Kamis, 15 Mei 2014

cerpen " Stop ! "



STOP !

            Hari ini, lagi-lagi mas Agus menjemputku. Padahal aku sudah bilang padanya untuk tidak menjemputku setiap pulang kerja. “mas, gak usah repot-repot menjemputku dong. Aku ‘kan bisa pulang naik kendaraan umum,”
Mas Agus tersenyum manis, seperti biasanya.
“nggak apa-apa, aku ‘kan orang yang baik hati. Hehe.. lagipula tadi aku sudah ijin pada ibumu untuk menjemputmu. Beliau bilang boleh-boleh saja. Yuuuk..”
Mas Agus menyodorkan helm berwarna pink ke arahku. Tak lama kemudian motor yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya.
“makan dulu ya, Nur?” ajak mas Agus.
“ iya,” jawabku.
“mau makan di mana?”      “terserah mas saja,”
Entah mengapa, aku tak kuasa menolak ajakannya. Tak kuasa menolak? Ataukah hatiku memang tak ingin melakukannya..?? ah, entahlah....
Sesaat kemudian kami sampai di sebuah warung lesehan “nasi pecel”.
Is it ok for having lunch here? Kalo ketahuan muridmu gimana? Masa’ bu guru makan di warung pinggir jalan?,” ujar mas Agus. Aku tertawa.
well, it doesn’t matter. Apa kalau jadi guru harus selalu makan di restoran? Wah, bisa bangkrut aku!”
Mas Agus ikut tertawa mendengar jawabanku.
Kami menikmati nasi pecel hangat sambil mengobrol ke sana kemari..
Oh iya, aku seorang guru di sebuah Sekolah swasta. Biasanya aku naik motor sendiri tiap kerja. Tapi, beberapa hari ini aku terpaksa naik
angkutan umum karena sepeda motorku dipinjam pakde-ku ke Surabaya. Tapi mas Agus membuat keadaan sedikit berbeda.
“besok aku libur, tapi aku gak bisa jemput. Aku ada urusan ke Madiun, gak apa-apa ‘kan?” kata mas Agus di sela-sela makannya.
Aku manggut-manggut. Mas Agus bekerja di kantor Agraria. Sabtu dan Minggu dia libur.
“iya, gak apa-apa kok mas,” jawabku.
 Mas Agus tersenyum. Hatiku berdesir...


            “Di antarkan Agus lagi?”     “iya buk” jawabku seraya melangkah ke kamar.
Ibu mengikuti langkahku. “Agus itu sejak dulu memang perhatian sekali sama kamu. Tapi, apakah tidak berlebihan jika setiap hari kamu harus di antar jemput olehnya?” kata-kata Ibu menyiratkan sebuah kekhawatiran. “gak apa-apa kok buk. Mas Agus begitu karena aku gak ada kendaraan.,” Ibu terdiam sesaat.
“Nur, ibu tahu Agus orang yang baik. Ibu tidak ingin berprasangka buruk padamu. Tapi Ibu berharap, kamu bisa menjaga diri, bisa menjaga hatimu,”   “iya buk. Ibu gak usah khawatir,”
Ibu tersenyum lalu beranjak. Kutatap cincin yang melingkar di jari manisku. Sebuah foto terpajang di dinding dekat jendela. Foto mas Bayu, tunanganku!
6 bulan lagi, sekembalinya dia dari Sulawesi, kami akan melangsungkan pernikahan.  Sudah 2 tahun ini dia ditugaskan di sana sebagai TNI Angkatan Darat.
Selama ini aku senantiasa menunggu Kepulangannya dengan setia.  Dan aku berharap, dia-lah yang akan menjadi suamiku, jodohku. Tapi, kedatangan mas Agus dalam hidupku, mulai menggoyahkan kesetiaanku.
Mas Agus dan mas Bayu saling kenal, tapi mereka bukan sahabat. Aku kenal mas Bayu karena kami dulu satu SMA, sementara mas Agus dari SMA yang berbeda.
Sebetulnya aku juga sudah kenal mas Agus jauh sebelum aku dan mas Bayu bertunangan. Tapi satu tahun terakhir ini kami mulai semakin dekat. Dia begitu perhatian padaku. Bahkan ketika aku bilang padanya bahwa aku sudah bertunangan, sikapnya yang penuh perhatian padaku tak berkurang sedikitpun!
Dia tetap perhatian, tetap ada ketika kubutuhkan, tetap meluangkan waktu ketika ku minta. Bahkan bila tidak ku minta sekalipun.
Aku semakin tahu, mas Agus begitu baik, lemah lembut, perhatian, dan yang pasti, dia begitu menyayangiku.
Tapi aku juga tahu dengan pasti, meskipun mas Bayu tidak selembut dia, ia juga menyayangiku melebihi dirinya sendiri.
Ah, complicated! Hatiku memang mulai bercabang! Aku merasa tak bisa kehilangan dua-duanya. Tapi, Stop! Ini tak boleh terjadi!


            Aku mulai menghindari mas Agus. Sampai akhirnya, di suatu sore ia berhasil menemukanku di sebuah pusat perbelanjaan.
“Nur, kau menghindariku?”
Pertanyaannya begitu to the point!
Aku mengangguk. Kami mencari tempat yang enak untuk mengobrol.
“kenapa? Apakah ini karena aku pernah bilang padamu bahwa aku naksir padamu?”
Aku kembali mengangguk.
Mas Agus menatapku lekat. Jantungku berdetak kencang. Tatapan matanya bisa meluluhkan hatiku...........
Aku menarik nafas panjang.
“ya! Mas mencintai orang yang sudah bertunangan. Dan itu salah. Sebelum semuanya semakin jauh, kita harus menghentikannya sampai disini,”
“Nur, kamu ‘kan baru bertunangan, belum menikah,”
“maksud mas ...?”
“bukannya aku mendo’akan pertunanganmu dengan Bayu berantakan. Tapi, kau belum sah jadi milik orang. Jadi, aku masih berhak memperjuangkanmu,”
Aku terdiam. Hah, apa-apaan ini?
“Ingat Nur, jodoh, mati dan rizki, Tuhan-lah yang mengatur. Jadi, seandainya suatu saat nanti Tuhan menentukanmu berjodoh denganku, kau harus terima itu. Oke?”
Mas Agus beranjak. Tapi sekian detik kemudian ia berbalik kembali ke arahku. 
"Dan bahkan jika kau menikah dengan orang lain sekalipun, kau tak punya hak untuk melarangku mencintaintaimu," Dan setelah berkata begitu, ia pergi.   Sosoknya menghilang di antara kerumunan orang.  Aku linglung.
Sesaat hp-ku berbunyi. Pesan di kotak masuk bertambah. Dari mas Bayu!
“bagaimana kabarnya? Disini aku sangat merindukanmu. Beberapa bulan lagi aku akan pulang, dan kau akan jadi milikku selamanya...”
Aku menelan ludah.
Sayup-sayup kudengar lagu dangdut yang dinyanyikan oleh Dewi Persik.
Stop, engkau mencuri hatiku... hatiku.... stop, engkau mencuri hatiku.........
Ya Tuhan, aku berjodoh dengan siapa?

Selesai

Nganjuk, 26 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar