Jun
matsumoto
Sekolah kami
kedatangan murid baru dari Jepang. Ah, tidak. He isn’t Japanesse. Dari info
yang kudapat, ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli yang bekerja di sana.
Jadi, dia benar-benar asli produk dalam negeri. Wkwkwk...
“Anak-anak, bapak akan
memperkenalkan seorang teman baru untuk kalian. Sebagaimana yang sudah kalian
tahu, dia dilahirkan dan dibesarkan di Jepang karena orang tuanya bekerja di
sana. Tapi sekarang, dia kembali ke tanah air karena orang tuanya pindah kerja
di sini. Silahkan masuk, Jun,”
Pak Tono, wali kelas kami,
menyilakan seorang anak laki-laki remaja seumuran kami masuk ke kelas. Aku
terkesiap. Pertama melihat sosoknya, hatiku langsung berteriak. Jun Matsumoto!
Wajahnya tampan luar biasa.
Kulitnya putih bersih, matanya sipit, hidungnya mancung, dan rambutnya yang
kriwil__ aih, benar-benar mengingatkanku pada artis Jepang, Jun Matsumoto yang
bermain di serial popular jepang Hana Yori Dango sebagai Domyouji Tsukasa.
Well, sebenarnya tadinya aku juga
tidak terlalu suka dengan drama jepang, tapi serial itu pernah ditayangkan
beberapa kali di Indonesia sehingga aku mengetahuinya dan tentu saja ___
menyukainya!
Astaga, bagaimana mungkin ada
orang semirip itu? Ini pasti berkah luar biasa!
“Halo, namaku Juneidi Prakoso.
Senang bertemu dengan kalian,” ia memperkenalkan diri dengan sopan dan badan
sedikit membungkuk, khas orang jepang.
Jun __ Jun siapa? Juneidi? Haha,
aku nyaris saja tertawa.
Orang seganteng itu bernama
Juneidi? Sumpah, namanya kedengaran nggak matching dengan orangnya. Maaf, tapi
Juneidi terdengar sedikit ___ kampungan buatku. Tapi, selama orangnya tampan,
tak masalah-laaah...
“Jun, silahkan duduk di samping
Rika. Jika ada yang tidak kau pahami tentang sekolah ini, kau bisa bertanya
padanya karena dia ketua kelas di sini,”
Pak Tono menunjuk ke arahku. Eh,
duduk di sampingku!? Astaga, mimpi apa aku semalam??
“Baik, Pak,” Jun Matsumoto, eh,
maksudku Juneidi mengangguk lalu bergerak menuju bangku kosong yang ada di
sampingku. Anda masih ingat gerakan slow motion ketika pertama kali Edward
Cullen bertemu dengan Bella Swan di
ruang laboratorium di film Twilight Saga? That’s it!
Mirip banget dengan situasiku
saat ini. Ketika Jun bergerak ke arah bangku di sampingku, dunia seperti
berhenti bergerak dan adegan di antara kami seperti di perlambat! Ah, so
sweet....
Aku memasang senyum termanis yang
kumiliki lalu kulemparkan padanya. Dia hanya menatapku sekilas lalu duduk
begitu saja tanpa membalas senyumanku. Oke, mungkin dia tak menyadarinya.
“Welcome back to Indonesia,”sapaku
ramah.
Jun menatapku dingin tanpa
ekspresi berarti.
“Katakan itu pada orang tuaku
karena ini pertama kalinya buatku datang ke sini,” kalimatnya terdengar dingin,
sedingin tatapan matanya. Aku menggerutu dalam hati. Sombong sekali orang ini.
But, because he is soooooo handsome, it’s okey-lah.....
Ketika kelas usai, aku tak putus
asa untuk terus mencoba menyapanya. Tapi, dia tetap saja tak memberikan
tanggapan yang berarti.
“kau ketua kelas?” ia bertanya
dengan nada tak ramah sembari menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki,
dengan tatapan keraguan tentunya. Aku mendelik. Instingku mengatakan bahwa
orang ini akan sangat sulit di hadapi. Aku merasakan aura tak sehat padanya.
Ya, aura kesombongan dan keangkuhan luar biasa, khas anak orang kaya seperti yang
sering kulihat di drama televisi. Ataukah, instingku yang salah?
“Ya, aku ketua kelas, dan aku
cewek. Ada masalah?” ujarku dengan nada tak ramah juga. Ah, aku merasa bersalah
bersikap judes pada cowok seganteng ini. Aku sempat mendengar ia menggerutu dalam
bahasa Jepang.
“Bisa gak bicara pake bahasa
indonesia ato bahasa inggris? Aku gak ngerti bahasa jepang!” teriakku
kesal. ‘Jun Matsumoto’ ngeloyor begitu
saja tanpa berkata apa-apa. Hei, apa-apaan cowok ini?
![]() |
| Jun Matsumoto |
Bukan karena aku terlanjur
kesengsem padanya, tidak. Itu urusan lain. Hanya saja, teman-teman pada protes
padaku. 3 bulan lagi ada pentas seni di sekolah kami. Kelas kami akan
menampilkan paduan suara. Dan semuanya ikut berpartisipasi, tanpa kecuali. Tapi
si kriwil itu tak bisa di ajak kerjasama. Ketika teman-teman sibuk latihan, ia
menghilang entah kemana, seperti biasanya.
“Kamu gak bisa seenaknya gitu
dong! Teman-teman sibuk latihan, kamu malah bermalas-malasan di sini,” siang
itu ketika jam istirahat, aku berhasil menemukan tempat persembunyiannya.
Bangku paling ujung ruang perpustakaan. Ketahuan ‘kan kalau aku gak suka
membaca. Kalau aku suka membaca di perpustakaan, aku pasti bisa menemukan
tempat persembunyiannya, lebih cepat, lebih baik! (Cieeeh, kayak slogannya
partai politik ajah!)
“bermalas-malasan? Apa kau tidak
lihat aku sedang membaca?” kalimatnya ketus. Aku mencibir.
“Oke, aku akan langsung ke pokok
permasalahan. Kau harus ikut latihan paduan suara. Ini wajib,”
“Siapa yang mewajibkan?”
“Ini kesepakatan kita bersama,”
“Kalian yang menyepakatinya. Aku
tidak tahu apa-apa,”
“Tapi___”
Pembicaraan kami terhenti ketika
petugas perpustakaan menegur kami karena terlalu berisik.
“kita bicara di luar,” ajak Jun.
Kami beranjak meninggalkan perpustakaan tersebut dan berbicara di taman
sekolah. Pemuda itu menatapku sekilas, kesal.
“I hate this place,” ia menggumam.
“What?”
Jun kembali menatapku.
“dengar, aku sudah cukup frustasi
dengan lingkungan di sini. Jadi, jangan menekanku lagi,”
Aku mengernyitkan dahiku, merasa
tak paham dengan kalimat yang meluncur dari bibir Jun. Tapi, aku bisa sedikit menerka
arah pembicaraannya.
“Kau tak krasan di sini?”
tanyaku. Jun tak menjawab.
“apa yang membuatmu tak krasan di
sini?”
“Banyak,”
“Tapi kau orang Indonesia asli,”
‘Ya, darahku memang darah
Indonesia. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jepang. Jadi, aku lebih terbiasa
dengan lingkungan di sana daripada di sini,”
Aku terdiam sesaat. Sekarang aku
mulai bisa memahami situasinya. Sepertinya ia memang sangat sulit beradaptasi
dengan lingkungan di sini.
“Aku tidak terbiasa dengan
kemacetan di sini. Aku juga tidak biasa dengan udara kotor dan sampah
dimana-mana. Semua angkutan umum di sini tak bisa tepat waktu hingga aku tak
leluasa kemana-mana. Aku bahkan tak bisa ke sekolah dengan naik sepeda seperti
yang biasa kulakukan selama ini di Jepang. Aku juga tak bisa menikmati
jernihnya air sungai karena sungai di sini keruh dan kotor. Bagimana bisa aku
bertahan di tempat seperti ini?” ia mendesah.
Aku manatapnya kembali. Ya, pasti
tidak mudah untuk menyesuaikan diri di sini. Jepang negara maju. Segala
sesuatunya serba tertata. Lingkungan yang bersih, kendaraan umum yang tepat
waktu, tak ada macet, tak ada sampah di sembarang tempat, tentu saja dia merasa
kaget jika dibandingkan di sini.
“Tapi orang Indonesia sama
ramahnya dengan orang Jepang,” ujarku. Jun terdiam.
“Oke, beri aku waktu 1 minggu
untuk menunjukkan sisi lain dari tempat ini. Jika kau sudah mengenalnya satu
persatu, aku yakin kau akan menyukai tempat ini,” kalimat itu meluncur begitu
saja dari bibirku. Oh my God, apa aku baru saja gegar otak?! Apa yang sedang ku
pikirkan hingga muncul ide konyol ini!
Jun menatapku keheranan.
“Maksudmu?”
“kau tinggal di mana?” tanyaku
sambil tersenyum tanpa menghiraukan raut wajahnya yang dipenuhi tanda tanya.
bersambung....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar