Jumat, 16 Mei 2014

cerpen "Alisa"



ALISA

            “Aku hamil, Rei. Dua bulan,”
Aku terbelalak  dengan pengakuan Alisa. “Apa!?” teriakku. “Aku hamil, dua bulan. Tidak usah kaget dan jangan setegang itu. I’m fine,” suara Alisa terdengar begitu tenang. Tak ada sedikitpun ekspresi bingung ataupun takut pada wajahnya.
“Dengan siapa? Roy, Kamal atau Sony?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Tidak dengan ketiga-tiganya,”
“Lantas?”
“Entahlah, aku tidak kenal,”
Aku kembali membelalak.
“Apa-apaan kau ini? Bagimana mungkin kau tak kenal dengan orang yang menghamilimu? Memangnya kau tidur dengan sembarang orang?”
“Ya,” Alisa menjawab cepat.
Aku merasakan lututku lemas.
“Aku ketemu dia di diskotik. Kami melakukan one night stand, dan setelah itu, beginilah akhirnya,”
Alisa merebahkan tubuhnya di sofa. Aku menatapnya dengan miris.
“Kita harus mencarinya,Lis. Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanmu,”
Alisa menggeleng.
“Aku tidak mengenalnya. Jadi, percuma saja dicari,”
“Setidaknya kita berusaha,”
“Tidak, aku tidak akan melakukannya. Buang-buang waktu,”
“Lantas, apa kau mau bayi dalam kandunganmu tak mengenal ayahnya?” suaraku setengah berteriak.
Alisa terdiam.
“Kita harus menghubungi orang tuamu dan memberitahu hal ini. Kita tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri,” gumamku pelan. Alisa bangkit.
“Sudahlah,Rei. Jangan bicara lagi. Kepalaku sakit,” ia beranjak.
“mau kemana?”
“Entahlah, tolong biarkan aku sendiri dulu,” ia berlalu tanpa melihat ke arahku lagi.
Aku tertegun. Kusandarkan punggungku di sofa.
Ah, Alisa. Sahabat baikku yang kasihan. Aku tahu itu bukan dirinya yang sebenarnya! Sama sekali bukan!
Dulu, ia cewek yang ceria dan bahagia. Semua orang menyukainya karena sosoknya yang ramah, baik, cantik, supel, dan pintar. Ia benar-benar cemerlang di antara kami semua. Aku bahkan pernah merasa iri padanya karena menurutku Tuhan telah menciptakannya terlalu sempurna. Tapi sekarang, tidak lagi. Sejak perceraian orang tuanya, hidupnya berantakan. Ia tidak lagi manis, tidak lagi menyenangkan. Sekarang, ia jarang masuk sekolah. Ia semakin akrab dengan dunia malam, diskotik, clubbing, minuman keras, bahkan narkoba. Itulah dunianya yang sekarang. Sahabat baikku sedari kecil itu sudah terjebak dalam ruang kosong nan hampa. Dan sebagai sahabat, aku tak tahu harus bagaimana menolongnya??
“Lho, Alisa sudah pulang?” mama masuk ke kamarku sambil membawa 2 gelas jus jeruk dan setoples kue kering. Aku mengangguk.
“Tidak biasanya dia pulang cepat. Kalian bertengkar?” mama meletakkan minuman dan kue di meja belajarku. Aku menggeleng. Tiba-tiba saja aku tak mampu menahan air mataku.
“Sayang, ada apa?” Mama memelukku dengan lembut.
“Alisa hamil, ma. Dan aku tak tahu harus bagaimana membantunya? Aku benar-benar sahabat yang tak berguna. Dia terjebak sedemikian jauh, dan aku, do nothing!”
“it’s okay. Itu bukan tanggung jawabmu. Alisa sudah besar, dia pasti punya jalan keluar. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,”
Mama berusaha menenangkanku dengan lembut.

            Siang itu, aku baru selesai mengantarkan mama belanja ke supermarket. Ketika keluar dari ruang parkir, aku menyaksikan kerumunan orang di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. “Ada apa ma? Kok rame-rame?” tanyaku. Mama hanya mengangkat bahu. Beberapa saat kemudian terdengar suara sirine dan beberapa polisi datang ke kerumunan tersebut hingga membuatku makin penasaran.
“Bentar ma, aku pingin lihat dulu,” aku keluar dari mobil lalu beranjak menuju kerumunan tersebut.
“Ada apa pak? Kecelakaan ya?” tanyaku pada seorang bapak-bapak yang berpapasan denganku.
“ada orang bunuh diri, mbak. Perempuan, cakep. Terjun dari lantai 12, katanya sih langsung meninggal mbak,” jawabnya.
Perempuan cantik bunuh diri dari lantai 12? Ah, entah kenapa tiba-tiba saja aku merasakan perasaan tak enak dalam hatiku.
Aku mempercepat langkahku lalu menyeruak ke dalam kerumunan tersebut. Setelah bersusah payah dan berdesak-desakan dengan pengunjung lain, akhirnya aku bisa menyaksikan sesosok mayat tergeletak bersimbah darah dengan wajah yang ditutupi koran bekas. Aku memang tak bisa melihat wajahnya, tapi pandangan mataku segera tertuju pada baju, sepatu, dan asesoris gelang yang menempel pada sosok tersebut. Aku kenal betul pemilik benda-benda tersebut. Semua itu milik Alisa. Sepatu dan baju itu, aku yang memilihkannya ketika kami berbelanja di salah satu butik terkemuka di kota ini. Dan gelang itu, itu adalah hadiah ulang tahunku untuknya tahun lalu. Tapi?
Aku memberanikan diri mendekat dan membuka koran penutup wajah sosok tersebut. Dan, seketika kurasakan dunia berhenti berputar. Ya Tuhan, itu memang dia!
“Alisaaa...!!”

selesai

23.3.2012/23.30
RSU Dr.Soetomo, Surabaya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar