Bab
3
Aku
berada di rumah sakit ketika membuka mata. Emma berada di sisiku dengan wajah
cemas. “Kau baik-baik saja ‘kan?” ia bertanya. Aku mengangguk. “Kau di rumah
sakit, aku yang membawamu ke sini. Kau masih ingat ‘kan dengan apa yang
terjadi?”
Aku kembali mengangguk. Ya, aku masih
ingat semuanya. Aku terpeleset dan terjatuh ke kolam renang. Lalu, seseorang
menolongku. Seseorang yang ... ku kenal.
“Kenapa kau membawaku ke rumah sakit?”
aku bertanya sambil berusaha duduk, Emma membantuku bangkit.
“Aku takut kau mengalami gegar otak atau
cedera tulang. Karena itulah aku membawamu ke sini. Tapi untunglah, dokter
bilang kau tak mengalami luka serius. Paru-parumu hanya kemasukan beberapa
liter air,” jawab Emma. Aku meringis.
“Ada apa denganmu, Aletha? Apa kau
melamun di pinggir kolam? Kau mahir berenang, jika kau tercebur, kenapa kau tak
segera keluar dari sana?? Astaga, aku nyaris pingsan menyaksikanmu tenggelam,” Emma
mengomel.
Aku memijit-mijit keningku yang masih
terasa agak pening.
“Kakiku kram, aku tak bisa menggerakkan
badanku,” jawabku.
“Tenanglah, aku sudah baikan sekarang.
Apa aku boleh pulang malam ini juga?” tanyaku.
Emma terdiam sesaat. “Tentu saja jika
kau sudah tak apa-apa. Dokter bilang kau boleh pulang kapan saja jika sudah
merasa tak ada keluhan,”
Aku manggut-manggut. “Oke, aku akan
pulang karena aku tak apa-apa,” jawabku. Emma terdiam sesaat. Perlahan ia
bangkit. “Baiklah, aku akan bicara dengan dokter,” ia beranjak.
“Em, tunggu,” panggilku. Langkah kaki
Emma terhenti.
“Sebenarnya apa yang terjadi denganku?”
aku mencoba memastikan.
“Well, sepertinya kau terpeleset dan
tercebur ke kolam renang. Dan lelaki itu dengan sigap ikut terjun ke kolam
renang untuk menyelamatkanmu,” jawabnya.
“Siapa dia? Lelaki yang
menyelamatkanku,” aku merasakan dadaku kembali berdesir ketika mengingat sosok
tampan itu.
Emma mengangkat bahu. “Entahlah, aku
terlalu panik karena melihatmu tak sadarkan diri sehingga aku lupa berbincang
dengannya atau sekedar menanyakan namanya. Tapi, dia benar-benar tampan,” Ia
terkikik. “Dan apa yang sudah ia lakukan padamu, astaga, itu gentle sekali.
Tiba-tiba saja ia berlari ke arahmu, menceburkan dirinya ke kolam renang, dan
that’s it! Ia menyelamatkanmu,” ia kembali melanjutkan. Aku manggut-manggut.
“Sepertinya aku berutang ucapan terima
kasih padanya,” ucapku. Emma ikut mengangguk.
“Jangan khawatir, aku akan dengan senang
hati mencari tahu siapa dia agar kau bisa mengucapkan terima kasih padanya, dan
tentu saja, aku bisa berkenalan dengannya,” aku mendengar Emma kembali cekikikan
dan mau tak mau aku tersenyum. Tapi, tawa itu perlahan terhenti. Ia menatap ke
arahku dengan ragu.
“Ada apa? Bukankah kau ingin bicara
dengan dokter?” aku mengingatkan. Emma menggigit bibirnya. Ia melangkah
mendekatiku.
“Apa kau bermimpi buruk lagi, Aletha?”
Aku mengernyit. “Maksudmu?” tanyaku.
“Aku menungguimu di sini hampir
semalaman. Dan kau terus mengigau menyebutkan namanya lagi,”
Dadaku seperti berdentum. Lagi? Pasti
ada yang tak beres. “Siapa?” aku bertanya lirih.
“Luc,”
Aku melotot. Oh, astaga. Sudah ku duga..
***
Well,
seperti dugaanku, Emma memang takkan pernah bisa menjaga mulutnya. Karena dalam
beberapa jam kemudian, Will muncul di ruanganku. Pasti Emma yang telah
memberitahunya.
“Oh, sayang,” ia menghambur ke arahku
dengan wajah cemas. “Emma memberitahuku kau mengalami kecelakaan hingga
pingsan,” ia menambahkan. Aku melirik ke arah Emma. Aku bahkan baru saja ingin
melarang dia memberitahukan ini pada suamiku. Aku hanya tak mau suamiku cemas.
“Maaf, aku hanya panik ketika kau
pingsan. Dan tentu saja, suamimu harus tahu kalau kau .. terluka,” ia membela
diri.
“Aku tidak terluka,” aku membela diri. “Aku
hanya tercebur ... ke kolam,” tambahku.
“Iya, tapi kau pingsan, beberapa jam,dan
aku khawatir sesuatu yang buruk menimpamu,” Emma kembali membela diri. “Oke,
silahkan ngobrol. Aku akan pulang,” Ia beranjak. “Oh iya, Will, pastikan dia pulang
jika dokter mengijinkan. Kau tahu sikap istrimu. Dia keras kepala sekali. Baru
saja membuka mata, ia sudah merengek-rengek minta pulang, padahal dokter harus
melakukan pemeriksaan lebih mendalam padanya,” Emma memperingatkan. Aku
melotot.
“Terima kasih, Em karena kau telah
menjaganya ketika aku tak ada,” Will mengucapkan terima kasih sebelum Emma
menutup pintu keluar. Sahabatku itu tersenyum lalu beranjak, ia sempat melirik
ke arahku.
“Jadi, bukankah seharusnya kau masih di
luar kota?” aku bertanya. Will duduk di sampingku lalu membelai wajahku dengan
lembut setelah terlebih dahulu mengecup keningku.
“Aku khawatir padamu. Aku segera memesan
tiket penerbangan ke sini setelah Emma memberitahuku bahwa kau mengalami
kecelakaan hingga harus dibawa ke rumah sakit,” ia menjawab.
“Sekali lagi, aku-hanya-tercebur-kolam,
bukan kecelakaan besar,” balasku.
“Aku mendengar dari Emma kalau kau
selalu lembur semenjak ku tinggal ke luar kota. Kau pasti kelelahan,”
Aku manggut-manggut. “Entahlah, aku
hanya terpeleset, itu saja,” jawabku.
“Yang terpenting kau tak apa-apa. Kita
akan segera pulang kalau dokter sudah mengijinkan. Dan, kau harus istirahat
sementara waktu lagi di rumah. Aku akan menjagamu,”
Aku merengek. “Itu tak perlu. Aku sudah
tak apa-apa. Aku bahkan bisa bekerja lagi, besok,” ucapku. Tapi, Will tak
menggubris. Ia menegaskan bahwa ia takkan pernah mengijinkanku lagi bekerja,
dalam waktu dekat ini.
Dan
ia benar-benar serius dengan ucapannya. Selama hampir tiga hari ini ia seperti
menjadi pengawal pribadiku. Ia bahkan tak bekerja hanya untuk menungguiku di
rumah, dan memastikan bahwa aku benar-benar istirahat tanpa mengerjakan
pekerjaanku. Dan sepertinya aku akan bertambah stress jika tak mengerjakan
apapun. Bukan karena Will berubah menjadi semacam pengawal pribadiku yang
senantiasa siap siaga memelototiku 24 jam jika diperlukan, tapi karena semakin
aku tak mengerjakan apapun, dan semakin sering aku tidur, mimpi-mimpiku selalu
dipenuhi oleh dia, lelaki itu, Luc!
Aku mengirimkan
pesan singkat pada Emma secara sembunyi-sembunyi untuk mencarikan identitas
lelaki yang telah menolongku dari tragedi kolam renang tersebut, karena aku
yakin (entah sumber keyakinan itu datang darimana?) bahwa lelaki itu tahu
sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan mimpi-mimpiku. Dan aku percaya, hanya
dengan menemukanlah, aku bisa membuka tabir misteri tentang mimpi anehku
bersama lelaki tersebut.
Tapi, hasilnya nol. Emma tak bisa
mendapatkan info apapun tentang dirinya.
“Kau ‘kan hanya sekedar mencari info
tentang nama dan juga alamatnya. Apanya yang sulit?”
Sore itu, ketika Will berbelanja, aku
nekat menelpon Emma, dengan kesal.
“Kau
kira aku anggota FBI yang punya data semua orang? Mencari identitas lelaki itu
tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ia menjawab, tak kalah kesal.
“Datang saja ke rumahnya pak James.
Minta salinan data tentang tamu-tamu yang datang di pesta tersebut, beres
‘kan?” Aku bersikukuh.
“Astaga,
andaikan saja semudah itu, pasti lelaki itu sudah kutemukan sejak beberapa hari
yang lalu. Aku sudah ke rumahnya pak James, menanyakan tentang dia, tapi beliau
bilang, ia tidak mengenalnya,” ujar Emma. Keningnya berkerut.
“Tidak mengenalnya? Itu mustahil. Lalu
untuk apa dia datang ke pesta tersebut? Apa kau pikir dia tamu gelap?”
“Yang
mengatur tentang undangan tersebut bukan hanya pak James, tapi juga Liliana,
putrinya. Ia juga sudah kutanya tentang orang tersebut, tapi ia juga tak
mengenalnya. Kemungkinan besar, lelaki yang telah menolongmu itu adalah salah
satu teman yang sengaja di bawa oleh tamu pak James, atau, mungkin tamu
putrinya,” Emma kembali menjelaskan.
Aku menggigit bibirku dengan kesal.
“Oke, teruslah mencarinya, Emma. Aku
benar-benar harus menemukannya,” jawabku.
“Helllooo,
kau hanya akan mengucapkan terima kasih padanya karena telah menolongmu ‘kan?”
“Tentu saja. Kau pikir untuk apa?”
“Aneh
saja, jika tujuanmu hanya untuk mengucapkan terima kasih, kenapa kau mencarinya
seolah-olah dia telah mencuri hatimu dan kau jatuh cinta padanya! Ingat,
Aletha, kau perempuan yang sudah menikah,”
Aku mendengus kesal mendengar ucapan
Emma.
“Aku hanya merasa berhutang budi padanya
karena ia telah menyelamatkan nyawaktu. Itu saja, titik!,”
“Bisa
ku pegang kata-katamu?”
“Tentu.” Jawabku yakin.
“Oke,
kalau kau mengkhianatiku, maksudku, mengkhianati suamimu, akan kugantung kau di
tugu Monas.”
mataku melotot mendengar celotehan Emma. Setelah itu aku tertawa geli. Sialan!
mataku melotot mendengar celotehan Emma. Setelah itu aku tertawa geli. Sialan!
***
“Jadi,
bisakah besok aku kembali bekerja?” tanyaku seraya menerima suapan buah apel
dari tangan William. Sore itu, kami duduk beramalas-malasan di balkon kamar
atas. William mengupas buah apel, buah kesukaanku, mengiris-iris tipis, lalu
dengan telaten menyuapkannya ke mulutku. Padahal tanganku baik-baik saja. Hanya
saja, dia bilang, dia menyukai aktifitas seperti itu. Dan itu membuatku
tersanjung. Astaga, aku merutuk dalam hati. Aku punya suami seperti William,
tampan, kaya raya, penyayang, penuh perhatian, tapi setiap malam aku malah
memimpikan lelaki lain? Lelaki yang bahkan aku sendiri tak tahu siapa dia! Ah,
aku pasti tak waras.
“Aletha?” Will memanggilku setelah jeda.
Aku mendengar ada keraguan dalam panggilannya.
“Hmm?” Aku mengernyit.
“Tidakkah sebaiknya kau berhenti saja dari pekerjaanmu?” ia menatapku
dengan lembut. Aku tahu ia berusaha untuk tidak membuatku tersinggung. Will
meletakkan piring berisi irisan buah ke atas meja di depanku lalu ia beringsut,
mendekatkan kursinya ke arahku, kemudian menggenggam tanganku dengan erat.
“Kau tahu bahwa aku punya pekerjaan yang
mapan. Bisnisku juga berjalan cukup lancar. Itu berarti, secara finansial, aku
mampu memenuhi semua kebutuhanmu. Apapun yang kau mau, aku pasti akan
menurutinya. Jadi, tanpa bekerja pun, hidup kita pasti berkecukupan,”
Aku membalas tatapan matanya.
“Aku hanya tak mau kau terlalu lelah,
sayang,” ia melanjutkan. Aku tersenyum seraya membalas genggaman tangannya.
“Jujur, sayang. Aku juga sudah berpikir
untuk mengundurkan diri. Aku juga sudah berpikir untuk tinggal di rumah saja,
mengurus rumah, menjadi istri yang baik untukmu, dan tentu saja, melahirkan
anak-anak kita. Hanya saja, tidak dalam waktu dekat. Kau tahu pasti bahwa aku
mencintai pekerjaanku, aku mencintai kantorku, aku mencintai rekan-rekan ku. Aku
suka bertemu dengan orang-orang baru, dan tentu saja aku suka bekerja sama
dengan Emma. Aku benar-benar menikmati apa yang ku alami saai ini, Will. Tapi
tetap saja, suatu saat nanti aku pasti akan berhenti. Tapi tidak dalam waktu
dekat ini, kumohon mengertilah,” ucapku.
“Kau juga tak berniat untuk membuka
bisnis sendiri?”
Aku menggeleng. Sekilas, aku menangkap
sedikit kekecewaan di mata Will. Tapi itu hanya sementara karena sekian detik
kemudian, senyum mengembang di bibirnya yang tipis. Ia mencondongkan tubuhnya
lalu mencium bibirku dengan lembut. “Okey, apapun yang kau inginkan sayang?
Asal kau bahagia, dan tentu saja, bisa menjaga kesehatanmu,” ucapnya pelan. Aku
tersenyum. Dan aku lah yang kemudian
menghadiahinya dengan ciuman hangat di bibirnya.
***
Willian
memperbolehkanku kembali bekerja setelah keadaanku benar-benar membaik. Dan
dengan penuh semangat, aku memulai aktifitasku kembali di kantor.
“Apa Emma belum datang?” Rku bertanya
pada Ruben, salah satu staf di kantor kami ketika aku melihat meja Emma masih
kosong.
“Sudah kok. Dia sudah datang sekitar
setengah jam yang lalu. Dan sekarang dia sedang ___” Ruben menatap
sekelilingnya. “Kemana dia? Tadi di sini,” ucapnya. Aku tersenyum.
“Ah, sudahlah. Tak apa-apa. Mungkin dia
sedang sarapan di kantin,” ujarku. Ruben manggut-manggut sambil berlalu.
Aku meletakkan tas kantorku di meja. Dan
beberapa detik kemudian, Emma menyeruak ke arahku.
“Aku menemukannya!” suaranya melengking
di telingaku dengan penuh semangat. Aku mengerjap.
“Aku berhasil menemukan identitasnya,
Aletha. Itu, lelaki yang telah menolongmu dari insiden kolam renang,” dia
nampak antusias. Bahkan lebih antusias daripada aku. Dan aku tahu apa
alasannya. Lelaki itu tampan, dan Emma pasti sudah berancang-ancang untuk mendekatinya.
Ah, sahabatku yang satu ini memang selalu begitu ketika bertemu dengan lelaki
bujang nan tampan.
“Lihat ini,” ia mengeluarkan beberapa
lembar kertas dari dalam tasnya. Aku meraih lembaran kertas tersebut dan
melihatnya. Dan segera aku membelalak.
“Ya Tuhan, kamu mendapatkan informasi tentang
dirinya selengkap ini? “
Emma menaikkan alisnya dengan nakal
sambil menyeringai.
“Jangan meremehkanku dalam hal melacak
informasi apapun. Jika kemarin-kemarin aku belum bisa mendapatkannya, itu hanya
kurang lengkap saja. Percayalah Aletha, sahabatmu ini sangat berbakat menjadi
detektif,” ia tersenyum penuh kemenangan. Aku nyaris saja melonjak kegirangan
karena terlalu bahagia. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa bahagia luar biasa.
Tapi, tentu aku harus menahan untuk tidak berjingkrak-jingkrak karena aku tak
ingin Emma salah paham padaku.
“Aletha, kuharap kau tidak akan kaget
akan hal ini, tapi ...” kalimat Emma menggantung. Aku menatapnya dan Emma
tampak berbeda. Ia tampak ragu-ragu dan ... bingung.
“Ada apa?” aku bertanya lirih.
Emma menggigit bibirnya sesaat sebelum
kembali menatapku.
“Namanya ... Luc,” jawabnya kemudian. Aku
merasakan lututku lemas.
“Okeee... aku perlu duduk untuk membaca
informasi ini,” ujarku. Emma mengangguk dengan mantap.
“Silahkan,” ia bahkan mau berbaik hati
dengan menarik kursi di belakangku.
“Silahkan nikmati informasi dariku. Aku
harus kembali ke kantin untuk ... menyelesaikan makan pagiku,” ia beranjak. Aku
tahu ia berbohong padaku. Ia hanya ingin memberiku banyak waktu untuk semua
itu. Aku menghiraukan kepergiannya lalu mulai asyik membaca lembaran di
tanganku. Dan entah untuk suatu alasan yang tak jelas, aku merasakan tanganku
gemetar manakala aku membuka lembaran-lembaran kertas tersebut.
Luc?
Ya, ia bernama Luc. Luc Sevilin, 29
tahun. Usia yang sama denganku. Pria lajang yang punya darah keturunan Turki.
Well, aku sudah menduganya. Ia punya raut wajah yang berbeda dari orang-orang
yang sering ku temui. Ia tinggal di sebuah Mansion mewah di tengah kota dan
pengusaha muda yang sukses membangun kerajaan bisnis di bidang real estat. Ia
menghabiskan waktunya bepergian keluar negeri karena pekerjaannya. Dan seperti
yang sudah kuduga sebelumnya, hari ketika dia menolongku dari insiden kolam
renang tersebut, dia datang ke rumah pak James karena atas ajakan salah satu
teman putrinya.
Aku membaca alamat rumahnya
berulang-ulang. Jujur, aku tak terlalu peduli untuk mengetahui berapa jumlah
saudaraya atau dia dilahirkan di mana. Karena saat ini, yang paling kubutuhkan
adalah ___ alamat rumahnya!
Dan tanpa menunggu lagi, aku beranjak,
meninggalkan kantor, memanggil taksi, lalu menyuruh sopir taksi untuk
mengantarkanku ke tempat tinggal Luc Sevilin!
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar