Jumat, 26 Juni 2015

[Cerpen/FF] Mianhae, Saranghae



Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo, S.Coup, Lee Chan, udah.
Sekarang giliran : DK

Judul : Mianhae, Saranghae
Genre : Romance    

      

Sebenarnya kelasku telah usai sekitar satu jam yang lalu. Tapi aku tetap tak berniat sedikitpun untuk meninggalkan kampus. Bukan karena aku banyak tugas atau karena ada janji dengan teman, tapi, sosok itulah yang telah menahan langkahku.
Sesosok tubuh jangkung yang sedang bermain basket dengan teman-temannya. Wajah tampan itu telah mengusik tidurku. Sepasang mata bening itu telah menghiasi debaran jantungku. Aku tahu ini salah. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan perasaanku. Aku mencintainya. Aku mencintai namja  itu, dengan sepenuh hatiku.
Gila. Ya, aku pasti sudah gila.  Aku punya pacar sebaik dan setampan Youngjae, tapi tetap saja aku mulai kepincut – entah kapan tepatnya – dengan Lee Seokmin!
Lebih gila lagi karena Seokmin adalah pacar Naeun, sahabatku sendiri. Kami berempat bahkan sering hang out bareng, double dating. Dan setiap kali kami keluar bersama, nyaris seluruh perhatianku selalu tertuju padanya – pada Seokmin, bukan pada Youngjae - meski secara sembunyi-sembunyi.
Seokmin sama baiknya dengan Youngjae.
Mereka sama-sama romantis, sama-sama perhatian, dan sama-sama humoris. Aku bisa melihatnya dari cara Seokmin memperlakukan Naeun. Sangat manis. Dan jujur itu membuatku cemburu setengah mati! Sebuah kecemburuan yang tidak pada tempatnya karena aku tak punya hak atas namja itu.
Aku sudah bersusah payah mencari tahu hal apa gerangan yang membuatku kepincut padanya. Tapi, tetap saja aku tak menemukan jawaban. Perasaanku padanya seakan tak beralasan. Rasa cinta itu muncul begitu saja, mengalir perlahan-lahan dan yang pasti - makin membesar!
“Nam Joo-ah, belum pulang?” sentuhan Naeun dipundakku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
“Aku masih ada kepentingan dengan dosen,” jawabku berbohong.
“Youngjae-ssi kemana?”
“Hari ini dia tak ada kuliah. Kau sendiri? Sudah mau pulang?”
Naeun mengangguk. Ia mengalihkan pandangan ke arah Seokmin, melambaikan tangannya lalu tersenyum manis. Namja itu membalas lambaian tangan Naeun. Mereka saling melempar senyum. Tatapan mata Seokmin sempat singgah padaku, meski sekilas, tapi itu cukup membuat jantungku berdebar tak menentu. “Naeun-ah, aku pergi dulu ya,” aku beranjak. Naeun tersenyum dan mengangguk.
“Nam Joo-ah, sabtu depan ada acara gak? Hang out bareng, yuk,” Naeun memberi saran.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Akan ku kabari Youngjae,” jawabku sebelum melangkahkan kakiku darinya.
Tidak, aku tidak benar-benar meninggalkan kampus. Aku hanya pergi ke kamar mandi dan merenung di sana beberapa saat. Kamar mandi? Hah, aku hanya tak tahu lagi harus kemana? Seokmin, mengalihkan semua duniaku.
Tapi, sesuatu hal yang tak terduga terjadi. Ketika aku akan keluar, pintu kamar mandi terkunci dan tak bisa dibuka sama sekali!
“Mwoyaaa? Kenapa bisa jadi begini?” ujarku panik.
“Heloooo...!!! apa ada orang di luar sana!? Tolong aku! Aku terkunci!” teriakku berkali-kali. Tapi tetap tak ada respon. Aku menggedor-gedor pintu, berusaha membukanya dengan paksa, tapi percuma.
Aku meraih phonselku. Tadinya aku ingin menelpon Youngjae, tapi kemudian aku ingat bahwa ia tak berada di kampus. Akhirnya, aku memutuskan untuk menelpon Naeun.
“Semoga dia masih belum pulang,” desisku penuh harap.
Tapi, sial karena nomor Naeun tak bisa di hubungi. Aku terus mencoba berkali-kali, tapi tetap saja gagal. Hingga akhirnya, nomor Seokmin-lah yang ku hubungi dengan harapan aku bisa berbicara dengan Naeun.
“Yoboseyo, Seokmin-ssi?”
“Nam Joo-ssi?” Ia menjawab.
“Ya, ini aku. Aku mencoba menghubungi nomor Naeun, tapi tak bisa. Bisa kau berikan telpon padanya? Aku punya urusan penting yang harus kubicarakan padanya, Plis,”
“Naeun? Maaf, tapi aku sedang tak bersamanya sekarang,” jawab Seokmin. Aku menggigit bibir putus asa mendengar jawabannya. “Bukankah tadi kalian ingin pulang bersama?” Aku nyaris mendesis.
“Ya, tapi dia memilih pulang duluan karena aku masih punya urusan. Ada apa?”
Aku tak menjawab. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
“Nam Joo-ssi?”
“Mm__ ya,”
“Ada sesuatu?”
“Mmm___sebenarnya___?” Aku bingung harus bicara jujur atau berbohong.
“Gwaencana?”
“Nde, aku baik-baik saja. Hanya saja___”
“Apa terjadi sesuatu padamu?”
Aku terdiam. Aku menangkap kekhawatiran pada nada suara Seokmin. Ataukah, aku yang ke ge-eran?
“Yoboseyo, Nam Joo-ssi?”
“Ya,”
“Di mana kau sekarang?”
Aku tak segera menjawab.
“Nam Joo-ssi, dimana kau sekarang?” kalimat Seokmin terdengar seperti sebuah teriakan.
“Aku ___ terkunci di kamar mandi kampus,” jawabku kemudian.

***

                Seokmin menyodorkan sebotol air minum ke arahku. “Gomawo, aku tak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tak mengeluarkanku dari sana,”  ujarku.
“Berapa lama kau di sana?”
“Mm__sekitar 1 jam,”
“Astaga, dan tak ada seorang pun yang mendengar teriakanmu?” Seokmin menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku menggeleng.
“Youngjae?”
“Dia tak berada di kampus,” jawabku.
Seokmin menyisir rambutnya dengan jemari.
“Sebaiknya jangan pernah masuk ke kamar mandi itu lagi. Jangan-pernah.” Kalimat Seokmin terdengar kesal. Entah kesal karena apa.
“Maaf merepotkanmu,” ujarku lagi. Seokmin tak menjawab. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku memang menyukainya, tapi aku tak pernah merencanakan ini!
“Aku pikir kau sedang bersama Naeun, jadi___” kalimatku menggantung.
“Tak apa-apa. Kami batal pulang bersama karena aku masih ada urusan dengan klub basket. Kau sendiri, masih ada urusan apa di kampus? Bukankah kelasmu sudah selesai dua jam yang lalu?”
Aku tak segera menjawab. Bagaimana dia bisa tahu kalo kelasku sudah usai?
“Aku ada sedikit kepentingan dengan dosenku,”  Lagi-lagi aku berbohong.
Seokmin manggut-manggut.
“Akan ku antarkan kau pulang,” ujarnya kemudian.
Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri kok,”
“Tapi__”
“Aku masih ada sedikit urusan. Jadi, aku akan pulang agak sore.” Aku bangkit. “Gomawo, Seokmin-ssi,” Aku meraih tasku lalu segera melangkahkan kakiku meninggalkan namja tersebut. Mengurangi intensitas interaksi dengannya adalah hal yang bisa kulakukan saat ini. Jika tidak, aku benar-benar takkan bisa menahan diriku sendiri!

***

                Hujan mulai turun rintik-rintik. Tapi aku bersyukur karena  sudah berada di halte setelah selesai mengajar di sebuah lembaga kursus. Ketika sedang menunggu bus datang, sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempatku berada. Dan aku hafal betul siapa pemilik mobil tersebut.
Seorang cowok jangkung keluar dari mobil dan berlari-lari kecil menghampiriku.
“Mau pulang?” Seokmin menyapa duluan. Aku mengangguk.
“Biasanya di jemput Youngjae ‘kan?”
“Dia ada kepentingan. Jadi tak bisa jemput. Kau sendiri, kenapa bisa di sini?” Aku balik bertanya.
“Kebetulan lewat.” Jawabnya. “Mau ku antarkan?” Ia melanjutkan.
Aku tersenyum dan menggeleng. “Tak perlu. Bis ku sebentar lagi datang.” Ucapku.
 “Jangan sungkan, kalau aku membiarkanmu di sini dalam cuaca seperti ini, aku benar-benar jadi namja kurang ajar di muka bumi ini.” Seokmin menarik lengan tanganku lalu mengajakku masuk ke mobilnya. Dan aku tak kuasa menolak.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan yang mulai basah oleh air hujan. Situasi di antara kami agak canggung. Ini bukan pertama kalinya kami berduaan, tapi entah mengapa, aku serasa mati gaya!
Tatapan mataku tertuju pada pigura kecil yang  berada di dashboard mobil. Potret Seokmin  dan Naeun, berpelukan mesra. Ada kecemburuan luar biasa yang menyerangku. Aku tahu aku tak berhak, tapi tetap saja : I’m  jealous much!
“Youngjae kemana?” Seokmin membuka suara. Aku tergagap.
“E__ dia ada kepentingan.” Kalimatku terhenti ketika tiba-tiba mobil tersendat dan akhirnya berhenti total. Sesaat, aku sempat mendengar Seokmin menggerutu.
“Aku tak tahu kenapa tiba-tiba mobilnya mogok. Akan ku cek dulu,” ia mengambil payung dari bangku belakang lalu keluar dari mobil untuk mengecek mesin. Aku hanya mengangguk. Tatapanku segera kembali tertuju pada potret Seokmin dan Naeun. Perlahan ku raih pigura kecil tersebut. Aku menatapnya dalam-dalam hingga tanpa sadar aku meremasnya dan ___ krekk! Pigura itu patah! Aku tersentak. Astaga, ada apan denganku? Bagaimana mungkin aku bisa seperti ini? Aku benar-benar merasa ____
Aku memicingkan mataku keheranan. Sekarang perhatianku tertuju pada sebuah benda tak wajar yang menyembul dari balik foto tersebut. Aku membongkar pigura tersebut dan mengambilnya. Sebuah foto di balik foto? Aku mengamati foto tersebut dengan seksama. Dan, astaga, bukankah ini __ fotoku!? Kenapa ada fotoku di sini?
“Siapa yang memberimu ijin untuk membongkar barang-barangku!?” Seokmin menyambar foto beserta pigura tersebut dari tanganku lalu memasukannya ke dalam laci. Ia beranjak ke kursi kemudi dan membanting pintu dengan kasar.
“Mobil sudah kuperbaiki. Aku akan segera mengantarkanmu pulang,” ucapnya dingin.
Ia menyalakan mesin lalu memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
“Maaf, aku tidak bermaksud lancang dengan membongkar barang-barangmu. Tapi, bukankah itu ___ fotoku?”
“Tolong, jangan bertanya apapun saat ini,” Seokmin mendesis.
“Tapi __”
“Jangan bertanya apapun! Apa kau tak mendengarnya!?” Kali ini ia membentak.
Teriakan itu sempat membuatku tersentak kaget. Tanpa mengatakan apapun namja berhidung mancung itu menepikan mobilnya lalu berhenti. Kami sama-sama terdiam dan keadaan hening sesaat.
“Maaf, aku tak bermaksud membentakmu,” Ia menggumam lirih.
“It’s okay. Aku akan pulang naik bis jika suasana hatimu sedang tidak enak,” aku beranjak. Tapi niatku terurung karena Seokmin menarik lenganku.
“Tolong jangan pergi. Biarkan aku menjelaskan semuanya,” pintanya dengan suara parau. Aku menelan ludah. Tatapan kami beradu.
“Itu memang potretmu. Aku sengaja menyembunyikannya di sana,”  ia berkata lirih. Aku ingin bertanya ‘mengapa’,tapi mulutku serasa terkunci.
“Aku bohong padamu. Sebenarnya hari ini aku tidak kebetulan lewat. Aku sengaja menungguimu di depan tempat kau mengajar karena aku tahu Youngjae tidak bisa menjemputmu. Dan jujur saja, aku sering melakukannya. Tiap kali kau ada jadwal mengajar, ikut kegiatan kampus, atau bahkan sekedar menghabiskan waktumu di perpustakaan, aku sering menungguimu, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Melihatmu dari kejauhan, menatapmu dengan sepenuh hatiku dan menyaksikan Youngjae menjemputmu sepulang kuliah ataupun sepulang mengajar. Maaf, tapi hanya itulah satu-satunya cara agar aku tetap bisa melihatmu, dan mengagumimu,”
Aku mengernyitkan dahiku. Kalimat yang meluncur dari mulut Seokmin ibarat siraman air es yang membuatku menggigil kedinginan.
“Kau ingin tahu alasannya? Karena aku mencintaimu,”
Dan jantungku seperti berhenti berdetak, beberapa detik. Syok.
“Tiap kali kita keluar jalan-jalan berempat, kaulah yang selalu ada di pikiranku. Aku tak tahu sejak kapan tepatnya perasaan itu kurasakan. Yang jelas, semua terjadi begitu saja dan aku tak mampu mencegahnya,” Namja itu melanjutkan kalimatnya.
“Kau sadar apa yang kau katakan?” Aku melotot ke arahnya. Dia hanya mengangguk lemah.
“Aku sadar sepenuhnya,” jawabnya. Kami berpandangan lagi.
“Aku tahu ini salah. Tapi aku benar-benar tak mampu mengenyahkanmu dari pikiranku. Aku senantiasa memikirkanmu, merindukanmu, mengkhawatirkanmu ___”
“Cukup! Jangan kau teruskan lagi!” Aku berteriak.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi jika aku tidak bicara jujur, aku benar-benar akan gila!”
Sesaat pandangan kami terkunci. Aku menelan ludah. Tanpa mengatakan apapun, aku membuka pintu mobil lalu keluar berlari keluar. Titik-titik air hujan yang lembut mulai menerpa rambut dan bajuku.
“Nam Joo-ssi!” Seokmin juga keluar dari mobil lalu mengejarku. Tak menggunakan payung.
“Aku minta maaf. Aku tak bermaksud membuat situasi di antara kita menjadi rumit. Tapi ...”
Kami berpandangan. Tatapan Seokmin menjadi sayu. “Tapi aku mencintaimu.” Ia melanjutkan.
Rahangku menegang. Kurasakan air mengalir dipipiku, bukan air hujan, tapi air mataku.
“Nam Joo-ssi...” Seokmin memanggil lirih. Rambut dan wajahnya juga mulai basah. Aku bergerak mendekatinya, memukul-mukul dadanya dengan frustasi.
“Kenapa kau harus mengatakannya, Seokmin-ssi?! Wae??!” Aku berteriak dan air mataku mengalir deras. Seokmin mencengkeram kedua tanganku. Ia menatapku bingung.
“Aku sudah bertekad membawa rahasiaku ke liang kubur. Mengapa kau harus membuat pikiranku berubah? Mengapa?”
“Aku tak mengerti apa maksudmu!” Seokmin berteriak. Aku menyentakkan tanganku darinya lalu  mundur beberapa langkah.
“Saranghae.” Ucapku. “Saranghae! Saranghae!” Kali ini aku berteriak lantang. Seokmin mematung. Ia tampak terkejut luar biasa.
“Sama sepertimu aku juga tak tahu kenapa ini bisa terjadi padaku. Aku juga tak tahu kapan tepatnya perasaan ini ku rasakan. Tapi, inilah yang sebenarnya. Aku mencintaimu, dengan sepenuh hatiku.” Dan tangisku pecah.
Seokmin menelan ludah. Bibirnya bergetar. Kemudian dengan langkah gontai, ia beranjak mendekatiku, menyentuh pipiku dengan lembut, lalu merengkuhku. Memelukku dengan erat.
Dan aku terisak dalam dekapannya.

***
“Kenapa semua tiba-tiba jadi pendiam begini?” Youngjae terkekeh seraya menatap kami bergantian. Malam itu kami hang out bersama ke tempat karaoke. Seperti biasanya, kami berempat. Aku, Youngjae, Naeun dan Seokmin.
“Nam Joo-ah, ayo kita duet.” Youngjae bangkit dan menarik tanganku. Aku meringis.
“Hati-hati, tangannya sakit!” Seokmin berseru. Kening Youngjae mengernyit.
“Tangan Nam Joo-sii terluka.” Seokmin mengulangi kalimatnya. Kali ini lebih pelan.
Youngjae menatapku bingung. Ia kembali duduk lalu dengan perlahan menyingkap baju lengan panjangku. Ia ikut meringis menyaksikan bawah sikuku yang diperban.
“Kenapa kau tak bilang?” ia menggerutu. “Hanya luka gores biasa.” Jawabku.
“Jatuh darimana?” belum sempat aku menjawab Youngjae mengalihkan pandangannya ke arah Seokmin. “Bagaimana kau tahu kalau tangannya terluka?” Ia bertanya langsung.
“Kemarin aku mengantarkannya pulang dari tempat mengajar. Hujan turun, jalan licin, ketika ia turun dari mobil, ia terpeleset dan melukai sikunya.” Seokmin menjelaskan, mengatakan yang sebenarnya.
“Kenapa kau bisa mengantarkannya?” Youngjae dan Naeun bertanya hampir bersamaan.
“Kebetulan lewat.” Seokmin menjawab dengan nada biasa seraya meneguk minumannya. Tatapannya Youngjae beralih kepadaku.
Dan sepanjang malam itu, situasi berubah jadi canggung.
Ketika Youngjae mengantarkanku pulang, ia itu kembali membahasnya.
“Kenapa Seokmin bisa mengantarkanmu pulang?”
“Dia sudah menjawab kan tadi. Dia kebetulan lewat dan aku menumpang.” Jawabku.
“Kau tak bermain curang di belakangku ‘kan?”
Aku menatap namja tampan itu dengan kesal. “Tak ada. Dan tak perlu cemburu. Ini toh bukan pertama kalinya aku bersama-sama sendirian dengan Seokmin. Ingat, dia Seokmin, temanmu, temanku, bukan namja lain.” Kilahku.
“Justru karena dia Seokmin lah aku menanyakannya padamu.” Youngjae membantah.
“Ada apa denganmu? Kenapa kita harus membahasnya?” Aku menatapnya kesal. Youngjae juga terlihat kesal. “Nam Joo-ah, kau pikir aku buta? Kau pikir aku bodoh? Aku sering melihatmu curi-curi pandang ke arahnya. Aku sering memergokimu memandangi dirinya. Apa maksudnya itu? Kau tak berselingkuh dengannya kan?” Kalimatnya bernada tinggi. Aku menatapnya degan tajam.
“Cemburu itu suatu perasaan yang biasa. Tapi menuduhku berselingkuh, itu keterlaluan!”
Kami mulai ribut, adu argumen. Karena kesal, aku membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Dan tanpa mengatakan apapun, aku meninggalkannya. 

***

Seminggu berlalu dan situasi semakin menjadi tak biasa. Seokmin tak muncul di kampus selama beberapa hari, hampir seminggu. Aku bertemu Naeun, tapi sikapnya berubah dingin. Aku berusaha berbicara dengannya tapi ia selalu bilang butuh waktu untuk menyendiri. Sementara aku dan Youngjae, kami terus saja ribut.  Entahlah, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kami.

***

Aku baru saja keluar dari tempat kerjaku ketika menemukan Seokmin berdiri di ujung jalan, menungguku. Namja berhidung mancung itu tersenyum kaku ke arahku seraya melambaikan tangannya. Aku balas tersenyum dan melangkah mendekatinya.
“Mm, ada sesuatu?” Aku langsung menyapa dengan pertanyaan. Seokmin berdiri dengan canggung. Berkali-kali ia memainkan ujung sepatunya dengan mengetukkannya ke jalan.
“Aku ingin pamit.” Ia membuka suara seraya menatapku dengan dalam.
“Nde?” Aku mengernyit, heran. Ia mengangkat bahu.
“Maaf, sepertinya situasi berubah jadi tak menyenangkan sekarang.” Jawabnya. “Berada satu kota denganmu, dengan Youngjae, dadaku rasanya sesak. Jadi, aku memutuskan pindah. Aku memutuskan ikut pamanku di Kanada. Nanti sore aku berangkat.” Ia melanjutkan.
Dadaku berdesir. Ini ... terlalu tiba-tiba.
“Lalu ... Naeun?”
Seokmin tersenyum getir. “Aku putus dengannya.” Jawabnya.
“Hah.” Aku melotot.
“Sudah beberapa hari yang lalu.” Namja itu kembali berkata.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku tak bisa berbohong lagi padanya. Aku menceritakan segalanya. Bahwa, aku tak bisa lagi bersamanya. Bahwa ... aku mencintaimu. Keputusan ini jelas melukainya, tapi itu lebih baik daripada aku membohonginya terus-terus menerus.” Ia mulai menjelaskan.
“Aku percaya bahwa jika aku terus bersamanya, aku akan mencegahnya mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Begitu pula denganku. Aku tak mau jadi lelaki pecundang yang akan terus menerus membohongi diriku sendiri dan orang lain. Jadi ...” kalimatnya terhenti. Ia menggigit bibirnya berulang-ulang. Terlihat bingung mengatur kata-kata.
“Apa Naeun baik-baik saja?”
Seokmin mengangguk. “Sekarang mungkin belum. Tapi waktu akan menyembuhkan luka di hatinya. Dan aku yakin, suatu saat ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Dan percayalah, kebahagiaan itu bukan bersamaku.” Jawabnya.
Kami sama-sama terdiam.
“Nam Joo-ssi.” Panggilnya lirih. Tatapannya lembut. “Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu. Jika kebahagiaanmu adalah bersama Youngjae, maka aku akan terus berdoa untuk kalian berdua. Tapi  jika ...” kalimatnya terhenti. “Tapi jika suatu saat nanti, hubunganmu dengannya tak berhasil, datanglah padaku. Aku akan menunggumu.” Lanjutnya.
Kedua mataku berkaca-kaca.
“Kurasa, itu saja yang ingin ku sampaikan. Jaga diri baik-baik saja. Aku pergi.” Ia tersenyum hambar lalu berbalik. Melangkahkan kakinya meninggalkanku.
Aku tertegun, menatap kepergiannya dengan hati hancur. Air mataku menitik.
Dan tanpa berpikir ulang, aku barlari. Menghambur ke arahnya, memeluknya erat, tanpa menunggu ia berbalik.
“Saranghae.” Ucapku. Aku membenamkan wajahku di punggung Seokmin. Namja itu mematung, tanpa mengatakan apapun.
Aku terisak. Air mataku membasahi bagian belakang kemejanya. Dan aku tahu satu hal, hubungannku dengan Youngjae takkan berhasil.
“Tunggu aku.” Desisku lirih.

Selesai.

#Happy1MonthWithSeventen





Tidak ada komentar:

Posting Komentar