Rabu, 21 Mei 2014

Cerpen "Erviana"



ERVIANA

            Dulu aku sempat berjanji pada diriku sendiri, asalkan bisa diterima menjadi PNS gratis (tanpa suap), ditempatkan di manapun aku bersedia. Tapi begitu semua itu menjadi kenyataan, diterima sebagai CPNS dan di tempatkan di daerah terpencil, nyaliku langsung ciut! Aku merutuk, tidak terima!
Berdasarkan SK yang kuterima, aku ditempatkan di sebuah SD kecil di Desa terpencil. Jauh dari pusat kota dan tak bisa ditempuh dengan mobil ataupun kendaraan umum. Jalannya yang kecil dan belum di aspal hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Itu pun hanya di musim kemarau. Bila di musim penghujan, 85% jalannya tak bisa dilalui karena dipenuhi lumpur. God, it must be kidding me!
Aku perempuan, kenapa harus aku yang ditempatkan di sana? Setidaknya, jangan di daerah terpencil yang sulit dijangkau manusia!
 “nduk, ini adalah pengabdianmu, tanggung jawabmu. Kerjakan dengan ikhlas dan jangan mengeluh. Atau Tuhan akan marah padamu. Tempat yang jauh bukanlah alasan. Kamu ‘kan bisa nge-kost di rumah penduduk sana. Bapak dan ibumu rela kok melepasmu kalo itu memang sudah menjadi tugasmu,”
Bapakku yang hanya seorang buruh tani senantiasa berusaha menenangkan hatiku.
                                               
***
            Sekolahnya kecil dan bangunannya sudah tua. Hanya ada tiga ruang kelas di sana. Masing-masing ruang terdiri dari dua kelas yang berbeda. Bisa dibayangkan, bagaimana semrawutnya kegiatan belajar mengajar bila dilaksanakan secara bersamaan!
Hal yang paling menarik perhatianku adalah adanya seorang a-be-ge cewek di kelasku. Umurnya sudah 14 tahun, tapi ia baru kelas 4 SD. Berkali kali ia tak naik kelas.
Erviana!? Hah, bahkan namanya pun sama dengan namaku. Ia normal, tapi kenapa sampai saat ini ia belum lancar membaca, menulis, atau berhitung sekalipun?
“Erviana tinggal sendiri dengan bapaknya bu. Ibunya meninggal ketika ia baru dilahirkan. Jadi, di rumah kerjaannya ya masak, mencuci, ngurusi ternak, dan bantu bapaknya di ladang,”
Itu secuil informasi yang diberikan bu Siti, guru kelas 2. Well, itu bukan alasan yang tepat sehingga Erviana tidak punya waktu untuk belajar.

                                                                       
            “Er, mulai besok, setiap pulang sekolah kamu harus tinggal dulu di kelas. Ibu akan mengajari kamu membaca dan menulis. Anggap saja ini les tambahan,”       “tapi, bu, saya harus membantu bapak di ladang,”     “ibu akan bicara pada bapakmu agar memberikan ijin. Dan berikan ini pada bapakmu,” aku menyodorkan kertas ulangan ke arah Erviana. “Bapakmu harus tahu bahwa kamu terancam tidak naik kelas lagi dengan nilai seperti ini. Tolong minta beliau untuk tanda tangan?”     “bapak nggak bisa tanda tangan, bu,” Erviana sedikit protes. “kalo nulis nama, bisa?”   Perlahan ia mengangguk. Dan mulai hari itu, aku selalu memberikan les tambahan pada Erviana agar bisa menulis dan membaca dengan lancar. Sudah berjalan 3 minggu, tapi hasilnya jauh dari yang ku harapkan! Yang ada malah ia tidak masuk sekolah selama 1 minggu tanpa keterangan!  Akhirnya, hari ke 10 aku nekat mendatangi rumahnya yang ada di ujung bukit. Dan ketika sampai di sana, jawaban yang kuterima dari bapak Erviana sungguh menohok jantungku.
“Erviana sudah berangkat ke kota sejak 3 hari yang lalu, bu. Katanya ia sudah nggak betah berada di sekolah. Ia merasa nggak mampu menerima pelajaran karena otaknya bodoh. Jadi ia memutuskan pergi ke kota untuk bekerja. Tetangga sebelah yang juga bekerja di kota yang membawanya. Dia bilang, majikannya membutuhkan satu lagi pembantu rumah tangga. Jadi, Erviana ikut aja,”
“Erviana belum cukup umur untuk bekerja pak. Kenapa bapak mengizinkannya!?” aku sedikit protes. “saya nggak punya pilihan, bu. Kami miskin, kami tak begitu memikirkan pendidikan. Yang kami butuhkan adalah uang untuk makan sehari-hari. Lagi pula, Erviana sendiri yang bilang kalo dia lebih memilih mencari nafkah daripada bersekolah,”
 Aku linglung.
Astaga, akulah orang yang telah membuatnya meninggalkan bangku sekolah! Andaikan saja aku lebih bersabar dan memahami karakternya, mungkin ia tak akan memutuskan pergi ke kota. Hanya karena kejengkelanku di tempatkan di tempat terpencil seperti ini, aku mengorbankan kepolosan seorang anak yang seharusnya bisa kulindungi dengan membuatnya merasa tak betah di bangku sekolah!
Oh, Erviana, muridku yang kasihan..
Murid pertama yang kutangani, sekaligus kegagalanku sebagai seorang guru ............

selesai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar