Selasa, 13 Mei 2014

Cerpen "Jilu"



Jilu

            It’s vacation time! Libur semester telah tiba cing! Duh senengnya……….
Sudah gak sabar pingin cepet-cepet pulang kampung. Haha.. Nganjuk, I’m coming!
Kota kesayanganku yang terletak di propinsi jawa timur, sebelah timur kota Kediri, memang kota kecil sih. Dan mungkin banyak orang yang gak tau. Tapi, disanalah rumahku, keluargaku, tempatku di lahirkan. Dan itulah yang bikin aku senantiasa kangen untuk pulang.
Aku kangen dengan emak, kangen dengan bapak, dan kangen dengan mas Rudy. Abangku satu-satunya, abang paling baik sedunia. Emak dan bapakku hanya petani biasa. Tapi mas Rudy berhasil bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Surabaya. Dan selama ini, dialah yang membiayai kuliahku di ibu kota. Kemarin dia memberitahuku via sms, kalo sudah sejak beberapa hari yang lalu mas Rudy berada di kampung halaman.
Well, Jakarta yang crowded memang kadang-kadang bikin stress. Dan kampungku adalah obatnya. Terapi menenangkan jiwa. Ha...
            Kereta yang kutumpangi nyampe di stasiun Nganjuk. Setelah ini aku akan naik bis, lalu naik Angdes (Angkutan pedesaan) untuk bisa ke kampungku. Ribet memang karena harus bolak-balik ganti angkutan. Yah, namanya aja kampung. But, it’s ok. Rasa bahagia campur kangen karena mo pulang, telah menggantikan kepenatanku selama dalam perjalanan.
Pikiranku mulai melayang-layang...  rumah dekat bukit, jalan-jalan pagi di jalan setapak, sawah yang menghampar luas, main-main di sungai kecil dekat rumah, dan yang terpenting, menyantap tumis
kangkung made in emak, aduuh, gak sabar deh pingin cepat-cepat nyampe rumah......
mbak, mudhun ngendi? (mbak, turun mana?)” Aku terjingkat. Suara kernet Angdes membuyarkan lamunanku. Pandangan ku arahkan ke luar jendela.
“stop, mas. Kene wae, suwun  yo. (di sini saja, terimakasih ya),”
Angdes berhenti. Aku segera melompat keluar. Dari jalan raya, aku harus berjalan 100 meter menuju rumah. Setengah berlari, aku menenteng tas ranselku. Sebuah rumah sederhana bercat biru mulai terlihat oleh mataku. “Mak, aku pulang!” teriakku.

            Prei berapa hari, nduk? (Libur berapa hari, nak?),”    “minggu depan sudah balik kok, mak. Banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan disana,”jawabku.
“walah, kok cepet to? Sapa suruh kamu kuliah di Jakarta? Jauh, nduk. Ndak bisa sering-sering pulang to?” emak membalik tempe gorengnya. Seperti biasa, ia selalu mengomeli keputusanku kuliah di Jakarta. Aku hanya tersenyum. Sebetulnya aku gak kerasan di Jakarta. Kota itu tidak membuatku silau sama sekali. Tapi, aku sudah bertekad bahwa aku akan lulus dari salah satu Universitas Negeri paling terkemuka di Indonesia. Aku ingin membuat emak, bapak, dan terutama abangku, bangga.
“mak, mas Rudy belum bangun?” Emak menggeleng tanpa menoleh ke arahku. Sejak nyampe rumah semalam, aku belum sempat ketemu mas Rudy karena dia sudah tidur. Dan aku tak tega untuk membangunkannya.
“aku ke kali (sungai) dulu ya, mak,” tanpa menunggu jawaban emak, aku berlari-lari kecil menuju sungai di belakang rumah. Wuih, suara gemericik air yang jernih, ikan-ikan kecil, kangen banget.
Hampir setengah jam aku bermain-main di air hingga suara mas Rudy memanggilku.
“cah ayu! Sarapan dulu!”
Aku mendongak. Mas Rudy berdiri dekat pohon bambu. Bibirnya tersenyum. Akupun ikut tersenyum dan berlari ke arahnya. Ku peluk erat abangku yang baik hati itu.
“aku kangen,” ucapku manja.
Mas Rudy tertawa dan memencet hidungku.
“dasar cah (anak) manja. Kalo ngomong kangen pasti ada maunya. Pingin dibelikan apa? Hayoo, ngomong aja,” aku ikut tertawa.
“mas Rudy kok bisa tahu? Jadi peramal ya sekarang?”
Ia kembali tertawa. “iya, baru tahu? Udah, ngomong aja pingin dibeliin apa?”
“laptop. Bisa?”  sejenak mas Rudy terdiam. Perlahan ia mengangguk.
“tapi nunggu mas gajian dulu ya?” 
Aku mengangguk dengan senang. Ku tatap dia dengan dalam.
“mas Rudy sakit? Kok pucat?” tanyaku. Ia menggeleng.
“gak tuh. Mungkin Cuma lelah. Yuk, sarapan,” kamipun beranjak menuju rumah.

            “Mak, mas Rudy kemana?” tanyaku. “di kamar tuh,” jawab emak. “di kamar lagi? Kok mas rudy jadi suka mengurung diri di kamar sih, Mak?”  emak mengangkat bahu. “yo mboh (entahlah), nduk,” jawabnya kemudian.
Aku beranjak ke kamar mas Rudy.
“mas...”panggilku sambil membuka pintu kamar yang tak terkunci. Tubuhnya  telentang di atas kasur. Matanya terpejam. Tidurkah?
Ah, gak mungkin. Ini baru jam 7 malam, mas Rudy bisa alergi kalo tidur jam segini. Hehe...
Aku menghempaskan tubuhku di sampingnya. Ia hanya terdiam.
“Mas Rudy sudah tidur?” tanyaku dengan pelan. “belum,” jawabnya tanpa membuka mata.
“kok gak apel ke rumah mbak Ratna? Ini ‘kan malam minggu,”   “enggak, mas lagi capek,” jawabnya cepat. Masih dengan mata terpejam.
“kalo gitu ikut aku aja yuk, mas,”     “kemana?”
“antarkan ke rumahnya siti. Aku dah lama gak maen kesana,”
“kenapa gak kesana sendiri? Rumahnya ‘kan gak jauh,”
“yaa... aku ‘kan pinginnya di antarkan,”
Mas Rudy membuka mata lalu menatapku.
“sori ya,Nur. Hari ini mas capek banget. Mas bener-bener pingin tidur,”
Aku manggut-manggut.
“iya deh,” aku beranjak. Sesaat sebelum keluar dari kamar mas Rudy, aku menghentikan langkahku sejenak. Ada yang aneh...
Dinding kamar mas Rudy jadi ‘bersih’. Mejanya juga. Hei, kemana foto-foto mbak ratna??
Biasanya foto perempuan cantik yang telah menjadi kekasih mas Rudy selama hampir 2 tahun itu terpajang dimana-mana. Di dinding, di meja, di rak buku, tapi sekarang kok...??
“lho, mas, foto mbak Ratna di ungsikan kemana? Kok gak ada semua?”
Mas Rudy menatapku. Perlahan ia bangkit.
“maaf mas belum cerita ke kamu. Sekarang, kami sudah putus. Jadi, semua foto-fotonya sudah mas buang,”
Aku terhenyak kaget.
“putus? Kenapa?” aku beranjak dan duduk di sampingnya. Mas Rudy tak segera menjawab. Ada luka di sana, di mata itu........
Kenapa aku tak menyadarinya dari awal?? Mas Rudy sering murung dan mengurung diri di kamar, pasti ada yang gak beres. Mestinya aku sadar itu!
“kenapa mas...?” aku mengulangi pertanyaanku.
“emak dan bapak tetep gak setuju. Karena..” kata-kata mas Rudy terhenti.
“karena mas Rudy anak nomor satu dan mbak Ratna anak nomor tiga?” lanjutku,
Mas Rudy mengangguk.
Sejak awal berpacaran dengan mbak ratna yang berasal dari kampung tetangga, emak dan bapak memang sudah mewanti-wanti bahwa mereka tidak setuju dengan hubungan itu.
Emak bilang karena mereka jilu. Ji dari kata ‘siji’ yang artinya satu. Dan ‘lu’ dari kata ‘telu’ yang artinya tiga.
Kami orang jawa, dan menurut kepercayaan kami, anak nomor 1 memang tidak diperbolehkan menikah dengan anak nomor 3. Pamali! Aku gak tau alasannya apa. Yang jelas, kata emak dan bapak, dan juga eyang-eyangku, hubungan seperti itu gak baik. Kalo mereka nekat tetap menikah, hidup mereka bakal susah dan selalu di landa musibah. Itu kata mereka, emak dan bapak, dan juga eyang-eyangku. Dan aku gak percaya! Menurutku, kalo seandainya terjadi suatu musibah, bukan berarti karena mereka jilu. Tapi karena Tuhan memang sudah menghendaki seperti itu.
“tadinya mas berpikir, dengan berlalunya waktu dan semakin terbukanya pemikiran-pemikiran baru di jaman sekarang, emak dan bapak bisa merubah keputusan mereka. Tapi tenyata mas salah, Nur. Kepercayaan orang tua kita akan hal-hal seperti masih begitu kuat, dan mas gak bisa apa-apa selain nurut aja,”
Mas Rudy terlihat pasrah. Aku tahu, kepasrahannya bukan karena ia percaya akan hal-hal demikian, tapi karena rasa hormat dan sayangnya pada emak dan bapak.
“kalo mas memang mencintai mbak Ratna, kenapa mas gak kawin lari aja dengannya?”
Mas Rudy tersenyum kecut.
“apa kau sedang mengajari mas untuk menjadi pemberontak?”
Aku tak menjawab.
“Nur, adakalanya hidup memang tak sesuai harapan. Dan mas gak marah. Mas gak marah dengan emak, bapak, kepercayaan, ataupun adat istiadat ini. Mas menganggap bahwa ini adalah bagian dari hidup yang harus kita jalani. Jangan khawatir, mas akan baik-baik aja,” Mas rudy menatapku dengan lembut. Aku hanya terdiam.

            Aku mendesah kesal. “mak, kenapa sih mas Rudy nggak boleh nikah sama mbak Ratna? Emak nggak kasihan sama mas Rudy?”
Emak menatapku.
“Nur, ini ‘kan juga demi kebaikan mereka sendiri,”
“kebaikan? Dengan melarang mereka menikah hanya karena mas Rudy anak nomor satu dan mbak Ratna anak nomor tiga? Mak, ini sudah tahun 2010. kepercayaan macam apa itu?” aku semakin kesal.
“hanya? Kamu bilang ‘hanya’? nduk, apakah ibu kota telah meracuni otakmu? Kamu boleh berpikir modern, tapi jangan pernah melupakan akarmu. Wong jowo tetep wong jowo, gak iso dadi wong londo. (orang jawa tetaplah orang jawa, tidak bisa menjadi orang belanda).  Aturan-aturan semacam itu sudah ada jauh sebelum kita di lahirkan. Dan itu pastilah dibuat dengan banyak pertimbangan dan demi kebaikan. Jadi, hormatilah warisan nenek moyang kita,”
“tapi mak, buat Menur ini nggak masuk akal,”
“nduk, hadapi kenyataan. Mas-mu memang ndak boleh nikah sama Ratna. Percayalah,itu demi kebaikan mereka. Kalo mereka tetap memaksa menikah, hidup mereka bakalan susah...”
“emak tahu darimana kalo hidup mereka bakal susah? Sejak kapan emak jadi peramal?” sindirku.
Emak menatapku dengan kesal.
“yang jelas, mereka ndak boleh nikah. Titik!” jawabnya.
“apa nggak ada solusi lain? Solusi yang lebih baik? Solusi yang lebih modern?”
Emak menggeleng.
“kelak jika Menur mo nikah, apa emak juga akan memberlakukan peraturan-peraturan semacam ini?”
yo mesti to nduk. (ya harus). Perhitungan dari segala hal harus matuk (cocok). Tapi karena kamu anak nomor 2, kamu boleh nikah dengan anak nomor berapapun,”
Aku kembali mendesah. “ribet mak ....”
“nduk.....” aku beranjak tanpa menghiraukan emak. Aku nggak suka pertengkaran semacam ini!

            “jangan bertengkar dengan emak. Ndak baik, Nur. Nanti kamu bisa kuwalat. Sudahlah, jangan khawatirkan mas. Mas baik-baik saja kok. Mas sudah mengikhlaskan semuanya. Jodoh di tangan Tuhan, dan mungkin mas memang belum menemukannya,”
Pandangan mas Rudy menerawang jauh, menyeberangi sungai kecil di depan kami.
“bulan depan Ratna menikah. Jujur, mas lega sekali. Dia pasti akan hidup bahagia...”
Kata-kata mas Rudy lirih. Aku merasakan duka di setiap kata-katanya. Pastilah tidak mudah menyaksikan orang yang di cintainya selama sekian tahun akan menikah dengan orang lain. Hatinya pasti hancur berkeping-keping. Tapi, dialah kakakku. Kakak paling baik dan paling tegar sedunia.
Aku beranjak. Ku peluk pinggangnya dari belakang dengan erat dan kusandarkan kepalaku di punggungnya.
“kelak, mas Rudy pasti menemukan seseorang yang lebih cocok...” jawabku. Air mataku menetes. Dan perlahanpun aku terisak.
Mas Rudy hanya diam mematung dan membiarkanku menangis di punggungnya selama beberapa menit.

Selesai

Nganjuk, 26 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar