Jun mengernyitkan dahinya dan tampak sedikit kaget ketika melihat kedatanganku ke rumahnya, sore hari itu sepulang sekolah.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Kau sudah siap?” tanyaku.
“Kemana?”
“Hari ini kita akan bersepeda,” jawabku.
“Ber __ sepeda?” ia menjawab dengan keheranan. Aku melihat
keraguan di wajahnya. Aku kembali mengangguk.
“Yuk,” ajakku.
“Tapi___”
“bukankah kau telah setuju untuk
memberiku kesempatan?” tanyaku. Jun terdiam sesaat.
“Oke deh,” jawabnya kemudian.
Akhirnya...
Hari pertama ini aku mengajaknya
bersepeda berkeliling kota. Aku tahu hal ini tidak mudah. Tapi setidaknya, aku
sempat melihatnya tersenyum meski hanya beberapa kali.
Hari kedua, aku mengajaknya
hunting kuliner. Macam-macam makanan khas Indonesia, dan kami makan sangat
banyak sampai perut kami sakit. Lucu sekali melihatnya kepedasan ketika
menyantap rujak. Tapi dia bilang, dia menyukainya.
Hari ketiga, aku mengajaknya
mengunjungi pusat kesenian di dekat alun-alun kota. Kami bermain gamelan,
melihat pertunjukkan wayang, pokoknya banyak sekali yang kami lakukan hari itu.
Hari keempat, aku mengajaknya
mengunjungi tempat-tempat nongkrong anak-anak muda yang asyik di kota ini,
sambil tentu saja hunting kuliner dan menikmati suasana kota di malam hari. Hanya
saja, dia bilang dia tidak terlalu suka tempat-tempat nongkrong seperti itu.
Sekali dua kali, bolehlah di coba lagi. Itu katanya ketika kami dalam
perjalanan pulang.
Hari kelima, dia yang punya
inisiatif untuk mengajakku berburu buku dan kaset. Dia bilang, dia ingin
mengetahui lebih jauh tentang novel-novel dan musik-musik Indonesia. Sepertinya,
aku masih punya harapan. Ampun deh, kalo dipikir-pikir aku jadi kayak tour
guide yang ngajakin turis jalan-jalan mengenal Indonesia. Padahal, sumpah,
dia’kan asli orang Indonesia?
Hari keenam, aku batal
mengajaknya jalan-jalan lagi karena aku harus menemani adikku sendirian di
rumah karena orang tuaku ada urusan ke luar kota.
Hari ketujuh, surprise banget
ketika tiba-tiba dia datang ke rumahku sepulang sekolah!
“Kenapa kamu kesini?” tanyaku
keheranan.
“bukankah kau sepakat untuk
menunjukkan banyak tempat padaku dalam seminggu ini? Tapi kemarin kau
mengingkari janji. Jadi, hari ini aku terpaksa menyusulmu ke sini karena aku
takut kau mengingkari janji lagi,”
Ia terlihat sedikit kesal. Aku
tertawa.
“Iya, iya, sori soal kemarin. Asal
kamu tahu aja ya, aku nggak berniat mengingkari janji. Tapi karena ada sesuatu
yang mendesak, something urgent,
akhirnya ya batal deh rencana kita. Oke? Jadi jangan pernah terpikir olehmu
bahwa aku, termasuk seluruh orang Indonesia, suka mengingkari janji, dan bla
bla bla,” Aku menjelaskan panjang lebar padanya layaknya wawancara. Dan aku
menyadari bahwa Jun mendengarkanku – setiap kalimatku – dengan seksama. Dan dia
tidak menyelaku, sedikitpun. Puas gue!
“Hari ini kau ingin kemana?”
tanyaku kemudian setelah aku capek berkicau kesana kemari.
Jun tak segera menjawab. Ia
terlihat berpikir.
“Hari ini aku ingin menghabiskan
hariku dengan melamun dan merenung di pinggir sungai yang airnya jernih.
Bisakah?”
Aku tertawa. “Seperti di komik
aja,” jawabku.
“Tapi sepertinya aku tak bis
memenuhi keinginanmu,”
“Kenapa?” Jun mengernyitkan
dahinya.
“Tak ada sungai seperti itu di
sekitar sini. Tapi, ada sebuah danau kecil yang menurutku __ indah sekali.
Suasananya tenang, nyaman, dan sepertinya cocok dengan keinginanmu,”
“Jadi?”
“Kita kesana aja. Gimana?”
“Oke,” Jun menjawab cepat.
“Tapi, hanya bisa di tempuh
dengan kendaraan umum,”
Jun manggut-manggut.
“Tak ada bis dan tak ada kereta
bawah tanah seperti di jepang,”
“Oke,” Jun kembali menjawab
dengan cepat. Dan hari itu kami mengabiskan waktu di danau. Kami ngobrol,
bermain ayunan, atau hanya sekedar duduk termenung di pinggir danau sambil
menatap airnya yang jernih. Dan kami pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup,
karena kehujanan.
Setelah
itu, Jun tak masuk selama 3 hari. Dari surat ijin yang ia kirim ke sekolah, ia
sakit. Tapi ketika aku mengunjungi ke rumahnya, jawaban berbeda kudapat dari
penjaga rumahnya. Dia bilang, Jun kembali ke Jepang karena orang tuanya
mendapat panggilan pekerjaan dari perusahaan. Tak diketahui, apakah ia ke
Jepang sementara, ataukah selamanya! Dan itu cukup membuat hatiku terluka. Memikirkan bahwa ia akan kembali ke Jepang
selamanya, dan aku takkan pernah bisa melihatnya lagi, benar-benar membuat
hatiku sakit dan sedih. Semula aku mengira dia adalah anak yang sombong. Tapi
ternyata, aku salah. Jun cowok yang menyengangkan. Bahkan sangat. Dan aku
merasa nyaman sekali berada di sampingnya. Bercanda dengannya, ngobrol
dengannnya, bercerita banyak hal padanya, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, aku
seakan tak bisa kehilangan dia!
Tapi,seminggu setelah ia
menghilang, pagi itu aku dikagetkan ketika aku melihat sosoknya. Jun, tengah
duduk di bangku yang berada di samping bangkuku, seperti biasanya. Dan aku
sangat yakin bahwa aku sedang tidak bermimpi.
“Ohayou, (selamat pagi)” ia menyapa. Aku mendekatinya perlahan dan
menatapnya dengan seksama. “apakah ini benar-benar kau?” tanyaku. Jun tergelak.
“kau seperti sedang melihat hantu
saja?” ucapnya.
“Tapi, mereka bilang kau kembali
ke Jepang?”
“Memang,”
“Lantas?”
“Lantas ___ apanya?”
“Apakah kau benar-benar akan
pindah ke Jepang lagi?”
Jun menatapku lekat lalu
tersenyum.
“Duduklah dulu,” ia menepuk kursi
di sampingnya. Dan aku mengiyakan permintaannya. Aku duduk di sampingnya tanpa melepaskan
pandanganku dari cowok kriwil nan tampan tersebut.
Kami berpandangan. Jun kembali
tersenyum.
“Apa kau merindukanku selama aku
tak ada?” tanyanya.
Aku terhenyak. “Whattt?” aku
pura-pura kaget lalu meninju bahunya dengan kesal.
“jujurlah padaku, apa kau
benar-benar akan kembali ke Jepang lagi?” aku bertanya dengan tak sabar.
“apa itu penting untukmu?”
Aku melotot ke arahnya.
“aku nggak suka bertele-tele, kamu
tahu itu. Jadi, segeralah jawab pertanyaanku,” aku nyaris berteriak.
Jun tertawa. “Rika, sebenarnya
hari ini kau kenapa?”
“Aku mengkhawatirkanmu. Kau tak
masuk sekolah berhari-hari tanpa berkata apa-apa padaku, dan itu membuatku
kesal dan ___ sedih,”
Mendengar jawabanku, tawa Jun
terhenti. Sesaat kami kembali berpandangan, dalam diam.
“Jadi?” aku kembali mengingatkannya
dengan pertanyaanku. Jun menarik nafas panjang. Lalu kembali menatapku.
“Iya, orang tuaku memang kembali
bekerja di Jepang dan ___”
“Jadi kau akan ke sana
lagi?”potongku.
“Aku belum selesai cerita,”
jawabnya kesal. Aku manggut-manggut. Aku membuang pandanganku ke arah jemariku
yang mengetuk-ngetuk meja dengan tak sabar.
“Mereka mendapat panggilan dari
perusahaan dan meminta mereka kembali ke sana. Dan orang tuaku menyetujuinya,”
Aku seperti mendengar pecahan
kaca di atas kepalaku. Astaga, kembali ke Jepang?
“Tapi, aku memutuskan untuk tidak
mengikuti mereka ke sana,” lanjutnya.
Aku kembali menoleh padanya. Tidak
mengikuti mereka ke Jepang? Heh,maksudnya?
“kau __ akan di sini?” tanyaku
sedikit tak percaya. Jun mengangguk.
“Kami sudah sepakat, orang tuaku
akan kembali ke jepang, dan aku akan tetap tinggal di sini bersama nenekku.
Jadi, kita masih tetap bisa bertemu ‘kan?” ia tersenyum.
“Kenapa kau memutuskan begitu?”
“Karena aku mulai menyukai tempat
ini dan ____ aku juga mulai menyukaimu,”
Mataku mengerjap. Aku terkesiap. Wh-what??
Dia menyukaiku?
Aku menyaksikan Jun kembali tersenyum,
lebih manis dan tulus sekali. Dan perlahanpun aku juga ikut tersenyum.
Sepertinya kami tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang perasaan kami satu
sama lain. Yang jelas, saat ini kami bahagia sekali. Dan kami seakan merasa
bahwa hanya ada kami berdua di muka bumi ini! Yang lainnya ... nyewa! Hahaha...
selesasi.
Wiwin setyobekti
Rejoso - Nganjuk, 12-2-2012
0.23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar