Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Always It's You #3

Preview :

Kak Im Na menarik nafas berat sebelum berkata.
“Wonu sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Hani terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Dia sudah menjalani kemo dan beberapa kali operasi. Tapi, tak berjalan baik. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Jadi ... Wonu memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ... pergi dengan tenang.” Kak Im Na menelan ludah. Kalimatnya seperti tertahan.
Hani merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.

~~~~~
~~~~~

Cinta tak melulu soal memiliki dan dimiliki.
Terkadang, ini tak lebih sebagai sebuah harapan. Agar dia, orang yang teramat kau cintai, hidup.
Itu saja.

Part 3

Hani memasuki ruangan perawatan itu dengan hati-hati. Kak Im Na yang memberinya ijin untuk mengunjungi Wonu di kamarnya.
Ketika ia berada di sana, ia melihat sosok lelaki itu terbaring tenang di tempat tidur. Selimut menutupi bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Masih mengenakan topi rajut, mata lelaki itu terpejam.
Air mata Hani kembali menitik. Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Tapi ia tak berhasil. Menutup mulutnya dengan tangan, tetap saja ia sesenggukan, pelan.

Entah karena menyadari keberadaan Hani atau karena mendengar isak tangisnya, tubuh Wonu bergerak. Perlahan kedua matanya terbuka dan ia menoleh. Menatap ke arah Hani dengan lemah. Ia menyipit, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu lelaki itu tersenyum.
“Hani-ah ....” Panggilnya lirih. Dan matanya kembali terpejam. Ia tertidur lagi.

***   

“Harusnya kau mendengarkan kata dokter. Kondisimu masih lemah, mestinya lusa atau lusanya lagi kau baru boleh pulang.” Kak Im Na mengomel kesal.
Tapi toh ia tetap saja membantu Wonu berkemas-kemas. Adik satu-satunya itu hanya terkekeh. Tangannya juga sibuk melipat beberapa baju tipisnya.
Hari ini ia memaksa pulang dari Rumah Sakit meski dokter melarangnya.
“Nuna, aku hanya akan tiduran saja. Oke? Jadi, mau tiduran di rumah atau di rumah sakit, sama saja ‘kan?” Jawabnya. Kak Im Na hanya mendengus kesal. Ia memasukkan beberapa baju Wonu ke tas.

“Nuna, selama aku sakit, apa ada seseorang yang mengunjungiku?”
Pertanyaan Wonu mengalihkan perhatian kak Im Na. Perempuan itu menghentikan tangannya yang sibuk berkemas-kemas. Ia melirik ke arah Wonu sesaat, tapi kemudian asyik berkemas-kemas lagi. “Maksudmu?” Ia bertanya tanpa melihat ke arah adiknya.

Wonu tak segera menjawab. Ia mengangkat bahu, bingung.
“Entahlah. Aku hanya merasa bahwa ....” Ia mendesah. “Nuna masih ingat Hani ‘kan?”
Bibir kak Im Na berdecak. “Ya, ya, tentu saja aku masih ingat dia. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang dia. Kau memajang foto-fotonya di kamarmu selama sekian tahun, mengatakan bahwa dia adalah perempuan satu-satunya yang kau cintai, bagaimana aku bisa lupa tentang dia.”  Jawabnya. “Memangnya ada apa dengannya?” Ia bertanya malas-malasan.

Wonu terdiam lagi.
“Selama aku sakit, aku merasa dia sering mengunjungiku, setiap malam. Di sini. Tapi, itu mustahil ‘kan? Aku pasti sedang bermimpi.” Ia terkekeh.
Kak Im Na mematung sesaat. Ia meletakkan baju-baju yang tadi ia lipat, lalu berbalik menghadap Wonu.
“Kau tak bermimpi.” Ucapnya. Wonu mendongak, menatap ke arah kakaknya. Matanya menyipit tanda tak mengerti.
“Kau tak bermimpi, Wonu-ah. Sejak kau di rawat di sini, Hani memang selalu mengunjungimu. Setiap malam dia ke sini, menungguimu. Aku yang mengijinkannya.” Kak Im Na melanjutkan.
Wonu tak bergerak. Terlihat syok.

“Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Dan ...” Kak Im Na menggigit bibirnya. “Aku menceritakan kondisimu padanya. Semuanya.”

Rahang Wonu tampak kaku. Ekpresinya tak terbaca. Entah ia merasa kaget dengan informasi yang kakaknya sampaikan. Atau entah ia merasa marah karena kak Im Na menceritakan kondisinya pada Hani, perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan namun tak bisa.
“Dia ada di luar. Ingin ku suruh dia masuk?”
Mata Wonu melebar. Hani ada di luar kamar?! Ia nyaris berteriak.
“Dia ... di sini?”
Kak Im Na mengangguk. Dan lutut Wonu terasa lemas seketika. Ia heran ketika menyadari bahwa dirinya tak ambruk. Belum sempat ia mengatakan apapun, kakaknya sudah berteriak.

“Hani-ah, masuklah.” Ucapnya.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan ... sosok perempuan itu muncul dari sana. Seperti sebuah adegan dalam film. Saat ketika Hani melangkahkan kakinya memasuki kamar, adegan itu berlangsung lambat.
Dunia Wonu seperti berhenti berputar. Lelaki itu menelan ludah, nyaris tak bisa bernafas.
Ia hanya ... terlalu terkejut dengan kedatangan perempuan itu.
Ia hanya tak percaya bahwa wanita yang selama ini ia pikirkan sekarang ada di hadapannya, mengetahui kondisinya, mengetahui penyakitnya, mengetahui bahwa ia sekarat!

Hani tersenyum ke arah Wonu. Senyumnya getir. Kedua matanya berkaca-kaca, ia tak tahu kenapa.
“Kita ... bertemu lagi.” Perempuan itu membuka suara seraya mengangkat bahu.  Wonu menatapnya dengan dalam, tanpa mampu berkata.
“Akan kutinggalkan kalian berdua.” Kak Im Na beranjak, meninggalkan Wonu dan Hani berdua saja.
Hening.
Tatapan mereka terkunci. Lama.
“Keningmu kenapa?” Akhirnya Wonu membuka suara.
“Hanya kecelakaan kecil. I’m okay.” Jawab Hani.
“Kenapa kau bisa di sini?” Wonu kembali bertanya dengan lirih.
Hani kembali tersenyum. “Untuk bertemu denganmu.” Jawabnya.

Hening lagi. Sesaat kemudian Wonu terkekeh lirih. Perlahan ia melepaskan topi rajut yang beberapa waktu ini setia menutup sebagian kepalanya.
Dan Hani bisa melihatnya. Kepala itu tak ditumbuhi rambut. Ia tak tahu karena pengaruh kemo atau pengaruh operasi. Tapi yang jelas, Ia bisa melihat ada bekas jahitan melintang di sana.
Hani nyaris berteriak histeris. Dadanya sesak.
Tangisnya hampir meledak, tapi ia menahannya.
“Hani-ah, maaf jika kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini. Seperti yang sudah diceritakan nuna, kondisiku sedang tidak baik. Jadi ...”
“Wonu-ah ....” Hani memotong lembut. Suaranya lirih.
“Bolehkah aku memelukmu?” Lanjutnya. Bibirnya bergetar.
Merasa tak butuh jawaban dari Wonu, perempuan itu bergerak, mendekati lelaki yang masih mematung tersebut, lalu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya. 
Ia hanya ingin memeluk Wonu. Itu saja.

Dan akhirnya, tangis perempuan itu pecah ketika ia merasakan kedua lengan Wonu melingkari tubuhnya, balas memeluknya.

***

Hani membantu Wonu berkemas-kemas. Ia juga ikut mengantarkan lelaki itu pulang ke rumah.
Kedua orang tua Wonu sudah lama meninggal. Jadi selama ini ia tetap tinggal di rumah lama mereka bersama kak Im Na dan keluarganya.
“Rumahnya masih sama kok. Hanya ada perbaikan kecil-kecilan. Mau mampir?” Wonu menawarkan sesaat setelah mereka turun dari taksi. Sementara kak Im Na dan suaminya sudah terlebih dahulu masuk ke rumah membawa barang-barang Wonu.
Hani mengangguk dengan antusias. “Tak mengganggu istirahatmu ‘kan?”
Wonu menggeleng dan menyilakan perempuan cantik itu masuk ke rumah. Awalnya ia hanya ingin mengantar sampai ruang tamu. Tapi karena Wonu harus segera pergi ke kamarnya untuk beristirahat, ia pun mengikutinya.

“Anggap saja rumah sendiri. Toh dulu kau juga sering ke sini ‘kan?” Kak Im Na muncul dari balik pintu sambil membawa 2 botol air mineral.
“Mian, hanya ada air putih.” Ujarnya lagi. Hani tersenyum. “Gomawo Eonni.” Jawabnya.
Kak Im Na tersenyum seraya beranjak meninggalkan mereka berdua di kamar Wonu.

Wonu duduk di pinggir ranjang sementara Hani sibuk berkeliling kamar, melihat-lihat seisi ruangan.
“Kamarnya juga masih sama. Tak ada yang berubah.” Wonu membuka suara.
Hani tak menjawab. Ia terlalu sibuk melihat seisi kamar. Dan ia takjub dengan apa yang dilihatnya.
Kamar itu memang masih sama seperti yang pernah ia datangi beberapa tahun yang lalu. Tempat tidur, perabot, rak buku, koleksi CD musik, bahkan pajangan gitar di dinding, semuanya masih sama. Dan ia juga masih bisa menemukan foto dirinya!
Berdua dengan Wonu, mengenakan seragam SMA. Foto itu terpajang rapi di meja dekat tempat tidur. Tak hanya itu saja, Ia juga bisa menemukan beberapa foto dirinya, ada yang sendiri, ada pula yang berdua dengan Wonu, terpajang di dinding kamarnya yang berwarna hijau cerah.

“Aku tak bisa membuang foto-fotomu. Mian.” Wonu membuka suara.
“Lagipula aku tak punya alasan untuk membuangnya. Foto-foto itu sudah menjadi bagian dari tempat ini.” Lanjutnya.
Tatapan Hani bergerak lagi. Kali ini menangkap sebuah pigura berukuran sekitar 120 cm x 90 cm. Pigura itu tidak berisi foto, tapi sebuah tulisan.

------  Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan sukarela ...... -----------

“Dari Novel?” Hani menggumam setelah selesai membaca tulisan tersebut. Tatapan matanya tak bergerak dari tulisan itu.
“Ya. Aku mengutipnya dari novel kesukaanmu.” Jawab Wonu. Hani merasakan dadanya berdebar.
“Aku juga masih menyimpan semua barang-barang pemberianmu. Ada di lemari. Semuanya di situ.” Lelaki itu menunjuk ke arah lemari unik di dekat rak buku.
Hani menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Dan lelaki berhidug mancung itu hanya mengangguk, mengiyakan. Dan tanpa menunggu lama, Hani bergerak mendekati lemari, membukanya dengan perlahan, dan segera matanya menatap serangkaian benda-benda yang begitu ... bermakna.

Ia ingat semuanya.
Beberapa potong baju, sebuah sweater warna indigo, jaket berkerudung dengan tulisan Liverpool, topi, dan beberapa barang sepele semacam gantungan kunci dan peralatan sekolah. Ya, semua itu Hani-lah yang memberikannya.
Rasa takjubnya tak berhenti di situ karena ia juga masih bisa menemukannya, semua surat-surat cinta mereka, ada di kotak terbuka di rak paling bawah.

“Kau juga masih menyimpan surat-surat ini rupanya?” Hani berujar tanpa melihat ke arah Wonu. Ia berlutut, menyapukan jemarinya di surat-surat tersebut. Seolah mereka adalah benda-benda paling lembut yang pernah ia temui.
“Ya. Aku sudah bilang ‘kan? Selain karena aku tak punya alasan untuk membuangnya, benda-benda itu juga sangat berharga buatku. Benda-benda itu milikku, dan aku berniat untuk merawatnya.” Jawab Wonu tegas.

Hani menggigit bagian dalam bibirnya. Perasaannya campur aduk. Terharu, putus asa.
Beberapa waktu yang lalu ia telah berbicara dengan Kak Im Na. Dan perempuan itu menceritakan segalanya. Menceritakan bahwa selama ini, Wonu tak pernah bisa melupakan dirinya. Bahkan ketika Hani menghilang begitu saja,  laki-laki itu tetap memikirkannya, merindukannya, mencintainya. Dan perasaan itu tak pernah berubah, sedikitpun.
Awalnya Hani tak percaya. Tapi sekarang, dengan melihat apa yang telah Wonu lakukan dengan kenangan-kenangan mereka, ia tak sanggup menghindar lagi!
           
Perempuang itu bangkit, berbalik, lalu menatap Wonu dengan lekat. “Wonu-ah ...” panggilnya. Suaranya serak. “Apa kau masih mencintaiku?”
Wonu tertegun. Tatapan matanya kaget bercampur bingung. Tak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan langsung seperti itu.
Perlahan lelaki itu menarik nafas panjang.
“Hani-ah, aku tahu ini tak penting lagi untuk dibicarakan karena sebentar lagi kau akan menikah. Tapi, umurku tak panjang lagi. Jadi aku tak akan berbohong padamu.  Jika kau bertanya apakah aku masih mencintaimu, maka aku akan menjawab : ya.”  Ia menjawab tegas.

Mendengar jawaban itu, kedua mata Hani berkaca-kaca. Ia terdiam, sabar menunggu kalimat Wonu selanjutnya.
“Sebentar lagi aku mati, Hani-ah. Jadi aku tak ingin menyembunyikan apa-apa darimu, atau dari siapapun. Dari dulu hingga sekarang, aku selalu mencintaimu. And ...  always it’s you.”
Hani menatap lurus ke mata Wonu. Dan ia bisa melihat bahwa mata bening itu juga berkaca-kaca.
“Kamar ini ...” Lelaki itu membentangkan tangannya ke arah seisi kamarnya. “ ... akan terus seperti ini. Aku sudah meminta secara khusus pada Nuna agar membiarkan kamar ini seperti ini, bahkan jika diriku sudah tiada. Permintaan ini mungkin terdengar aneh. Tapi kakakku bersedia menyanggupinya. Yaa ... anggap saja permintaan terakhir dari seseorang yang akan segera menjemput ajal.” Ia tersenyum getir.
“Jadi untuk kedepannya, foto-fotomu, semua barang pemberianmu, juga akan tetap berada di sini, seperti semula. Ku harap kau tak marah.” Lelaki itu menjelaskan.
Hani menelan ludah.
“Kalau begitu, apa yang ingin kau minta dariku?” Suaranya bergetar.
“Hm?” Wonu mengernyitkan dahinya. Tak mengerti.
“Jika kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani mengulangi pertanyaannya.
Wonu terdiam sesaat.
“Kau.” Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia melanjutkan.

Dan ...
Hani beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya lirih.
Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.

***

Bersambung ....

P.S.
Kutipan novel dari Supernova – Dee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar