Jilu
It’s
vacation time! Libur semester telah tiba cing! Duh senengnya……….
Sudah gak sabar pingin cepet-cepet pulang kampung. Haha.. Nganjuk, I’m
coming!
Kota kesayanganku yang terletak di propinsi jawa timur, sebelah timur kota
Kediri, memang kota kecil sih. Dan mungkin banyak orang yang gak tau. Tapi,
disanalah rumahku, keluargaku, tempatku di lahirkan. Dan itulah yang bikin aku
senantiasa kangen untuk pulang.
Aku kangen dengan emak, kangen dengan bapak, dan kangen dengan mas Rudy.
Abangku satu-satunya, abang paling baik sedunia. Emak dan bapakku hanya petani
biasa. Tapi mas Rudy berhasil bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di
Surabaya. Dan selama ini, dialah yang membiayai kuliahku di ibu kota. Kemarin
dia memberitahuku via sms, kalo sudah sejak beberapa hari yang lalu mas Rudy
berada di kampung halaman.
Well, Jakarta yang crowded memang kadang-kadang bikin stress. Dan kampungku
adalah obatnya. Terapi menenangkan jiwa. Ha...
Kereta yang kutumpangi
nyampe di stasiun Nganjuk. Setelah ini aku akan naik bis, lalu naik Angdes
(Angkutan pedesaan) untuk bisa ke kampungku. Ribet memang karena harus
bolak-balik ganti angkutan. Yah, namanya aja kampung. But, it’s ok. Rasa
bahagia campur kangen karena mo pulang, telah menggantikan kepenatanku selama
dalam perjalanan.
Pikiranku mulai melayang-layang...
rumah dekat bukit, jalan-jalan pagi di jalan setapak, sawah yang
menghampar luas, main-main di sungai kecil dekat rumah, dan yang terpenting, menyantap
tumis
kangkung made in emak, aduuh, gak
sabar deh pingin cepat-cepat nyampe rumah......
“mbak, mudhun ngendi? (mbak,
turun mana?)” Aku terjingkat. Suara kernet Angdes membuyarkan lamunanku.
Pandangan ku arahkan ke luar jendela.
“stop, mas. Kene wae, suwun yo. (di sini saja, terimakasih ya),”
Angdes berhenti. Aku segera melompat keluar. Dari jalan raya, aku harus
berjalan 100 meter menuju rumah. Setengah berlari, aku menenteng tas ranselku.
Sebuah rumah sederhana bercat biru mulai terlihat oleh mataku. “Mak, aku
pulang!” teriakku.
“Prei berapa hari, nduk? (Libur berapa hari, nak?),” “minggu depan sudah balik kok, mak. Banyak
tugas kuliah yang harus diselesaikan disana,”jawabku.
“walah, kok cepet to? Sapa suruh kamu kuliah di Jakarta? Jauh, nduk. Ndak
bisa sering-sering pulang to?” emak membalik tempe gorengnya. Seperti biasa, ia
selalu mengomeli keputusanku kuliah di Jakarta. Aku hanya tersenyum. Sebetulnya
aku gak kerasan di Jakarta. Kota itu tidak membuatku silau sama sekali. Tapi,
aku sudah bertekad bahwa aku akan lulus dari salah satu Universitas Negeri
paling terkemuka di Indonesia. Aku ingin membuat emak, bapak, dan terutama
abangku, bangga.
“mak, mas Rudy belum bangun?” Emak menggeleng tanpa menoleh ke arahku.
Sejak nyampe rumah semalam, aku belum sempat ketemu mas Rudy karena dia sudah
tidur. Dan aku tak tega untuk membangunkannya.
“aku ke kali (sungai) dulu ya, mak,” tanpa menunggu jawaban emak, aku
berlari-lari kecil menuju sungai di belakang rumah. Wuih, suara gemericik air
yang jernih, ikan-ikan kecil, kangen banget.
Hampir setengah jam aku bermain-main di air hingga suara mas Rudy
memanggilku.
“cah ayu! Sarapan dulu!”
Aku mendongak. Mas Rudy berdiri dekat pohon bambu. Bibirnya tersenyum.
Akupun ikut tersenyum dan berlari ke arahnya. Ku peluk erat abangku yang baik
hati itu.
“aku kangen,” ucapku manja.
Mas Rudy tertawa dan memencet hidungku.
“dasar cah (anak) manja. Kalo
ngomong kangen pasti ada maunya. Pingin dibelikan apa? Hayoo, ngomong aja,” aku
ikut tertawa.
“mas Rudy kok bisa tahu? Jadi peramal ya sekarang?”
Ia kembali tertawa. “iya, baru tahu? Udah, ngomong aja pingin dibeliin
apa?”
“laptop. Bisa?” sejenak mas Rudy
terdiam. Perlahan ia mengangguk.
“tapi nunggu mas gajian dulu ya?”
Aku mengangguk dengan senang. Ku tatap dia dengan dalam.
“mas Rudy sakit? Kok pucat?” tanyaku. Ia menggeleng.
“gak tuh. Mungkin Cuma lelah. Yuk, sarapan,” kamipun beranjak menuju rumah.
“Mak, mas Rudy kemana?”
tanyaku. “di kamar tuh,” jawab emak. “di kamar lagi? Kok mas rudy jadi suka
mengurung diri di kamar sih, Mak?” emak
mengangkat bahu. “yo mboh (entahlah),
nduk,” jawabnya kemudian.
Aku beranjak ke kamar mas Rudy.
“mas...”panggilku sambil membuka pintu kamar yang tak terkunci. Tubuhnya telentang di atas kasur. Matanya terpejam.
Tidurkah?
Ah, gak mungkin. Ini baru jam 7 malam, mas Rudy bisa alergi kalo tidur jam
segini. Hehe...
Aku menghempaskan tubuhku di sampingnya. Ia hanya terdiam.
“Mas Rudy sudah tidur?” tanyaku dengan pelan. “belum,” jawabnya tanpa
membuka mata.
“kok gak apel ke rumah mbak Ratna? Ini ‘kan malam minggu,” “enggak, mas lagi capek,” jawabnya cepat.
Masih dengan mata terpejam.
“kalo gitu ikut aku aja yuk, mas,”
“kemana?”
“antarkan ke rumahnya siti. Aku dah lama gak maen kesana,”
“kenapa gak kesana sendiri? Rumahnya ‘kan gak jauh,”
“yaa... aku ‘kan pinginnya di antarkan,”
Mas Rudy membuka mata lalu menatapku.
“sori ya,Nur. Hari ini mas capek banget. Mas bener-bener pingin tidur,”
Aku manggut-manggut.
“iya deh,” aku beranjak. Sesaat sebelum keluar dari kamar mas Rudy, aku
menghentikan langkahku sejenak. Ada yang aneh...
Dinding kamar mas Rudy jadi ‘bersih’. Mejanya juga. Hei, kemana foto-foto
mbak ratna??
Biasanya foto perempuan cantik yang telah menjadi kekasih mas Rudy selama
hampir 2 tahun itu terpajang dimana-mana. Di dinding, di meja, di rak buku,
tapi sekarang kok...??
“lho, mas, foto mbak Ratna di ungsikan kemana? Kok gak ada semua?”
Mas Rudy menatapku. Perlahan ia bangkit.
“maaf mas belum cerita ke kamu. Sekarang, kami sudah putus. Jadi, semua
foto-fotonya sudah mas buang,”
Aku terhenyak kaget.
“putus? Kenapa?” aku beranjak dan duduk di sampingnya. Mas Rudy tak segera
menjawab. Ada luka di sana, di mata itu........
Kenapa aku tak menyadarinya dari awal?? Mas Rudy sering murung dan
mengurung diri di kamar, pasti ada yang gak beres. Mestinya aku sadar itu!
“kenapa mas...?” aku mengulangi pertanyaanku.
“emak dan bapak tetep gak setuju. Karena..” kata-kata mas Rudy terhenti.
“karena mas Rudy anak nomor satu dan mbak Ratna anak nomor tiga?” lanjutku,
Mas Rudy mengangguk.
Sejak awal berpacaran dengan mbak ratna yang berasal dari kampung tetangga,
emak dan bapak memang sudah mewanti-wanti bahwa mereka tidak setuju dengan
hubungan itu.
Emak bilang karena mereka jilu. Ji dari kata ‘siji’ yang artinya satu. Dan
‘lu’ dari kata ‘telu’ yang artinya tiga.
Kami orang jawa, dan menurut kepercayaan kami, anak nomor 1 memang tidak
diperbolehkan menikah dengan anak nomor 3. Pamali! Aku gak tau alasannya apa.
Yang jelas, kata emak dan bapak, dan juga eyang-eyangku, hubungan seperti itu
gak baik. Kalo mereka nekat tetap menikah, hidup mereka bakal susah dan selalu
di landa musibah. Itu kata mereka, emak dan bapak, dan juga eyang-eyangku. Dan
aku gak percaya! Menurutku, kalo seandainya terjadi suatu musibah, bukan
berarti karena mereka jilu. Tapi karena Tuhan memang sudah menghendaki seperti
itu.
“tadinya mas berpikir, dengan berlalunya waktu dan semakin terbukanya
pemikiran-pemikiran baru di jaman sekarang, emak dan bapak bisa merubah
keputusan mereka. Tapi tenyata mas salah, Nur. Kepercayaan orang tua kita akan
hal-hal seperti masih begitu kuat, dan mas gak bisa apa-apa selain nurut aja,”
Mas Rudy terlihat pasrah. Aku tahu, kepasrahannya bukan karena ia percaya
akan hal-hal demikian, tapi karena rasa hormat dan sayangnya pada emak dan
bapak.
“kalo mas memang mencintai mbak Ratna, kenapa mas gak kawin lari aja
dengannya?”
Mas Rudy tersenyum kecut.
“apa kau sedang mengajari mas untuk menjadi pemberontak?”
Aku tak menjawab.
“Nur, adakalanya hidup memang tak sesuai harapan. Dan mas gak marah. Mas
gak marah dengan emak, bapak, kepercayaan, ataupun adat istiadat ini. Mas
menganggap bahwa ini adalah bagian dari hidup yang harus kita jalani. Jangan
khawatir, mas akan baik-baik aja,” Mas rudy menatapku dengan lembut. Aku hanya
terdiam.
Aku mendesah kesal. “mak,
kenapa sih mas Rudy nggak boleh nikah sama mbak Ratna? Emak nggak kasihan sama
mas Rudy?”
Emak menatapku.
“Nur, ini ‘kan juga demi kebaikan mereka sendiri,”
“kebaikan? Dengan melarang mereka menikah hanya karena mas Rudy anak nomor
satu dan mbak Ratna anak nomor tiga? Mak, ini sudah tahun 2010. kepercayaan
macam apa itu?” aku semakin kesal.
“hanya? Kamu bilang ‘hanya’? nduk, apakah ibu kota telah meracuni otakmu?
Kamu boleh berpikir modern, tapi jangan pernah melupakan akarmu. Wong jowo tetep wong jowo, gak iso dadi wong
londo. (orang jawa tetaplah orang jawa, tidak bisa menjadi orang belanda). Aturan-aturan semacam itu sudah ada jauh
sebelum kita di lahirkan. Dan itu pastilah dibuat dengan banyak pertimbangan
dan demi kebaikan. Jadi, hormatilah warisan nenek moyang kita,”
“tapi mak, buat Menur ini nggak masuk akal,”
“nduk, hadapi kenyataan. Mas-mu memang ndak boleh nikah sama Ratna.
Percayalah,itu demi kebaikan mereka. Kalo mereka tetap memaksa menikah, hidup
mereka bakalan susah...”
“emak tahu darimana kalo hidup mereka bakal susah? Sejak kapan emak jadi
peramal?” sindirku.
Emak menatapku dengan kesal.
“yang jelas, mereka ndak boleh nikah. Titik!” jawabnya.
“apa nggak ada solusi lain? Solusi yang lebih baik? Solusi yang lebih
modern?”
Emak menggeleng.
“kelak jika Menur mo nikah, apa emak juga akan memberlakukan
peraturan-peraturan semacam ini?”
“yo mesti to nduk. (ya harus). Perhitungan
dari segala hal harus matuk (cocok). Tapi
karena kamu anak nomor 2, kamu boleh nikah dengan anak nomor berapapun,”
Aku kembali mendesah. “ribet mak ....”
“nduk.....” aku beranjak tanpa menghiraukan emak. Aku nggak suka
pertengkaran semacam ini!
“jangan bertengkar dengan
emak. Ndak baik, Nur. Nanti kamu bisa kuwalat. Sudahlah, jangan khawatirkan
mas. Mas baik-baik saja kok. Mas sudah mengikhlaskan semuanya. Jodoh di tangan
Tuhan, dan mungkin mas memang belum menemukannya,”
Pandangan mas Rudy menerawang jauh, menyeberangi sungai kecil di depan
kami.
“bulan depan Ratna menikah. Jujur, mas lega sekali. Dia pasti akan hidup
bahagia...”
Kata-kata mas Rudy lirih. Aku merasakan duka di setiap kata-katanya.
Pastilah tidak mudah menyaksikan orang yang di cintainya selama sekian tahun
akan menikah dengan orang lain. Hatinya pasti hancur berkeping-keping. Tapi,
dialah kakakku. Kakak paling baik dan paling tegar sedunia.
Aku beranjak. Ku peluk pinggangnya dari belakang dengan erat dan
kusandarkan kepalaku di punggungnya.
“kelak, mas Rudy pasti menemukan seseorang yang lebih cocok...” jawabku.
Air mataku menetes. Dan perlahanpun aku terisak.
Mas Rudy hanya diam mematung dan membiarkanku menangis di punggungnya
selama beberapa menit.
Selesai
Nganjuk, 26 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar