ERVIANA
Dulu aku sempat berjanji pada diriku sendiri,
asalkan bisa diterima menjadi PNS gratis (tanpa suap), ditempatkan di manapun
aku bersedia. Tapi begitu semua itu menjadi kenyataan, diterima sebagai CPNS
dan di tempatkan di daerah terpencil, nyaliku langsung ciut! Aku merutuk, tidak
terima!
Berdasarkan SK yang
kuterima, aku ditempatkan di sebuah SD kecil di Desa terpencil. Jauh dari pusat
kota dan tak bisa ditempuh dengan mobil ataupun kendaraan umum. Jalannya yang
kecil dan belum di aspal hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Itu pun hanya di
musim kemarau. Bila di musim penghujan, 85% jalannya tak bisa dilalui karena
dipenuhi lumpur. God, it must be kidding
me!
Aku perempuan, kenapa
harus aku yang ditempatkan di sana? Setidaknya, jangan di daerah terpencil yang
sulit dijangkau manusia!
“nduk, ini adalah pengabdianmu, tanggung
jawabmu. Kerjakan dengan ikhlas dan jangan mengeluh. Atau Tuhan akan marah
padamu. Tempat yang jauh bukanlah alasan. Kamu ‘kan bisa nge-kost di rumah
penduduk sana. Bapak dan ibumu rela kok melepasmu kalo itu memang sudah menjadi
tugasmu,”
Bapakku yang hanya
seorang buruh tani senantiasa berusaha menenangkan hatiku.
***
Sekolahnya kecil dan bangunannya sudah tua. Hanya ada
tiga ruang kelas di sana. Masing-masing ruang terdiri dari dua kelas yang
berbeda. Bisa dibayangkan, bagaimana semrawutnya kegiatan belajar mengajar bila
dilaksanakan secara bersamaan!
Hal yang paling menarik
perhatianku adalah adanya seorang a-be-ge cewek di kelasku. Umurnya sudah 14
tahun, tapi ia baru kelas 4 SD. Berkali kali ia tak naik kelas.
Erviana!? Hah, bahkan
namanya pun sama dengan namaku. Ia normal, tapi kenapa sampai saat ini ia belum
lancar membaca, menulis, atau berhitung sekalipun?
“Erviana tinggal sendiri
dengan bapaknya bu. Ibunya meninggal ketika ia baru dilahirkan. Jadi, di rumah
kerjaannya ya masak, mencuci, ngurusi ternak, dan bantu bapaknya di ladang,”
Itu secuil informasi yang
diberikan bu Siti, guru kelas 2. Well,
itu bukan alasan yang tepat sehingga Erviana tidak punya waktu untuk belajar.
“Er, mulai besok, setiap pulang sekolah kamu harus
tinggal dulu di kelas. Ibu akan mengajari kamu membaca dan menulis. Anggap saja
ini les tambahan,” “tapi, bu, saya
harus membantu bapak di ladang,” “ibu
akan bicara pada bapakmu agar memberikan ijin. Dan berikan ini pada bapakmu,”
aku menyodorkan kertas ulangan ke arah Erviana. “Bapakmu harus tahu bahwa kamu terancam
tidak naik kelas lagi dengan nilai seperti ini. Tolong minta beliau untuk tanda
tangan?” “bapak nggak bisa tanda
tangan, bu,” Erviana sedikit protes. “kalo nulis nama, bisa?” Perlahan ia mengangguk. Dan mulai hari itu,
aku selalu memberikan les tambahan pada Erviana agar bisa menulis dan membaca
dengan lancar. Sudah berjalan 3 minggu, tapi hasilnya jauh dari yang ku
harapkan! Yang ada malah ia tidak masuk sekolah selama 1 minggu tanpa
keterangan! Akhirnya, hari ke 10 aku
nekat mendatangi rumahnya yang ada di ujung bukit. Dan ketika sampai di sana,
jawaban yang kuterima dari bapak Erviana sungguh menohok jantungku.
“Erviana sudah berangkat
ke kota sejak 3 hari yang lalu, bu. Katanya ia sudah nggak betah berada di
sekolah. Ia merasa nggak mampu menerima pelajaran karena otaknya bodoh. Jadi ia
memutuskan pergi ke kota untuk bekerja. Tetangga sebelah yang juga bekerja di
kota yang membawanya. Dia bilang, majikannya membutuhkan satu lagi pembantu
rumah tangga. Jadi, Erviana ikut aja,”
“Erviana belum cukup umur
untuk bekerja pak. Kenapa bapak mengizinkannya!?” aku sedikit protes. “saya
nggak punya pilihan, bu. Kami miskin, kami tak begitu memikirkan pendidikan.
Yang kami butuhkan adalah uang untuk makan sehari-hari. Lagi pula, Erviana
sendiri yang bilang kalo dia lebih memilih mencari nafkah daripada bersekolah,”
Aku linglung.
Astaga, akulah orang yang
telah membuatnya meninggalkan bangku sekolah! Andaikan saja aku lebih bersabar
dan memahami karakternya, mungkin ia tak akan memutuskan pergi ke kota. Hanya
karena kejengkelanku di tempatkan di tempat terpencil seperti ini, aku
mengorbankan kepolosan seorang anak yang seharusnya bisa kulindungi dengan
membuatnya merasa tak betah di bangku sekolah!
Oh, Erviana, muridku yang
kasihan..
Murid pertama yang
kutangani, sekaligus kegagalanku sebagai seorang guru ............
selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar