Aku cinta kau, titik.
“Hye Rin-ah, apa itu benar?” Eun-ji
datang ke kelasku dengan tergopoh-gopoh.
“What?” Aku mengernyitkan dahiku.
“Apa
benar kamu akan pindah ke luar negeri?” Dia bertanya dengan nada tak percaya.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tega
kamu ya! Bagaimana mungkin kamu berencana pindah tanpa memberitahu sahabatmu
yang baik ini? Dasar tak berperasaan!” Ia menjerit. Aku terkekeh.
“Aku
berencana memberitahumu hari ini, tapi kamu keburu mengetahuinya. Jadi ya, maaf
banget ya,”
“Emang
kenapa kok ada acara pindah segala?” Sahabat baikku itu beringsut, duduk di
sampingku.
“Papaku
dipindah tugaskan ke sana. Jadi ya kami sekeluarga harus ikut kesana juga,”
“Huaaa,
bagaimana mungkin kamu tega meninggalkanku di sini sendirian? Sekolah kita pasti sepi tanpa kehadiranmu.”
Ia berlagak dramatis.
Aku
mencibir. “Sepi karena kalau aku tidak ada, tidak akan ada yang sering
mentraktirmu makan di kantin ‘kan?”
“Ih,
kamu kok berprasangka buruk gitu sih? Aku serius,”
Aku
kembali mencibir. Eun-ji memelukku dengan tubuhnya yang gembrot hingga
membuatku gelagapan.
“Hei,
aku tak bisa nafas!” teriakku. Ia hanya nyengir seraya melonggarkan pelukannya.
“Aku
pasti akan sering mengirimu email, jangan khawatir,” ujarku kemudian.
“Jinjja?” Ia memastikan. Aku kembali mengangguk.
“Trus,
kapan berangkat?” cewek berambut keriting itu menatapku dengan tatapan
penasaran.
“Mungkin
sekitar seminggu lagi,” jawabku.
“Wah,
cepat sekali?” Eun-ji kembali memelukku dengan erat.
“Oh,
please. Aku tak bisa bernafas!”
teriakku lagi, gelagapan. Eun-ji
terkikik seraya melepaskan pelukannya kemudian beranjak lalu menarikku keluar
kelas.
“Kemana?”
Aku bertanya bingung.
“Ke
kantin. Hari ini kamu bebas makan apapun yang kamu inginkan. Aku yang traktir,”
jawabnya.
“Benar?
Tak menyesal?”
Cewek
itu hanya mengangkat jempolnya seraya tersenyum.
Ketika menyusuri lorong kelas, ekor mataku menangkap
sepasang muda mudi yang sedang duduk berduaan di taman sekolah. Mereka
mengobrol dengan akrab sekali. Min Gyu, ketua kelasku. Dan Yoona, pacarnya,
yang juga berada satu kelas dengan kami.
Aku tersenyum kecut. Ah, Kim Min Gyu. Ketua kelasku,
cowok terpopuler di sekolah kami sekaligus orang yang kutaksir setengah hidup!
Ya, aku telah mencintainya sejak 2 tahun yang lalu, sejak pertama kali aku
melihatnya. Hanya saja, aku harus patah hati karena ternyata ia berpacaran
dengan Yoona. Cewek yang terkenal paling cantik di sekolah kami. Wajahnya
cantik luar biasa. Dengan kulit putih bersih, tubuhnya yang tinggi semampai dan
pembawaannya yang menyenangkan, wajar
saja jika Min Gyu kepincut padanya.
Namun begitu, aku tetap saja tak bisa melupakan cowok
itu. Bahkan ketika dia sudah ada yang punya, aku tetap mengaguminya,
menyukainya, dan merindukannya, mencintainya sepenuh hati. Tentunya secara
secara sembunyi-sembunyi. Habisnya, mau bagaimana lagi? Dia cowok yang baik,
ramah, tampan dan pintar. Dan tentu sangat sulit bagiku untuk bisa
melupakannya.
Jika kalian menganggap aku merumitkan hidupku sendiri,
kalian benar.
“Hellooo
.....,” Eun-Ji membuyarkan lamunanku.
“Mikir
apa sih sampe senewen begitu?” Ia bertanya lagi.
Aku
tersenyum, lalu menggeleng. “Aku kelaparan. Yuk,” aku mempercepat langkahku dan
mendahului sahabatku tersebut.
***
Setelah berdebat dengan diriku
sendiri selama beberapa hari, akhirnya aku menyerah. Aku tak bisa pergi begitu
saja. Setidaknya, Min Gyu harus tahu tentang perasaanku yang sebenarnya. Jadi,
sehari sebelum kepindahanku ke luar negeri, aku memutuskan untuk nekat
menemuinya, di ruang OSIS.
“Bisa bicara sebentar? Berdua saja?”
tanyaku. Min Gyu yang sedang asyik menatap layar komputer , mengalihkan
pandangannya padaku. Ia tersenyum.
“Oh,
Hye Rin-ah. Ada apa? Wajahmu terlihat ... tak bersemangat. Ada masalah?” Seperti
biasa, ia selalu ramah. Kedua matanya menatapku dengan dalam seolah ikut
berbicara. Aku merutuk dalam hati.
Kenapa dia begitu tampan?
Kenapa mata gelap itu begitu indah?
Dan kenapa senyum itu begitu menawan dan
memikat?
Bagaimana aku bisa move-on jika
dihadapkan dengan makhluk seperti ini?
“Hye
Rin-ah ...” Panggilan itu membuyarkan lamunanku. “Gwaencana?” Ada nada cemas dalam suaranya. Aku tergagap. “Nde,” jawabku cepat.
“Ada
sesuatu yang harus ku sampaikan, tapi ___” Kalimatku terhenti.
Min
Gyu manggut-manggut. “Oke, bicara saja. Di sini hanya ada kita berdua,”
jawabnya.
Aku
terdiam. Cowok itu beranjak dari kursinya lalu melangkah mendekatiku.
“Oh
iya, kapan berangkat?” Ia kembali bertanya dengan ramah.
“Mm,
besok,” jawabku.
“Aku
hanya bisa mendoakan semoga kamu kerasan di tempat yang baru dan tentu saja,
punya banyak teman seperti di sini,” ujarnya, tulus.
Aku
tersenyum kaku.
“Terima
kasih,” jawabku lagi.
“Tadi
___ mau ngomong apa?” Ia seakan kembali mengingatkan. Aku menatapnya dengan
dalam. Terdiam sesaat lalu menarik nafas panjang.
“Saranghae,” jawabku kemudian. Min Gyu
mengernyitkan dahinya, kaget.
“Maksud__mu?”
“Aku
mencintaimu, sejak kelas satu. Itulah
perasaan yang kurasakan padamu selama ini.” Cowok di hadapanku itu tampak
membeku, bingung. “Tidak. Jangan salah sangka. Aku tidak bermaksud mengganggu
hubunganmu dengan Yoona. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku
yang sesungguhnya sebelum aku pergi, itu aja. Dan sekarang, aku lega telah mengatakannya padamu,” Aku
lega. Jujur.
“Hye
Rin-ah ....”
“Aku
tidak pernah menyesal mencintaimu meski kau telah punya kekasih. Buatku, kau
adalah cowok terbaik yang pantas ku cintai. Dan aku benar-benar lega karena
telah memberitahumu tentang hal ini. Aku rasa, hanya itu yang ingin kusampaikan
padamu. Maaf telah mengganggumu dan terima kasih karena kau mau mendengarku,”
Aku
beranjak, meninggalkan Min Gyu yang berdiri tertegun, kebingungan, tanpa tahu
harus berkata apa.
Dan
aku tak peduli! Yang jelas, aku sudah mengatakan apa yang seharusnya kukatakan
dan kelak, aku tak akan pernah menyesalinya. Bagiku itu sudah cukup.
Aah,
aku ingin segera sampai rumah. Makan sop ayam buatan mama, menikmati es krim
coklat yang lezat, mandi air hangat,
lalu tidur sepuasnya!
Min
Gyu, cinta, ah, persetan dengan semuanya!
Selesai.
p.s.
Gambar Mingyu didapat dari grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar