Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon,
Jisoo, S.Coup, Lee Chan, DK, Ming Hao, udah.
Now, Woozi’s turn!
Judul : Call me ‘Beib’
Genre : Romance
***
Terkadang, cinta datang dengan
direncanakan.
***
“Berapa tarifmu?”
“20 ribu won untuk sekali nge-date,”
jawabku.
Lelaki berhidung kecil yang
duduk di depanku itu mengernyit.
“20 ribu won? Whoa, itu
termasuk murah,” ucapnya. Kedua matanya yang bening berbinar-binar indah.
Sumpah, ini pertama kalinya aku melihat lelaki dengan mata sebening itu.
Aku mengangkat bahu, cuek.
“Memang segitulah harganya.” Jawabku.
“Dan, apa yang boleh dan tak
boleh dilakukan?” Ia kembali bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Kiss still okay, but sex, no,” jawabku tegas.
Ia mengernyit.
“Maksudmu, 20 ribu won cuma untuk mengobrol, bergandengan
tangan, dan ... kissing saja?” Ia bertanya setengah tak percaya.
Aku mengangguk.
“Yep, just ‘kiss’. Tak lebih,” jawabku lagi.
Lelaki itu kembali mengernyit.
“Kalau begitu mahal dong,”
ucapnya kemudian. Aku terkekeh.
“Tadi bilang murah, sekarang bilang
mahal, gimana sih?” Desisku. Ia mengangkat bahu.
“Iya, tetep saja 20 ribu won untuk
sekali kencan, ngobrol doang, itu mahal,” jawabnya.
Aku tertawa lirih.
“Oppa, aku cuma pacar sewaan.
Tugasku cuma untuk menemani kencan, mengobrol, jalan-jalan, sudah. Aku tidak
menjajakan sex. Kalau kau menghendaki adegan ranjang, cari saja orang lain,”
aku meraih tasku dan bersiap-siap bangkit. Tapi lelaki itu memegang tanganku
dan menahanku.
“Oke, deal,” ucapnya.
Aku mengurungkan niatku.
“Jadilah pacarku, 2 minggu.
Tarifnya akan kulunasi sekarang juga.” lanjutnya.
Aku menatapnya, lalu tersenyum
dan mengangguk.
Kuulurkan tanganku.
“Lee Nara,” ucapku.
“Ji Hoon,” ia menjawab seraya
menyambut uluran tanganku.
***
Dan begitulah akhirnya. Aku resmi menjadi pacar
sewaan Ji Hoon selama dua minggu. Aku menemaninya jalan-jalan, menemaninya
menghadiri acara-acara bisnis, makan malam dengan beberapa kliennya, hang out
dengan beberapa teman-temannya, atau terkadang hanya duduk mengobrol dengannya
di balkon apartemennya.
Dengan penampilannya yang
sederhana, awalnya aku mengira ia seorang pekerja kantoran. Ternyata aku salah.
Ji Hoon seorang musisi. Bukan musisi amatir, percayalah. Ia seorang profesioanal.
Ia menciptakan beberapa lagu terkenal untuk penyanyi-penyanyi terkenal.
Beberapa lagunya bahkan begitu familiar di telingaku. Dan aku baru tahu bahwa
penciptanya adalah dia, lelaki yang sekarang menjadi ‘pacarku’. Wow, daebak!
Selain menjadi seorang musisi,
Ji Hoon ternyata juga punya beberapa usaha kafe dan rumah makan. Jika dilihat
dari kaca mata perempuan menilai, dia benar-benar lajang mapan yang patut
diperhitungkan untuk dijadikan target suami. Tapi, ah sudahlah. Aku juga
menjalankan pekerjaanku dengan profesional. Kami hanya klien.
Sejak menjalani profesi
sebagai pacar sewaan sekitar 3 tahun yang lalu, aku sudah menemui
bermacam-macam model pelanggan. Dan selama ini aku memang selalu mendapatkan
pelanggan yang sopan dan baik. Tentu saja, jika mereka tak baik, mereka tak
akan menyewaku, tapi menyewa perempuan komersial. Lelaki mana yang mau menyewa
pacar sewaan yang hanya mau diajak jalan-jalan dan mengobrol saja? Tentu hanya
lelaki baik-baik saja ‘kan?
Itulah mengapa tak pernah ada
yang bersikap kurang ajar padaku. Mereka memperlakukanku dengan baik dan sopan.
Tapi Jihoon berbeda. Jika
lelaki lain bersikap sopan. Dia ... luar biasa sopan.
Kesepakatan memperbolehkan
kami berciuman, tapi ia tak melakukannya. Ia bahkan senantiasa menghindari
kontak fisik denganku. Hal terjauh yang pernah ia lakukan padaku hanyalah
menggandeng dan menggenggam tanganku. Ia juga rajin membawakanku hadiah, walau
hanya sebuket bunga. Dan kata-katanya padaku selalu lembut dan penuh perhatian.
Memang sih semua pelangganku bersikap seperti itu, tapi sekali lagi, dia ...
berbeda. Semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku takjub. Berkali-kali
aku bahkan mendapati diriku tengah menatap tanpa sadar ke arahnya ketika ia
sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Atau ketika ia asyik bercerita
tentang kegiatannya, aku juga dengan asyik menatap dirinya.
Dia ... manly. Posturnya tak
begitu tinggi. Tapi tubuhnya seakan memancarkan aura laki-laki yang tak bisa
kupungkiri. Sungguh.
Ah, ini tidak mungkin! Aku
sudah bertekad untuk melakoni profesiku secara profesional dan tidak akan jatuh
cinta pada pelangganku sendiri. Tapi, Jihoon membuat hidupku jungkir balik...
***
“Kau ingin mengajakku kemana
hari ini?” tanyaku.
Jihoon membuka pintu mobil
lalu menyilakanku masuk.
“Tempat karaoke. Aku ada janji
dengan beberapa teman lama. Tak apa-apa ‘kan?” Ia bertanya, agak ragu.
Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Kau berhak mengajakku kemana saja.” Jawabku.
Jihoon mengangguk, lalu
berjalan memutar, dan sekian detik kemudian ia sudah duduk di kursi kemudi.
Mobil yang kami tumpangi
melaju perlahan menuju tempat karaoke yang ia maksud.
Ketika sampai di sana, kami
segera menuju meja yang telah di pesan oleh beberapa teman Jihoon. Sudah ada
beberapa orang yang menunggunya di sana. Dan tak ada satupun dari mereka yang
ku kenal.
Pertemuan itu berjalan seperti
biasanya. Kami mengobrol, kami menikmati minuman, kami menikmati musik.
Sampai akhirnya aku menyadari
bahwa seorang lelaki yang duduk tak jauh dariku terus saja memandangku. Aku
mencoba tersenyum ramah ke arahnya, ia membalasnya. Jengah karena ia terus menerus memandangku,
aku memutar tubuhku ke arahnya.
“Ada yang salah dengan
diriku?” Aku bertanya tanpa sungkan, dengan suara setengah berbisik. Ia
tersenyum.
“Kau tak mengenalku?” Ia balas
bertanya. Aku mengernyitkan dahi. Ku tatap lelaki itu lekat. Dan, ingatanku
akan dirinya seakan pulih.
“Aku masih ingat siapa kau.”
Ucapku kemudian. Aku lupa siapa namanya, tapi wajahnya tidak.
“Apa sekarang kau berubah?”
Lelaki itu bertanya lagi. Aku tersenyum.
“Tidak. Aku masih tetap tak
menjajakan sex.” Jawabku. Ia terkekeh, sinis.
“Sombong.” Dengusnya. “Jika suatu
saat nanti kau berubah pikiran dan mau menemaniku di tempat tidur, sebutkan
saja tarifnya. Akan ku bayar dua kali lipat.” Lanjutnya.
Aku menatapnya dengan mantap
lalu kembali tersenyum.
“Itu takkan terjadi.” Ucapku
tegas. Rahang namja itu kaku, tampak tersinggung. Ia menoleh ke arah Jihoon.
“Jihoon!” Panggilnya. Obrolan
Jihoon dengan beberapa rekannya yang lain terhenti, ia menoleh.
“Kau rugi jika menyewa
perempuan jalang seperti dia.” Lelaki itu berucap lantang. Tatapanku singgah ke
arah Jihoon. Ekspresi wajahnya berubah tegang. Ia nampak kaget.
“Kau-bilang-apa?” Jihoon
berucap dengan gigi terkatup. Aku merasakan firasat buruk.
“Kau hanya buang-buang uang
untuk wanita jalang seperti dia.” Ia menunjukku dengan ibu jarinya. “Ia cantik,
tapi tak asyik.” Lanjutnya.
“Aku bisa mengenalkanmu pada
perempuan jalang yang lain. Sama cantiknya, dan yang jelas, bisa kau ajak ke
tempat tidur. Percayalah ___”
Kalimat itu terhenti ketika
tiba-tiba Jihoon bangkit, menerjang ke arah namja tersebut, lalu melayangkan
sebuah pukulan telak ke wajahnya. Aku
menjerit kemudian tersentak dari tempat dudukku. Segera situasi menjadi
ribut.
“Jaga mulutmu!” Jihoon menarik
kerahnya. “Bahkan jika dia jalang, kau tetap tak berhak menghinanya!” Ia
mendesis lalu mendorong lelaki itu dengan kasar.
“Dia berada di bawah
kontrakku. Jika kau cari masalah dengannya, kau cari masalah denganku.” Kalimat
yang keluar dari mulut Jihoon ibarat sebuah peringatan.
“Maaf, sepertinya aku harus
pergi.” Ia menatap ke arah rekan-rekannya yang lain, lalu bergerak
menghampiriku yang masih berdiri mematung.
“Kita pulang.” Kemudian ia
menarik lengan tanganku dan membawaku keluar dari tempat tersebut, menuju
tempat parkir.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku.
Langkah Jihoon terhenti. Ia menatapku heran.
“Harusnya aku yang bertanya
padamu? Apa kau baik-baik saja?” Ia terdengar kesal.
Aku mengangkat bahu.
“Memang aku kenapa? Aku
baik-baik saja.” Jawabku.
“Nara, dia ...”
“Menghinaku?” potongku.
Selanjutnya aku terkekeh. “Aku sudah terbiasa. Aku kebal. Aku takkan terluka
oleh kata-kata seperti itu. Dan aku takkan menangis. Oke?” sergahku. “Biar ku
lihat tanganmu?” Aku menarik tangan Jihoon yang ternyata masih memegang
tanganku. Tampak buku-buku jemarinya memerah.
“Harus di kompres dengan es.”
Ujarku. Aku mendengar Jihoon menarik nafas panjang.
“Maaf. Lain kali, aku takkan
mengajakmu ke tempat seperti ini lagi.” Desisnya. Aku mendongak dan balas
menatapnya.
“It’s okay.” Jawabku.
Ya, it’s okay. Takkan ada lagi
lain kali. Karena besok, hari terakhir kita ‘pacaran’.
***
Jam menunjukkan pukul 11 malam ketika Jihoon
menjemputku dari tempat kerja lalu mengajakku ke apartemennya. Malam itu ia tetap kelihatan rapi seperti biasanya
dengan memadukan celana hitam dan kemeja yang lengannya dilipat hingga ke bawah
siku.
“Datanglah ke apartemenku, aku
menyiapkan suatu kejutan untukmu,” ucapnya lembut dengan mata
berbinar-binar. “Oh ya?” tanyaku
antusias. Dan namja itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
Ketika sampai di apartemennya,
aku terperangah ketika menyaksikan Jihoon telah menyiapkan sebuah candle light dinner yang romantis.
“Selamat ulang tahun, beib,” ucap Jihoon kemudian. Oh, aku
belum cerita? Hanya dia satu-satunya lelaki yang memanggilku dengan sebutan
kesayangan ‘Beib’.
Aku melongo. Sesaat kemudian
aku menepuk jidatnya dengan kesal. Astaga, aku lupa kalau hari ini adalah ulang
tahunku.
“Dari mana kau tahu kalau hari
ini adalah ulang tahunku?” tanyaku bingung. Jihoon tersenyum lembut.
“Tahu. Masak ulang tahun pacar
sendiri tak hafal?” jawabnya seraya menarik kursi di depan meja makan untuk
diriku.
“Terima kasih,” jawabku, lalu
duduk di kursi tersebut. Banyak lelaki yang telah memanggilku ‘pacar’ karena
pada dasarnya aku memang ‘pacar’ orang banyak. Tapi jika kata-kata itu keluar
dari bibir Jihoon, rasanya ...
menyenangkan.
“Ada lagi, sebentar.” Ia
beranjak menuju dapur dan sesaat kemudian ia kembali membawa sebuah kue tart
yang telah dilengkapi dengan lilin berbentuk angka 21, umurku.
Dan keharuanku makin bertambah ketika ia menyanyikan
lagu ulang tahun dengan suaranya yang merdu.
“Make a wish, beib,” ucapnya sesaat sebelum aku meniup lilin
tersebut. Aku tersenyum, memejamkan mata
sesaat untuk berdoa, lalu meniup lilin ulang tahun tersebut.
“Maaf ya, perayaannya
sederhana,” ujar Jihoon kemudian sambil meletakkan kue tart tersebut di ujung
meja, di samping menu candle light dinner
kami.
“Terima kasih, ini perayaan
ulang tahunku yang paling ... wow,” jawabku, jujur.
Jihoon tertawa bahagia.
“Terima kasih.”
“Tidak, aku yang terima
kasih.” Ujarku.
Dan kami menghabiskan sisa malam itu dengan dinner yang romantis sambil terus
mengobrol tentang banyak hal. Entahlah, aku hanya merasa bahwa semua ini ... nyata.
“Boleh aku bertanya banyak
hal?” pertanyaan Jihoon terdengar ragu. Sesaat setelah melewati makan malam
yang romantis, kami duduk-duduk di balkon apartemen sambil menatap indahnya
suasana kota di malam hari.
Aku tersenyum lalu menatapnya.
“You’ve got me, boy. So, please ...” jawabku.
“Sejak kapan kau menjalani
profesi sebagai pacar sewaan?” ia mulai bertanya.
Aku tak segera menjawab karena
mencoba mengingat kapan tepatnya aku mulai menjalani profesi ini.
“Kalau tidak salah, sekitar 3
tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku kuliah semester 1,” jawabku.
“Dan kenapa kau harus
melakukannya?” ia bertanya lagi.
Aku menyibakkan rambutku yang berjuntaian
karena tertiup angin. Lalu dengan bertopang dagu, aku kembali menatap Jihoon.
“Aku datang dari keluarga yang
tidak berada. Dan kau tahu biaya kuliah jaman sekarang sangat tinggi.
Sebenarnya aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko, tapi tetap saja
gajiku tak cukup untuk membayar kuliah dan juga biaya hidup. Dan akhirnya, aku
memutuskan untuk menjadi pacar sewaan. Tapi percayalah, aku tidak menjajakan
sex. Aku hanya memanfaatkan apa yang ada pada diriku. Well, bukannya sombong.
Tapi aku memang cantik, aku menyenangkan diajak ngobrol, dan percayalah, aku
adalah pendengar yang baik,” jawabku.
Jihoon tertawa lirih. Ia
manggut-manggut. Ah, suaranya ketawanya indah.
“Kau benar. Kau cantik, kau
menyenangkan dan kau memang pendengar yang baik,” jawabnya.
Aku ikut tertawa. “Aku hanya
bercanda,” ujarku. Jihoon menggeleng.
“Tidak, aku yang serius. Kau
memang ... begitu,” tukasnya.
“Oke deh, terima kasih,” aku
tergelak.
“Kau tak takut kalau ada
pelangganmu yang bersikap kurang ajar padamu? Maksudku ... yaa, kau tahulah ...
pelecehan seksual dan semacamnya?” Pertanyaan Jihoon terdengar ngeri.
Aku menggeleng.
“Tidak. Karena aku yakin
pelanggan-pelangganku adalah lelaki terhormat yang mampu menghargai perempuan.”
ucapku, yakin.
“Dari mana kau tahu?”
Aku terkekeh sesaat.
“Sayaang, coba deh dipikir.
Kalau mereka lelaki brengsek, maka mereka tak akan menyewaku. Mereka pasti
lebih memilih menyewa pelacur yang bisa di ajak tidur daripada diriku yang
hanya menawarkan jasa ‘mengobrol’ saja,” jelasku.
Jihoon mengangguk-angguk.
“Dan aku tetap yakin bahwa
akan ada saja lelaki yang ingin menyewaku karena aku tahu, tidak semua
laki-laki memikirkan sex semata. Ada di antara mereka yang benar-benar butuh
teman dekat yang bisa di ajak mengobrol, berbagi cerita, di dengarkan keluh
kesahnya, ditemani saat dia makan dan membuatnya nyaman ketika di ajak
jalan-jalan, benar ‘kan?” aku seperti menanyakan itu pada Jihoon.
Dan lelaki itu kembali
mengangguk-angguk.
“Dan sampai kapan kau
berencana meneruskan profesi sebagai pacar sewaan?”
Aku mengangkat bahu.
“Setelah kuliahku selesai, aku
berencana berhenti lalu mencari pekerjaan yang mapan dan mulai menata hidupku,”
jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dalam.
“Jika aku ingin menyewamu
untuk jangka waktu yang sangat lama, berapa harga yang harus kubayar?” ia
bertanya kemudian.
Aku balas menatapnya dengan
bingung.
“Sangat lama maksudnya ... berapa tahun?”
“Seumur hidup,” Ia menjawab
cepat hingga membuatku tertegun beberapa saat.
Aku menyelonjorkan kedua
kakiku di bawah meja lalu memperbaiki posisi dudukku. Aku sengaja mengulur
waktu untuk memikirkan jawabanku.
“Well, sepertinya tarifnya
akan sangat mahal,” jawabku kemudian.
“Berapa?”
“Semua yang kau punya,” jawabku
asal.
“Jika aku bersedia memberikan
semua yang aku punya, apa kau akan bersamaku, seumur hidupmu?” Jihoon terus
menatapku.
Aku mematung. Hening sesaat. Apa orang ini serius?
“Sebenarnya apa yang kau
inginkan?” kata-kataku pelan, tapi tak begitu lirih.
Jihoon menarik nafas, terlihat
sedang menyusun kalimat di benaknya.
“Apa yang ku punya saat ini
memang kuperuntukkan untuk dirimu, Nara.” Timbre suaranya yang lembut benar-benar
membuat jantungku jungkir balik.
“Asal kau tahu, sebenarnya aku
berasal dari kampus yang sama denganmu. Aku berada beberapa tingkat di atasmu.
Kita satu fakultas, tapi beda jurusan,” ia mulai menjelaskan.
Aku menatapnya, kembali
bingung.
“Sunbae?” Cetusku. Jihoon
mengangguk.
“Aku sudah skripsi ketika kau
baru menjadi mahasiswa baru,” lanjutnya.
“Aku pertama kali melihatmu di
acara pengenalan mahasiswa baru. Dan sejak saat itu, aku benar-benar terpesona
olehmu. Lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, aku telah jatuh cinta pada
pandangan pertama ... denganmu,”
Dan aku makin terkesiap.
“Aku ingin mendekatimu dan
mengenalmu lebih jauh. Tapi aku tak punya keberanian. Hingga akhirnya aku tahu
bahwa kau menjalani profesi sebagai pacar sewaan dan aku benar-benar tak punya
nyali untuk mendekatimu. Yaaa... kau tahulah. Aku hanya mahasiswa biasa yang
belum bekerja, dan masih mengandalkan kiriman dari orang tua untuk bertahan
hidup. Hingga akhirnya, sesaat setelah yudisium, aku bertekad untuk mempunyai
pekerjaan. Dan beginilah akhirnya. Setelah bersusah payah, aku mulai menata
kehidupanku menjadi pria yang mapan baik secara mental maupun finansial. Dan
itu yang membuatku berani untuk mendekatimu kembali,” jelas Jihoon lagi.
Kedua mataku mengerjap.
“Nara ... aku punya gaji
setiap bulannya. Hartaku tak terlalu banyak, tapi aku punya beberapa apartemen
dan beberapa usaha. Dan percayalah, aku mampu menghidupimu secara layak. Kau
tak perlu lagi menjadi pacar sewaan untuk membayar biaya kuliahmu karena aku
mampu secara finansial menanggung biaya hidupmu. Kau bisa mengandalkanku sebagai
laki-laki,”
Ji Hoon merogoh sesuatu dari
saku celananya lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depanku. Aku kembali
melongo. Cincin!
“Bersediakah kau membuat
kontrak seumur hidup denganku?” kalimat Jihoon terdengar begitu lembut dan
tulus.
Aku menatap cincin itu dan
juga ke arah Jihoon secara bergantian. Aku benar-benar bingung harus menjawab
apa.
“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba
buatmu. Tapi ku harap kau mau memberikanku kesempatan untuk menunjukkan betapa
tulus cintaku padamu,” Lelaki itu
kembali melanjutkan.
“Jika kau bersedia memberiku
kesempatan, ambil dan simpanlah cincin ini. Jika tidak, atau saat ini kau
sedang terlibat hubungan serius dengan pria lain, maka lemparkan saja cincin
ini ke sana,” Ji Hoon menunjuk ke arah luar balkon.
“Dan aku janji aku takkan lagi
mengganggumu ataupun menemuimu,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali terkunci.
Aku sempat menyaksikan rahang
Jihoon mengeras. Ia pasti tegang luar biasa, sama seperti diriku.
Aku merasakan kedua mataku
berkaca-kaca. Bibirku bergetar.
Perlahan, ku raih cincin di
meja lalu ku genggam dengan erat. Dan kembali aku menatap Jihoon. Lelaki itu
menggigit bibirnya dengan gusar.
“Aku sedang tidak terlibat
hubungan serius dengan pria manapun, jadi ... cincin ini akan ku simpan,”
jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dengan
tatapan tak percaya.
“Ini artinya kau menerimaku?”
Ia memastikan. Aku mengangguk.
Senyum mengembang di bibirnya
yang tipis. Lalu ia tertawa lirih. Tawa bahagia.
Kami kembali berpandangan. Dan
aku menyaksikan kedua matanya juga berkaca-kaca.
“Boleh aku menangis?
Sekali-kali pria tak apa-apa ‘kan menangis?” ia seperti bertanya dirinya
sendiri.
Aku tergelak, lalu mengangguk.
Jihoon kembali menggigit
bibirnya.
“Aku hanya ... terlalu
bahagia, Nara. Sepertinya aku ingin menangis lalu memelukmu erat,” ucapnya
lagi.
Aku kembali tersenyum.
Perlahan aku bangkit lalu mengulurkan kedua tanganku.
“Kalau begitu, kemarilah,”
ucapku.
Dan tak perlu menunggu lama
bagi Jihoon untuk bangkit, menghambur ke arahku, lalu memelukku erat.
“Aku mencintaimu, Nara,”
bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk. Aku juga.
Selesai.
By : Wiwin.83
Gambar bukan punyaku. Ku ambil
dari grup.