Jumat, 30 Mei 2014

Cerpen "Aku cinta kau, titik!"



Sori, gue suka pacar loe.. II
(Aku cinta kau, titik.)

            “Rin, apa itu bener?” Leli datang ke kelasku dengan tergopoh-gopoh.
What?” aku mengernyitkan dahiku.
“Apa bener kamu mo pindah ke Surabaya?” dia bertanya dengan nada kesal. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tega kamu ya! Bagaimana mungkin kamu berencana pindah tanpa memberitahu sahabatmu yang baik ini? Dasar tak berperasaan!”
“aku berencana memberitahumu hari ini, tapi kau keburu mengetahuinya. Jadi ya, maaf banget ya,”
“emang kenapa kok ada acara pindah segala?”
“Papaku dipindah tugaskan ke sana. Jadi ya kami sekeluarga harus ikut kesana juga,”
“Huaaa, bagaimana mungkin kau tega meninggalkanku di sini sendirian,Rin?  Sekolah kita pasti sepi tanpa kehadiranmu,”
Aku manyun.
“Ih, lebay. Kalau gak ada aku, gak akan ada yang sering-sering beliin kamu bakso ‘kan? Makanya kamu sedih,”
“Ih, kamu kok berprasangka buruk gitu sih? Aku serius,Rin,”
Aku mencibir. Leli memelukku dengan tubuhnya yang gembrot hingga membuatku gelagapan.
“Hei, aku gak bisa nafas!” teriakku. Leli hanya nyengir seraya melonggarkan pelukannya.
“Aku pasti akan sering mengunjungimu kok, jangan khawatir,” ujarku.
“Bener?” Leli memastikan. Aku kembali mengangguk.
“Trus, kapan berangkat?”
“mungkin sekitar seminggu lagi,”
“Wah, kok cepet banget sih?” Leli kembali memelukku dengan erat.
“Helloo, aku gak bisa nafas nih,” teriakku lagi.
Leli beranjak lalu menarikku keluar kelas.
“kemana?’
“ke kantin. Hari ini kamu bebas makan apapun yang kamu inginkan. Aku yang traktir,” jawabnya.
“bener nih? Gak nyesel?”
Leli hanya mengangkat jempolnya seraya tersenyum.
Ketika menyusuri lorong kelas, ekor mataku menangkap sepasang muda mudi yang sedang duduk berduaan di taman sekolah. Mereka mengobrol dengan akrab sekali. Amel, teman sekelasku, dengan Boy, pacarnya.
Aku tersenyum kecut. Ah, Boy. Sang ketua OSIS, cowok terpopuler di sekolah kami sekaligus orang yang kutaksir setengah hidup! Ya, aku telah mencintainya sejak 2 tahun yang lalu. Hanya saja, aku harus patah hati karena ternyata ia berpacaran dengan Amel. Namun begitu, aku tak bisa melupakannya. Aku tetap saja mengaguminya, menyukainya, dan merindukannya, walau secara sembunyi-sembunyi. Dia cowok yang baik, ramah, tampan dan pintar. Dan tentu sangat sulit bagiku untuk bisa melupakannya. Ah, sepertinya aku merumitkan hidupku sendiri.
“Hellooo, jalannya jangan pake ngelamun dong buukk,” Leli membuyarkan lamunanku.
“Mikiran apa sih sampe senewen begitu?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum.
“Ah, enggak. Aku ngerasa lapar aja, yuk,” aku mempercepat langkahku dan mendahului Leli.

         
Sehari sebelum kepindahanku ke Surabaya, aku nekat menemui Boy.
L 'Infinite' as Boy
            “Bisa bicara sebentar? Berdua aja?” tanyaku. Boy yang sedang asyik menatap komputer di ruang OSIS, mengalihkan pandangannya padaku.
“hei, Rin. Ada apa? Mukamu kok serius banget begitu?”
Seperti biasa, ia selalu ramah.
Aku tersenyum.
“Ada sesuatu yang harus ku sampaikan, tapi ___”
Boy manggut-manggut.
“Oke, bicara aja. Di sini hanya ada kita berdua kok,” jawabnya.
Aku terdiam. Boy beranjak dari kursinya lalu melangkah mendekatiku.
“Oh iya, kapan berangkat ke Surabaya?” ia kembali bertanya dengan ramah.
“Mm, besok,” jawabku.
“Aku hanya bisa mendo’akan semoga kau kerasan di tempat yang baru dan tentu saja, punya banyak teman seperti di sini,”
Aku tersenyum lagi.
“Terima kasih,” jawabku lagi.
“tadi ___ mo ngomongin apa?” Boy seakan kembali mengingatkan. Aku menatapnya dengan dalam.
“Aku mencintaimu, Boy,” ujarku. Boy mengernyitkan dahinya, kaget dan heran.
“Maksud__mu?”
“Aku mencintaimu, sejak kelas satu.  Itulah perasaan yang kurasakan padamu selama ini. Tidak, jangan salah sangka. Aku tidak bermaksud mengganggu hubunganmu dengan Amel. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku yang sesungguhnya, itu aja. Dan aku lega telah mengatakannya padamu,”
“Rin __”
“Aku tidak pernah menyesal mencintaimu meski kau telah punya kekasih. Buatku, kau adalah cowok terbaik yang pantas ku cintai. Dan aku benar-benar lega karena telah memberitahumu tentang hal ini. Aku rasa, hanya itu yang ingin kusampaikan padamu. Maaf telah mengganggumu dan terima kasih karena kau mau mendengarku,”
Aku beranjak, meninggalkan Boy yang berdiri tertegun, kebingungan, tanpa tahu harus berkata apa.
Dan aku tak peduli! Yang jelas, aku sudah mengatakan apa yang seharusnya kukatakan dan kelak, aku tak akan pernah menyesalinya. Bagiku, itu sudah cukup.
Aah, aku ingin segera sampai rumah. Makan sop ayam buatan mama, menikmati es krim coklat yang lezat,  mandi air hangat, lalu tidur sepuasnya!
Boy, cinta, ah, persetan dengan semuanya!

Selesai


Wiwin Setyobekti
Nganjuk, 19-02-2012

Cerpen "Sori, gue suka pacar loe" part 1



Sori, gue suka pacar loe!

Sebenarnya kelasku telah usai sekitar 30 menit yang lalu. Hanya saja aku tetap tak berniat sedikitpun untuk meninggalkan kampus. Bukan karena aku banyak tugas atau karena ada janji dengan teman, tapi, sosok itulah yang telah menahan langkahku.
Sesosok tubuh atletis yang sedang bermain basket di lapangan basket dengan teman-temannya. Wajah manis itu telah mengusik tidurku. Sepasang mata bening itu telah menghiasi debaran jantungku. Aku tahu ini salah. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan perasaanku. Aku mencintainya!
Gila! Ya, aku pasti sudah gila! Aku punya pacar sebaik dan setampan Miko, tapi tetap saja aku mulai kepincut – entah kapan tepatnya – dengan Andra! Lebih gila lagi karena Andra adalah pacar Nia, sahabatku sendiri. Ah, complicated!
Kami berempat bahkan sering hang out bareng, double dating, rame-rame, seru banget. Dan nyaris seluruh perhatianku selalu tertuju padanya – pada Andra, bukan pada Miko - meski secara sembunyi-sembunyi. Andra sama baiknya dengan Miko. Mereka sama-sama romantis, perhatian, dan humoris. Aku bisa melihatnya dari caranya memperlakukan Nia. (Dan jujur itu membuatku cemburu setengah mati!)
Aku sudah bersusah payah mencari tahu hal apa gerangan yang membuatku kepincut padanya. Tapi, tetap saja aku tak menemukan jawaban. Perasaanku padanya seakan tak beralasan. Rasa suka itu muncul begitu saja, mengalir perlahan-lahan dan yang pasti - makin membesar!
“Ta, belum pulang?” sentuhan Nia dipundakku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
“aku masih ada kepentingan dengan dosen,” jawabku berbohong.
“Miko kemana?”
“Hari ini dia gak ada kuliah. Dah mo pulang?”
Nia mengangguk. Ia mengalihkan pandangan ke arah Andra, melambaikan tangannya, begitu pula cowok tersebut. Mereka saling melempar senyum. Tatapan mata Andra sempat singgah padaku, meski sekilas, tapi itu cukup membuat jantungku berdebar tak menentu. “Nia, aku duluan ya,” aku beranjak. Nia tersenyum dan mengangguk.
“Eh, Ta, sabtu depan ada acara gak? Keluar bareng yuk,”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“akan ku kabari Miko,” jawabku sebelum melangkahkan kakiku darinya. Tidak, aku tidak benar-benar meninggalkan kampus. Aku hanya pergi ke kamar mandi dan merenung di sana beberapa saat. Tapi, sesuatu hal yang tak terduga terjadi. Ketika aku akan keluar, pintu kamar mandi terkunci dan tak bisa dibuka sama sekali!
“astaga, apa-apaan ini? Bukankah tadi baik-baik saja?” ujarku panik.
“heloooo...!!! apa ada orang di luar sana!? Tolong aku! Aku terkunci!” teriakku berkali-kali, tapi tetap tak ada respon. Aku meraih phonselku. Tadinya aku ingin menelpon Miko, tapi kemudian aku ingat bahwa ia tak berada di kampus. Akhirnya, aku memutuskan untuk menelpon Nia.
“semoga dia masih belum pulang,” gumamku.
Tapi, nomor Nia tak bisa di hubungi. Dan, akhirnya, nomor Andra-lah yang ku hubungi dengan harapan aku bisa berbicara dengan Nia.
“Halo, Andra?”
“Vita?”
“Ya,ini aku. Aku mencoba menghubungi nomor Nia, tapi tak bisa. Bisa kau berikan telpon pada dia, aku punya urusan penting yang harus kubicarakan padanya, plis,”
“Nia? Maaf, tapi aku sedang tak bersamanya sekarang,”
“Apa? Bukankah tadi kalian ingin pulang bersama?’
“Ya, tapi dia memilih pulang duluan karena aku masih punya urusan. Ada apa?”
Aku tak menjawab. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Joe chen as Vita and Roy Qiu as Andra
“halo, Vita?”
“Mm__ ya,”
“Ada sesuatu?”
“Mmm___sebenarnya___?”
“Are you ok?”
“ah tidak, aku baik-baik saja. Hanya saja___”
 “Apa terjadi sesuatu padamu?”
Aku terdiam. Aku menangkap kekhawatiran pada kalimat Andra. Ataukah, aku yang ke ge-eran?
“Vita? Halo...?”
“Ya,”
“Di mana kau sekarang?”
“aku ___ terkunci di kamar mandi kampus,” jawabku kemudian dengan keraguan.

                Andra menyodorkan air minum ke arahku. “Trims, aku tak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tak mengeluarkanku dari sana,”  ujarku.
“berapa lama kau di sana?”
“mm__sekitar 2 jam,”
“Astaga,dan tak ada seorang pun yang mendengar teriakanmu?”
Aku menggeleng.
“Miko?”
“Dia tak berada di kampus,”
“Sebaiknya jangan pernah masuk ke kamar mandi itu lagi. Never!” kalimat Andra terdengar kesal.
“Maaf merepotkanmu,” ujarku lagi. Andra tak menjawab. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku memang menyukainya, tapi aku tak pernah merencanakan ini!
“aku pikir kau sedang bersama Nia, jadi___” kalimatku menggantung.
“Tak apa-apa. Kami batal pulang bareng karena aku masih ada urusan dengan klub basket. Kau sendiri, masih ada urusan apa di kampus? Bukankah kelasmu sudah selesai sekitar beberapa jam yang lalu?”
Aku tak segera menjawab. Bagaimana dia bisa tahu kalo kelasku sudah usai?
“aku ada sedikit kepentingan dengan dosenku,”
Andra manggut-manggut.
“jika sudah selesai, aku akan mengantarkanmu pulang,”
‘Ah, tidak usah. Aku bisa pulang sendiri kok,”
“Tapi__”
“aku masih ada sedikit urusan. Terimakasih untuk hari ini. Aku duluan aja ya,” aku meraih tasku lalu segera melangkahkan kakiku tanpa menghiraukan panggilan Andra. Mengurangi intensitas interaksi dengannya adalah hal yang bisa kulakukan saat ini. Jika tidak, aku benar-benar dibuat gila olehnya!

bersambung ...

n.b : gambar di ambil dari drama china "The girl in blue"

Kamis, 29 Mei 2014

Cerpen "Jun Matsumoto" part 2 (End)


        Jun mengernyitkan dahinya dan tampak sedikit kaget ketika melihat kedatanganku ke rumahnya, sore hari itu sepulang sekolah.
Jun Matsumoto
“Kau serius dengan ucapanmu kemarin?” dia bertanya dengan heran.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Kau sudah siap?” tanyaku.
“Kemana?”
“Hari ini kita akan bersepeda,” jawabku.
“Ber __ sepeda?” ia menjawab dengan keheranan. Aku melihat keraguan di wajahnya. Aku kembali mengangguk.
“Yuk,” ajakku.
“Tapi___”  
“bukankah kau telah setuju untuk memberiku kesempatan?” tanyaku. Jun terdiam sesaat.
“Oke deh,” jawabnya kemudian.
Akhirnya...
Hari pertama ini aku mengajaknya bersepeda berkeliling kota. Aku tahu hal ini tidak mudah. Tapi setidaknya, aku sempat melihatnya tersenyum meski hanya beberapa kali.
Hari kedua, aku mengajaknya hunting kuliner. Macam-macam makanan khas Indonesia, dan kami makan sangat banyak sampai perut kami sakit. Lucu sekali melihatnya kepedasan ketika menyantap rujak. Tapi dia bilang, dia menyukainya.
Hari ketiga, aku mengajaknya mengunjungi pusat kesenian di dekat alun-alun kota. Kami bermain gamelan, melihat pertunjukkan wayang, pokoknya banyak sekali yang kami lakukan hari itu.
Hari keempat, aku mengajaknya mengunjungi tempat-tempat nongkrong anak-anak muda yang asyik di kota ini, sambil tentu saja hunting kuliner dan menikmati suasana kota di malam hari. Hanya saja, dia bilang dia tidak terlalu suka tempat-tempat nongkrong seperti itu. Sekali dua kali, bolehlah di coba lagi. Itu katanya ketika kami dalam perjalanan pulang.
Hari kelima, dia yang punya inisiatif untuk mengajakku berburu buku dan kaset. Dia bilang, dia ingin mengetahui lebih jauh tentang novel-novel dan musik-musik Indonesia. Sepertinya, aku masih punya harapan. Ampun deh, kalo dipikir-pikir aku jadi kayak tour guide yang ngajakin turis jalan-jalan mengenal Indonesia. Padahal, sumpah, dia’kan asli orang Indonesia?
Hari keenam, aku batal mengajaknya jalan-jalan lagi karena aku harus menemani adikku sendirian di rumah karena orang tuaku ada urusan ke luar kota.
Hari ketujuh, surprise banget ketika tiba-tiba dia datang ke rumahku sepulang sekolah!
“Kenapa kamu kesini?” tanyaku keheranan.
“bukankah kau sepakat untuk menunjukkan banyak tempat padaku dalam seminggu ini? Tapi kemarin kau mengingkari janji. Jadi, hari ini aku terpaksa menyusulmu ke sini karena aku takut kau mengingkari janji lagi,”
Ia terlihat sedikit kesal. Aku tertawa.
“Iya, iya, sori soal kemarin. Asal kamu tahu aja ya, aku nggak berniat mengingkari janji. Tapi karena ada sesuatu yang mendesak, something urgent, akhirnya ya batal deh rencana kita. Oke? Jadi jangan pernah terpikir olehmu bahwa aku, termasuk seluruh orang Indonesia, suka mengingkari janji, dan bla bla bla,” Aku menjelaskan panjang lebar padanya layaknya wawancara. Dan aku menyadari bahwa Jun mendengarkanku – setiap kalimatku – dengan seksama. Dan dia tidak menyelaku, sedikitpun. Puas gue!
“Hari ini kau ingin kemana?” tanyaku kemudian setelah aku capek berkicau kesana kemari.
Jun tak segera menjawab. Ia terlihat berpikir.
“Hari ini aku ingin menghabiskan hariku dengan melamun dan merenung di pinggir sungai yang airnya jernih. Bisakah?”
Aku tertawa. “Seperti di komik aja,” jawabku.
“Tapi sepertinya aku tak bis memenuhi keinginanmu,”
“Kenapa?” Jun mengernyitkan dahinya.
“Tak ada sungai seperti itu di sekitar sini. Tapi, ada sebuah danau kecil yang menurutku __ indah sekali. Suasananya tenang, nyaman, dan sepertinya cocok dengan keinginanmu,”
“Jadi?”
“Kita kesana aja. Gimana?”
“Oke,” Jun menjawab cepat.
“Tapi, hanya bisa di tempuh dengan kendaraan umum,”
Jun manggut-manggut.
“Tak ada bis dan tak ada kereta bawah tanah seperti di jepang,”
“Oke,” Jun kembali menjawab dengan cepat. Dan hari itu kami mengabiskan waktu di danau. Kami ngobrol, bermain ayunan, atau hanya sekedar duduk termenung di pinggir danau sambil menatap airnya yang jernih. Dan kami pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup, karena kehujanan.

            Setelah itu, Jun tak masuk selama 3 hari. Dari surat ijin yang ia kirim ke sekolah, ia sakit. Tapi ketika aku mengunjungi ke rumahnya, jawaban berbeda kudapat dari penjaga rumahnya. Dia bilang, Jun kembali ke Jepang karena orang tuanya mendapat panggilan pekerjaan dari perusahaan. Tak diketahui, apakah ia ke Jepang sementara, ataukah selamanya! Dan itu cukup membuat hatiku terluka.  Memikirkan bahwa ia akan kembali ke Jepang selamanya, dan aku takkan pernah bisa melihatnya lagi, benar-benar membuat hatiku sakit dan sedih. Semula aku mengira dia adalah anak yang sombong. Tapi ternyata, aku salah. Jun cowok yang menyengangkan. Bahkan sangat. Dan aku merasa nyaman sekali berada di sampingnya. Bercanda dengannya, ngobrol dengannnya, bercerita banyak hal padanya, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, aku seakan tak bisa kehilangan dia!
Tapi,seminggu setelah ia menghilang, pagi itu aku dikagetkan ketika aku melihat sosoknya. Jun, tengah duduk di bangku yang berada di samping bangkuku, seperti biasanya. Dan aku sangat yakin bahwa aku sedang tidak bermimpi.
Ohayou, (selamat pagi)” ia menyapa. Aku mendekatinya perlahan dan menatapnya dengan seksama. “apakah ini benar-benar kau?” tanyaku. Jun tergelak.
“kau seperti sedang melihat hantu saja?” ucapnya.
“Tapi, mereka bilang kau kembali ke Jepang?”
“Memang,”
“Lantas?”
“Lantas ___ apanya?”
“Apakah kau benar-benar akan pindah ke Jepang lagi?”
Jun menatapku lekat lalu tersenyum.
“Duduklah dulu,” ia menepuk kursi di sampingnya. Dan aku mengiyakan permintaannya.  Aku duduk di sampingnya tanpa melepaskan pandanganku dari cowok kriwil nan tampan tersebut.
Kami berpandangan. Jun kembali tersenyum.
“Apa kau merindukanku selama aku tak ada?” tanyanya.
Aku terhenyak. “Whattt?” aku pura-pura kaget lalu meninju bahunya dengan kesal.
“jujurlah padaku, apa kau benar-benar akan kembali ke Jepang lagi?” aku bertanya dengan tak sabar.
“apa itu penting untukmu?”
Aku melotot ke arahnya.
“aku nggak suka bertele-tele, kamu tahu itu. Jadi, segeralah jawab pertanyaanku,” aku nyaris berteriak.
Jun tertawa. “Rika, sebenarnya hari ini kau kenapa?”
“Aku mengkhawatirkanmu. Kau tak masuk sekolah berhari-hari tanpa berkata apa-apa padaku, dan itu membuatku kesal dan ___ sedih,”
Mendengar jawabanku, tawa Jun terhenti. Sesaat kami kembali berpandangan, dalam diam.
“Jadi?” aku kembali mengingatkannya dengan pertanyaanku. Jun menarik nafas panjang. Lalu kembali menatapku.
“Iya, orang tuaku memang kembali bekerja di Jepang dan ___”
“Jadi kau akan ke sana lagi?”potongku.
“Aku belum selesai cerita,” jawabnya kesal. Aku manggut-manggut. Aku membuang pandanganku ke arah jemariku yang mengetuk-ngetuk meja dengan tak sabar.
“Mereka mendapat panggilan dari perusahaan dan meminta mereka kembali ke sana. Dan orang tuaku menyetujuinya,”
Aku seperti mendengar pecahan kaca di atas kepalaku. Astaga, kembali ke Jepang?
“Tapi, aku memutuskan untuk tidak mengikuti mereka ke sana,” lanjutnya.
Aku kembali menoleh padanya. Tidak mengikuti mereka ke Jepang? Heh,maksudnya?
“kau __ akan di sini?” tanyaku sedikit tak percaya. Jun mengangguk.
“Kami sudah sepakat, orang tuaku akan kembali ke jepang, dan aku akan tetap tinggal di sini bersama nenekku. Jadi, kita masih tetap bisa bertemu ‘kan?” ia tersenyum.
“Kenapa kau memutuskan begitu?”
“Karena aku mulai menyukai tempat ini dan ____ aku juga mulai menyukaimu,”
Mataku mengerjap. Aku terkesiap. Wh-what?? Dia menyukaiku?
Aku menyaksikan Jun kembali tersenyum, lebih manis dan tulus sekali. Dan perlahanpun aku juga ikut tersenyum. Sepertinya kami tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang perasaan kami satu sama lain. Yang jelas, saat ini kami bahagia sekali. Dan kami seakan merasa bahwa hanya ada kami berdua di muka bumi ini! Yang lainnya ... nyewa! Hahaha...

selesasi.


Wiwin setyobekti
Rejoso - Nganjuk, 12-2-2012
0.23 WIB


Cerpen "Jun Matsumoto" part 1



Jun matsumoto

Sekolah kami kedatangan murid baru dari Jepang. Ah, tidak. He isn’t Japanesse. Dari info yang kudapat, ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli yang bekerja di sana. Jadi, dia benar-benar asli produk dalam negeri. Wkwkwk...
“Anak-anak, bapak akan memperkenalkan seorang teman baru untuk kalian. Sebagaimana yang sudah kalian tahu, dia dilahirkan dan dibesarkan di Jepang karena orang tuanya bekerja di sana. Tapi sekarang, dia kembali ke tanah air karena orang tuanya pindah kerja di sini. Silahkan masuk, Jun,”
Pak Tono, wali kelas kami, menyilakan seorang anak laki-laki remaja seumuran kami masuk ke kelas. Aku terkesiap. Pertama melihat sosoknya, hatiku langsung berteriak. Jun Matsumoto!
Wajahnya tampan luar biasa. Kulitnya putih bersih, matanya sipit, hidungnya mancung, dan rambutnya yang kriwil__ aih, benar-benar mengingatkanku pada artis Jepang, Jun Matsumoto yang bermain di serial popular jepang Hana Yori Dango sebagai Domyouji Tsukasa.
Well, sebenarnya tadinya aku juga tidak terlalu suka dengan drama jepang, tapi serial itu pernah ditayangkan beberapa kali di Indonesia sehingga aku mengetahuinya dan tentu saja ___ menyukainya!
Astaga, bagaimana mungkin ada orang semirip itu? Ini pasti berkah luar biasa!
“Halo, namaku Juneidi Prakoso. Senang bertemu dengan kalian,” ia memperkenalkan diri dengan sopan dan badan sedikit membungkuk, khas orang jepang.
Jun __ Jun siapa? Juneidi? Haha, aku nyaris saja tertawa.
Orang seganteng itu bernama Juneidi? Sumpah, namanya kedengaran nggak matching dengan orangnya. Maaf, tapi Juneidi terdengar sedikit ___ kampungan buatku. Tapi, selama orangnya tampan, tak masalah-laaah...
“Jun, silahkan duduk di samping Rika. Jika ada yang tidak kau pahami tentang sekolah ini, kau bisa bertanya padanya karena dia ketua kelas di sini,”
Pak Tono menunjuk ke arahku. Eh, duduk di sampingku!? Astaga, mimpi apa aku semalam??
“Baik, Pak,” Jun Matsumoto, eh, maksudku Juneidi mengangguk lalu bergerak menuju bangku kosong yang ada di sampingku. Anda masih ingat gerakan slow motion ketika pertama kali Edward Cullen bertemu dengan  Bella Swan di ruang laboratorium di film Twilight Saga? That’s it!
Mirip banget dengan situasiku saat ini. Ketika Jun bergerak ke arah bangku di sampingku, dunia seperti berhenti bergerak dan adegan di antara kami seperti di perlambat! Ah, so sweet....
Aku memasang senyum termanis yang kumiliki lalu kulemparkan padanya. Dia hanya menatapku sekilas lalu duduk begitu saja tanpa membalas senyumanku. Oke, mungkin dia tak menyadarinya.
“Welcome back to Indonesia,”sapaku ramah.
Jun menatapku dingin tanpa ekspresi berarti.
“Katakan itu pada orang tuaku karena ini pertama kalinya buatku datang ke sini,” kalimatnya terdengar dingin, sedingin tatapan matanya. Aku menggerutu dalam hati. Sombong sekali orang ini. But, because he is soooooo handsome, it’s okey-lah.....
Ketika kelas usai, aku tak putus asa untuk terus mencoba menyapanya. Tapi, dia tetap saja tak memberikan tanggapan yang berarti.
“kau ketua kelas?” ia bertanya dengan nada tak ramah sembari menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan tatapan keraguan tentunya. Aku mendelik. Instingku mengatakan bahwa orang ini akan sangat sulit di hadapi. Aku merasakan aura tak sehat padanya. Ya, aura kesombongan dan keangkuhan luar biasa, khas anak orang kaya seperti yang sering kulihat di drama televisi. Ataukah, instingku yang salah?
“Ya, aku ketua kelas, dan aku cewek. Ada masalah?” ujarku dengan nada tak ramah juga. Ah, aku merasa bersalah bersikap judes pada cowok seganteng ini.  Aku sempat mendengar ia menggerutu dalam bahasa Jepang.
“Bisa gak bicara pake bahasa indonesia ato bahasa inggris? Aku gak ngerti bahasa jepang!” teriakku kesal.  ‘Jun Matsumoto’ ngeloyor begitu saja tanpa berkata apa-apa. Hei, apa-apaan cowok ini?



           
Jun Matsumoto
Setelah 3 bulan cowok itu pindah ke sini, tak ada seorang pun yang bisa mendekatinya. Ia selalu datang ke sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Ketika jam kosong, ia akan sibuk membaca buku dengan telinga tersumbat earphone. Ketika jam istirahat, ia menghilang entah kemana. Dan ketika bel pulang berdentang, ia adalah orang yang pertama ngacir duluan. Coba bayangkan, siapa orang yang bisa mendekati makhluk seperti itu? Well, akulah orangnya!
Bukan karena aku terlanjur kesengsem padanya, tidak. Itu urusan lain. Hanya saja, teman-teman pada protes padaku. 3 bulan lagi ada pentas seni di sekolah kami. Kelas kami akan menampilkan paduan suara. Dan semuanya ikut berpartisipasi, tanpa kecuali. Tapi si kriwil itu tak bisa di ajak kerjasama. Ketika teman-teman sibuk latihan, ia menghilang entah kemana, seperti biasanya.
“Kamu gak bisa seenaknya gitu dong! Teman-teman sibuk latihan, kamu malah bermalas-malasan di sini,” siang itu ketika jam istirahat, aku berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Bangku paling ujung ruang perpustakaan. Ketahuan ‘kan kalau aku gak suka membaca. Kalau aku suka membaca di perpustakaan, aku pasti bisa menemukan tempat persembunyiannya, lebih cepat, lebih baik! (Cieeeh, kayak slogannya partai politik ajah!)
“bermalas-malasan? Apa kau tidak lihat aku sedang membaca?” kalimatnya ketus. Aku mencibir.
“Oke, aku akan langsung ke pokok permasalahan. Kau harus ikut latihan paduan suara. Ini wajib,”
“Siapa yang mewajibkan?”
“Ini kesepakatan kita bersama,”
“Kalian yang menyepakatinya. Aku tidak tahu apa-apa,”
“Tapi___”
Pembicaraan kami terhenti ketika petugas perpustakaan menegur kami karena terlalu berisik.
“kita bicara di luar,” ajak Jun. Kami beranjak meninggalkan perpustakaan tersebut dan berbicara di taman sekolah. Pemuda itu menatapku sekilas, kesal.
I hate this place,” ia menggumam.
What?”
Jun kembali menatapku.
“dengar, aku sudah cukup frustasi dengan lingkungan di sini. Jadi, jangan menekanku lagi,”
Aku mengernyitkan dahiku, merasa tak paham dengan kalimat yang meluncur dari bibir Jun. Tapi, aku bisa sedikit menerka arah pembicaraannya.
“Kau tak krasan di sini?” tanyaku. Jun tak menjawab.
“apa yang membuatmu tak krasan di sini?”
“Banyak,”
“Tapi kau orang Indonesia asli,”
‘Ya, darahku memang darah Indonesia. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jepang. Jadi, aku lebih terbiasa dengan lingkungan di sana daripada di sini,”
Aku terdiam sesaat. Sekarang aku mulai bisa memahami situasinya. Sepertinya ia memang sangat sulit beradaptasi dengan lingkungan di sini.
“Aku tidak terbiasa dengan kemacetan di sini. Aku juga tidak biasa dengan udara kotor dan sampah dimana-mana. Semua angkutan umum di sini tak bisa tepat waktu hingga aku tak leluasa kemana-mana. Aku bahkan tak bisa ke sekolah dengan naik sepeda seperti yang biasa kulakukan selama ini di Jepang. Aku juga tak bisa menikmati jernihnya air sungai karena sungai di sini keruh dan kotor. Bagimana bisa aku bertahan di tempat seperti ini?” ia mendesah.
Aku manatapnya kembali. Ya, pasti tidak mudah untuk menyesuaikan diri di sini. Jepang negara maju. Segala sesuatunya serba tertata. Lingkungan yang bersih, kendaraan umum yang tepat waktu, tak ada macet, tak ada sampah di sembarang tempat, tentu saja dia merasa kaget jika dibandingkan di sini.
“Tapi orang Indonesia sama ramahnya dengan orang Jepang,” ujarku. Jun terdiam.
“Oke, beri aku waktu 1 minggu untuk menunjukkan sisi lain dari tempat ini. Jika kau sudah mengenalnya satu persatu, aku yakin kau akan menyukai tempat ini,” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Oh my God, apa aku baru saja gegar otak?! Apa yang sedang ku pikirkan hingga muncul ide konyol ini!
Jun menatapku keheranan. “Maksudmu?”
“kau tinggal di mana?” tanyaku sambil tersenyum tanpa menghiraukan raut wajahnya yang dipenuhi tanda tanya.

bersambung....