Kamis, 29 Mei 2014

Cerpen "Jun Matsumoto" part 2 (End)


        Jun mengernyitkan dahinya dan tampak sedikit kaget ketika melihat kedatanganku ke rumahnya, sore hari itu sepulang sekolah.
Jun Matsumoto
“Kau serius dengan ucapanmu kemarin?” dia bertanya dengan heran.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Kau sudah siap?” tanyaku.
“Kemana?”
“Hari ini kita akan bersepeda,” jawabku.
“Ber __ sepeda?” ia menjawab dengan keheranan. Aku melihat keraguan di wajahnya. Aku kembali mengangguk.
“Yuk,” ajakku.
“Tapi___”  
“bukankah kau telah setuju untuk memberiku kesempatan?” tanyaku. Jun terdiam sesaat.
“Oke deh,” jawabnya kemudian.
Akhirnya...
Hari pertama ini aku mengajaknya bersepeda berkeliling kota. Aku tahu hal ini tidak mudah. Tapi setidaknya, aku sempat melihatnya tersenyum meski hanya beberapa kali.
Hari kedua, aku mengajaknya hunting kuliner. Macam-macam makanan khas Indonesia, dan kami makan sangat banyak sampai perut kami sakit. Lucu sekali melihatnya kepedasan ketika menyantap rujak. Tapi dia bilang, dia menyukainya.
Hari ketiga, aku mengajaknya mengunjungi pusat kesenian di dekat alun-alun kota. Kami bermain gamelan, melihat pertunjukkan wayang, pokoknya banyak sekali yang kami lakukan hari itu.
Hari keempat, aku mengajaknya mengunjungi tempat-tempat nongkrong anak-anak muda yang asyik di kota ini, sambil tentu saja hunting kuliner dan menikmati suasana kota di malam hari. Hanya saja, dia bilang dia tidak terlalu suka tempat-tempat nongkrong seperti itu. Sekali dua kali, bolehlah di coba lagi. Itu katanya ketika kami dalam perjalanan pulang.
Hari kelima, dia yang punya inisiatif untuk mengajakku berburu buku dan kaset. Dia bilang, dia ingin mengetahui lebih jauh tentang novel-novel dan musik-musik Indonesia. Sepertinya, aku masih punya harapan. Ampun deh, kalo dipikir-pikir aku jadi kayak tour guide yang ngajakin turis jalan-jalan mengenal Indonesia. Padahal, sumpah, dia’kan asli orang Indonesia?
Hari keenam, aku batal mengajaknya jalan-jalan lagi karena aku harus menemani adikku sendirian di rumah karena orang tuaku ada urusan ke luar kota.
Hari ketujuh, surprise banget ketika tiba-tiba dia datang ke rumahku sepulang sekolah!
“Kenapa kamu kesini?” tanyaku keheranan.
“bukankah kau sepakat untuk menunjukkan banyak tempat padaku dalam seminggu ini? Tapi kemarin kau mengingkari janji. Jadi, hari ini aku terpaksa menyusulmu ke sini karena aku takut kau mengingkari janji lagi,”
Ia terlihat sedikit kesal. Aku tertawa.
“Iya, iya, sori soal kemarin. Asal kamu tahu aja ya, aku nggak berniat mengingkari janji. Tapi karena ada sesuatu yang mendesak, something urgent, akhirnya ya batal deh rencana kita. Oke? Jadi jangan pernah terpikir olehmu bahwa aku, termasuk seluruh orang Indonesia, suka mengingkari janji, dan bla bla bla,” Aku menjelaskan panjang lebar padanya layaknya wawancara. Dan aku menyadari bahwa Jun mendengarkanku – setiap kalimatku – dengan seksama. Dan dia tidak menyelaku, sedikitpun. Puas gue!
“Hari ini kau ingin kemana?” tanyaku kemudian setelah aku capek berkicau kesana kemari.
Jun tak segera menjawab. Ia terlihat berpikir.
“Hari ini aku ingin menghabiskan hariku dengan melamun dan merenung di pinggir sungai yang airnya jernih. Bisakah?”
Aku tertawa. “Seperti di komik aja,” jawabku.
“Tapi sepertinya aku tak bis memenuhi keinginanmu,”
“Kenapa?” Jun mengernyitkan dahinya.
“Tak ada sungai seperti itu di sekitar sini. Tapi, ada sebuah danau kecil yang menurutku __ indah sekali. Suasananya tenang, nyaman, dan sepertinya cocok dengan keinginanmu,”
“Jadi?”
“Kita kesana aja. Gimana?”
“Oke,” Jun menjawab cepat.
“Tapi, hanya bisa di tempuh dengan kendaraan umum,”
Jun manggut-manggut.
“Tak ada bis dan tak ada kereta bawah tanah seperti di jepang,”
“Oke,” Jun kembali menjawab dengan cepat. Dan hari itu kami mengabiskan waktu di danau. Kami ngobrol, bermain ayunan, atau hanya sekedar duduk termenung di pinggir danau sambil menatap airnya yang jernih. Dan kami pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup, karena kehujanan.

            Setelah itu, Jun tak masuk selama 3 hari. Dari surat ijin yang ia kirim ke sekolah, ia sakit. Tapi ketika aku mengunjungi ke rumahnya, jawaban berbeda kudapat dari penjaga rumahnya. Dia bilang, Jun kembali ke Jepang karena orang tuanya mendapat panggilan pekerjaan dari perusahaan. Tak diketahui, apakah ia ke Jepang sementara, ataukah selamanya! Dan itu cukup membuat hatiku terluka.  Memikirkan bahwa ia akan kembali ke Jepang selamanya, dan aku takkan pernah bisa melihatnya lagi, benar-benar membuat hatiku sakit dan sedih. Semula aku mengira dia adalah anak yang sombong. Tapi ternyata, aku salah. Jun cowok yang menyengangkan. Bahkan sangat. Dan aku merasa nyaman sekali berada di sampingnya. Bercanda dengannya, ngobrol dengannnya, bercerita banyak hal padanya, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, aku seakan tak bisa kehilangan dia!
Tapi,seminggu setelah ia menghilang, pagi itu aku dikagetkan ketika aku melihat sosoknya. Jun, tengah duduk di bangku yang berada di samping bangkuku, seperti biasanya. Dan aku sangat yakin bahwa aku sedang tidak bermimpi.
Ohayou, (selamat pagi)” ia menyapa. Aku mendekatinya perlahan dan menatapnya dengan seksama. “apakah ini benar-benar kau?” tanyaku. Jun tergelak.
“kau seperti sedang melihat hantu saja?” ucapnya.
“Tapi, mereka bilang kau kembali ke Jepang?”
“Memang,”
“Lantas?”
“Lantas ___ apanya?”
“Apakah kau benar-benar akan pindah ke Jepang lagi?”
Jun menatapku lekat lalu tersenyum.
“Duduklah dulu,” ia menepuk kursi di sampingnya. Dan aku mengiyakan permintaannya.  Aku duduk di sampingnya tanpa melepaskan pandanganku dari cowok kriwil nan tampan tersebut.
Kami berpandangan. Jun kembali tersenyum.
“Apa kau merindukanku selama aku tak ada?” tanyanya.
Aku terhenyak. “Whattt?” aku pura-pura kaget lalu meninju bahunya dengan kesal.
“jujurlah padaku, apa kau benar-benar akan kembali ke Jepang lagi?” aku bertanya dengan tak sabar.
“apa itu penting untukmu?”
Aku melotot ke arahnya.
“aku nggak suka bertele-tele, kamu tahu itu. Jadi, segeralah jawab pertanyaanku,” aku nyaris berteriak.
Jun tertawa. “Rika, sebenarnya hari ini kau kenapa?”
“Aku mengkhawatirkanmu. Kau tak masuk sekolah berhari-hari tanpa berkata apa-apa padaku, dan itu membuatku kesal dan ___ sedih,”
Mendengar jawabanku, tawa Jun terhenti. Sesaat kami kembali berpandangan, dalam diam.
“Jadi?” aku kembali mengingatkannya dengan pertanyaanku. Jun menarik nafas panjang. Lalu kembali menatapku.
“Iya, orang tuaku memang kembali bekerja di Jepang dan ___”
“Jadi kau akan ke sana lagi?”potongku.
“Aku belum selesai cerita,” jawabnya kesal. Aku manggut-manggut. Aku membuang pandanganku ke arah jemariku yang mengetuk-ngetuk meja dengan tak sabar.
“Mereka mendapat panggilan dari perusahaan dan meminta mereka kembali ke sana. Dan orang tuaku menyetujuinya,”
Aku seperti mendengar pecahan kaca di atas kepalaku. Astaga, kembali ke Jepang?
“Tapi, aku memutuskan untuk tidak mengikuti mereka ke sana,” lanjutnya.
Aku kembali menoleh padanya. Tidak mengikuti mereka ke Jepang? Heh,maksudnya?
“kau __ akan di sini?” tanyaku sedikit tak percaya. Jun mengangguk.
“Kami sudah sepakat, orang tuaku akan kembali ke jepang, dan aku akan tetap tinggal di sini bersama nenekku. Jadi, kita masih tetap bisa bertemu ‘kan?” ia tersenyum.
“Kenapa kau memutuskan begitu?”
“Karena aku mulai menyukai tempat ini dan ____ aku juga mulai menyukaimu,”
Mataku mengerjap. Aku terkesiap. Wh-what?? Dia menyukaiku?
Aku menyaksikan Jun kembali tersenyum, lebih manis dan tulus sekali. Dan perlahanpun aku juga ikut tersenyum. Sepertinya kami tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang perasaan kami satu sama lain. Yang jelas, saat ini kami bahagia sekali. Dan kami seakan merasa bahwa hanya ada kami berdua di muka bumi ini! Yang lainnya ... nyewa! Hahaha...

selesasi.


Wiwin setyobekti
Rejoso - Nganjuk, 12-2-2012
0.23 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar