Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo,
S.Coup, Lee Chan, udah.
Sekarang giliran : DK
Judul : Mianhae, Saranghae
Genre : Romance
Sebenarnya
kelasku telah usai sekitar satu jam yang lalu. Tapi aku tetap tak berniat
sedikitpun untuk meninggalkan kampus. Bukan karena aku banyak tugas atau karena
ada janji dengan teman, tapi, sosok itulah yang telah menahan langkahku.
Sesosok tubuh jangkung yang
sedang bermain basket dengan teman-temannya. Wajah tampan itu telah mengusik
tidurku. Sepasang mata bening itu telah menghiasi debaran jantungku. Aku tahu
ini salah. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan perasaanku. Aku mencintainya.
Aku mencintai namja itu, dengan sepenuh
hatiku.
Gila. Ya, aku pasti sudah
gila. Aku punya pacar sebaik dan
setampan Youngjae, tapi tetap saja aku mulai kepincut – entah kapan tepatnya –
dengan Lee Seokmin!
Lebih gila lagi karena Seokmin
adalah pacar Naeun, sahabatku sendiri. Kami berempat bahkan sering hang out
bareng, double dating. Dan setiap kali kami keluar bersama, nyaris seluruh
perhatianku selalu tertuju padanya – pada Seokmin, bukan pada Youngjae - meski
secara sembunyi-sembunyi.
Seokmin sama baiknya dengan
Youngjae.
Mereka sama-sama romantis, sama-sama
perhatian, dan sama-sama humoris. Aku bisa melihatnya dari cara Seokmin
memperlakukan Naeun. Sangat manis. Dan jujur itu membuatku cemburu setengah
mati! Sebuah kecemburuan yang tidak pada tempatnya karena aku tak punya hak
atas namja itu.
Aku sudah bersusah payah mencari
tahu hal apa gerangan yang membuatku kepincut padanya. Tapi, tetap saja aku tak
menemukan jawaban. Perasaanku padanya seakan tak beralasan. Rasa cinta itu
muncul begitu saja, mengalir perlahan-lahan dan yang pasti - makin membesar!
“Nam Joo-ah, belum pulang?”
sentuhan Naeun dipundakku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
“Aku masih ada kepentingan
dengan dosen,” jawabku berbohong.
“Youngjae-ssi kemana?”
“Hari ini dia tak ada kuliah. Kau
sendiri? Sudah mau pulang?”
Naeun mengangguk. Ia mengalihkan
pandangan ke arah Seokmin, melambaikan tangannya lalu tersenyum manis. Namja
itu membalas lambaian tangan Naeun. Mereka saling melempar senyum. Tatapan mata
Seokmin sempat singgah padaku, meski sekilas, tapi itu cukup membuat jantungku
berdebar tak menentu. “Naeun-ah, aku pergi dulu ya,” aku beranjak. Naeun
tersenyum dan mengangguk.
“Nam Joo-ah, sabtu depan ada
acara gak? Hang out bareng, yuk,” Naeun memberi saran.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Akan ku kabari Youngjae,”
jawabku sebelum melangkahkan kakiku darinya.
Tidak, aku tidak benar-benar
meninggalkan kampus. Aku hanya pergi ke kamar mandi dan merenung di sana
beberapa saat. Kamar mandi? Hah, aku hanya tak tahu lagi harus kemana? Seokmin,
mengalihkan semua duniaku.
Tapi, sesuatu hal yang tak
terduga terjadi. Ketika aku akan keluar, pintu kamar mandi terkunci dan tak
bisa dibuka sama sekali!
“Mwoyaaa? Kenapa bisa jadi
begini?” ujarku panik.
“Heloooo...!!! apa ada orang
di luar sana!? Tolong aku! Aku terkunci!” teriakku berkali-kali. Tapi tetap tak
ada respon. Aku menggedor-gedor pintu, berusaha membukanya dengan paksa, tapi
percuma.
Aku meraih phonselku. Tadinya
aku ingin menelpon Youngjae, tapi kemudian aku ingat bahwa ia tak berada di
kampus. Akhirnya, aku memutuskan untuk menelpon Naeun.
“Semoga dia masih belum
pulang,” desisku penuh harap.
Tapi, sial karena nomor Naeun
tak bisa di hubungi. Aku terus mencoba berkali-kali, tapi tetap saja gagal.
Hingga akhirnya, nomor Seokmin-lah yang ku hubungi dengan harapan aku bisa
berbicara dengan Naeun.
“Yoboseyo, Seokmin-ssi?”
“Nam Joo-ssi?” Ia menjawab.
“Ya, ini aku. Aku mencoba
menghubungi nomor Naeun, tapi tak bisa. Bisa kau berikan telpon padanya? Aku
punya urusan penting yang harus kubicarakan padanya, Plis,”
“Naeun? Maaf, tapi aku sedang
tak bersamanya sekarang,” jawab Seokmin. Aku menggigit bibir putus asa
mendengar jawabannya. “Bukankah tadi kalian ingin pulang bersama?” Aku nyaris
mendesis.
“Ya, tapi dia memilih pulang
duluan karena aku masih punya urusan. Ada apa?”
Aku tak menjawab. Bagaimana
ini? Apa yang harus kulakukan?
“Nam Joo-ssi?”
“Mm__ ya,”
“Ada sesuatu?”
“Mmm___sebenarnya___?” Aku
bingung harus bicara jujur atau berbohong.
“Gwaencana?”
“Nde, aku baik-baik saja.
Hanya saja___”
“Apa terjadi sesuatu padamu?”
Aku terdiam. Aku menangkap kekhawatiran
pada nada suara Seokmin. Ataukah, aku yang ke ge-eran?
“Yoboseyo, Nam Joo-ssi?”
“Ya,”
“Di mana kau sekarang?”
Aku tak segera menjawab.
“Nam Joo-ssi, dimana kau
sekarang?” kalimat Seokmin terdengar seperti sebuah teriakan.
“Aku ___ terkunci di kamar
mandi kampus,” jawabku kemudian.
***
Seokmin menyodorkan sebotol air minum ke arahku.
“Gomawo, aku tak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tak mengeluarkanku dari
sana,” ujarku.
“Berapa lama kau di sana?”
“Mm__sekitar 1 jam,”
“Astaga, dan tak ada seorang
pun yang mendengar teriakanmu?” Seokmin menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku
menggeleng.
“Youngjae?”
“Dia tak berada di kampus,”
jawabku.
Seokmin menyisir rambutnya
dengan jemari.
“Sebaiknya jangan pernah masuk
ke kamar mandi itu lagi. Jangan-pernah.” Kalimat Seokmin terdengar kesal. Entah
kesal karena apa.
“Maaf merepotkanmu,” ujarku
lagi. Seokmin tak menjawab. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku memang
menyukainya, tapi aku tak pernah merencanakan ini!
“Aku pikir kau sedang bersama
Naeun, jadi___” kalimatku menggantung.
“Tak apa-apa. Kami batal
pulang bersama karena aku masih ada urusan dengan klub basket. Kau sendiri,
masih ada urusan apa di kampus? Bukankah kelasmu sudah selesai dua jam yang
lalu?”
Aku tak segera menjawab.
Bagaimana dia bisa tahu kalo kelasku sudah usai?
“Aku ada sedikit kepentingan
dengan dosenku,” Lagi-lagi aku
berbohong.
Seokmin manggut-manggut.
“Akan ku antarkan kau pulang,”
ujarnya kemudian.
Aku menggeleng. “Tidak, terima
kasih. Aku bisa pulang sendiri kok,”
“Tapi__”
“Aku masih ada sedikit urusan.
Jadi, aku akan pulang agak sore.” Aku bangkit. “Gomawo, Seokmin-ssi,” Aku
meraih tasku lalu segera melangkahkan kakiku meninggalkan namja tersebut.
Mengurangi intensitas interaksi dengannya adalah hal yang bisa kulakukan saat
ini. Jika tidak, aku benar-benar takkan bisa menahan diriku sendiri!
***
Hujan mulai turun rintik-rintik. Tapi aku bersyukur
karena sudah berada di halte setelah
selesai mengajar di sebuah lembaga kursus. Ketika sedang menunggu bus datang,
sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempatku berada. Dan aku hafal betul siapa
pemilik mobil tersebut.
Seorang cowok jangkung keluar
dari mobil dan berlari-lari kecil menghampiriku.
“Mau pulang?” Seokmin menyapa
duluan. Aku mengangguk.
“Biasanya di jemput Youngjae
‘kan?”
“Dia ada kepentingan. Jadi tak
bisa jemput. Kau sendiri, kenapa bisa di sini?” Aku balik bertanya.
“Kebetulan lewat.” Jawabnya. “Mau
ku antarkan?” Ia melanjutkan.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Tak perlu. Bis ku sebentar lagi datang.” Ucapku.
“Jangan sungkan, kalau aku membiarkanmu di
sini dalam cuaca seperti ini, aku benar-benar jadi namja kurang ajar di muka
bumi ini.” Seokmin menarik lengan tanganku lalu mengajakku masuk ke mobilnya.
Dan aku tak kuasa menolak.
Mobil melaju dengan kecepatan
sedang menyusuri jalanan yang mulai basah oleh air hujan. Situasi di antara
kami agak canggung. Ini bukan pertama kalinya kami berduaan, tapi entah
mengapa, aku serasa mati gaya!
Tatapan mataku tertuju pada
pigura kecil yang berada di dashboard
mobil. Potret Seokmin dan Naeun, berpelukan
mesra. Ada kecemburuan luar biasa yang menyerangku. Aku tahu aku tak berhak,
tapi tetap saja : I’m jealous much!
“Youngjae kemana?” Seokmin
membuka suara. Aku tergagap.
“E__ dia ada kepentingan.” Kalimatku
terhenti ketika tiba-tiba mobil tersendat dan akhirnya berhenti total. Sesaat,
aku sempat mendengar Seokmin menggerutu.
“Aku tak tahu kenapa tiba-tiba
mobilnya mogok. Akan ku cek dulu,” ia mengambil payung dari bangku belakang
lalu keluar dari mobil untuk mengecek mesin. Aku hanya mengangguk. Tatapanku
segera kembali tertuju pada potret Seokmin dan Naeun. Perlahan ku raih pigura
kecil tersebut. Aku menatapnya dalam-dalam hingga tanpa sadar aku meremasnya
dan ___ krekk! Pigura itu patah! Aku tersentak. Astaga, ada apan denganku?
Bagaimana mungkin aku bisa seperti ini? Aku benar-benar merasa ____
Aku memicingkan mataku
keheranan. Sekarang perhatianku tertuju pada sebuah benda tak wajar yang
menyembul dari balik foto tersebut. Aku membongkar pigura tersebut dan
mengambilnya. Sebuah foto di balik foto? Aku mengamati foto tersebut dengan
seksama. Dan, astaga, bukankah ini __ fotoku!? Kenapa ada fotoku di sini?
“Siapa yang memberimu ijin
untuk membongkar barang-barangku!?” Seokmin menyambar foto beserta pigura tersebut
dari tanganku lalu memasukannya ke dalam laci. Ia beranjak ke kursi kemudi dan
membanting pintu dengan kasar.
“Mobil sudah kuperbaiki. Aku
akan segera mengantarkanmu pulang,” ucapnya dingin.
Ia menyalakan mesin lalu
memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
“Maaf, aku tidak bermaksud
lancang dengan membongkar barang-barangmu. Tapi, bukankah itu ___ fotoku?”
“Tolong, jangan bertanya
apapun saat ini,” Seokmin mendesis.
“Tapi __”
“Jangan bertanya apapun! Apa
kau tak mendengarnya!?” Kali ini ia membentak.
Teriakan itu sempat membuatku
tersentak kaget. Tanpa mengatakan apapun namja berhidung mancung itu menepikan
mobilnya lalu berhenti. Kami sama-sama terdiam dan keadaan hening sesaat.
“Maaf, aku tak bermaksud
membentakmu,” Ia menggumam lirih.
“It’s okay. Aku akan pulang
naik bis jika suasana hatimu sedang tidak enak,” aku beranjak. Tapi niatku
terurung karena Seokmin menarik lenganku.
“Tolong jangan pergi. Biarkan
aku menjelaskan semuanya,” pintanya dengan suara parau. Aku menelan ludah. Tatapan
kami beradu.
“Itu memang potretmu. Aku
sengaja menyembunyikannya di sana,” ia
berkata lirih. Aku ingin bertanya ‘mengapa’,tapi mulutku serasa terkunci.
“Aku bohong padamu. Sebenarnya
hari ini aku tidak kebetulan lewat. Aku sengaja menungguimu di depan tempat kau
mengajar karena aku tahu Youngjae tidak bisa menjemputmu. Dan jujur saja, aku
sering melakukannya. Tiap kali kau ada jadwal mengajar, ikut kegiatan kampus,
atau bahkan sekedar menghabiskan waktumu di perpustakaan, aku sering
menungguimu, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Melihatmu dari kejauhan,
menatapmu dengan sepenuh hatiku dan menyaksikan Youngjae menjemputmu sepulang
kuliah ataupun sepulang mengajar. Maaf, tapi hanya itulah satu-satunya cara
agar aku tetap bisa melihatmu, dan mengagumimu,”
Aku mengernyitkan dahiku. Kalimat
yang meluncur dari mulut Seokmin ibarat siraman air es yang membuatku menggigil
kedinginan.
“Kau ingin tahu alasannya?
Karena aku mencintaimu,”
Dan jantungku seperti berhenti
berdetak, beberapa detik. Syok.
“Tiap kali kita keluar
jalan-jalan berempat, kaulah yang selalu ada di pikiranku. Aku tak tahu sejak
kapan tepatnya perasaan itu kurasakan. Yang jelas, semua terjadi begitu saja
dan aku tak mampu mencegahnya,” Namja itu melanjutkan kalimatnya.
“Kau sadar apa yang kau
katakan?” Aku melotot ke arahnya. Dia hanya mengangguk lemah.
“Aku sadar sepenuhnya,”
jawabnya. Kami berpandangan lagi.
“Aku tahu ini salah. Tapi aku
benar-benar tak mampu mengenyahkanmu dari pikiranku. Aku senantiasa
memikirkanmu, merindukanmu, mengkhawatirkanmu ___”
“Cukup! Jangan kau teruskan
lagi!” Aku berteriak.
“Maafkan aku, aku tidak
bermaksud mengganggumu. Tapi jika aku tidak bicara jujur, aku benar-benar akan
gila!”
Sesaat pandangan kami
terkunci. Aku menelan ludah. Tanpa mengatakan apapun, aku membuka pintu mobil
lalu keluar berlari keluar. Titik-titik air hujan yang lembut mulai menerpa
rambut dan bajuku.
“Nam Joo-ssi!” Seokmin juga
keluar dari mobil lalu mengejarku. Tak menggunakan payung.
“Aku minta maaf. Aku tak
bermaksud membuat situasi di antara kita menjadi rumit. Tapi ...”
Kami berpandangan. Tatapan
Seokmin menjadi sayu. “Tapi aku mencintaimu.” Ia melanjutkan.
Rahangku menegang. Kurasakan
air mengalir dipipiku, bukan air hujan, tapi air mataku.
“Nam Joo-ssi...” Seokmin
memanggil lirih. Rambut dan wajahnya juga mulai basah. Aku bergerak
mendekatinya, memukul-mukul dadanya dengan frustasi.
“Kenapa kau harus
mengatakannya, Seokmin-ssi?! Wae??!” Aku berteriak dan air mataku mengalir
deras. Seokmin mencengkeram kedua tanganku. Ia menatapku bingung.
“Aku sudah bertekad membawa
rahasiaku ke liang kubur. Mengapa kau harus membuat pikiranku berubah? Mengapa?”
“Aku tak mengerti apa
maksudmu!” Seokmin berteriak. Aku menyentakkan tanganku darinya lalu mundur beberapa langkah.
“Saranghae.” Ucapku.
“Saranghae! Saranghae!” Kali ini aku berteriak lantang. Seokmin mematung. Ia
tampak terkejut luar biasa.
“Sama sepertimu aku juga tak
tahu kenapa ini bisa terjadi padaku. Aku juga tak tahu kapan tepatnya perasaan
ini ku rasakan. Tapi, inilah yang sebenarnya. Aku mencintaimu, dengan sepenuh
hatiku.” Dan tangisku pecah.
Seokmin menelan ludah.
Bibirnya bergetar. Kemudian dengan langkah gontai, ia beranjak mendekatiku,
menyentuh pipiku dengan lembut, lalu merengkuhku. Memelukku dengan erat.
Dan aku terisak dalam
dekapannya.
***
“Kenapa semua tiba-tiba jadi
pendiam begini?” Youngjae terkekeh seraya menatap kami bergantian. Malam itu
kami hang out bersama ke tempat karaoke. Seperti biasanya, kami berempat. Aku,
Youngjae, Naeun dan Seokmin.
“Nam Joo-ah, ayo kita duet.”
Youngjae bangkit dan menarik tanganku. Aku meringis.
“Hati-hati, tangannya sakit!”
Seokmin berseru. Kening Youngjae mengernyit.
“Tangan Nam Joo-sii terluka.”
Seokmin mengulangi kalimatnya. Kali ini lebih pelan.
Youngjae menatapku bingung. Ia
kembali duduk lalu dengan perlahan menyingkap baju lengan panjangku. Ia ikut
meringis menyaksikan bawah sikuku yang diperban.
“Kenapa kau tak bilang?” ia
menggerutu. “Hanya luka gores biasa.” Jawabku.
“Jatuh darimana?” belum sempat
aku menjawab Youngjae mengalihkan pandangannya ke arah Seokmin. “Bagaimana kau tahu
kalau tangannya terluka?” Ia bertanya langsung.
“Kemarin aku mengantarkannya
pulang dari tempat mengajar. Hujan turun, jalan licin, ketika ia turun dari
mobil, ia terpeleset dan melukai sikunya.” Seokmin menjelaskan, mengatakan yang
sebenarnya.
“Kenapa kau bisa
mengantarkannya?” Youngjae dan Naeun bertanya hampir bersamaan.
“Kebetulan lewat.” Seokmin
menjawab dengan nada biasa seraya meneguk minumannya. Tatapannya Youngjae
beralih kepadaku.
Dan sepanjang malam itu,
situasi berubah jadi canggung.
Ketika Youngjae mengantarkanku
pulang, ia itu kembali membahasnya.
“Kenapa Seokmin bisa
mengantarkanmu pulang?”
“Dia sudah menjawab kan tadi.
Dia kebetulan lewat dan aku menumpang.” Jawabku.
“Kau tak bermain curang di
belakangku ‘kan?”
Aku menatap namja tampan itu
dengan kesal. “Tak ada. Dan tak perlu cemburu. Ini toh bukan pertama kalinya
aku bersama-sama sendirian dengan Seokmin. Ingat, dia Seokmin, temanmu,
temanku, bukan namja lain.” Kilahku.
“Justru karena dia Seokmin lah
aku menanyakannya padamu.” Youngjae membantah.
“Ada apa denganmu? Kenapa kita
harus membahasnya?” Aku menatapnya kesal. Youngjae juga terlihat kesal. “Nam
Joo-ah, kau pikir aku buta? Kau pikir aku bodoh? Aku sering melihatmu curi-curi
pandang ke arahnya. Aku sering memergokimu memandangi dirinya. Apa maksudnya
itu? Kau tak berselingkuh dengannya kan?” Kalimatnya bernada tinggi. Aku
menatapnya degan tajam.
“Cemburu itu suatu perasaan
yang biasa. Tapi menuduhku berselingkuh, itu keterlaluan!”
Kami mulai ribut, adu argumen.
Karena kesal, aku membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Dan tanpa
mengatakan apapun, aku meninggalkannya.
***
Seminggu berlalu dan situasi
semakin menjadi tak biasa. Seokmin tak muncul di kampus selama beberapa hari,
hampir seminggu. Aku bertemu Naeun, tapi sikapnya berubah dingin. Aku berusaha
berbicara dengannya tapi ia selalu bilang butuh waktu untuk menyendiri.
Sementara aku dan Youngjae, kami terus saja ribut. Entahlah, aku tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi dengan kami.
***
Aku baru saja keluar dari
tempat kerjaku ketika menemukan Seokmin berdiri di ujung jalan, menungguku.
Namja berhidung mancung itu tersenyum kaku ke arahku seraya melambaikan
tangannya. Aku balas tersenyum dan melangkah mendekatinya.
“Mm, ada sesuatu?” Aku langsung
menyapa dengan pertanyaan. Seokmin berdiri dengan canggung. Berkali-kali ia
memainkan ujung sepatunya dengan mengetukkannya ke jalan.
“Aku ingin pamit.” Ia membuka
suara seraya menatapku dengan dalam.
“Nde?” Aku mengernyit, heran.
Ia mengangkat bahu.
“Maaf, sepertinya situasi berubah
jadi tak menyenangkan sekarang.” Jawabnya. “Berada satu kota denganmu, dengan
Youngjae, dadaku rasanya sesak. Jadi, aku memutuskan pindah. Aku memutuskan
ikut pamanku di Kanada. Nanti sore aku berangkat.” Ia melanjutkan.
Dadaku berdesir. Ini ...
terlalu tiba-tiba.
“Lalu ... Naeun?”
Seokmin tersenyum getir. “Aku
putus dengannya.” Jawabnya.
“Hah.” Aku melotot.
“Sudah beberapa hari yang
lalu.” Namja itu kembali berkata.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku tak bisa berbohong lagi padanya.
Aku menceritakan segalanya. Bahwa, aku tak bisa lagi bersamanya. Bahwa ... aku
mencintaimu. Keputusan ini jelas melukainya, tapi itu lebih baik daripada aku
membohonginya terus-terus menerus.” Ia mulai menjelaskan.
“Aku percaya bahwa jika aku
terus bersamanya, aku akan mencegahnya mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
Begitu pula denganku. Aku tak mau jadi lelaki pecundang yang akan terus menerus
membohongi diriku sendiri dan orang lain. Jadi ...” kalimatnya terhenti. Ia
menggigit bibirnya berulang-ulang. Terlihat bingung mengatur kata-kata.
“Apa Naeun baik-baik saja?”
Seokmin mengangguk. “Sekarang
mungkin belum. Tapi waktu akan menyembuhkan luka di hatinya. Dan aku yakin,
suatu saat ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Dan percayalah, kebahagiaan
itu bukan bersamaku.” Jawabnya.
Kami sama-sama terdiam.
“Nam Joo-ssi.” Panggilnya
lirih. Tatapannya lembut. “Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu. Jika
kebahagiaanmu adalah bersama Youngjae, maka aku akan terus berdoa untuk kalian
berdua. Tapi jika ...” kalimatnya
terhenti. “Tapi jika suatu saat nanti, hubunganmu dengannya tak berhasil,
datanglah padaku. Aku akan menunggumu.” Lanjutnya.
Kedua mataku berkaca-kaca.
“Kurasa, itu saja yang ingin
ku sampaikan. Jaga diri baik-baik saja. Aku pergi.” Ia tersenyum hambar lalu
berbalik. Melangkahkan kakinya meninggalkanku.
Aku tertegun, menatap
kepergiannya dengan hati hancur. Air mataku menitik.
Dan tanpa berpikir ulang, aku
barlari. Menghambur ke arahnya, memeluknya erat, tanpa menunggu ia berbalik.
“Saranghae.” Ucapku. Aku
membenamkan wajahku di punggung Seokmin. Namja itu mematung, tanpa mengatakan
apapun.
Aku terisak. Air mataku
membasahi bagian belakang kemejanya. Dan aku tahu satu hal, hubungannku dengan
Youngjae takkan berhasil.
“Tunggu aku.” Desisku lirih.
Selesai.
#Happy1MonthWithSeventen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar