“Kau
tak bermimpi, Wonu-ah. Sejak kau di rawat di sini, Hani memang selalu
mengunjungimu. Setiap malam dia ke sini, menungguimu. Aku yang mengijinkannya.”
Kak Im Na melanjutkan.
Wonu
tak bergerak. Terlihat syok.
“Beberapa
hari yang lalu aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Dan ...” Kak Im Na
menggigit bibirnya. “Aku menceritakan kondisimu padanya. Semuanya.”
Rahang
Wonu tampak kaku. Ekpresinya tak terbaca. Entah ia merasa kaget dengan
informasi yang kakaknya sampaikan. Atau entah ia merasa marah karena kak Im Na menceritakan
kondisinya pada Hani, perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan namun tak
bisa.
“Dia
ada di luar. Ingin ku suruh dia masuk?”
Mata
Wonu melebar. Hani ada di luar kamar?! Ia
nyaris berteriak.
“Dia
... di sini?”
Kak
Im Na mengangguk. Dan lutut Wonu terasa lemas seketika. Ia heran ketika
menyadari bahwa dirinya tak ambruk. Belum sempat ia mengatakan apapun, kakaknya
sudah berteriak.
“Hani-ah,
masuklah.” Ucapnya.
Tak
butuh waktu lama, pintu terbuka, dan ... sosok perempuan itu muncul dari sana.
Seperti sebuah adegan dalam film. Saat ketika Hani melangkahkan kakinya
memasuki kamar, adegan itu berlangsung lambat.
Dunia
Wonu seperti berhenti berputar. Lelaki itu menelan ludah, nyaris tak bisa
bernafas.
Ia
hanya ... terlalu terkejut dengan kedatangan perempuan itu.
Ia
hanya tak percaya bahwa wanita yang selama ini ia pikirkan sekarang ada di
hadapannya, mengetahui kondisinya, mengetahui penyakitnya, mengetahui bahwa ia
sekarat!
Hani
tersenyum ke arah Wonu. Senyumnya getir. Kedua matanya berkaca-kaca, ia tak
tahu kenapa.
“Kita
... bertemu lagi.” Perempuan itu membuka suara seraya mengangkat bahu. Wonu menatapnya dengan dalam, tanpa mampu
berkata.
“Akan
kutinggalkan kalian berdua.” Kak Im Na beranjak, meninggalkan Wonu dan Hani
berdua saja.
Hening.
Tatapan
mereka terkunci. Lama.
“Keningmu
kenapa?” Akhirnya Wonu membuka suara.
“Hanya
kecelakaan kecil. I’m okay.” Jawab
Hani.
“Kenapa
kau bisa di sini?” Wonu kembali bertanya dengan lirih.
Hani
kembali tersenyum. “Untuk bertemu denganmu.” Jawabnya.
Hening
lagi. Sesaat kemudian Wonu terkekeh lirih. Perlahan ia melepaskan topi rajut
yang beberapa waktu ini setia menutup sebagian kepalanya.
Dan
Hani bisa melihatnya. Kepala itu tak ditumbuhi rambut. Ia tak tahu karena
pengaruh kemo atau pengaruh operasi. Tapi yang jelas, Ia bisa melihat ada bekas
jahitan melintang di sana.
Hani
nyaris berteriak histeris. Dadanya sesak.
Tangisnya
hampir meledak, tapi ia menahannya.
“Hani-ah,
maaf jika kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini. Seperti yang sudah
diceritakan nuna, kondisiku sedang tidak baik. Jadi ...”
“Wonu-ah
....” Hani memotong lembut. Suaranya lirih.
“Bolehkah
aku memelukmu?” Lanjutnya. Bibirnya bergetar.
Merasa
tak butuh jawaban dari Wonu, perempuan itu bergerak, mendekati lelaki yang
masih mematung tersebut, lalu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Ia tak
tahu kenapa ia melakukannya.
Ia
hanya ingin memeluk Wonu. Itu saja.
Dan
akhirnya, tangis perempuan itu pecah ketika ia merasakan kedua lengan Wonu
melingkari tubuhnya, balas memeluknya.
***
Hani
membantu Wonu berkemas-kemas. Ia juga ikut mengantarkan lelaki itu pulang ke
rumah.
Kedua
orang tua Wonu sudah lama meninggal. Jadi selama ini ia tetap tinggal di rumah
lama mereka bersama kak Im Na dan keluarganya.
“Rumahnya
masih sama kok. Hanya ada perbaikan kecil-kecilan. Mau mampir?” Wonu menawarkan
sesaat setelah mereka turun dari taksi. Sementara kak Im Na dan suaminya sudah
terlebih dahulu masuk ke rumah membawa barang-barang Wonu.
Hani
mengangguk dengan antusias. “Tak mengganggu istirahatmu ‘kan?”
Wonu
menggeleng dan menyilakan perempuan cantik itu masuk ke rumah. Awalnya ia hanya
ingin mengantar sampai ruang tamu. Tapi karena Wonu harus segera pergi ke
kamarnya untuk beristirahat, ia pun mengikutinya.
“Anggap
saja rumah sendiri. Toh dulu kau juga sering ke sini ‘kan?” Kak Im Na muncul
dari balik pintu sambil membawa 2 botol air mineral.
“Mian,
hanya ada air putih.” Ujarnya lagi. Hani tersenyum. “Gomawo Eonni.” Jawabnya.
Kak
Im Na tersenyum seraya beranjak meninggalkan mereka berdua di kamar Wonu.
Wonu
duduk di pinggir ranjang sementara Hani sibuk berkeliling kamar, melihat-lihat
seisi ruangan.
“Kamarnya
juga masih sama. Tak ada yang berubah.” Wonu membuka suara.
Hani
tak menjawab. Ia terlalu sibuk melihat seisi kamar. Dan ia takjub dengan apa
yang dilihatnya.
Kamar
itu memang masih sama seperti yang pernah ia datangi beberapa tahun yang lalu.
Tempat tidur, perabot, rak buku, koleksi CD musik, bahkan pajangan gitar di
dinding, semuanya masih sama. Dan ia juga masih bisa menemukan foto dirinya!
Berdua
dengan Wonu, mengenakan seragam SMA. Foto itu terpajang rapi di meja dekat
tempat tidur. Tak hanya itu saja, Ia juga bisa menemukan beberapa foto dirinya,
ada yang sendiri, ada pula yang berdua dengan Wonu, terpajang di dinding
kamarnya yang berwarna hijau cerah.
“Aku
tak bisa membuang foto-fotomu. Mian.”
Wonu membuka suara.
“Lagipula
aku tak punya alasan untuk membuangnya. Foto-foto itu sudah menjadi bagian dari
tempat ini.” Lanjutnya.
Tatapan
Hani bergerak lagi. Kali ini menangkap sebuah pigura berukuran sekitar 120 cm x
90 cm. Pigura itu tidak berisi foto, tapi sebuah tulisan.
------ Dengan
sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi perasaan itu tanpa lelah seperti
menakhlukkan jeram.
Namun orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan sukarela ...... -----------
“Dari
Novel?” Hani menggumam setelah selesai membaca tulisan tersebut. Tatapan
matanya tak bergerak dari tulisan itu.
“Ya.
Aku mengutipnya dari novel kesukaanmu.” Jawab Wonu. Hani merasakan dadanya
berdebar.
“Aku
juga masih menyimpan semua barang-barang pemberianmu. Ada di lemari. Semuanya
di situ.” Lelaki itu menunjuk ke arah lemari unik di dekat rak buku.
Hani
menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Dan lelaki berhidug mancung itu
hanya mengangguk, mengiyakan. Dan tanpa menunggu lama, Hani bergerak mendekati
lemari, membukanya dengan perlahan, dan segera matanya menatap serangkaian
benda-benda yang begitu ... bermakna.
Ia
ingat semuanya.
Beberapa
potong baju, sebuah sweater warna indigo, jaket berkerudung dengan tulisan
Liverpool, topi, dan beberapa barang sepele semacam gantungan kunci dan
peralatan sekolah. Ya, semua itu Hani-lah yang memberikannya.
Rasa
takjubnya tak berhenti di situ karena ia juga masih bisa menemukannya, semua
surat-surat cinta mereka, ada di kotak terbuka di rak paling bawah.
“Kau
juga masih menyimpan surat-surat ini rupanya?” Hani berujar tanpa melihat ke
arah Wonu. Ia berlutut, menyapukan jemarinya di surat-surat tersebut. Seolah
mereka adalah benda-benda paling lembut yang pernah ia temui.
“Ya.
Aku sudah bilang ‘kan? Selain karena aku tak punya alasan untuk membuangnya,
benda-benda itu juga sangat berharga buatku. Benda-benda itu milikku, dan aku
berniat untuk merawatnya.” Jawab Wonu tegas.
Hani
menggigit bagian dalam bibirnya. Perasaannya campur aduk. Terharu, putus asa.
Beberapa
waktu yang lalu ia telah berbicara dengan Kak Im Na. Dan perempuan itu
menceritakan segalanya. Menceritakan bahwa selama ini, Wonu tak pernah bisa
melupakan dirinya. Bahkan ketika Hani menghilang begitu saja, laki-laki itu tetap memikirkannya,
merindukannya, mencintainya. Dan perasaan itu tak pernah berubah, sedikitpun.
Awalnya
Hani tak percaya. Tapi sekarang, dengan melihat apa yang telah Wonu lakukan
dengan kenangan-kenangan mereka, ia tak sanggup menghindar lagi!
Perempuang
itu bangkit, berbalik, lalu menatap Wonu dengan lekat. “Wonu-ah ...” panggilnya.
Suaranya serak. “Apa kau masih mencintaiku?”
Wonu
tertegun. Tatapan matanya kaget bercampur bingung. Tak pernah mengira akan
mendapatkan pertanyaan langsung seperti itu.
Perlahan
lelaki itu menarik nafas panjang.
“Hani-ah,
aku tahu ini tak penting lagi untuk dibicarakan karena sebentar lagi kau akan
menikah. Tapi, umurku tak panjang lagi. Jadi aku tak akan berbohong
padamu. Jika kau bertanya apakah aku
masih mencintaimu, maka aku akan menjawab : ya.” Ia menjawab tegas.
Mendengar
jawaban itu, kedua mata Hani berkaca-kaca. Ia terdiam, sabar menunggu kalimat
Wonu selanjutnya.
“Sebentar
lagi aku mati, Hani-ah. Jadi aku tak ingin menyembunyikan apa-apa darimu, atau
dari siapapun. Dari dulu hingga sekarang, aku selalu mencintaimu. And ...
always it’s you.”
Hani
menatap lurus ke mata Wonu. Dan ia bisa melihat bahwa mata bening itu juga
berkaca-kaca.
“Kamar
ini ...” Lelaki itu membentangkan tangannya ke arah seisi kamarnya. “ ... akan
terus seperti ini. Aku sudah meminta secara khusus pada Nuna agar membiarkan
kamar ini seperti ini, bahkan jika diriku sudah tiada. Permintaan ini mungkin
terdengar aneh. Tapi kakakku bersedia menyanggupinya. Yaa ... anggap saja
permintaan terakhir dari seseorang yang akan segera menjemput ajal.” Ia
tersenyum getir.
“Jadi
untuk kedepannya, foto-fotomu, semua barang pemberianmu, juga akan tetap berada
di sini, seperti semula. Ku harap kau tak marah.” Lelaki itu menjelaskan.
Hani
menelan ludah.
“Kalau
begitu, apa yang ingin kau minta dariku?” Suaranya bergetar.
“Hm?”
Wonu mengernyitkan dahinya. Tak mengerti.
“Jika
kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani
mengulangi pertanyaannya.
Wonu
terdiam sesaat.
“Kau.”
Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku
adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku
ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia
melanjutkan.
Dan
...
Hani
beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur,
jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya
lirih.
Ia
membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.
***
Bersambung
....
P.S.
Kutipan
novel dari Supernova – Dee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar