ALISA
“Aku hamil, Rei. Dua bulan,”
Aku
terbelalak dengan pengakuan Alisa.
“Apa!?” teriakku. “Aku hamil, dua bulan. Tidak usah kaget dan jangan setegang
itu. I’m fine,” suara Alisa terdengar begitu tenang. Tak ada sedikitpun
ekspresi bingung ataupun takut pada wajahnya.
“Dengan
siapa? Roy, Kamal atau Sony?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Tidak
dengan ketiga-tiganya,”
“Lantas?”
“Entahlah,
aku tidak kenal,”
Aku
kembali membelalak.
“Apa-apaan
kau ini? Bagimana mungkin kau tak kenal dengan orang yang menghamilimu?
Memangnya kau tidur dengan sembarang orang?”
“Ya,”
Alisa menjawab cepat.
Aku
merasakan lututku lemas.
“Aku
ketemu dia di diskotik. Kami melakukan one night stand, dan setelah itu,
beginilah akhirnya,”
Alisa
merebahkan tubuhnya di sofa. Aku menatapnya dengan miris.
“Kita
harus mencarinya,Lis. Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanmu,”
Alisa
menggeleng.
“Aku
tidak mengenalnya. Jadi, percuma saja dicari,”
“Setidaknya
kita berusaha,”
“Tidak,
aku tidak akan melakukannya. Buang-buang waktu,”
“Lantas,
apa kau mau bayi dalam kandunganmu tak mengenal ayahnya?” suaraku setengah
berteriak.
Alisa
terdiam.
“Kita
harus menghubungi orang tuamu dan memberitahu hal ini. Kita tidak akan bisa
menyelesaikannya sendiri,” gumamku pelan. Alisa bangkit.
“Sudahlah,Rei.
Jangan bicara lagi. Kepalaku sakit,” ia beranjak.
“mau
kemana?”
“Entahlah,
tolong biarkan aku sendiri dulu,” ia berlalu tanpa melihat ke arahku lagi.
Aku
tertegun. Kusandarkan punggungku di sofa.
Ah,
Alisa. Sahabat baikku yang kasihan. Aku tahu itu bukan dirinya yang sebenarnya!
Sama sekali bukan!
Dulu,
ia cewek yang ceria dan bahagia. Semua orang menyukainya karena sosoknya yang
ramah, baik, cantik, supel, dan pintar. Ia benar-benar cemerlang di antara kami
semua. Aku bahkan pernah merasa iri padanya karena menurutku Tuhan telah
menciptakannya terlalu sempurna. Tapi sekarang, tidak lagi. Sejak perceraian
orang tuanya, hidupnya berantakan. Ia tidak lagi manis, tidak lagi
menyenangkan. Sekarang, ia jarang masuk sekolah. Ia semakin akrab dengan dunia
malam, diskotik, clubbing, minuman keras, bahkan narkoba. Itulah dunianya yang
sekarang. Sahabat baikku sedari kecil itu sudah terjebak dalam ruang kosong nan
hampa. Dan sebagai sahabat, aku tak tahu harus bagaimana menolongnya??
“Lho,
Alisa sudah pulang?” mama masuk ke kamarku sambil membawa 2 gelas jus jeruk dan
setoples kue kering. Aku mengangguk.
“Tidak
biasanya dia pulang cepat. Kalian bertengkar?” mama meletakkan minuman dan kue
di meja belajarku. Aku menggeleng. Tiba-tiba saja aku tak mampu menahan air
mataku.
“Sayang,
ada apa?” Mama memelukku dengan lembut.
“Alisa
hamil, ma. Dan aku tak tahu harus bagaimana membantunya? Aku benar-benar
sahabat yang tak berguna. Dia terjebak sedemikian jauh, dan aku, do nothing!”
“it’s
okay. Itu bukan tanggung jawabmu. Alisa sudah besar, dia pasti punya jalan
keluar. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,”
Mama
berusaha menenangkanku dengan lembut.
Siang itu, aku baru selesai mengantarkan
mama belanja ke supermarket. Ketika keluar dari ruang parkir, aku menyaksikan kerumunan
orang di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. “Ada apa ma? Kok rame-rame?”
tanyaku. Mama hanya mengangkat bahu. Beberapa saat kemudian terdengar suara
sirine dan beberapa polisi datang ke kerumunan tersebut hingga membuatku makin
penasaran.
“Bentar
ma, aku pingin lihat dulu,” aku keluar dari mobil lalu beranjak menuju
kerumunan tersebut.
“Ada
apa pak? Kecelakaan ya?” tanyaku pada seorang bapak-bapak yang berpapasan
denganku.
“ada
orang bunuh diri, mbak. Perempuan, cakep. Terjun dari lantai 12, katanya sih
langsung meninggal mbak,” jawabnya.
Perempuan
cantik bunuh diri dari lantai 12? Ah, entah kenapa tiba-tiba saja aku merasakan
perasaan tak enak dalam hatiku.
Aku
mempercepat langkahku lalu menyeruak ke dalam kerumunan tersebut. Setelah
bersusah payah dan berdesak-desakan dengan pengunjung lain, akhirnya aku bisa menyaksikan
sesosok mayat tergeletak bersimbah darah dengan wajah yang ditutupi koran
bekas. Aku memang tak bisa melihat wajahnya, tapi pandangan mataku segera
tertuju pada baju, sepatu, dan asesoris gelang yang menempel pada sosok
tersebut. Aku kenal betul pemilik benda-benda tersebut. Semua itu milik Alisa. Sepatu
dan baju itu, aku yang memilihkannya ketika kami berbelanja di salah satu butik
terkemuka di kota ini. Dan gelang itu, itu adalah hadiah ulang tahunku untuknya
tahun lalu. Tapi?
Aku
memberanikan diri mendekat dan membuka koran penutup wajah sosok tersebut. Dan,
seketika kurasakan dunia berhenti berputar. Ya Tuhan, itu memang dia!
“Alisaaa...!!”
selesai
selesai
23.3.2012/23.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar