Bab 2
Kami perpegangan tangan. Lelaki bermata
teduh itu menatapku penuh cinta. “Tak peduli apapun yang terjadi, aku akan
selalu mencintaimu. Percayalah padaku,” ia berucap. Aku tersenyum, mengangguk.
Dan ia menciumku, dengan lembut. Tapi tiba-tiba, tanah tempat kami berpijak
seakan terbelah. Sebuah lubang menganga tepat di bawah kaki lelaki tersebut
hingga ia terperosok. Tubuhnya menggantung, lubang itu seakan siap menelannya
hidup-hidup. Aku berusaha menggenggam tangannya dan menarik tubuhnya. Tapi aku
tak berhasil. Pegangan tanganku terlepas. Ia terjatuh dan seakan tersedot ke
dalam lubang tersebut. Aku berteriak, menangis, sesenggukan. Tidaaakkk!!
Mataku terbuka.
Aku mendongak cepat dan rasa pusing segera menderaku. Ku tatap sekelilingku.
Astaga, aku ketiduran di meja kerjaku lagi.
“Ada apa denganmu?” aku mendengar suara
Emma. Aku menoleh dan perempuan itu sudah berdiri di sampingku dengan wajah
pucat. Tubuhnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya melingkari bahuku. Jadi,
aku tak terbangun dengan sendirinya. Emma-lah yang berusaha membangunkanku.
“Kau ketiduran lagi di meja kerjamu. Kau
mengigau, kau meracau, dan kau bahkan sempat kejang beberapa kali. Ada apa
denganmu? Kau mimpi buruk? Aletha, kau membuatku ketakutan. Perlu waktu
beberapa menit untuk membangunkanmu,” ia kembali berucap dengan kesal. Aku
menatapnya sesaat, sempat linglung.
“Sori, aku memang mimpi buruk. Tapi
sekarang aku baik-baik saja,” jawabku. Aku bangkit. “Aku perlu minum,” ucapku
lagi seraya beranjak mengambil minum di
lemari pendingin, kemudian kembali lagi ke mejaku. Aku merasakan tatapan Emma
tak berpindah dariku. Aku tersenyum, berusaha tampak biasa-biasa saja.
“Hanya mimpi buruk, Em. Hal yang biasa,”
ucapku.
“Tidak, aku yakin ada hal yang tak
biasa. Kau pasti mengalami ... sesuatu,” ia memastikan. Aku menghempaskan
tubuhku di kursiku lalu meneguk minumanku sampai habis. Emma menarik sebuah
kursi ke arah mejaku dan segera di duduk di sampingku.
“Apa kau bertengkar dengan suamimu?” Pertanyaan
Emma segera ku jawab dengan gelengan.
“Kami baik-baik saja. Sangat baik dan
bahagia,” aku menegaskan.
“Lalu ... dengan keluargamu?” Emma
kembali bertanya dan aku juga kembali menggeleng.
“Lantas?” Emma tak putus asa untuk terus
bertanya. Aku terdiam sesaat, memandangnya. Aku menarik nafas panjang lalu
berkata, “Em, kau tahu bahwa aku memang tak bisa menyembunyikan apapun darimu.
Tapi, belum ada yang bisa kuceritkan padamu, sungguh,”
“Jadi benar ada yang tidak beres
denganmu ‘kan?”
Aku mengangkat bahu, menyerah. “Ya, ada
sesuatu yang tak beres denganku. Tapi sampai aku tahu dengan pasti apa itu,
bersabarlah untuk menunggu ceritaku, oke,” aku setengah memohon padanya.
Tatapan Emma tampak protes, tapi sesaat kemudian ia mengangguk. Aku menatapnya
dengan tatapan tak mengerti ketika aku menyadari bahwa pandangan Emma tak
beranjak dariku. “What? Apa lagi?” tanyaku.
Emma menggigit bibirnya, tampak ragu.
“Aku mendengarmu, mengigau,” ia berkata kemudian.
“Dan?” aku serasa tak sabar untuk
mendengarkan kelanjutan kalimatnya.
“Kau ... menyebutkan nama seseorang,”
Keningku mengerut. “Siapa? Will?”
Emma menggeleng. Hatiku berdebar. “Lalu
siapa?” aku merasakan suaraku gemetar. Emma menatapku lekat.
“Luc,” ucapnya kemudian. Aku mendelik.
Astaga.
***
Aku
menatap bayanganku di cermin. Aku mengenakan gaun malam sopan berwarna biru
cerah. Wajahku ku sapu dengan make up tipis dan sederhana sementara rambutku
yang panjang bergelombang ku sanggul rapi dengan jepit warna senada. Malam ini
aku dan Emma akan menghadiri sebuah pesta yang diadakan salah satu klien kami.
Ini bukan sekedar pesta karena mereka mengundang kami untuk membicarakan
bisnis.
Tapi, yang ada
di kepalaku bukanlah urusan bisnis ini. Tapi, Luc! Emma bilang padaku bahwa ia
sudah memergoki aku ketiduran di tempat kerja berkali-kali. Tapi, baru tadi
siang ia mendengarku mengigau menyebutkan nama seseorang, Luc! Siapa dia?
Apakah itu adalah nama lelaki yang senantiasa hadir dalam mimpiku? Kenapa aku
tak ingat pernah menyebutkan namanya? Kenapa aku tak ingat bahwa di dalam
mimpiku aku menyebutkan nama itu?
Aku mendesah.
Aku pasti gila karena semua ini, gerutuku.
Setelah beberapa
saat menunggu, Emma menjemputku dan kami menuju pesta tersebut bersama-sama.
Pesta kebun itu berlangsung dengan
meriah. Beberapa orang bahkan terlihat asyik mengobrol di pinggir kolam renang.
Ketika sampai di sana, pak John, atasan kami, segera menggiring kami untuk
menemui pak James, klien yang memang ingin kami temui sekaligus sang tuan
rumah, pemilik pesta.
“Dia berada di salah satu gazebo di
pinggir kolam. Temuilah dia dan yakinkan dia agar mau menandatangani kontrak
dengan kita. Oke? Aku mengandalkanmu, Aletha,” pak John menepuk pundakku ketika
kami melangkah beriringan menuju tempat pak James berada.
“Kenapa harus aku?” Aku berbisik di
dekat telinga Emma. Emma tersenyum dan mencondongkan badannya ke arahku.
“Karena pak John tahu bahwa kau bisa memanfaatkan kecantikanmu untuk membujuk
para klien,” ucapnya. Aku melotot. Sialan!
Diluar dugaan,
pak James adalah orang yang sangat menyenangkan. Ia baik, ramah, dan yang
pasti, ia bukan orang yang sulit untuk ditakhlukkan. Setelah bicara panjang
lebar dengannya, dia sepakat untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan kami!
Semudah itu!
“Hari ini kita benar-benar beruntung,”
ucap Emma ketika kami kembali beriringan menuju pinggir kolam, setelah selesai
bicara panjang lebar dengan pak James.
“Kita di undang di sebuah pesta mewah
seperti ini, bertemu dengan para kaum jetset, dan kita bisa mendapatkan kontrak
yang bernilai milyaran rupiah. Wah, kau benar-benar pembawa keberuntungan,
Aletha.” Emma meraih segelas minuman dingin dari seorang pelayan, lalu segera
menyeruputnya. Aku hanya tersenyum melihat kelakuannya. “Wah, ini benar-benar
menyenangkan,” ucap Emma lagi seraya menatap sekelilingnya dengan takjub.
“Jadi, bisakah kita pulang sekarang?” Tanyaku kemudian.
“Ini baru jam berapa? Kenapa kau sudah
ribut ingin pulang? suamimu belum kembali dari luar kota ‘kan?”
“Aku hanya lelah, Em. Dan aku ingin
segera pulang untuk beristirahat,” jawabku. Emma menatapku dengan tatapan
protes.
“Oke, tapi sebentar lagi ya. Setidaknya,
biarkan aku berkenalan dulu dengan salah satu lelaki kaya yang berada di sini,”
“Apa?”
“Lihatlah di sana,” Emma menunjuk dengan
dagunya ke arah seorang lelaki muda berpakaian rapi yang sedang asyik mengobrol
dengan teman laki-lakinya.
“Dia tampan sekali, aku harus berkenalan
dengannya. Tunggu di sini ya,”
“Tapi__” Kalimatku belum selesai ketika
Emma sudah bergerak meninggalkanku sendirian di tepi kolam, demi untuk menemui
pemuda yang ia maksud. Aku menggerutu. Aku menatap sekelilingku dengan
canggung. Well, sebenarnya aku orang yang cukup menyenangkan dan termasuk
pandai bergaul. Tapi, Aku benar-benar tak mengenal siapapun di sini. Dan aku
tak bersemangat untuk melakukan obrolan dengan siapapun. Sesekali aku tersenyum
pada orang-orang yang tak sengaja menatapku tanpa menimbulkan kesan bahwa aku
butuh teman bicara. Tidak, semoga tak ada yang mendekatiku dan mengajakku
bicara karena aku benar-benar tak butuh itu saat ini.
Aku menunggu
Emma dengan gusar. Tapi, beberapa saat kemudian aku merasakan sesuatu yang aneh
padaku. Dadaku berdebar dengan hebat. Perasaanku campur aduk. Konektivitas,
entahlah. Aku hanya merasa bahwa aku mengenal sesuatu - atau seseorang - di
sini. Seseorang yang teramat dekat denganku. Aku merasakan ada sebuah adegan
slow motion di sekitarku. Aku bahkan bisa mendengar hembusan angin yang menerpa
wajahku dan menerbangkan beberapa untaian rambutku. Reflek, aku menatap
sekelilingku. Dan, dia di sana! Sesosok tubuh jangkung, bermata teduh, dengan
wajah yang seolah-olah familiar denganku, tengah berjalan perlahan mendekatiku.
Keduanya mengerjap. Apa aku mengenalnya? Tidak! Siapa dia? Tapi, aura tubuhnya
... aku seakan mengenal ini!
Sosok itu
menatapku lekat dan terus melangkahkan kakinya mendekatiku. Dan tiba-tiba saja,
aku merasakan lututku lemas. Aku limbung dan ... byuuur!
Tubuhku terjun
ke dalam kolam renang. Aku merasakan himpitan rasa sakit di dada dan kepalaku.
Aku pandai berenang, tapi entah mengapa saat ini semua tubuhku terasa kaku. Aku
tak bisa menggerakkan tangan ataupun kakiku. Ku rasakan air memasuki hidungku
hingga menimbulkan rasa sakit. Beberapa detik kemudian aku sempat berpikir bahwa
aku akan mati sampai akhirnya aku merasakan sentuhan itu. Seseorang
mendekatiku, merengkuh tubuhku lalu segera menarikku ke permukaan. Lengannya
yang kekar dengan cekatan membawaku keluar dari kolam renang. Aku terbatuk. Air
menyembur dari mulutku dan juga hidungku. Pening segera menyerang kepalaku.
“Kau tak apa-apa?”
Suara itu? Suara itu tak asing bagiku.
Dengan nafas naik turun aku mendongak. Pandangan kami beradu. Mata teduh yang
menghanyutkanku, aku mengenalnya!
“Kau baik-baik saja?” ia kembali
bertanya dengan nada cemas. Kedua tangannya masih berada di pinggangku. Dan
tiba-tiba saja aku menggigil. Dan sekian detik kemudian, aku tak sadarkan diri.
Aku kabur dari rumah melalui pintu
belakang setelah terlebih dahulu loncat dari jendela kamarku. Well, Sebernarnya
tidak loncat, karena kamarku berada di lantai dua. Aku menguntai beberapa kain
hingga menjadi semacam tali lalu melemparkannya ke luar jendela, dan dengan
itulah aku bisa memanjat tembok dan turun. Aku berlari-lari kecil menyusuri
jalanan kecil berbatu. Dan aku menyadari bahwa aku bertelanjang kaki ketika aku
merasakan perih di kakiku. Ah, terkena kerikil atau apalah, aku tak peduli. Aku
terus melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa menuju pondok kecil dan reyot,
yang berada di pinggir hutan, tepat di sisi desa tempat tinggal kami. Kami
sepakat bertemu disana. Dia tak bisa lagi datang ke rumah setelah apa yang
terjadi hingga hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah kami bisa bertemu. Dan
malam ini, kami sepakat untuk melarikan diri, kemana saja, asal tidak disini.
Pondok
kecil itu mulai terlihat dan aku segera mempercepat langkah kakiku. Aku baru
saja memasuki halaman ketika pintu reyot itu terbuka dan sosok itu keluar dari
sana.
Dan
segera ia menghambur ke arahku, memelukku dengan erat, tanpa membiarkanku
menata nafasku yang terengah-engah. “Aletha,” panggilnya lirih. Ada kelegaan di
sana. “Syukurlah, aku takut aku takkan bisa bertemu denganmu lagi,” ia kembali
menggumam.
Aku
menarik diri dari dekapannya lalu menatapnya. Bekas luka itu masih ada. Kening
tergores dan tulang pipi yang kehitaman karena memar. Aku mengangkat tanganku
dan menyentuhnya dengan perlahan. “Kau terluka,” desisku. Ia menggeleng seraya
meraih dan menggenggam tanganku.
“Tak
ada apa-apanya dibandingkan denganmu,” ia menjawab lalu menggandeng tanganku
dan mengajakku masuk ke dalam gubuk. Ia membimbingku duduk di salah satu kursi
rotan.
Segera
ia berlutut di hadapanku. “Kakimu,” ia menggumam miris seraya menyentuh kakiku
yang terluka, dengan lembut. “Tak ada apa-apanya dibandingkan dirimu,” jawabku.
Ia mendongak, menatapku dengan tatapan sedih. “Maafkan aku, ini pasti yang
pertama kalinya bagimu berlarian di jalanan berbatu tanpa mengenakan sepatu,”
ucapnya. Aku menggeleng. Ku sentuh wajah itu dengan lembut. “Bukankah kau yang
bilang bahwa cinta selalu penuh dengan resiko. Dan aku sudah siap mengambil
resiko itu, apapun jadinya,” jawabku.
Lelaki
itu berdiri di atas lututnya, menangkup wajahku, lalu mencium bibirku dengan
lembut.
“Dan
aku juga akan mengambil resiko apapun itu, bahkan jika harus mempertaruhkan
nyawaku,” desisnya parau. Kami berpandangan, tapi sekian detik kemudian kami
mendengar suara gaduh. Kami sama-sama terlonjak. Ia berlari menuju depan
jendela dan mengintip keluar. “Mereka mengejar kita,” ia berucap. Aku
tersentak. “Bagaimana mungkin? Aku sudah berhati-hati ketika ke sini dan aku
yakin tidak diikuti oleh siapapun,” ucapku bingung. Lelaki jangkung itu melepas
sepatunya dan dengan sigap ia memakaikannya di kakiku. “Kau harus mengenakan
sepatu karena kita akan kembali melalakukan pelarian,” ucapnya. Dan sebelum aku
sempat berkata, ia sudah menarik lengan tanganku, berlari melewati pintu
belakang. Kami meninggalkan pondok reyot itu menembus kegelapan malam menuju
hutan belantara. Kami berlari, dan terus berlari. Tapi, gerombolan orang itu
juga tak berhenti mengejar kami.”Sialan, kenapa mereka bisa begitu cepat
mengejar kita,” terdengar ia mengumpat.
Ia
mempererat genggaman tanganku dan terus mengajakku berlari. Tapi, selanjutnya
yang kami temukan adalah sebuah jurang menganga di depan kami. Kami
berpandangan dengan putus asa. Sesekali aku menoleh ke belakang, ke arah
gerombolan orang yang berusaha mengejar kami tadi. “Pergilah,” kataku. Dia
mengernyit heran.
“Pergilah,
tinggalkan aku di sini. Jika mereka menemukanmu, kau tak akan selamat,” ucapku
lagi. “Bicara apa kau?” ia protes. Aku mencengkeram lengannya lalu menatapnya
dengan lekat.
“Dengar,
jika mereka menemukanku, mereka hanya akan membawaku pulang. Mereka tak akan
berani menyakitiku. Yang terpenting sekarang adalah kau harus pergi dan
menyelamatkan diri. Jika situasi sudah tenang, aku akan berusaha mencari cara
untuk menemukanmu kembali,” ucapanku terdengar seperti permohonanan. Ia
menggeleng.
“Tidak,
aku takkan pernah meninggalkanmu lagi. Aku akan tetap di sini, bersamamu, bahkan
jika itu harus membuatku terbunuh,” ia bersikeras. “Tapi__” kalimatku terhenti
dan berubah menjadi sebuah teriakan ketika sebuah panah melesat lalu menembus
bahu lelaki tersebut. Ia terhuyung. Aku menjerit. Seseorang yang lain menarik
tubuhku. Dan mereka menemukan kami.
Tanpa
peringatan apapun, mereka menyerang lelaki tampan yang teramat kucintai
tersebut. Ia mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
“Hentikan!
Aku akan ikut bersama kalian, tapi biarkan dia pergi,” teriakku. Air mataku
meleleh. Tapi mereka tak menggubris. Mereka terus menyerang dan membabi buta,
hingga tubuh jangkung penuh luka tersebut terdesak ke pinggir jurang dan dengan
mudahnya, mereka mendorongnya!
Aku
menyaksikannya. Aku menyaksikan pria yang teramat kucintai itu terlempar ke
dalam jurang dengan kedalaman sekian ratus meter. Lututku lemas. “Luuuuuccc!!!”
aku memanggil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar