Selasa, 27 Mei 2014

cerpen "Jadilah pacarku (lagi)" part 3 (end)



Aku membelalak menyaksikan jam di dinding yang menunjukkan pukul 15.10. 
T-tapi ‘kan kelas usai jam 14.15?
Astaga, aku ketiduran?! Dinda di mana? Apa ia nggak membangunkanku? Dasar pengkhianat! Aku menggerutu dalam hati.
“Sudah bangun?” suara itu nyaris membuatku terlonjak dari tempat tidur. Ketika aku menoleh. Deg, Nino duduk di salah satu kursi dekat jendela yang berada tak jauh dari tempat tidur? Aku tidak bermimpi. Itu memang dia!
“Nino!?” aku berteriak kaget. Cowok itu hanya mengangguk.
“Kamu __ di sini?” tanyaku lagi. Dan cowok itu kembali mengangguk.
“sudah 1 jam lebih aku nungguin kamu tidur di sini,”
“Nu-nungguin aku di sini? Untuk apa?” aku turun dari tempat tidur lalu melipat selimut dan seprei.
“aku dengar dari temen-temen kali selvi cari masalah denganmu di kamar mandi. Aku mencarimu di kelas tapi kamu gak ada. Waktu ketemu Dinda, dia bilang kamu di UKS. Begitu nyampek di sini, kamu sedang tertidur pulas,” Nino bangkit lalu membantuku merapikan tempat tidur.
“Tadinya Dinda ingin membangunkanmu, tapi aku melarangnya,”
“Kenapa?”
“Kamu tidur nyenyak. Kelihatan capek. Aku nggak tega membangunkanmu. Lagipula, di luar masih hujan. Jadi, aku sengaja membiarkanmu tidur dan menyuruh Dinda pulang,”
Aku menatap Nino sekilas.
“ngomong-ngomong, untuk apa kau di sini?” tanyaku dengan hati-hati.
“aku mengkhawatirkanmu,” jawabnya. 
Aku terkekeh.
“Khawatir kenapa? Karena selvi cari masalah denganku? It’s Okey. Aku sudah biasa kok,”jawabku enteng.
Nino menatapku dengan tatapan menyesal. Aku seakan mengingatkannya pada hubungan kami yang sudah berlalu. Dan aku seolah mengatakan : jadi pacarmu, aku terbiasa di bully.
“sori,” ucapku kemudian. Nino tak menjawab.
Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ah, tiba-tiba saja aku ge-er.
“bagaimanapun juga, aku lega kamu nggak apa-apa. Di luar masih hujan. Tunggulah sampai reda baru pulang,” Nino kembali duduk di kursinya semula.
Aku beringsut dan duduk di tepi tempat tidur. Keadaan hening sesaat. Sedikit canggung.
“boleh kutanyakan sesuatu?” Nino membuka suara.
“soal apa? Soal gosip bahwa kita kembali berpacaran? Maaf, aku nggak tahu apa-apa. Dan sumpah, bukan aku yang menyebarkannya,”
“enggak, bukan soal itu,” jawab Nino.
“Lantas?”
Nino menyandarkan punggungnya di kursi lalu menatapku dengan lekat hingga membuatku jengah.
“jangan menatapku seperti itu,” ujarku gusar. Bukannya berhenti, cowok berhidung mancung itu terus menatapku dengan dalam hingga membuatku mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Kenapa kamu nggak pacaran lagi?” tanya Nino kemudian.
“Maksudmu?” tanyaku.
“setelah putus denganku 2 tahun yang lalu, aku nggak melihatmu berpacaran lagi dengan cowok lain,”
“Bagaimana kamu tahu? Apa kau memata-mataiku?”
“Ya,” Nino menjawab cepat hingga membuatku mendelik. astaga, serius?
“Kamu sendiri? Bukankah kamu juga ngggak pacaran lagi sejak putus denganku?” balasku.
“Apa kamu juga memata-mataiku?”
“Enggak, tapi aku berani menjamin bahwa kamu tetep menjomblo semenjak kita putus,”
Nino tertawa kecil mendengar ucapanku.
“ya, kamu benar,” jawabnya kemudian.
“Jadi, kenapa kamu nggak pacaran lagi?” ia kembali mengulangi pertanyaannya.
“Kamu sendiri, kenapa nggak pacaran lagi?” balasku.
Nino menatapku dengan dalam.
“Karena aku masih mencintaimu,” jawabnya kemudian.
Deg, aku terhenyak. Tatapan kami terkunci. 
“Kamu tahu, menyakitkan sekali ketika kamu memutuskanku dan meninggalkanku begitu saja. Hatiku hancur berkeping-keping. Tapi, tetap saja aku tak bisa melupakanmu. Aku benar-benar tak mampu melupakanmu. Sampai detik inipun, aku masih selalu mencintaimu,”
Aku hanya melongo mendengar penuturan Nino.
“Maafkan aku jika selama menjadi pacarku kamu mendapatkan banyak beban dan masalah. Tapi percayalah, aku tak pernah berniat membuatmu seperti itu. Aku selalu mencoba membuatmu bahagia. Meskipun pada akhirnya, aku hanya mampu memberikanmu penderitaan tanpa mampu melindungimu – karena kamu tak pernah membiarkanku melakukan itu – melindungimu,”
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya kulakukan selama ini? Cowok di depanku ini berusaha membuatku bahagia, tapi hanya karena egoku, aku memutuskannya? 
Apa aku sinting?
“sebenarnya, aku tak pernah rela ketika kamu memutuskanku. Tapi ketika aku tahu bahwa kamu tertekan karena banyak mengalami intimidasi dari cewek-cewek penggemarku yang lain, aku pasrah. Jika aku terus mempertahanku menjadi pacarku, kau pasti semakin tertekan dan tak bahagia. Makanya aku menerima keputusanmu untuk meninggalkanku. Tapi, satu hal yang pasti, aku tak pernah berhenti untuk mencintaimu,”
Nino menatapku dengan tatapan tulus dan memohon. Hatiku berdesir.
Ia bangkit lalu berjalan mendekatiku hingga jarak di antara kami hanya tinggal beberapa centi.
“Maukah kamu jadi pacarku lagi?” pintanya.
Aku membelalak. Eh?
“Aku tulus menyayangimu dan aku benar-benar ingin agar kita bisa kembali bersama lagi. Bisakah?” ucapan Nino benar-benar terlihat tulus. Aku tak segera menjawab. Kami tetap berpandangan sesaat, hening
“Kenapa harus aku, Nino?” tanyaku kemudian.
Nino mengernyitkan dahinya. Heran.
“Dari sekian cewek di sekolah ini, kenapa kamu harus memilihku? Aku nggak cantik, aku juga nggak pintar, aku juga nggak terkenal. Kenapa kamu tetap menyukaiku?”
Nino tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Aku menyukai semua yang ada pada dirimu, tulus dan serius. Kamu cewek yang begitu ceria dan apa adanya. Dan aku benar-benar nyaman dan bahagia berada disisimu. Tidakkah alasan itu cukup untuk membuatmu kembali padaku?”
Aku terdiam.
“Tolong beri aku kesempatan untuk menunjukkan ketulusan perasaanku. Aku janji, aku tak akan membiarkan siapapun menyentuh ataupun menyakitimu. Plis, beri aku kepercayaan untuk melindungimu,”
Nino menyentuh pipiku dengan lembut. Dan aku tak berusaha untuk menghindar.
“Bisakah kita pacaran lagi?” tanya Nino lembut.
Aku tak segera menjawab.
“Kita bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi jika kamu keberatan untuk diketahui orang lain agar mereka tak mengganggumu lagi,”
“Enggak,” jawabku cepat.  Nino menarik sentuhan tangannya. Ia menatapku kaget.
“Kamu nggak mau menerimaku kembali?” tanyanya.
“enggak, maksudku bukan itu. Aku nggak mau berpacaran denganmu secara sembunyi-sembunyi. Jika kita memang berpacaran, semua orang berhak mengetahuinya. Percayalah aku bisa menghadapi mereka,”
Nino mengernyitkan dahinya.
“apa ini berarti kau mau jadi pacarku lagi?”
Aku kembali terdiam. Perlahan aku mengangguk. Kulihat sebuah senyum merekah di bibir Nino hingga membuat pipiku merona.
Aku sudah bertekad, untuk kali ini aku takkan menyerah! Tak peduli siapa dan berapa banyak cewek yang berusaha untuk menghancurkan hubunganku dengan Nino, aku akan melawannya!
“Soal gosip bahwa kita kembali berpacaran, aku bersumpah bukan aku pelakunya,”
Nino manggut-manggut. “It’s okay. I did it,” jawabnya, enteng.
Aku mendelik. “What?”
“yup, akulah yang menyebarkan gosip bahwa kita kembali berpacaran,”
Aku terperanjat. “Apa!?” teriakku. 
Nino hanya tersenyum nyengir.
“Maaf, tapi hanya itulah satu-satunya cara yang terpikir olehku untuk bisa kembali padamu. Aku tahu aku lancang, tapi jika tidak begitu, aku tak akan bisa menarik perhatianmu,”
“termasuk menarik perhatian anak-anak hingga mereka rame-rame mengeroyokku!?”
Aku menatap Nino dengan kesal.
I’m so sorry. Itu di luar perkiaraanku. Tapi, sisi baiknya, kita bisa bicara kembali dari hati ke hati ‘kan?”
Aku  kembali mendesah kesal. Tapi amarahku sedikit buyar dan berganti dengan kekagetan ketika sebuah ciuman ringan mendarat dipipiku.
“maafkan aku,” Nino menatapku dengan tatapan memohon.
“siapa yang memberimu ijin untuk menciumku?”
“ow, maaf aku tak meminta ijin. Kau tak suka? Oke, ku kembalikan lagi,” Nino kembali mendaratkan ciuman ringan di pipiku. Aku mendelik. Ia hanya terkekeh.
Ah, sudahlah. Tak perlu ribut soal masa lalu. Yang jelas, sekarang aku sudah memutuskan untuk kembali padanya. Dan, aku takkan menyesalinya.
“Sekarang, boleh aku menciummu?” Nino kembali menatapku dengan tatapan nakal. Dan sebuah pukulan ringan segera ku layangkan ke dadanya hingga membuatnya meringis lucu. Ah, aku tahu ia hanya pura-pura kesakitan..

                                                                                                     Sambikerep, 10 April 2012
                                                                                                      Wiwin Setyobekti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar