Aku
membelalak menyaksikan jam di dinding yang menunjukkan pukul 15.10.
T-tapi ‘kan
kelas usai jam 14.15?
Astaga,
aku ketiduran?! Dinda di mana? Apa ia nggak membangunkanku? Dasar pengkhianat!
Aku menggerutu dalam hati.
“Sudah
bangun?” suara itu nyaris membuatku terlonjak dari tempat tidur. Ketika aku
menoleh. Deg, Nino duduk di salah satu kursi dekat jendela yang berada tak jauh
dari tempat tidur? Aku tidak bermimpi. Itu memang dia!
“Nino!?”
aku berteriak kaget. Cowok itu hanya mengangguk.
“Kamu __
di sini?” tanyaku lagi. Dan cowok itu kembali mengangguk.
“sudah 1
jam lebih aku nungguin kamu tidur di sini,”
“Nu-nungguin
aku di sini? Untuk apa?” aku turun dari tempat tidur lalu melipat selimut dan seprei.
“aku
dengar dari temen-temen kali selvi cari masalah denganmu di kamar mandi. Aku
mencarimu di kelas tapi kamu gak ada. Waktu ketemu Dinda, dia bilang kamu di
UKS. Begitu nyampek di sini, kamu sedang tertidur pulas,” Nino bangkit lalu
membantuku merapikan tempat tidur.
“Tadinya
Dinda ingin membangunkanmu, tapi aku melarangnya,”
“Kenapa?”
“Kamu
tidur nyenyak. Kelihatan capek. Aku nggak tega membangunkanmu. Lagipula, di luar
masih hujan. Jadi, aku sengaja membiarkanmu tidur dan menyuruh Dinda pulang,”
Aku
menatap Nino sekilas.
“ngomong-ngomong,
untuk apa kau di sini?” tanyaku dengan hati-hati.
“aku
mengkhawatirkanmu,” jawabnya.
Aku terkekeh.
Aku terkekeh.
“Khawatir
kenapa? Karena selvi cari masalah denganku? It’s Okey. Aku sudah biasa kok,”jawabku enteng.
Nino
menatapku dengan tatapan menyesal. Aku seakan mengingatkannya pada hubungan
kami yang sudah berlalu. Dan aku seolah mengatakan : jadi pacarmu, aku terbiasa
di bully.
“sori,”
ucapku kemudian. Nino tak menjawab.
Benarkah
dia mengkhawatirkanku? Ah, tiba-tiba saja aku ge-er.
“bagaimanapun
juga, aku lega kamu nggak apa-apa. Di luar masih hujan. Tunggulah sampai reda
baru pulang,” Nino kembali duduk di kursinya semula.
Aku
beringsut dan duduk di tepi tempat tidur. Keadaan hening sesaat. Sedikit
canggung.
“boleh
kutanyakan sesuatu?” Nino membuka suara.
“soal
apa? Soal gosip bahwa kita kembali berpacaran? Maaf, aku nggak tahu apa-apa. Dan
sumpah, bukan aku yang menyebarkannya,”
“enggak,
bukan soal itu,” jawab Nino.
“Lantas?”
Nino
menyandarkan punggungnya di kursi lalu menatapku dengan lekat hingga membuatku
jengah.
“jangan
menatapku seperti itu,” ujarku gusar. Bukannya berhenti, cowok berhidung
mancung itu terus menatapku dengan dalam hingga membuatku mengalihkan pandangan
ke luar jendela.
“Kenapa
kamu nggak pacaran lagi?” tanya Nino kemudian.
“Maksudmu?”
tanyaku.
“setelah
putus denganku 2 tahun yang lalu, aku nggak melihatmu berpacaran lagi dengan
cowok lain,”
“Bagaimana
kamu tahu? Apa kau memata-mataiku?”
“Ya,”
Nino menjawab cepat hingga membuatku mendelik. astaga, serius?
“Kamu
sendiri? Bukankah kamu juga ngggak pacaran lagi sejak putus denganku?” balasku.
“Apa kamu
juga memata-mataiku?”
“Enggak,
tapi aku berani menjamin bahwa kamu tetep menjomblo semenjak kita putus,”
Nino
tertawa kecil mendengar ucapanku.
“ya, kamu
benar,” jawabnya kemudian.
“Jadi,
kenapa kamu nggak pacaran lagi?” ia kembali mengulangi pertanyaannya.
“Kamu
sendiri, kenapa nggak pacaran lagi?” balasku.
Nino
menatapku dengan dalam.
“Karena
aku masih mencintaimu,” jawabnya kemudian.
Deg, aku
terhenyak. Tatapan kami terkunci.
“Kamu
tahu, menyakitkan sekali ketika kamu memutuskanku dan meninggalkanku begitu
saja. Hatiku hancur berkeping-keping. Tapi, tetap saja aku tak bisa
melupakanmu. Aku benar-benar tak mampu melupakanmu. Sampai detik inipun, aku
masih selalu mencintaimu,”
Aku hanya
melongo mendengar penuturan Nino.
“Maafkan
aku jika selama menjadi pacarku kamu mendapatkan banyak beban dan masalah. Tapi
percayalah, aku tak pernah berniat membuatmu seperti itu. Aku selalu mencoba
membuatmu bahagia. Meskipun pada akhirnya, aku hanya mampu memberikanmu penderitaan
tanpa mampu melindungimu – karena kamu tak pernah membiarkanku melakukan itu –
melindungimu,”
Aku
menelan ludah. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya kulakukan selama ini? Cowok di
depanku ini berusaha membuatku bahagia, tapi hanya karena egoku, aku memutuskannya?
Apa aku sinting?
“sebenarnya,
aku tak pernah rela ketika kamu memutuskanku. Tapi ketika aku tahu bahwa kamu
tertekan karena banyak mengalami intimidasi dari cewek-cewek penggemarku yang
lain, aku pasrah. Jika aku terus mempertahanku menjadi pacarku, kau pasti
semakin tertekan dan tak bahagia. Makanya aku menerima keputusanmu untuk
meninggalkanku. Tapi, satu hal yang pasti, aku tak pernah berhenti untuk
mencintaimu,”
Nino
menatapku dengan tatapan tulus dan memohon. Hatiku berdesir.
Ia
bangkit lalu berjalan mendekatiku hingga jarak di antara kami hanya tinggal
beberapa centi.
“Maukah
kamu jadi pacarku lagi?” pintanya.
Aku
membelalak. Eh?
“Aku
tulus menyayangimu dan aku benar-benar ingin agar kita bisa kembali bersama
lagi. Bisakah?” ucapan Nino benar-benar terlihat tulus. Aku tak segera
menjawab. Kami tetap berpandangan sesaat, hening
“Kenapa
harus aku, Nino?” tanyaku kemudian.
Nino
mengernyitkan dahinya. Heran.
“Dari
sekian cewek di sekolah ini, kenapa kamu harus memilihku? Aku nggak cantik, aku
juga nggak pintar, aku juga nggak terkenal. Kenapa kamu tetap menyukaiku?”
Nino
tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Aku
menyukai semua yang ada pada dirimu, tulus dan serius. Kamu cewek yang begitu
ceria dan apa adanya. Dan aku benar-benar nyaman dan bahagia berada disisimu.
Tidakkah alasan itu cukup untuk membuatmu kembali padaku?”
Aku
terdiam.
“Tolong
beri aku kesempatan untuk menunjukkan ketulusan perasaanku. Aku janji, aku tak
akan membiarkan siapapun menyentuh ataupun menyakitimu. Plis, beri aku
kepercayaan untuk melindungimu,”
Nino
menyentuh pipiku dengan lembut. Dan aku tak berusaha untuk menghindar.
“Bisakah
kita pacaran lagi?” tanya Nino lembut.
Aku tak
segera menjawab.
“Kita
bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi jika kamu keberatan untuk diketahui
orang lain agar mereka tak mengganggumu lagi,”
“Enggak,”
jawabku cepat. Nino menarik sentuhan
tangannya. Ia menatapku kaget.
“Kamu nggak
mau menerimaku kembali?” tanyanya.
“enggak,
maksudku bukan itu. Aku nggak mau berpacaran denganmu secara sembunyi-sembunyi.
Jika kita memang berpacaran, semua orang berhak mengetahuinya. Percayalah aku
bisa menghadapi mereka,”
Nino
mengernyitkan dahinya.
“apa ini
berarti kau mau jadi pacarku lagi?”
Aku
kembali terdiam. Perlahan aku mengangguk. Kulihat sebuah senyum merekah di
bibir Nino hingga membuat pipiku merona.
Aku sudah
bertekad, untuk kali ini aku takkan menyerah! Tak peduli siapa dan berapa
banyak cewek yang berusaha untuk menghancurkan hubunganku dengan Nino, aku akan
melawannya!
“Soal
gosip bahwa kita kembali berpacaran, aku bersumpah bukan aku pelakunya,”
Nino
manggut-manggut. “It’s okay. I did it,” jawabnya, enteng.
Aku
mendelik. “What?”
“yup,
akulah yang menyebarkan gosip bahwa kita kembali berpacaran,”
Aku
terperanjat. “Apa!?” teriakku.
Nino hanya tersenyum nyengir.
“Maaf,
tapi hanya itulah satu-satunya cara yang terpikir olehku untuk bisa kembali
padamu. Aku tahu aku lancang, tapi jika tidak begitu, aku tak akan bisa menarik
perhatianmu,”
“termasuk
menarik perhatian anak-anak hingga mereka rame-rame mengeroyokku!?”
Aku menatap
Nino dengan kesal.
“I’m so
sorry. Itu di luar perkiaraanku. Tapi, sisi baiknya, kita bisa bicara kembali
dari hati ke hati ‘kan?”
Aku kembali mendesah kesal. Tapi amarahku sedikit
buyar dan berganti dengan kekagetan ketika sebuah ciuman ringan mendarat
dipipiku.
“maafkan
aku,” Nino menatapku dengan tatapan memohon.
“siapa
yang memberimu ijin untuk menciumku?”
“ow, maaf
aku tak meminta ijin. Kau tak suka? Oke, ku kembalikan lagi,” Nino kembali
mendaratkan ciuman ringan di pipiku. Aku mendelik. Ia hanya terkekeh.
Ah,
sudahlah. Tak perlu ribut soal masa lalu. Yang jelas, sekarang aku sudah
memutuskan untuk kembali padanya. Dan, aku takkan menyesalinya.
“Sekarang,
boleh aku menciummu?” Nino kembali menatapku dengan tatapan nakal. Dan sebuah
pukulan ringan segera ku layangkan ke dadanya hingga membuatnya meringis lucu.
Ah, aku tahu ia hanya pura-pura kesakitan..
Sambikerep,
10 April 2012
Wiwin
Setyobekti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar