Kamis, 29 Mei 2014

Cerpen "Jun Matsumoto" part 1



Jun matsumoto

Sekolah kami kedatangan murid baru dari Jepang. Ah, tidak. He isn’t Japanesse. Dari info yang kudapat, ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli yang bekerja di sana. Jadi, dia benar-benar asli produk dalam negeri. Wkwkwk...
“Anak-anak, bapak akan memperkenalkan seorang teman baru untuk kalian. Sebagaimana yang sudah kalian tahu, dia dilahirkan dan dibesarkan di Jepang karena orang tuanya bekerja di sana. Tapi sekarang, dia kembali ke tanah air karena orang tuanya pindah kerja di sini. Silahkan masuk, Jun,”
Pak Tono, wali kelas kami, menyilakan seorang anak laki-laki remaja seumuran kami masuk ke kelas. Aku terkesiap. Pertama melihat sosoknya, hatiku langsung berteriak. Jun Matsumoto!
Wajahnya tampan luar biasa. Kulitnya putih bersih, matanya sipit, hidungnya mancung, dan rambutnya yang kriwil__ aih, benar-benar mengingatkanku pada artis Jepang, Jun Matsumoto yang bermain di serial popular jepang Hana Yori Dango sebagai Domyouji Tsukasa.
Well, sebenarnya tadinya aku juga tidak terlalu suka dengan drama jepang, tapi serial itu pernah ditayangkan beberapa kali di Indonesia sehingga aku mengetahuinya dan tentu saja ___ menyukainya!
Astaga, bagaimana mungkin ada orang semirip itu? Ini pasti berkah luar biasa!
“Halo, namaku Juneidi Prakoso. Senang bertemu dengan kalian,” ia memperkenalkan diri dengan sopan dan badan sedikit membungkuk, khas orang jepang.
Jun __ Jun siapa? Juneidi? Haha, aku nyaris saja tertawa.
Orang seganteng itu bernama Juneidi? Sumpah, namanya kedengaran nggak matching dengan orangnya. Maaf, tapi Juneidi terdengar sedikit ___ kampungan buatku. Tapi, selama orangnya tampan, tak masalah-laaah...
“Jun, silahkan duduk di samping Rika. Jika ada yang tidak kau pahami tentang sekolah ini, kau bisa bertanya padanya karena dia ketua kelas di sini,”
Pak Tono menunjuk ke arahku. Eh, duduk di sampingku!? Astaga, mimpi apa aku semalam??
“Baik, Pak,” Jun Matsumoto, eh, maksudku Juneidi mengangguk lalu bergerak menuju bangku kosong yang ada di sampingku. Anda masih ingat gerakan slow motion ketika pertama kali Edward Cullen bertemu dengan  Bella Swan di ruang laboratorium di film Twilight Saga? That’s it!
Mirip banget dengan situasiku saat ini. Ketika Jun bergerak ke arah bangku di sampingku, dunia seperti berhenti bergerak dan adegan di antara kami seperti di perlambat! Ah, so sweet....
Aku memasang senyum termanis yang kumiliki lalu kulemparkan padanya. Dia hanya menatapku sekilas lalu duduk begitu saja tanpa membalas senyumanku. Oke, mungkin dia tak menyadarinya.
“Welcome back to Indonesia,”sapaku ramah.
Jun menatapku dingin tanpa ekspresi berarti.
“Katakan itu pada orang tuaku karena ini pertama kalinya buatku datang ke sini,” kalimatnya terdengar dingin, sedingin tatapan matanya. Aku menggerutu dalam hati. Sombong sekali orang ini. But, because he is soooooo handsome, it’s okey-lah.....
Ketika kelas usai, aku tak putus asa untuk terus mencoba menyapanya. Tapi, dia tetap saja tak memberikan tanggapan yang berarti.
“kau ketua kelas?” ia bertanya dengan nada tak ramah sembari menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan tatapan keraguan tentunya. Aku mendelik. Instingku mengatakan bahwa orang ini akan sangat sulit di hadapi. Aku merasakan aura tak sehat padanya. Ya, aura kesombongan dan keangkuhan luar biasa, khas anak orang kaya seperti yang sering kulihat di drama televisi. Ataukah, instingku yang salah?
“Ya, aku ketua kelas, dan aku cewek. Ada masalah?” ujarku dengan nada tak ramah juga. Ah, aku merasa bersalah bersikap judes pada cowok seganteng ini.  Aku sempat mendengar ia menggerutu dalam bahasa Jepang.
“Bisa gak bicara pake bahasa indonesia ato bahasa inggris? Aku gak ngerti bahasa jepang!” teriakku kesal.  ‘Jun Matsumoto’ ngeloyor begitu saja tanpa berkata apa-apa. Hei, apa-apaan cowok ini?



           
Jun Matsumoto
Setelah 3 bulan cowok itu pindah ke sini, tak ada seorang pun yang bisa mendekatinya. Ia selalu datang ke sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Ketika jam kosong, ia akan sibuk membaca buku dengan telinga tersumbat earphone. Ketika jam istirahat, ia menghilang entah kemana. Dan ketika bel pulang berdentang, ia adalah orang yang pertama ngacir duluan. Coba bayangkan, siapa orang yang bisa mendekati makhluk seperti itu? Well, akulah orangnya!
Bukan karena aku terlanjur kesengsem padanya, tidak. Itu urusan lain. Hanya saja, teman-teman pada protes padaku. 3 bulan lagi ada pentas seni di sekolah kami. Kelas kami akan menampilkan paduan suara. Dan semuanya ikut berpartisipasi, tanpa kecuali. Tapi si kriwil itu tak bisa di ajak kerjasama. Ketika teman-teman sibuk latihan, ia menghilang entah kemana, seperti biasanya.
“Kamu gak bisa seenaknya gitu dong! Teman-teman sibuk latihan, kamu malah bermalas-malasan di sini,” siang itu ketika jam istirahat, aku berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Bangku paling ujung ruang perpustakaan. Ketahuan ‘kan kalau aku gak suka membaca. Kalau aku suka membaca di perpustakaan, aku pasti bisa menemukan tempat persembunyiannya, lebih cepat, lebih baik! (Cieeeh, kayak slogannya partai politik ajah!)
“bermalas-malasan? Apa kau tidak lihat aku sedang membaca?” kalimatnya ketus. Aku mencibir.
“Oke, aku akan langsung ke pokok permasalahan. Kau harus ikut latihan paduan suara. Ini wajib,”
“Siapa yang mewajibkan?”
“Ini kesepakatan kita bersama,”
“Kalian yang menyepakatinya. Aku tidak tahu apa-apa,”
“Tapi___”
Pembicaraan kami terhenti ketika petugas perpustakaan menegur kami karena terlalu berisik.
“kita bicara di luar,” ajak Jun. Kami beranjak meninggalkan perpustakaan tersebut dan berbicara di taman sekolah. Pemuda itu menatapku sekilas, kesal.
I hate this place,” ia menggumam.
What?”
Jun kembali menatapku.
“dengar, aku sudah cukup frustasi dengan lingkungan di sini. Jadi, jangan menekanku lagi,”
Aku mengernyitkan dahiku, merasa tak paham dengan kalimat yang meluncur dari bibir Jun. Tapi, aku bisa sedikit menerka arah pembicaraannya.
“Kau tak krasan di sini?” tanyaku. Jun tak menjawab.
“apa yang membuatmu tak krasan di sini?”
“Banyak,”
“Tapi kau orang Indonesia asli,”
‘Ya, darahku memang darah Indonesia. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jepang. Jadi, aku lebih terbiasa dengan lingkungan di sana daripada di sini,”
Aku terdiam sesaat. Sekarang aku mulai bisa memahami situasinya. Sepertinya ia memang sangat sulit beradaptasi dengan lingkungan di sini.
“Aku tidak terbiasa dengan kemacetan di sini. Aku juga tidak biasa dengan udara kotor dan sampah dimana-mana. Semua angkutan umum di sini tak bisa tepat waktu hingga aku tak leluasa kemana-mana. Aku bahkan tak bisa ke sekolah dengan naik sepeda seperti yang biasa kulakukan selama ini di Jepang. Aku juga tak bisa menikmati jernihnya air sungai karena sungai di sini keruh dan kotor. Bagimana bisa aku bertahan di tempat seperti ini?” ia mendesah.
Aku manatapnya kembali. Ya, pasti tidak mudah untuk menyesuaikan diri di sini. Jepang negara maju. Segala sesuatunya serba tertata. Lingkungan yang bersih, kendaraan umum yang tepat waktu, tak ada macet, tak ada sampah di sembarang tempat, tentu saja dia merasa kaget jika dibandingkan di sini.
“Tapi orang Indonesia sama ramahnya dengan orang Jepang,” ujarku. Jun terdiam.
“Oke, beri aku waktu 1 minggu untuk menunjukkan sisi lain dari tempat ini. Jika kau sudah mengenalnya satu persatu, aku yakin kau akan menyukai tempat ini,” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Oh my God, apa aku baru saja gegar otak?! Apa yang sedang ku pikirkan hingga muncul ide konyol ini!
Jun menatapku keheranan. “Maksudmu?”
“kau tinggal di mana?” tanyaku sambil tersenyum tanpa menghiraukan raut wajahnya yang dipenuhi tanda tanya.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar