Selasa, 30 Juni 2015

[Cerpen/FF] Call me 'Beib'



Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo, S.Coup, Lee Chan, DK, Ming Hao, udah.
Now,  Woozi’s turn!

Judul : Call me ‘Beib’
Genre : Romance


*** 

Terkadang, cinta datang dengan direncanakan.

***

“Berapa tarifmu?”
“20 ribu won untuk sekali nge-date,” jawabku.
Lelaki berhidung kecil yang duduk di depanku itu mengernyit.
“20 ribu won? Whoa, itu termasuk murah,” ucapnya. Kedua matanya yang bening berbinar-binar indah. Sumpah, ini pertama kalinya aku melihat lelaki dengan mata sebening itu.
Aku mengangkat bahu, cuek. “Memang segitulah harganya.” Jawabku.
“Dan, apa yang boleh dan tak boleh dilakukan?” Ia kembali bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Kiss still okay, but sex, no,” jawabku tegas.
Ia mengernyit.
“Maksudmu,  20 ribu won cuma untuk mengobrol, bergandengan tangan, dan ... kissing saja?” Ia bertanya setengah tak percaya.
Aku mengangguk.
Yep, just ‘kiss’. Tak lebih,” jawabku lagi.
Lelaki itu kembali  mengernyit.
“Kalau begitu mahal dong,” ucapnya kemudian. Aku terkekeh.
“Tadi bilang murah, sekarang bilang mahal, gimana sih?” Desisku. Ia mengangkat bahu.
“Iya, tetep saja 20 ribu won untuk sekali kencan, ngobrol doang, itu mahal,” jawabnya.
Aku tertawa lirih.
“Oppa, aku cuma pacar sewaan. Tugasku cuma untuk menemani kencan, mengobrol, jalan-jalan, sudah. Aku tidak menjajakan sex. Kalau kau menghendaki adegan ranjang, cari saja orang lain,” aku meraih tasku dan bersiap-siap bangkit. Tapi lelaki itu memegang tanganku dan menahanku.
“Oke, deal,” ucapnya.
Aku mengurungkan niatku.
“Jadilah pacarku, 2 minggu. Tarifnya akan kulunasi sekarang juga.” lanjutnya.
Aku menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk.
Kuulurkan tanganku.
“Lee Nara,” ucapku.
“Ji Hoon,” ia menjawab seraya menyambut uluran tanganku.

***
                Dan begitulah akhirnya. Aku resmi menjadi pacar sewaan Ji Hoon selama dua minggu. Aku menemaninya jalan-jalan, menemaninya menghadiri acara-acara bisnis, makan malam dengan beberapa kliennya, hang out dengan beberapa teman-temannya, atau terkadang hanya duduk mengobrol dengannya di balkon apartemennya.
Dengan penampilannya yang sederhana, awalnya aku mengira ia seorang pekerja kantoran. Ternyata aku salah. Ji Hoon seorang musisi. Bukan musisi amatir, percayalah. Ia seorang profesioanal. Ia menciptakan beberapa lagu terkenal untuk penyanyi-penyanyi terkenal. Beberapa lagunya bahkan begitu familiar di telingaku. Dan aku baru tahu bahwa penciptanya adalah dia, lelaki yang sekarang menjadi ‘pacarku’. Wow, daebak!
Selain menjadi seorang musisi, Ji Hoon ternyata juga punya beberapa usaha kafe dan rumah makan. Jika dilihat dari kaca mata perempuan menilai, dia benar-benar lajang mapan yang patut diperhitungkan untuk dijadikan target suami. Tapi, ah sudahlah. Aku juga menjalankan pekerjaanku dengan profesional. Kami hanya klien.

Sejak menjalani profesi sebagai pacar sewaan sekitar 3 tahun yang lalu, aku sudah menemui bermacam-macam model pelanggan. Dan selama ini aku memang selalu mendapatkan pelanggan yang sopan dan baik. Tentu saja, jika mereka tak baik, mereka tak akan menyewaku, tapi menyewa perempuan komersial. Lelaki mana yang mau menyewa pacar sewaan yang hanya mau diajak jalan-jalan dan mengobrol saja? Tentu hanya lelaki baik-baik saja ‘kan?
Itulah mengapa tak pernah ada yang bersikap kurang ajar padaku. Mereka memperlakukanku dengan baik dan sopan.

Tapi Jihoon berbeda. Jika lelaki lain bersikap sopan. Dia ... luar biasa sopan.
Kesepakatan memperbolehkan kami berciuman, tapi ia tak melakukannya. Ia bahkan senantiasa menghindari kontak fisik denganku. Hal terjauh yang pernah ia lakukan padaku hanyalah menggandeng dan menggenggam tanganku. Ia juga rajin membawakanku hadiah, walau hanya sebuket bunga. Dan kata-katanya padaku selalu lembut dan penuh perhatian. Memang sih semua pelangganku bersikap seperti itu, tapi sekali lagi, dia ... berbeda. Semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku takjub. Berkali-kali aku bahkan mendapati diriku tengah menatap tanpa sadar ke arahnya ketika ia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Atau ketika ia asyik bercerita tentang kegiatannya, aku juga dengan asyik menatap dirinya.
Dia ... manly. Posturnya tak begitu tinggi. Tapi tubuhnya seakan memancarkan aura laki-laki yang tak bisa kupungkiri. Sungguh.

Ah, ini tidak mungkin! Aku sudah bertekad untuk melakoni profesiku secara profesional dan tidak akan jatuh cinta pada pelangganku sendiri. Tapi, Jihoon membuat hidupku jungkir balik...

***  
“Kau ingin mengajakku kemana hari ini?” tanyaku.
Jihoon membuka pintu mobil lalu menyilakanku masuk.
“Tempat karaoke. Aku ada janji dengan beberapa teman lama. Tak apa-apa ‘kan?” Ia bertanya, agak ragu.
Aku tersenyum lalu menggeleng. “Kau berhak mengajakku kemana saja.” Jawabku.
Jihoon mengangguk, lalu berjalan memutar, dan sekian detik kemudian ia sudah duduk di kursi kemudi.
Mobil yang kami tumpangi melaju perlahan menuju tempat karaoke yang ia maksud.
Ketika sampai di sana, kami segera menuju meja yang telah di pesan oleh beberapa teman Jihoon. Sudah ada beberapa orang yang menunggunya di sana. Dan tak ada satupun dari mereka yang ku kenal.
Pertemuan itu berjalan seperti biasanya. Kami mengobrol, kami menikmati minuman, kami menikmati musik.
Sampai akhirnya aku menyadari bahwa seorang lelaki yang duduk tak jauh dariku terus saja memandangku. Aku mencoba tersenyum ramah ke arahnya, ia membalasnya.  Jengah karena ia terus menerus memandangku, aku memutar tubuhku ke arahnya.
“Ada yang salah dengan diriku?” Aku bertanya tanpa sungkan, dengan suara setengah berbisik. Ia tersenyum.
“Kau tak mengenalku?” Ia balas bertanya. Aku mengernyitkan dahi. Ku tatap lelaki itu lekat. Dan, ingatanku akan dirinya seakan pulih.
“Aku masih ingat siapa kau.” Ucapku kemudian. Aku lupa siapa namanya, tapi wajahnya tidak.
“Apa sekarang kau berubah?” Lelaki itu bertanya lagi. Aku tersenyum.
“Tidak. Aku masih tetap tak menjajakan sex.” Jawabku. Ia terkekeh, sinis.
“Sombong.” Dengusnya. “Jika suatu saat nanti kau berubah pikiran dan mau menemaniku di tempat tidur, sebutkan saja tarifnya. Akan ku bayar dua kali lipat.” Lanjutnya.
Aku menatapnya dengan mantap lalu kembali tersenyum.
“Itu takkan terjadi.” Ucapku tegas. Rahang namja itu kaku, tampak tersinggung. Ia menoleh ke arah Jihoon.
“Jihoon!” Panggilnya. Obrolan Jihoon dengan beberapa rekannya yang lain terhenti, ia menoleh.
“Kau rugi jika menyewa perempuan jalang seperti dia.” Lelaki itu berucap lantang. Tatapanku singgah ke arah Jihoon. Ekspresi wajahnya berubah tegang. Ia nampak kaget.
“Kau-bilang-apa?” Jihoon berucap dengan gigi terkatup. Aku merasakan firasat buruk.
“Kau hanya buang-buang uang untuk wanita jalang seperti dia.” Ia menunjukku dengan ibu jarinya. “Ia cantik, tapi tak asyik.” Lanjutnya.
“Aku bisa mengenalkanmu pada perempuan jalang yang lain. Sama cantiknya, dan yang jelas, bisa kau ajak ke tempat tidur. Percayalah ___”
Kalimat itu terhenti ketika tiba-tiba Jihoon bangkit, menerjang ke arah namja tersebut, lalu melayangkan sebuah pukulan telak ke wajahnya. Aku  menjerit kemudian tersentak dari tempat dudukku. Segera situasi menjadi ribut.
“Jaga mulutmu!” Jihoon menarik kerahnya. “Bahkan jika dia jalang, kau tetap tak berhak menghinanya!” Ia mendesis lalu mendorong lelaki itu dengan kasar.
“Dia berada di bawah kontrakku. Jika kau cari masalah dengannya, kau cari masalah denganku.” Kalimat yang keluar dari mulut Jihoon ibarat sebuah peringatan.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi.” Ia menatap ke arah rekan-rekannya yang lain, lalu bergerak menghampiriku yang masih berdiri mematung.
“Kita pulang.” Kemudian ia menarik lengan tanganku dan membawaku keluar dari tempat tersebut, menuju tempat parkir.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku. Langkah Jihoon terhenti. Ia menatapku heran.
“Harusnya aku yang bertanya padamu? Apa kau baik-baik saja?” Ia terdengar kesal.
Aku mengangkat bahu.
“Memang aku kenapa? Aku baik-baik saja.” Jawabku.
“Nara, dia ...”
“Menghinaku?” potongku. Selanjutnya aku terkekeh. “Aku sudah terbiasa. Aku kebal. Aku takkan terluka oleh kata-kata seperti itu. Dan aku takkan menangis. Oke?” sergahku. “Biar ku lihat tanganmu?” Aku menarik tangan Jihoon yang ternyata masih memegang tanganku. Tampak buku-buku jemarinya memerah.
“Harus di kompres dengan es.” Ujarku. Aku mendengar Jihoon menarik nafas panjang.
“Maaf. Lain kali, aku takkan mengajakmu ke tempat seperti ini lagi.” Desisnya. Aku mendongak dan balas menatapnya.
“It’s okay.” Jawabku.
Ya, it’s okay. Takkan ada lagi lain kali. Karena besok, hari terakhir kita ‘pacaran’.

***

                Jam menunjukkan pukul 11 malam ketika Jihoon menjemputku dari tempat kerja lalu mengajakku ke apartemennya. Malam itu  ia tetap kelihatan rapi seperti biasanya dengan memadukan celana hitam dan kemeja yang lengannya dilipat hingga ke bawah siku.
“Datanglah ke apartemenku, aku menyiapkan suatu kejutan untukmu,” ucapnya lembut dengan mata berbinar-binar.  “Oh ya?” tanyaku antusias. Dan namja itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
Ketika sampai di apartemennya, aku terperangah ketika menyaksikan Jihoon telah menyiapkan sebuah candle light dinner yang romantis.
“Selamat ulang tahun, beib,” ucap Jihoon kemudian. Oh, aku belum cerita? Hanya dia satu-satunya lelaki yang memanggilku dengan sebutan kesayangan ‘Beib’.
Aku melongo. Sesaat kemudian aku menepuk jidatnya dengan kesal. Astaga, aku lupa kalau hari ini adalah ulang tahunku.
“Dari mana kau tahu kalau hari ini adalah ulang tahunku?” tanyaku bingung. Jihoon tersenyum lembut.
“Tahu. Masak ulang tahun pacar sendiri tak hafal?” jawabnya seraya menarik kursi di depan meja makan untuk diriku.
“Terima kasih,” jawabku, lalu duduk di kursi tersebut. Banyak lelaki yang telah memanggilku ‘pacar’ karena pada dasarnya aku memang ‘pacar’ orang banyak. Tapi jika kata-kata itu keluar dari bibir Jihoon, rasanya ...  menyenangkan.
“Ada lagi, sebentar.” Ia beranjak menuju dapur dan sesaat kemudian ia kembali membawa sebuah kue tart yang telah dilengkapi dengan lilin berbentuk angka 21, umurku.
                Dan keharuanku makin bertambah ketika ia menyanyikan lagu ulang tahun dengan suaranya yang merdu.
Make a wish, beib,” ucapnya sesaat sebelum aku meniup lilin tersebut. Aku tersenyum,  memejamkan mata sesaat untuk berdoa, lalu meniup lilin ulang tahun tersebut.
“Maaf ya, perayaannya sederhana,” ujar Jihoon kemudian sambil meletakkan kue tart tersebut di ujung meja, di samping menu candle light dinner kami.
“Terima kasih, ini perayaan ulang tahunku yang paling ... wow,” jawabku, jujur.
Jihoon tertawa bahagia. “Terima kasih.”
“Tidak, aku yang terima kasih.” Ujarku.
                Dan kami menghabiskan sisa malam itu dengan dinner yang romantis sambil terus mengobrol tentang banyak hal. Entahlah, aku hanya merasa bahwa semua ini ... nyata.
“Boleh aku bertanya banyak hal?” pertanyaan Jihoon terdengar ragu. Sesaat setelah melewati makan malam yang romantis, kami duduk-duduk di balkon apartemen sambil menatap indahnya suasana kota di malam hari.
Aku tersenyum lalu menatapnya.
“You’ve got me, boy. So, please ...” jawabku.
“Sejak kapan kau menjalani profesi sebagai pacar sewaan?” ia mulai bertanya.
Aku tak segera menjawab karena mencoba mengingat kapan tepatnya aku mulai menjalani profesi ini.
“Kalau tidak salah, sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku kuliah semester 1,” jawabku.
“Dan kenapa kau harus melakukannya?” ia bertanya lagi.
Aku menyibakkan rambutku yang berjuntaian karena tertiup angin. Lalu dengan bertopang dagu, aku kembali menatap Jihoon.
“Aku datang dari keluarga yang tidak berada. Dan kau tahu biaya kuliah jaman sekarang sangat tinggi. Sebenarnya aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko, tapi tetap saja gajiku tak cukup untuk membayar kuliah dan juga biaya hidup. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi pacar sewaan. Tapi percayalah, aku tidak menjajakan sex. Aku hanya memanfaatkan apa yang ada pada diriku. Well, bukannya sombong. Tapi aku memang cantik, aku menyenangkan diajak ngobrol, dan percayalah, aku adalah pendengar yang baik,” jawabku.
Jihoon tertawa lirih. Ia manggut-manggut. Ah, suaranya ketawanya indah.
“Kau benar. Kau cantik, kau menyenangkan dan kau memang pendengar yang baik,” jawabnya.
Aku ikut tertawa. “Aku hanya bercanda,” ujarku. Jihoon menggeleng.
“Tidak, aku yang serius. Kau memang ... begitu,” tukasnya.
“Oke deh, terima kasih,” aku tergelak.
“Kau tak takut kalau ada pelangganmu yang bersikap kurang ajar padamu? Maksudku ... yaa, kau tahulah ... pelecehan seksual dan semacamnya?” Pertanyaan Jihoon terdengar ngeri.
Aku menggeleng.
“Tidak. Karena aku yakin pelanggan-pelangganku adalah lelaki terhormat yang mampu menghargai perempuan.” ucapku, yakin.
“Dari mana kau tahu?”
Aku terkekeh sesaat.
“Sayaang, coba deh dipikir. Kalau mereka lelaki brengsek, maka mereka tak akan menyewaku. Mereka pasti lebih memilih menyewa pelacur yang bisa di ajak tidur daripada diriku yang hanya menawarkan jasa ‘mengobrol’ saja,” jelasku.
Jihoon mengangguk-angguk.
“Dan aku tetap yakin bahwa akan ada saja lelaki yang ingin menyewaku karena aku tahu, tidak semua laki-laki memikirkan sex semata. Ada di antara mereka yang benar-benar butuh teman dekat yang bisa di ajak mengobrol, berbagi cerita, di dengarkan keluh kesahnya, ditemani saat dia makan dan membuatnya nyaman ketika di ajak jalan-jalan, benar ‘kan?” aku seperti menanyakan itu pada Jihoon.
Dan lelaki itu kembali mengangguk-angguk.
“Dan sampai kapan kau berencana meneruskan profesi sebagai pacar sewaan?”
Aku mengangkat bahu.
“Setelah kuliahku selesai, aku berencana berhenti lalu mencari pekerjaan yang mapan dan mulai menata hidupku,” jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dalam.
“Jika aku ingin menyewamu untuk jangka waktu yang sangat lama, berapa harga yang harus kubayar?” ia bertanya kemudian.
Aku balas menatapnya dengan bingung.
Sangat lama maksudnya ... berapa tahun?”
“Seumur hidup,” Ia menjawab cepat hingga membuatku tertegun beberapa saat.
Aku menyelonjorkan kedua kakiku di bawah meja lalu memperbaiki posisi dudukku. Aku sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawabanku.
“Well, sepertinya tarifnya akan sangat mahal,” jawabku kemudian.
“Berapa?”
“Semua yang kau punya,” jawabku asal.
“Jika aku bersedia memberikan semua yang aku punya, apa kau akan bersamaku, seumur hidupmu?” Jihoon terus menatapku.
Aku mematung. Hening sesaat. Apa orang ini serius?
“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” kata-kataku pelan, tapi tak begitu lirih.
Jihoon menarik nafas, terlihat sedang menyusun kalimat di benaknya.
“Apa yang ku punya saat ini memang kuperuntukkan untuk dirimu, Nara.”  Timbre suaranya yang lembut benar-benar membuat jantungku jungkir balik.
“Asal kau tahu, sebenarnya aku berasal dari kampus yang sama denganmu. Aku berada beberapa tingkat di atasmu. Kita satu fakultas, tapi beda jurusan,” ia mulai menjelaskan.
Aku menatapnya, kembali bingung.
“Sunbae?” Cetusku. Jihoon mengangguk.
“Aku sudah skripsi ketika kau baru menjadi mahasiswa baru,” lanjutnya.
“Aku pertama kali melihatmu di acara pengenalan mahasiswa baru. Dan sejak saat itu, aku benar-benar terpesona olehmu. Lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama ... denganmu,”
Dan aku makin terkesiap.
“Aku ingin mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh. Tapi aku tak punya keberanian. Hingga akhirnya aku tahu bahwa kau menjalani profesi sebagai pacar sewaan dan aku benar-benar tak punya nyali untuk mendekatimu. Yaaa... kau tahulah. Aku hanya mahasiswa biasa yang belum bekerja, dan masih mengandalkan kiriman dari orang tua untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, sesaat setelah yudisium, aku bertekad untuk mempunyai pekerjaan. Dan beginilah akhirnya. Setelah bersusah payah, aku mulai menata kehidupanku menjadi pria yang mapan baik secara mental maupun finansial. Dan itu yang membuatku berani untuk mendekatimu kembali,” jelas Jihoon lagi.
Kedua mataku mengerjap.
“Nara ... aku punya gaji setiap bulannya. Hartaku tak terlalu banyak, tapi aku punya beberapa apartemen dan beberapa usaha. Dan percayalah, aku mampu menghidupimu secara layak. Kau tak perlu lagi menjadi pacar sewaan untuk membayar biaya kuliahmu karena aku mampu secara finansial menanggung biaya hidupmu. Kau bisa mengandalkanku sebagai laki-laki,”
Ji Hoon merogoh sesuatu dari saku celananya lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depanku. Aku kembali melongo. Cincin!
“Bersediakah kau membuat kontrak seumur hidup denganku?” kalimat Jihoon terdengar begitu lembut dan tulus.
Aku menatap cincin itu dan juga ke arah Jihoon secara bergantian. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa.
“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba buatmu. Tapi ku harap kau mau memberikanku kesempatan untuk menunjukkan betapa tulus cintaku padamu,” Lelaki itu  kembali melanjutkan.
“Jika kau bersedia memberiku kesempatan, ambil dan simpanlah cincin ini. Jika tidak, atau saat ini kau sedang terlibat hubungan serius dengan pria lain, maka lemparkan saja cincin ini ke sana,” Ji Hoon menunjuk ke arah luar balkon.
“Dan aku janji aku takkan lagi mengganggumu ataupun menemuimu,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali terkunci.
Aku sempat menyaksikan rahang Jihoon mengeras. Ia pasti tegang luar biasa, sama seperti diriku.
Aku merasakan kedua mataku berkaca-kaca. Bibirku bergetar.
Perlahan, ku raih cincin di meja lalu ku genggam dengan erat. Dan kembali aku menatap Jihoon. Lelaki itu menggigit bibirnya dengan gusar.
“Aku sedang tidak terlibat hubungan serius dengan pria manapun, jadi ... cincin ini akan ku simpan,” jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dengan tatapan tak percaya.
“Ini artinya kau menerimaku?” Ia memastikan. Aku mengangguk.
Senyum mengembang di bibirnya yang tipis. Lalu ia tertawa lirih. Tawa bahagia.
Kami kembali berpandangan. Dan aku menyaksikan kedua matanya juga berkaca-kaca.
“Boleh aku menangis? Sekali-kali pria tak apa-apa ‘kan menangis?” ia seperti bertanya dirinya sendiri.
Aku tergelak, lalu mengangguk.
Jihoon kembali menggigit bibirnya.
“Aku hanya ... terlalu bahagia, Nara. Sepertinya aku ingin menangis lalu memelukmu erat,” ucapnya lagi.
Aku kembali tersenyum. Perlahan aku bangkit lalu mengulurkan kedua tanganku.
“Kalau begitu, kemarilah,” ucapku.
Dan tak perlu menunggu lama bagi Jihoon untuk bangkit, menghambur ke arahku, lalu memelukku erat.
“Aku mencintaimu, Nara,” bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk. Aku juga.

Selesai.

By : Wiwin.83
Gambar bukan punyaku. Ku ambil dari grup.






[Cerpen/FF] Makhluk manis dari kelas sebelah



Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo, S.Coup, Lee Chan, DK, udah.
Sekarang giliran : Ming Hao.

Judul : Makhluk manis dari kelas sebelah
Genre : Romance


Jam istirahat, makhluk manis itu kembali duduk dengan santai di taman, di bawah pohon akasia, seperti biasanya. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari earphone yang terpasang di telinganya. Sesekali namja itu mengetuk-etukan jemarinya di bangku yang ia duduki. Kadang-kadang pula ia membolak-balik buku yang ia pegang. Entah buku apa yang ia baca.
Tae Hee tersenyum. Beberapa hari terakhir ini ia memang rajin memperhatikan tingkah sosok itu, diam-diam, dari balik jendela kelasnya. Sesosok namja berhidung bulat dan berwajah manis. Manis luar biasa, itu yang ada di kepala Tae Hee.
“Senyum-senyum sendiri seperti orang sakit jiwa, kenapa?” Yewon membuyarkan lamunan Tae Hee. Yeoja cantik itu hanya tersenyum. Mulanya ia berniat bungkam dari sahabat baiknya tersebut, seperti biasanya. Tapi entah kenapa, hari ini ia serasa tak tahan lagi membendung gejolak di dalam hatinya. Ia ingin cerita semuanya pada Yewon, mengenai makhluk manis yang telah membuat jantungnya berlompatan.
Dan akhirnya, ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah sosok yang masih duduk dengan santai di taman.
“Kau tahu siapa dia?” Ia bertanya santai.
Yewon membetulkan letak kaca matanya lalu mengikuti arah telunjuk Tae Hee.
“Ow, itu. Ming Hao maksudmu?”
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Ming Hao?”
Yewon mengangguk.
“Pura-pura tak tahu, gitu?” Ia mengomel.
Tae Hee menggeleng dengan polos hingga membuat Yewon tersentak.
“Jadi kau bener-benar tak tahu siapa dia!?” suaranya yang tebal menggelegar. Dan Tae Hee-pun kembali menggeleng.
“Astaga, kau benar-benar tega ya? Ming Hao itu memang murid biasa di sekolah kita, tapi ‘kan dia dari kelas sebelah. Masak begitu saja kau tak tahu?”
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Dia dari kelas sebelah?” nada suaranya terdengar kaget.
“Jadi kau juga tak tahu kalau dia dari kelas sebelah?” Yewon memastikan, dan Tae Hee pun kembali menggeleng. Sahabatnya itu menepuk jidatnya sendiri lalu duduk di samping Tae Hee.
“Ok, aku paham kenapa dia yang berasal dari kelas sebelah saja kau tak kenal. Kau terlalu popular, terlalu sibuk. Sibuk ekstrakurikuler, sibuk belajar, sibuk organisasi, sibuk chearleader, sibuk pemotretan, sibuk ini, sibuk itu, bla bla bla,”
Yewon menjabarkan semua kegiatan Tae Hee dari A sampek Z, lalu kembali lagi ke A, layaknya seorang manajer yang lagi brieafing jadwal sama artisnya!
Well, yang dikatakan Yewon memang benar. Selama ini Tae Hee memang masuk jajaran siswi aktif di sekolah. Ia benar-benar popular di kalangan semua siswa maupun guru. Maklum, hampir semua kegiatan sekolah ia ikuti. Dari ekstra yang menguras tenaga fisik seperti karate, sampai melukis dan menari. Ia juga termasuk siswa cemerlang di sekolah. Terbukti dengan keikut sertaannya sebagai perwakilan dalam beberapa lomba ataupun olimpiade. Ia juga berprofesi sebagai foto model, meski belum sepenuhnya. Wajahnya yang cantik jelita sering menghiasi cover majalah.
Yewon benar. Ia terlalu sibuk. Apalagi soal urusan namja. Sampai akhirnya ia baru menyadari sosok manis yang ternyata berasal dari kelas sebelah!
“Kenapa ingin tahu? Naksir?”
“Ya,” Tae Hee menjawab cepat hingga membuat sahabatnya terbelalak.
“Whatt???” ia memekik.
“Jinjja???”
Tae Hee hanya tersenyum.
“Tae Hee, kau serius?” nada suara Yewon setengah barbisik, seolah-olah takut akan terdengar oleh siswa yang lain. Dan Tae Hee pun menatap sahabatnya dengan serius.
“Well, sebetulnya aku sendiri belum yakin akan perasaanku. Tapi, jujur aku suka melihat dia. Tiap kali melihat dia, hatiku berdebar, jungkir balik tak karuan. Jika itu termasuk tanda cinta, berarti kemungkinan aku memang jatuh cinta padanya,” suara Tae Hee juga terdengar pelan, setengah berbisik.
“Ku harap kau bisa menjaga rahasai ini,” sambungnya lagi.
Yewon hanya melongo selama beberapa saat.
“Apa kau gila? Apa kau salah makan hari ini?” tanya yeoja itu heran.
Tae Hee menatap sahabatnya denga heran pula, kelopak matanya mengerjap.
“Ada masalah?”
“Anio, cuma aneh saja kalau siswa sepertimu bisa jatuh cinta padanya.” Jawab Yewon.
Tari mengangkat bahu.
“Bukankah aku sudah bilang. Aku juga belum yakin akan perasaanku. Maka dari itu, biarkan aku mencari tahu dulu, Nde?” ujarnya.
“Caranya?” Yewon bertanya bingung.
“Tentu saja dengan mendekatinya,” jawab Tae Hee tegas. Dan untuk kesekian kalinya, Yewon kembali melongo kaget. Jujur, baru kali ini Tae Hee bertingkah seperti ini.

***

            “Hai, boleh aku duduk sini?” tanya Tae Hee pada Ming Hao ketika siang itu ia menyapanya. Namja manis itu tengah asyik duduk-duduk di taman, sambil menonton beberapa siswa yang lain latihan basket.
Ming Hao mendongak, menatap Tae Hee sesaat lalu melepaskan earphone dari telinganya.
“Boleh aku duduk sini?” Tae Hee kembali mengulangi pertanyaannnya ketika menyadari bahwa cowok itu tengah memakai earphone.
Ming Hao tersenyum, manis sekali.
“Silahkan. Dengan senang hati,” jawab Ming Hao ramah seraya menggeser duduknya dan menyisakan space untuk Tae Hee. Tae Hee segera duduk di samping namja tersebut. Ia tak menyangka kalau Ming Hao akan membalasnya dengan ramah.
Sesaat ada perdebatan batin di hati Tae Hee. Antara memeperkenalkan diri pada Ming Hao, ataukah tidak? Ia takut namja itu tak mengenali dirinya, sama seperti dirinya yang juga seolah-olah baru tahu keberadaan Ming Hao.
“Oh iya, bukankah bulan depan kau akan mewakili sekolah mengikuti lomba pidato bahasa inggris?”
Tae Hee terhenyak mendengar pertanyaan Ming Hao. Ia tahu?
“Kau tahu?” Ia bertanya spontan. Ming Hao terkekeh.
“Tentu saja. Bukankah kemarin di umumkan oleh pak kepala sekolah ketika upacara,”
“Jadi kau tahu siapa aku ‘kan?”
Ming Hao tergelak.
“Ya ampun, Tae Hee. Pertanyaanmu aneh,”  ucapnya.
Tae Hee tersenyum lega begitu mendengar Ming Hao memanggil namanya.
“Tidak latihan? Beberapa hari ini aku melihatmu berlatih dengan mr. Smith di ruang seni,” tanya Ming Hao lagi dengan ramah.
“Baru saja selesai,” jawab Tae Hee.
“Semoga berhasil.” Ucapan Ming Hao terdengar begitu tulus.
“Gomawo,” Tae Hee kembali menjawab dengan sedikit bengong. Ternyata Ming Hao juga tahu tentang aktifitasnya? Ah, tiba-tiba saja Tae Hee begitu gembira.
Ming Hao memang terlihat pendiam. Tapi begitu sudah ngobrol dengannya, kelihatan sekali kalau ia orang yang mudah bergaul. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu ramah, tak ada nada canggung sama sekali. Seolah-olah saja mereka adalah sahabat akrab. Dan, Tae Hee benar-benar nyaman.
“Oh iya, sepertinya baru kali ini kau menyapaku dan kita mengobrol lama seperti ini.” Ujar Ming Hao hingga membuat Tae Hee Nyengir.
“Oh ... ya?” Ia agak bingung mencari jawaban yang tepat.
Ming Hao tersenyum.
“Gwaencana. Aku tahu kau bukan anak yang sombong. Kau cuma tak sempat saja ngobrol dengan banyak teman yang lain karena kau sibuk. Ikut lomba, ikut pemotretan, ah, apa kau tak lelah dengan aktifitas sebanyak itu?”
“Aku sudah terbiasa.” Jawabnya takjub. Ia senang sekali mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Ming Hao.
Keduanya terus mengobrol dengan akrab.
“Oh iya, aku sering melihatmu mendengarkan musik lewat earphone. Aku juga sering melihatmu membaca. Musik apa yang kau dengarkan? Pop? Rock? Dan novel apa yang kau baca? Romance? Action?” Tae Hee bertanya dengan antusias. Ming Hao tertawa.
“Woa, apa anak-anak berprestasi selalu bertanya dengan antusias seperti ini?”
Tae Hee terkekeh menyadari dirinya yang seolah-olah lepas kontrol.
Selanjutnya, kedua matanya yang bening segera berbinar-binar ceria ketika ia tahu bahwa Ming Hao ternyata punya kegemaran yang juga sama dengan dirinya. Membaca novel klasik dan mendengarkan musik rock!
Kelihatan tak nyambung memang, tapi itu benar.
“Punya banyak koleksi? Boleh aku pinjam?” Tae Hee memancing.
“Iya, aku punya banyak koleksi buku. Tentu saja boleh. Kapan-kapan aku bawakan yang bagus. Atau, kau boleh datang ke rumahku kalau mau. Kau bisa memilih sendiri mana yang kau suka,”
Tae Hee nyaris berteriak kegirangan mendengar kata-katanya.
“Aku boleh ke rumahmu?” Ia kembali antusias. Ming Hao tersenyum dan mengangguk.

Dan, sejak saat itu, Tae Hee makin bisa mendekati Ming Hao secara alami. Mereka bertemu, mengobrol, saling bercanda, dimana saja. Di perpustakaan, di kantin, di taman, atau bahkan di rumah Ming Hao, karena Tae Hee mulai sering ke rumah namja tersebut untuk meminjam ataupun mengembalikan novel. Ia tak menyangka bahwa koleksi novelnya lebih banyak 3 kali lipat dibanding dirinya.
Satu persatu, Tae Hee makin tahu banyak hal tentang Ming Hao. Ia juga tahu kalau Ming Hao adalah anak yang mandiri. Ia bahkan punya sebuah band yang sering diundang tampil di kafe-kafe maupun acara lainnya. Dari situ pula ia bisa mendapatkan uang sendiri, padahal ia berasal dari kelurga yang berkecukupun.

***

“Aku benar-benar jatuh cinta padanya, Yewon-ah,” ucap Tae Hee setengah berbisik ketika siang itu mereka menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan mengobrol di perpustakaan.
Yewon menatap sahabatnya itu dengan kecewa.
“Apa kau yakin?”
Tae Hee mengangguk.
“Sangat. Dia benar-benar namja yang luar biasa menyenangkan. Aku merasa nyaman dan bahagia di sampingnya. Aku senang mengobrol dengannya, bertukar pendapat dengannya, menonton dia main drum, pokoknya, aku benar-benar suka semua yang ada di dirinya,”
Keduanya berbicara dengan cukup pelan agar tidak di dengar orang lain.
“Kenapa kau bisa jatuh cinta dengan namja semacam dia, Tae Hee-ah? Aku heran dengan jalan pikiranmu,” ucapan Yewon terdengar kesal.
Tae Hee mengernyitkan dahinya.
“Memangnya kenapa? Ada masalah?” Ia bertanya heran.
Yewon mendesah.
“Oke, aku mengerti kalau Ming Hao namja yang baik, ramah, mudah bergaul dengan siapa saja dan dia ... manis. Tapi, kau bisa mendapatkan namja yang lebih dari pada dia. Kau siswi paling cantik dan paling populer di sekolah kita. Seabrek namja yang ngantri ingin jadi pacarmu. Jadi mestinya kau juga dapat  namja yang lebih popular, lebih pintar, lebih ganteng, maksudku, tentu saja yang lebih daripada Ming hao,” jelasnya.
Tae Hee menatap sahabatnya dengan dalam.
“Yewon-ah, ini untuk pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini pada seorang namja. Dan namja itu adalah Ming Hao. Aku tak mau membohongi perasaanku sendiri. Bukankah aku pernah bilang, cinta itu bisa datang pada siapa aja, kapan saja dan dimana saja. Dan jika sekarang cinta itu datang padaku untuk Ming Hao, tentu aku akan menerimanya. Dan kau harus tahu, aku tidak pernah melihat seseorang dari popularitas ataupun tampangnya saja,” jawab Tae Hee panjang lebar.
“Iya, tapi aku merasa kalu kau bisa mendapatkan yang lebih baik daripada
Ming hao.”
”Bagiku Ming Hao adalah yang terbaik,” potong Tae Hee lagi. Dan Yewon hanya bisa diam, mencoba mengiyakan keputusan Tae Hee, meski itu berat.

***

            Tae Hee merasa sedikit terkejut ketika pulang sekolah, Ming Hao menemuinya di depan kelas dan mengatakan bahwa ia ingin bicara sebentar dengannya. Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk mengobrol di bangku taman.
“Maaf jika aku harus membuat kepulanganmu tertunda,” ucapnya. Tari tersenyum dan menggeleng.
“It’s okey. Mau ngomong apa?”
Ming Hao terdiam sesaat.
“Tadi siang ketika jam istirahat aku mendengarmu mengobrol dengan Yewon di perpustkaan dan ___”
Tari terhenyak.
“Dan aku mendengar semuanya tentang perasaanmu padaku,”
Kata-kata Ming Hao membuat Tari menegang, sesaat.
“Apakah itu benar? Bahwa kau mencintaiku?” Ming Hao langsung bertanya ke inti pembicaraan. Tae Hee sempat linglung dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Tapi akhirnya ia mengangguk.
“Ya,” jawabnya.
Tae Hee menatapnya dengan dalam, nyaris tanpa ekspresi hingga membuat jantung Tae Hee berdebar-debar.
“Kalau begitu, boleh aku mengatakan tentang perasaanku padamu?” Ming Hao seolah minta ijin. Tae Hee merasakan dadanya bergejolak hebat. Dan kemudian ia mengangguk.
“Aku hanya bisa menganggapmu sebagai sahabat. Tak lebih,” ucap Ming hao lagi.
Duarr! Tae Hee merasakan ada sesuatu yang meledak di dadanya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ia akan menerima penolakan secepat ini.
“Aku tak suka sesuatu yang bertele-tele atau berbelit-belit, Tae Hee. Jadi, kau butuh jawabanku atau tidak, aku akan tetap mengatakan perasaanku padamu karena aku sudah terlanjur mengetahui tentang perasaanmu padaku. Jujur, kau perempuan yang baik. Aku kagum padamu. Hanya saja, aku bener-bener menganggapmu sebagai sahabat baikku. Dan tak bisa lebih,”
Ming Hao menatap namja di depannya dengan lekat.
“Lagipula, apa yang dikatakan Yewon itu benar. Perempuan cantik dan populer seprtimu, tak seharusnya suka dengan orang biasa seperti aku. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Yang tentunya, lebih sepadan denganmu, selevel denganmu.”
Tae Hee menatap Ming Hao dengan tajam hingga membuat kata-katanya  terhenti. Ia berdiri.
“Ming Hao-ssi, kau tak seharusnya bicara seperti itu! Oke, aku bisa menerima penolakanmu dengan mengatakan bahwa kau hanya bisa menganggapku sebagai sahabat. Tapi mengatakan bahwa aku harus mencari lelaki yang sepadan, itu benar-benar membuatku tersinggung. Mencari pasangan yang serasi dan sesuai level? Hah, kau kira ini main game harus ada level-level-an segala?” Tae Hee setengah berteriak.
“Lagipula, cinta yang kurasakan, itu urusanku. Dan kau, atau siapapun tidak berhak untuk mencampuri urusan cintaku. Kalian tak berhak mengatur aku harus suka dengan siapa. Karena apa? Karena itu adalah hakku!”
Tae Hee beranjak. Ming Hao mengekor, ia menarik tangan Tae Hee dan mencoba menghentikan langkah yeoja tersebut.
“Kau marah?” Kalimatnya terdengar menyesal. Tae Hee kembali menatap namja tersebut dengan tajam.
“Aku tak marah atas penolakanmu. Tapi kau menyinggung masalah level dan kesepadanan dalam urusan cintaku. Dan aku tak suka itu! Jika kau mau tahu, aku mencintaimu dengan tulus. Aku suka semua yang ada pada dirimu, tak peduli kau ini A, B, atau C. Cinta adalah cinta, itu saja!” Tae Hee melepaskan pegangan tangan Ming Hao lalu kembali melangkahkan kakinya dan hilang dari pandangan namja tersebut. Ming Hao hanya mampu menatap kepergiannya tanpa tahu harus berkata apa lagi.

***

            “Apaaa?!! Dia menolakmu!?” suara Yewon hampir saja menggelegar jika saja Tae Hee tak keburu mencubit lengannya untuk menyuruh yeoja itu mengecilkan volume suaranya.
“Tae Hee-ah, dia pasti gila. Namja macam dia pasti tak waras. Bagaimana mungkin ia menolak cinta seorang yeoja sepertimu? Mestinya dia bersyukur karena kau mengharapkan cintanya. Dasar sinting! Dia pasti tak normal!”
“Ssstt, jaga bicaramu,” ucap Tae Hee.
Yewon menatap sahabatnya dengan kesal.
“Ini benar-benar tak bisa dipercaya, Tae Hee-ah. Unbelieveable!” Lagi-lagi, ia nyaris berteriak.
“Ah, sudahlah. Kenyataannya aku memang sudah ditolak. Mau bagaimana lagi?” jawab Tae Hee lirih. Ia kembali terdiam.
“Kau butuh bantuanku untuk bicara dengannya?” Yewon menawarkan diri.
“Bicara dengannya lagi? Untuk apa?” Tae Hee menjawab ogah-ogahan.
“Untuk menanyakan kenapa ia tak menyukaimu? Dan untuk menanyakan apa dia normal atau tidak? Jangan-jangan ... dia gay!”
Tae Hee nyaris tergelak mendengar jawaban Yewon. Tapi kemudian ia kembali terdiam, memikirkan sesuatu.
“Kau benar, Yewon-ah. Sepertinya aku memang harus menanyakan itu padanya,” Tae Hee bangkit dari tempat duduknya. Yewon tersentak.
“Menanyakan apa? Menanyakan kenapa ia menolakmu?”
“Bukan. Aku akan menanyakan apa dia normal atau gay!”
“Hah?” Yewon membelalak. “Jangaaaan, tadi aku hanya bercanda,” Yewon berusaha menghalau langkah Tae Hee.
“Tidak. Aku harus bertemu langsung dengannya, bicara dengannya, dan bertanya apa dia gay atau bukan,” jawabnya.
“Tapi ...”
“Aku bisa mati penasaran jika tak mengetahuinya.”
“Tapi aku hanya bercandaaaa.....” Yewon berteriak.
Tae hee tak menggubris. Ia terus melangkah, menuju kelas Ming Hao. Ia sudah memutuskan, jika Ming hao gay, ia akan menyerah. Tapi jika tidak, dia akan maju terus memperjuangkannya.

***


Ketika Tae Hee sampai di kelas Ming Hao, ia menemukan namja itu tengah duduk tercenung di bangkunya. Bangku pojok paling belakang. Ketika ia melihat kedatangan Tae Hee, namja manis itu tampak terkejut.
“Bisa kita bicara, berdua saja. Tapi tak disini,” Tae Hee menyapa.
“Sekarang?” Ming hao menatapnya bingung.
Tae Hee mengangguk.
Ming Hao berdiri lalu mengikuti langkah  Tae Hee menuju taman belakang sekolah. Mereka duduk di bangku di bawah pohon mangga.
“Tae Hee, maaf soal kemarin. Aku tak bermaksud membuatmu marah. Sori, aku salah telah menyinggung masalah lelaki yang tepat atau yang tak tepat untukmu. Itu adalah hakmu sepenuhnya,” Ming Hao yang membuka suara pertama kali. Keduanya berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kau bicarakan?” Namja manis itu seakan mengingatkan maksud kedatangan mereka ke taman karena ia menyadari sejak tadi Tae Hee hanya terdiam.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?”  Akhirnya yeoja itu membuka suara.
Ming Hao mengangguk.
“Apa kau gay?”
Pertanyaan Tae Hee membuat Ming Hao mendelik.
“Itu pertanyaan yang tidak sopan, Tae Hee-ssi.” Desisnya.
“Jawab saja pertanyaanku. Kau gay atau bukan?” Tae Hee nyaris berteriak. Ming Hao memutar bola matanya dengan kesal. “Aku tersinggung kau menanyakan hal itu.”
“Ya atau tidak? Apa sih susahnya jawab!” Tae Hee terdengar tak sabaran.
Ming Hao mendesah. “Aku normal.” Jawabnya kemudian.
Tae Hee nyaris terlonjak. “Bagus. Oke, pertanyaan selanjutnya.”
“Masih ada lagi?” mata Ming Hao menyipit. Tae Hee mengangguk mantap.
“Apa kau sudah punya pacar?” Kali ini ia bertanya dengan nada yang lebih lembut.
Ming Hao menggeleng. “Tidak.”
“Apa kau sedang naksir atau suka pada seorang yeoja yang lain?”
Dan Ming Hao itu kembali menggeleng. “Tidak.”
“Lalu, adakah dari diriku yang tidak kau sukai?”
Ming Hao kembali menyipitkan matanya. “Ada berapa pertanyaan yang harus ku jawab?”
“Tak banyak.” Ceplos Tae Hee. “Jadi ... adakah dari diriku yang tidak kau suka?” lanjutnya.
Ming Hao terdiam sesaat. Ia menatap Tae Hee seolah mencari jawaban di sosok itu.
“Tidak ada. Tak ada dari dirimu yang tak aku suka. Kau cantik, kau baik, kau ramah, kau ... intinya, aku tak menemukan hal-hal yang tak aku suka darimu.” jawabnya kemudian.
Tae Hee menatap cowok itu denga serius.
“Kalau begitu, beri aku kesempatan,” ujarnya lagi.
“Heh?” Ming Hao mengernyitkan dahinya.
“Bukankah kau bilang, kau bukan gay, kau tak punya pacar, kau tak punya cewek yang kau taksir, dan kau juga tak menemukan hal-hal yang tak kau sukai dari diriku. Jadi, beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu menyukaiku. Beri aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padaku,”
Ming Hao melongo mendengar serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir mungil Tae Hee.
“Kita tetap bisa memulainya dari bersahabat ‘kan?” ucap Tae Hee lagi.
Ming Hao tercengang, tak bersuara.
“Jadi ... intinya adalah ....”
“Aku menyatakan cinta padamu, tapi kau menolakku. And that’s fine. Lalu aku meminta padamu untuk memberiku kesempatan agar aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku. Bisakah?” kalimat Tae Hee tegas.
Ming Hao menatap yeoja cantik di depannya dengan takjub. “Daebak.” Ia mendesis.
“Aku tak menyangka kalau ternyata kita punya pikiran yang sama,” lanjutnya.
Tae Hee memiringkan kepalanya, heran.
“Maksudmu?” Sekarang ia yang bengong.
“Jujur aku mengagumimu, Tae Hee-ssi. Kau benar-benar yeoja yang luar biasa. Kau baik dan ramah. Kau cantik tapi tak merasa sok cantik. Kau pintar tapi tak sombong. Dan yang pasti, aku menyukai sikapmu yang apa adanya. Tak ada kepura-puraan sama sekali karena itulah dirimu.”
“Itu pujian ‘kan?” Tae Hee seolah memastikan.
“Ya.” Jawab Ming Hao.
“Jadi?”
“Berada di sisimu terlalu lama, akan sangat sulit untuk tidak jatuh cinta,”
Tae Hee terkesiap mendengar jawaban Ming Hao.
“Jadi?”
Ming Hao menarik nafas sebelum melanjutkan perkataannya.
“Semalam aku merenung, dan aku ingin sekali memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk menyadari pentingnya kehadiranmu disisiku,”
“Jadi?”
“Kok sedari tadi –jadi- jadi- terus sih?”
“Oke, lantas?”
Ming Hao tertawa mendengar Tae Hee merubah kata ‘jadi’ menjadi ‘lantas’. Toh itu sama saja.
“Aku ingin membuka hatiku untukmu, Tae Hee-ssi. Tentu saja jika kau mau menerimaku setelah kemarin aku sempat menolakmu,” Namja tersebut menatap Tae Hee dengan lembut.
Tari merasakan tubuhnya meleleh.
“Kau akan memberiku kesempatan?”
Ming Hao mengangguk. Keduanya berpandangan dengan dalam.
“Bisa aku minta satu hal?”
“Apalagi?” Ming hao mengernyitkan dahinya.
“Biarkan aku menjadi satu-satunya yeoja yang kau beri kesempatan itu. Nde?” ucap Tae Hee lagi. Ming Hao tersipu. Perlahan ia tersenyum.
“Ya. Kau akan jadi satu-satunya,” jawabnya kemudian. Pipinya merona.
Kedua bola mata Tae Hee yang bulat indah berbinar-binar ceria. Senyum mengembang dengan indah dibibirnya yang mungil. Jika saja mereka tak di sekolah, Tae Hee pasti sudah menghambur ke arah Ming Hao lalu memeluknya dengan erat.

Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, Ming Hao-sii..
Aku janji.

Ucap Tae Hee dalam hati dengan penuh keyakinan.

***  

Selesai.

p.s. Gambar diambil dari grup.