Jumat, 26 Juni 2015

Fate - Bab 3



Bab 3


            Aku berada di rumah sakit ketika membuka mata. Emma berada di sisiku dengan wajah cemas. “Kau baik-baik saja ‘kan?” ia bertanya. Aku mengangguk. “Kau di rumah sakit, aku yang membawamu ke sini. Kau masih ingat ‘kan dengan apa yang terjadi?”
Aku kembali mengangguk. Ya, aku masih ingat semuanya. Aku terpeleset dan terjatuh ke kolam renang. Lalu, seseorang menolongku. Seseorang yang ... ku kenal.
“Kenapa kau membawaku ke rumah sakit?” aku bertanya sambil berusaha duduk, Emma membantuku bangkit.
“Aku takut kau mengalami gegar otak atau cedera tulang. Karena itulah aku membawamu ke sini. Tapi untunglah, dokter bilang kau tak mengalami luka serius. Paru-parumu hanya kemasukan beberapa liter air,” jawab Emma. Aku meringis.
“Ada apa denganmu, Aletha? Apa kau melamun di pinggir kolam? Kau mahir berenang, jika kau tercebur, kenapa kau tak segera keluar dari sana?? Astaga, aku nyaris pingsan menyaksikanmu tenggelam,” Emma mengomel.
Aku memijit-mijit keningku yang masih terasa agak pening.
“Kakiku kram, aku tak bisa menggerakkan badanku,” jawabku.
“Tenanglah, aku sudah baikan sekarang. Apa aku boleh pulang malam ini juga?” tanyaku.
Emma terdiam sesaat. “Tentu saja jika kau sudah tak apa-apa. Dokter bilang kau boleh pulang kapan saja jika sudah merasa tak ada keluhan,”
Aku manggut-manggut. “Oke, aku akan pulang karena aku tak apa-apa,” jawabku. Emma terdiam sesaat. Perlahan ia bangkit. “Baiklah, aku akan bicara dengan dokter,” ia beranjak.
“Em, tunggu,” panggilku. Langkah kaki Emma terhenti.
“Sebenarnya apa yang terjadi denganku?” aku mencoba memastikan.
“Well, sepertinya kau terpeleset dan tercebur ke kolam renang. Dan lelaki itu dengan sigap ikut terjun ke kolam renang untuk menyelamatkanmu,” jawabnya.
“Siapa dia? Lelaki yang menyelamatkanku,” aku merasakan dadaku kembali berdesir ketika mengingat sosok tampan itu.  
Emma mengangkat bahu. “Entahlah, aku terlalu panik karena melihatmu tak sadarkan diri sehingga aku lupa berbincang dengannya atau sekedar menanyakan namanya. Tapi, dia benar-benar tampan,” Ia terkikik. “Dan apa yang sudah ia lakukan padamu, astaga, itu gentle sekali. Tiba-tiba saja ia berlari ke arahmu, menceburkan dirinya ke kolam renang, dan that’s it! Ia menyelamatkanmu,” ia kembali melanjutkan. Aku manggut-manggut.
“Sepertinya aku berutang ucapan terima kasih padanya,” ucapku. Emma ikut mengangguk.
“Jangan khawatir, aku akan dengan senang hati mencari tahu siapa dia agar kau bisa mengucapkan terima kasih padanya, dan tentu saja, aku bisa berkenalan dengannya,” aku mendengar Emma kembali cekikikan dan mau tak mau aku tersenyum. Tapi, tawa itu perlahan terhenti. Ia menatap ke arahku dengan ragu.
“Ada apa? Bukankah kau ingin bicara dengan dokter?” aku mengingatkan. Emma menggigit bibirnya. Ia melangkah mendekatiku.
“Apa kau bermimpi buruk lagi, Aletha?”
Aku mengernyit. “Maksudmu?” tanyaku.
“Aku menungguimu di sini hampir semalaman. Dan kau terus mengigau menyebutkan namanya lagi,”
Dadaku seperti berdentum. Lagi? Pasti ada yang tak beres. “Siapa?” aku bertanya lirih.
“Luc,”
Aku melotot. Oh, astaga. Sudah ku duga..

***

            Well, seperti dugaanku, Emma memang takkan pernah bisa menjaga mulutnya. Karena dalam beberapa jam kemudian, Will muncul di ruanganku. Pasti Emma yang telah memberitahunya.
“Oh, sayang,” ia menghambur ke arahku dengan wajah cemas. “Emma memberitahuku kau mengalami kecelakaan hingga pingsan,” ia menambahkan. Aku melirik ke arah Emma. Aku bahkan baru saja ingin melarang dia memberitahukan ini pada suamiku. Aku hanya tak mau suamiku cemas.
“Maaf, aku hanya panik ketika kau pingsan. Dan tentu saja, suamimu harus tahu kalau kau .. terluka,” ia membela diri.
“Aku tidak terluka,” aku membela diri. “Aku hanya tercebur ... ke kolam,” tambahku.
“Iya, tapi kau pingsan, beberapa jam,dan aku khawatir sesuatu yang buruk menimpamu,” Emma kembali membela diri. “Oke, silahkan ngobrol. Aku akan pulang,” Ia beranjak. “Oh iya, Will, pastikan dia pulang jika dokter mengijinkan. Kau tahu sikap istrimu. Dia keras kepala sekali. Baru saja membuka mata, ia sudah merengek-rengek minta pulang, padahal dokter harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam padanya,” Emma memperingatkan. Aku melotot.
“Terima kasih, Em karena kau telah menjaganya ketika aku tak ada,” Will mengucapkan terima kasih sebelum Emma menutup pintu keluar. Sahabatku itu tersenyum lalu beranjak, ia sempat melirik ke arahku.
“Jadi, bukankah seharusnya kau masih di luar kota?” aku bertanya. Will duduk di sampingku lalu membelai wajahku dengan lembut setelah terlebih dahulu mengecup keningku.
“Aku khawatir padamu. Aku segera memesan tiket penerbangan ke sini setelah Emma memberitahuku bahwa kau mengalami kecelakaan hingga harus dibawa ke rumah sakit,” ia menjawab.
“Sekali lagi, aku-hanya-tercebur-kolam, bukan kecelakaan besar,” balasku.
“Aku mendengar dari Emma kalau kau selalu lembur semenjak ku tinggal ke luar kota. Kau pasti kelelahan,”
Aku manggut-manggut. “Entahlah, aku hanya terpeleset, itu saja,” jawabku.
“Yang terpenting kau tak apa-apa. Kita akan segera pulang kalau dokter sudah mengijinkan. Dan, kau harus istirahat sementara waktu lagi di rumah. Aku akan menjagamu,”
Aku merengek. “Itu tak perlu. Aku sudah tak apa-apa. Aku bahkan bisa bekerja lagi, besok,” ucapku. Tapi, Will tak menggubris. Ia menegaskan bahwa ia takkan pernah mengijinkanku lagi bekerja, dalam waktu dekat ini.

            Dan ia benar-benar serius dengan ucapannya. Selama hampir tiga hari ini ia seperti menjadi pengawal pribadiku. Ia bahkan tak bekerja hanya untuk menungguiku di rumah, dan memastikan bahwa aku benar-benar istirahat tanpa mengerjakan pekerjaanku. Dan sepertinya aku akan bertambah stress jika tak mengerjakan apapun. Bukan karena Will berubah menjadi semacam pengawal pribadiku yang senantiasa siap siaga memelototiku 24 jam jika diperlukan, tapi karena semakin aku tak mengerjakan apapun, dan semakin sering aku tidur, mimpi-mimpiku selalu dipenuhi oleh dia, lelaki itu, Luc!
           
Aku mengirimkan pesan singkat pada Emma secara sembunyi-sembunyi untuk mencarikan identitas lelaki yang telah menolongku dari tragedi kolam renang tersebut, karena aku yakin (entah sumber keyakinan itu datang darimana?) bahwa lelaki itu tahu sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan mimpi-mimpiku. Dan aku percaya, hanya dengan menemukanlah, aku bisa membuka tabir misteri tentang mimpi anehku bersama lelaki tersebut.
Tapi, hasilnya nol. Emma tak bisa mendapatkan info apapun tentang dirinya.
“Kau ‘kan hanya sekedar mencari info tentang nama dan juga alamatnya. Apanya yang sulit?”
Sore itu, ketika Will berbelanja, aku nekat menelpon Emma, dengan kesal.
Kau kira aku anggota FBI yang punya data semua orang? Mencari identitas lelaki itu tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ia menjawab, tak kalah kesal.
“Datang saja ke rumahnya pak James. Minta salinan data tentang tamu-tamu yang datang di pesta tersebut, beres ‘kan?” Aku bersikukuh.
Astaga, andaikan saja semudah itu, pasti lelaki itu sudah kutemukan sejak beberapa hari yang lalu. Aku sudah ke rumahnya pak James, menanyakan tentang dia, tapi beliau bilang, ia tidak mengenalnya,” ujar Emma. Keningnya berkerut.
“Tidak mengenalnya? Itu mustahil. Lalu untuk apa dia datang ke pesta tersebut? Apa kau pikir dia tamu gelap?”
Yang mengatur tentang undangan tersebut bukan hanya pak James, tapi juga Liliana, putrinya. Ia juga sudah kutanya tentang orang tersebut, tapi ia juga tak mengenalnya. Kemungkinan besar, lelaki yang telah menolongmu itu adalah salah satu teman yang sengaja di bawa oleh tamu pak James, atau, mungkin tamu putrinya,” Emma kembali menjelaskan.
Aku menggigit bibirku dengan kesal.
“Oke, teruslah mencarinya, Emma. Aku benar-benar harus menemukannya,” jawabku.
Helllooo, kau hanya akan mengucapkan terima kasih padanya karena telah menolongmu ‘kan?”
“Tentu saja. Kau pikir untuk apa?”
Aneh saja, jika tujuanmu hanya untuk mengucapkan terima kasih, kenapa kau mencarinya seolah-olah dia telah mencuri hatimu dan kau jatuh cinta padanya! Ingat, Aletha, kau perempuan yang sudah menikah,
Aku mendengus kesal mendengar ucapan Emma.
“Aku hanya merasa berhutang budi padanya karena ia telah menyelamatkan nyawaktu. Itu saja, titik!,”
Bisa ku pegang kata-katamu?”
“Tentu.” Jawabku yakin.
Oke, kalau kau mengkhianatiku, maksudku, mengkhianati suamimu, akan kugantung kau di tugu Monas.”
mataku melotot mendengar celotehan Emma. Setelah itu aku tertawa geli. Sialan!

***

            “Jadi, bisakah besok aku kembali bekerja?” tanyaku seraya menerima suapan buah apel dari tangan William. Sore itu, kami duduk beramalas-malasan di balkon kamar atas. William mengupas buah apel, buah kesukaanku, mengiris-iris tipis, lalu dengan telaten menyuapkannya ke mulutku. Padahal tanganku baik-baik saja. Hanya saja, dia bilang, dia menyukai aktifitas seperti itu. Dan itu membuatku tersanjung. Astaga, aku merutuk dalam hati. Aku punya suami seperti William, tampan, kaya raya, penyayang, penuh perhatian, tapi setiap malam aku malah memimpikan lelaki lain? Lelaki yang bahkan aku sendiri tak tahu siapa dia! Ah, aku pasti tak waras.
“Aletha?” Will memanggilku setelah jeda. Aku mendengar ada keraguan dalam panggilannya.
“Hmm?” Aku mengernyit.
“Tidakkah sebaiknya kau  berhenti saja dari pekerjaanmu?” ia menatapku dengan lembut. Aku tahu ia berusaha untuk tidak membuatku tersinggung. Will meletakkan piring berisi irisan buah ke atas meja di depanku lalu ia beringsut, mendekatkan kursinya ke arahku, kemudian menggenggam tanganku dengan erat.
“Kau tahu bahwa aku punya pekerjaan yang mapan. Bisnisku juga berjalan cukup lancar. Itu berarti, secara finansial, aku mampu memenuhi semua kebutuhanmu. Apapun yang kau mau, aku pasti akan menurutinya. Jadi, tanpa bekerja pun, hidup kita pasti berkecukupan,”
Aku membalas tatapan matanya.
“Aku hanya tak mau kau terlalu lelah, sayang,” ia melanjutkan. Aku tersenyum seraya membalas genggaman tangannya.
“Jujur, sayang. Aku juga sudah berpikir untuk mengundurkan diri. Aku juga sudah berpikir untuk tinggal di rumah saja, mengurus rumah, menjadi istri yang baik untukmu, dan tentu saja, melahirkan anak-anak kita. Hanya saja, tidak dalam waktu dekat. Kau tahu pasti bahwa aku mencintai pekerjaanku, aku mencintai kantorku, aku mencintai rekan-rekan ku. Aku suka bertemu dengan orang-orang baru, dan tentu saja aku suka bekerja sama dengan Emma. Aku benar-benar menikmati apa yang ku alami saai ini, Will. Tapi tetap saja, suatu saat nanti aku pasti akan berhenti. Tapi tidak dalam waktu dekat ini, kumohon mengertilah,” ucapku.
“Kau juga tak berniat untuk membuka bisnis sendiri?”
Aku menggeleng. Sekilas, aku menangkap sedikit kekecewaan di mata Will. Tapi itu hanya sementara karena sekian detik kemudian, senyum mengembang di bibirnya yang tipis. Ia mencondongkan tubuhnya lalu mencium bibirku dengan lembut. “Okey, apapun yang kau inginkan sayang? Asal kau bahagia, dan tentu saja, bisa menjaga kesehatanmu,” ucapnya pelan. Aku tersenyum. Dan aku lah yang  kemudian menghadiahinya dengan ciuman hangat di bibirnya.

***

            Willian memperbolehkanku kembali bekerja setelah keadaanku benar-benar membaik. Dan dengan penuh semangat, aku memulai aktifitasku kembali di kantor.
“Apa Emma belum datang?” Rku bertanya pada Ruben, salah satu staf di kantor kami ketika aku melihat meja Emma masih kosong.
“Sudah kok. Dia sudah datang sekitar setengah jam yang lalu. Dan sekarang dia sedang ___” Ruben menatap sekelilingnya. “Kemana dia? Tadi di sini,” ucapnya. Aku tersenyum.
“Ah, sudahlah. Tak apa-apa. Mungkin dia sedang sarapan di kantin,” ujarku. Ruben manggut-manggut sambil berlalu.
Aku meletakkan tas kantorku di meja. Dan beberapa detik kemudian, Emma menyeruak ke arahku.
“Aku menemukannya!” suaranya melengking di telingaku dengan penuh semangat. Aku mengerjap.
“Aku berhasil menemukan identitasnya, Aletha. Itu, lelaki yang telah menolongmu dari insiden kolam renang,” dia nampak antusias. Bahkan lebih antusias daripada aku. Dan aku tahu apa alasannya. Lelaki itu tampan, dan Emma pasti sudah berancang-ancang untuk mendekatinya. Ah, sahabatku yang satu ini memang selalu begitu ketika bertemu dengan lelaki bujang nan tampan.
“Lihat ini,” ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Aku meraih lembaran kertas tersebut dan melihatnya. Dan segera aku membelalak.
“Ya Tuhan, kamu mendapatkan informasi tentang dirinya selengkap ini? “
Emma menaikkan alisnya dengan nakal sambil menyeringai.
“Jangan meremehkanku dalam hal melacak informasi apapun. Jika kemarin-kemarin aku belum bisa mendapatkannya, itu hanya kurang lengkap saja. Percayalah Aletha, sahabatmu ini sangat berbakat menjadi detektif,” ia tersenyum penuh kemenangan. Aku nyaris saja melonjak kegirangan karena terlalu bahagia. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa bahagia luar biasa. Tapi, tentu aku harus menahan untuk tidak berjingkrak-jingkrak karena aku tak ingin Emma salah paham padaku.
“Aletha, kuharap kau tidak akan kaget akan hal ini, tapi ...” kalimat Emma menggantung. Aku menatapnya dan Emma tampak berbeda. Ia tampak ragu-ragu dan ... bingung.
“Ada apa?” aku bertanya lirih.
Emma menggigit bibirnya sesaat sebelum kembali menatapku.
“Namanya ... Luc,” jawabnya kemudian. Aku merasakan lututku lemas.
“Okeee... aku perlu duduk untuk membaca informasi ini,” ujarku. Emma mengangguk dengan mantap.
“Silahkan,” ia bahkan mau berbaik hati dengan menarik kursi di belakangku.
“Silahkan nikmati informasi dariku. Aku harus kembali ke kantin untuk ... menyelesaikan makan pagiku,” ia beranjak. Aku tahu ia berbohong padaku. Ia hanya ingin memberiku banyak waktu untuk semua itu. Aku menghiraukan kepergiannya lalu mulai asyik membaca lembaran di tanganku. Dan entah untuk suatu alasan yang tak jelas, aku merasakan tanganku gemetar manakala aku membuka lembaran-lembaran kertas tersebut.
Luc?
Ya, ia bernama Luc. Luc Sevilin, 29 tahun. Usia yang sama denganku. Pria lajang yang punya darah keturunan Turki. Well, aku sudah menduganya. Ia punya raut wajah yang berbeda dari orang-orang yang sering ku temui. Ia tinggal di sebuah Mansion mewah di tengah kota dan pengusaha muda yang sukses membangun kerajaan bisnis di bidang real estat. Ia menghabiskan waktunya bepergian keluar negeri karena pekerjaannya. Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, hari ketika dia menolongku dari insiden kolam renang tersebut, dia datang ke rumah pak James karena atas ajakan salah satu teman putrinya.
Aku membaca alamat rumahnya berulang-ulang. Jujur, aku tak terlalu peduli untuk mengetahui berapa jumlah saudaraya atau dia dilahirkan di mana. Karena saat ini, yang paling kubutuhkan adalah ___ alamat rumahnya!
Dan tanpa menunggu lagi, aku beranjak, meninggalkan kantor, memanggil taksi, lalu menyuruh sopir taksi untuk mengantarkanku ke tempat tinggal Luc Sevilin!



Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar