Selasa, 23 Juni 2015

Fate - Bab 2



Bab 2


            Kami perpegangan tangan. Lelaki bermata teduh itu menatapku penuh cinta. “Tak peduli apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu. Percayalah padaku,” ia berucap. Aku tersenyum, mengangguk. Dan ia menciumku, dengan lembut. Tapi tiba-tiba, tanah tempat kami berpijak seakan terbelah. Sebuah lubang menganga tepat di bawah kaki lelaki tersebut hingga ia terperosok. Tubuhnya menggantung, lubang itu seakan siap menelannya hidup-hidup. Aku berusaha menggenggam tangannya dan menarik tubuhnya. Tapi aku tak berhasil. Pegangan tanganku terlepas. Ia terjatuh dan seakan tersedot ke dalam lubang tersebut. Aku berteriak, menangis, sesenggukan. Tidaaakkk!!

Mataku terbuka. Aku mendongak cepat dan rasa pusing segera menderaku. Ku tatap sekelilingku. Astaga, aku ketiduran di meja kerjaku lagi.
“Ada apa denganmu?” aku mendengar suara Emma. Aku menoleh dan perempuan itu sudah berdiri di sampingku dengan wajah pucat. Tubuhnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya melingkari bahuku. Jadi, aku tak terbangun dengan sendirinya. Emma-lah yang berusaha membangunkanku.
“Kau ketiduran lagi di meja kerjamu. Kau mengigau, kau meracau, dan kau bahkan sempat kejang beberapa kali. Ada apa denganmu? Kau mimpi buruk? Aletha, kau membuatku ketakutan. Perlu waktu beberapa menit untuk membangunkanmu,” ia kembali berucap dengan kesal. Aku menatapnya sesaat, sempat linglung.
“Sori, aku memang mimpi buruk. Tapi sekarang aku baik-baik saja,” jawabku. Aku bangkit. “Aku perlu minum,” ucapku lagi seraya  beranjak mengambil minum di lemari pendingin, kemudian kembali lagi ke mejaku. Aku merasakan tatapan Emma tak berpindah dariku. Aku tersenyum, berusaha tampak biasa-biasa saja.
“Hanya mimpi buruk, Em. Hal yang biasa,” ucapku.
“Tidak, aku yakin ada hal yang tak biasa. Kau pasti mengalami ... sesuatu,” ia memastikan. Aku menghempaskan tubuhku di kursiku lalu meneguk minumanku sampai habis. Emma menarik sebuah kursi ke arah mejaku dan segera di duduk di sampingku.
“Apa kau bertengkar dengan suamimu?” Pertanyaan Emma segera ku jawab dengan gelengan.
“Kami baik-baik saja. Sangat baik dan bahagia,” aku menegaskan.
“Lalu ... dengan keluargamu?” Emma kembali bertanya dan aku juga kembali menggeleng.
“Lantas?” Emma tak putus asa untuk terus bertanya. Aku terdiam sesaat, memandangnya. Aku menarik nafas panjang lalu berkata, “Em, kau tahu bahwa aku memang tak bisa menyembunyikan apapun darimu. Tapi, belum ada yang bisa kuceritkan padamu, sungguh,”
“Jadi benar ada yang tidak beres denganmu ‘kan?”
Aku mengangkat bahu, menyerah. “Ya, ada sesuatu yang tak beres denganku. Tapi sampai aku tahu dengan pasti apa itu, bersabarlah untuk menunggu ceritaku, oke,” aku setengah memohon padanya. Tatapan Emma tampak protes, tapi sesaat kemudian ia mengangguk. Aku menatapnya dengan tatapan tak mengerti ketika aku menyadari bahwa pandangan Emma tak beranjak dariku. “What? Apa lagi?” tanyaku.
Emma menggigit bibirnya, tampak ragu. “Aku mendengarmu, mengigau,” ia berkata kemudian.
“Dan?” aku serasa tak sabar untuk mendengarkan kelanjutan kalimatnya.
“Kau ... menyebutkan nama seseorang,”
Keningku mengerut. “Siapa? Will?”
Emma menggeleng. Hatiku berdebar. “Lalu siapa?” aku merasakan suaraku gemetar. Emma menatapku lekat.
“Luc,” ucapnya kemudian. Aku mendelik. Astaga.

***

            Aku menatap bayanganku di cermin. Aku mengenakan gaun malam sopan berwarna biru cerah. Wajahku ku sapu dengan make up tipis dan sederhana sementara rambutku yang panjang bergelombang ku sanggul rapi dengan jepit warna senada. Malam ini aku dan Emma akan menghadiri sebuah pesta yang diadakan salah satu klien kami. Ini bukan sekedar pesta karena mereka mengundang kami untuk membicarakan bisnis.
Tapi, yang ada di kepalaku bukanlah urusan bisnis ini. Tapi, Luc! Emma bilang padaku bahwa ia sudah memergoki aku ketiduran di tempat kerja berkali-kali. Tapi, baru tadi siang ia mendengarku mengigau menyebutkan nama seseorang, Luc! Siapa dia? Apakah itu adalah nama lelaki yang senantiasa hadir dalam mimpiku? Kenapa aku tak ingat pernah menyebutkan namanya? Kenapa aku tak ingat bahwa di dalam mimpiku aku menyebutkan nama itu?
Aku mendesah. Aku pasti gila karena semua ini, gerutuku.
Setelah beberapa saat menunggu, Emma menjemputku dan kami menuju pesta tersebut bersama-sama.
Pesta kebun itu berlangsung dengan meriah. Beberapa orang bahkan terlihat asyik mengobrol di pinggir kolam renang. Ketika sampai di sana, pak John, atasan kami, segera menggiring kami untuk menemui pak James, klien yang memang ingin kami temui sekaligus sang tuan rumah, pemilik pesta.
“Dia berada di salah satu gazebo di pinggir kolam. Temuilah dia dan yakinkan dia agar mau menandatangani kontrak dengan kita. Oke? Aku mengandalkanmu, Aletha,” pak John menepuk pundakku ketika kami melangkah beriringan menuju tempat pak James berada.
“Kenapa harus aku?” Aku berbisik di dekat telinga Emma. Emma tersenyum dan mencondongkan badannya ke arahku. “Karena pak John tahu bahwa kau bisa memanfaatkan kecantikanmu untuk membujuk para klien,” ucapnya. Aku melotot. Sialan!
Diluar dugaan, pak James adalah orang yang sangat menyenangkan. Ia baik, ramah, dan yang pasti, ia bukan orang yang sulit untuk ditakhlukkan. Setelah bicara panjang lebar dengannya, dia sepakat untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan kami! Semudah itu!
“Hari ini kita benar-benar beruntung,” ucap Emma ketika kami kembali beriringan menuju pinggir kolam, setelah selesai bicara panjang lebar dengan pak James.
“Kita di undang di sebuah pesta mewah seperti ini, bertemu dengan para kaum jetset, dan kita bisa mendapatkan kontrak yang bernilai milyaran rupiah. Wah, kau benar-benar pembawa keberuntungan, Aletha.” Emma meraih segelas minuman dingin dari seorang pelayan, lalu segera menyeruputnya. Aku hanya tersenyum melihat kelakuannya. “Wah, ini benar-benar menyenangkan,” ucap Emma lagi seraya menatap sekelilingnya dengan takjub. “Jadi, bisakah kita pulang sekarang?” Tanyaku kemudian.
“Ini baru jam berapa? Kenapa kau sudah ribut ingin pulang? suamimu belum kembali dari luar kota ‘kan?”
“Aku hanya lelah, Em. Dan aku ingin segera pulang untuk beristirahat,” jawabku. Emma menatapku dengan tatapan protes.
“Oke, tapi sebentar lagi ya. Setidaknya, biarkan aku berkenalan dulu dengan salah satu lelaki kaya yang berada di sini,”
“Apa?”
“Lihatlah di sana,” Emma menunjuk dengan dagunya ke arah seorang lelaki muda berpakaian rapi yang sedang asyik mengobrol dengan teman laki-lakinya.
“Dia tampan sekali, aku harus berkenalan dengannya. Tunggu di sini ya,”
“Tapi__” Kalimatku belum selesai ketika Emma sudah bergerak meninggalkanku sendirian di tepi kolam, demi untuk menemui pemuda yang ia maksud. Aku menggerutu. Aku menatap sekelilingku dengan canggung. Well, sebenarnya aku orang yang cukup menyenangkan dan termasuk pandai bergaul. Tapi, Aku benar-benar tak mengenal siapapun di sini. Dan aku tak bersemangat untuk melakukan obrolan dengan siapapun. Sesekali aku tersenyum pada orang-orang yang tak sengaja menatapku tanpa menimbulkan kesan bahwa aku butuh teman bicara. Tidak, semoga tak ada yang mendekatiku dan mengajakku bicara karena aku benar-benar tak butuh itu saat ini.
Aku menunggu Emma dengan gusar. Tapi, beberapa saat kemudian aku merasakan sesuatu yang aneh padaku. Dadaku berdebar dengan hebat. Perasaanku campur aduk. Konektivitas, entahlah. Aku hanya merasa bahwa aku mengenal sesuatu - atau seseorang - di sini. Seseorang yang teramat dekat denganku. Aku merasakan ada sebuah adegan slow motion di sekitarku. Aku bahkan bisa mendengar hembusan angin yang menerpa wajahku dan menerbangkan beberapa untaian rambutku. Reflek, aku menatap sekelilingku. Dan, dia di sana! Sesosok tubuh jangkung, bermata teduh, dengan wajah yang seolah-olah familiar denganku, tengah berjalan perlahan mendekatiku. Keduanya mengerjap. Apa aku mengenalnya? Tidak! Siapa dia? Tapi, aura tubuhnya ... aku seakan mengenal ini!
Sosok itu menatapku lekat dan terus melangkahkan kakinya mendekatiku. Dan tiba-tiba saja, aku merasakan lututku lemas. Aku limbung dan ... byuuur!
Tubuhku terjun ke dalam kolam renang. Aku merasakan himpitan rasa sakit di dada dan kepalaku. Aku pandai berenang, tapi entah mengapa saat ini semua tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa menggerakkan tangan ataupun kakiku. Ku rasakan air memasuki hidungku hingga menimbulkan rasa sakit. Beberapa detik kemudian aku sempat berpikir bahwa aku akan mati sampai akhirnya aku merasakan sentuhan itu. Seseorang mendekatiku, merengkuh tubuhku lalu segera menarikku ke permukaan. Lengannya yang kekar dengan cekatan membawaku keluar dari kolam renang. Aku terbatuk. Air menyembur dari mulutku dan juga hidungku. Pening segera menyerang kepalaku.
“Kau tak apa-apa?”
Suara itu? Suara itu tak asing bagiku. Dengan nafas naik turun aku mendongak. Pandangan kami beradu. Mata teduh yang menghanyutkanku, aku mengenalnya!
“Kau baik-baik saja?” ia kembali bertanya dengan nada cemas. Kedua tangannya masih berada di pinggangku. Dan tiba-tiba saja aku menggigil. Dan sekian detik kemudian, aku tak sadarkan diri.

            Aku kabur dari rumah melalui pintu belakang setelah terlebih dahulu loncat dari jendela kamarku. Well, Sebernarnya tidak loncat, karena kamarku berada di lantai dua. Aku menguntai beberapa kain hingga menjadi semacam tali lalu melemparkannya ke luar jendela, dan dengan itulah aku bisa memanjat tembok dan turun. Aku berlari-lari kecil menyusuri jalanan kecil berbatu. Dan aku menyadari bahwa aku bertelanjang kaki ketika aku merasakan perih di kakiku. Ah, terkena kerikil atau apalah, aku tak peduli. Aku terus melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa menuju pondok kecil dan reyot, yang berada di pinggir hutan, tepat di sisi desa tempat tinggal kami. Kami sepakat bertemu disana. Dia tak bisa lagi datang ke rumah setelah apa yang terjadi hingga hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah kami bisa bertemu. Dan malam ini, kami sepakat untuk melarikan diri, kemana saja, asal tidak disini.
Pondok kecil itu mulai terlihat dan aku segera mempercepat langkah kakiku. Aku baru saja memasuki halaman ketika pintu reyot itu terbuka dan sosok itu keluar dari sana.
Dan segera ia menghambur ke arahku, memelukku dengan erat, tanpa membiarkanku menata nafasku yang terengah-engah. “Aletha,” panggilnya lirih. Ada kelegaan di sana. “Syukurlah, aku takut aku takkan bisa bertemu denganmu lagi,” ia kembali menggumam.
Aku menarik diri dari dekapannya lalu menatapnya. Bekas luka itu masih ada. Kening tergores dan tulang pipi yang kehitaman karena memar. Aku mengangkat tanganku dan menyentuhnya dengan perlahan. “Kau terluka,” desisku. Ia menggeleng seraya meraih dan menggenggam tanganku.
“Tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu,” ia menjawab lalu menggandeng tanganku dan mengajakku masuk ke dalam gubuk. Ia membimbingku duduk di salah satu kursi rotan.
Segera ia berlutut di hadapanku. “Kakimu,” ia menggumam miris seraya menyentuh kakiku yang terluka, dengan lembut. “Tak ada apa-apanya dibandingkan dirimu,” jawabku. Ia mendongak, menatapku dengan tatapan sedih. “Maafkan aku, ini pasti yang pertama kalinya bagimu berlarian di jalanan berbatu tanpa mengenakan sepatu,” ucapnya. Aku menggeleng. Ku sentuh wajah itu dengan lembut. “Bukankah kau yang bilang bahwa cinta selalu penuh dengan resiko. Dan aku sudah siap mengambil resiko itu, apapun jadinya,” jawabku.
Lelaki itu berdiri di atas lututnya, menangkup wajahku, lalu mencium bibirku dengan lembut.
“Dan aku juga akan mengambil resiko apapun itu, bahkan jika harus mempertaruhkan nyawaku,” desisnya parau. Kami berpandangan, tapi sekian detik kemudian kami mendengar suara gaduh. Kami sama-sama terlonjak. Ia berlari menuju depan jendela dan mengintip keluar. “Mereka mengejar kita,” ia berucap. Aku tersentak. “Bagaimana mungkin? Aku sudah berhati-hati ketika ke sini dan aku yakin tidak diikuti oleh siapapun,” ucapku bingung. Lelaki jangkung itu melepas sepatunya dan dengan sigap ia memakaikannya di kakiku. “Kau harus mengenakan sepatu karena kita akan kembali melalakukan pelarian,” ucapnya. Dan sebelum aku sempat berkata, ia sudah menarik lengan tanganku, berlari melewati pintu belakang. Kami meninggalkan pondok reyot itu menembus kegelapan malam menuju hutan belantara. Kami berlari, dan terus berlari. Tapi, gerombolan orang itu juga tak berhenti mengejar kami.”Sialan, kenapa mereka bisa begitu cepat mengejar kita,” terdengar ia mengumpat.
Ia mempererat genggaman tanganku dan terus mengajakku berlari. Tapi, selanjutnya yang kami temukan adalah sebuah jurang menganga di depan kami. Kami berpandangan dengan putus asa. Sesekali aku menoleh ke belakang, ke arah gerombolan orang yang berusaha mengejar kami tadi. “Pergilah,” kataku. Dia mengernyit heran.
“Pergilah, tinggalkan aku di sini. Jika mereka menemukanmu, kau tak akan selamat,” ucapku lagi. “Bicara apa kau?” ia protes. Aku mencengkeram lengannya lalu menatapnya dengan lekat.
“Dengar, jika mereka menemukanku, mereka hanya akan membawaku pulang. Mereka tak akan berani menyakitiku. Yang terpenting sekarang adalah kau harus pergi dan menyelamatkan diri. Jika situasi sudah tenang, aku akan berusaha mencari cara untuk menemukanmu kembali,” ucapanku terdengar seperti permohonanan. Ia menggeleng.
“Tidak, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi. Aku akan tetap di sini, bersamamu, bahkan jika itu harus membuatku terbunuh,” ia bersikeras. “Tapi__” kalimatku terhenti dan berubah menjadi sebuah teriakan ketika sebuah panah melesat lalu menembus bahu lelaki tersebut. Ia terhuyung. Aku menjerit. Seseorang yang lain menarik tubuhku. Dan mereka menemukan kami.
Tanpa peringatan apapun, mereka menyerang lelaki tampan yang teramat kucintai tersebut. Ia mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
“Hentikan! Aku akan ikut bersama kalian, tapi biarkan dia pergi,” teriakku. Air mataku meleleh. Tapi mereka tak menggubris. Mereka terus menyerang dan membabi buta, hingga tubuh jangkung penuh luka tersebut terdesak ke pinggir jurang dan dengan mudahnya, mereka mendorongnya!
Aku menyaksikannya. Aku menyaksikan pria yang teramat kucintai itu terlempar ke dalam jurang dengan kedalaman sekian ratus meter. Lututku lemas. “Luuuuuccc!!!” aku memanggil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar