Selasa, 30 Juni 2015

[Cerpen/FF] Call me 'Beib'



Fanfiction.
Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo, S.Coup, Lee Chan, DK, Ming Hao, udah.
Now,  Woozi’s turn!

Judul : Call me ‘Beib’
Genre : Romance


*** 

Terkadang, cinta datang dengan direncanakan.

***

“Berapa tarifmu?”
“20 ribu won untuk sekali nge-date,” jawabku.
Lelaki berhidung kecil yang duduk di depanku itu mengernyit.
“20 ribu won? Whoa, itu termasuk murah,” ucapnya. Kedua matanya yang bening berbinar-binar indah. Sumpah, ini pertama kalinya aku melihat lelaki dengan mata sebening itu.
Aku mengangkat bahu, cuek. “Memang segitulah harganya.” Jawabku.
“Dan, apa yang boleh dan tak boleh dilakukan?” Ia kembali bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Kiss still okay, but sex, no,” jawabku tegas.
Ia mengernyit.
“Maksudmu,  20 ribu won cuma untuk mengobrol, bergandengan tangan, dan ... kissing saja?” Ia bertanya setengah tak percaya.
Aku mengangguk.
Yep, just ‘kiss’. Tak lebih,” jawabku lagi.
Lelaki itu kembali  mengernyit.
“Kalau begitu mahal dong,” ucapnya kemudian. Aku terkekeh.
“Tadi bilang murah, sekarang bilang mahal, gimana sih?” Desisku. Ia mengangkat bahu.
“Iya, tetep saja 20 ribu won untuk sekali kencan, ngobrol doang, itu mahal,” jawabnya.
Aku tertawa lirih.
“Oppa, aku cuma pacar sewaan. Tugasku cuma untuk menemani kencan, mengobrol, jalan-jalan, sudah. Aku tidak menjajakan sex. Kalau kau menghendaki adegan ranjang, cari saja orang lain,” aku meraih tasku dan bersiap-siap bangkit. Tapi lelaki itu memegang tanganku dan menahanku.
“Oke, deal,” ucapnya.
Aku mengurungkan niatku.
“Jadilah pacarku, 2 minggu. Tarifnya akan kulunasi sekarang juga.” lanjutnya.
Aku menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk.
Kuulurkan tanganku.
“Lee Nara,” ucapku.
“Ji Hoon,” ia menjawab seraya menyambut uluran tanganku.

***
                Dan begitulah akhirnya. Aku resmi menjadi pacar sewaan Ji Hoon selama dua minggu. Aku menemaninya jalan-jalan, menemaninya menghadiri acara-acara bisnis, makan malam dengan beberapa kliennya, hang out dengan beberapa teman-temannya, atau terkadang hanya duduk mengobrol dengannya di balkon apartemennya.
Dengan penampilannya yang sederhana, awalnya aku mengira ia seorang pekerja kantoran. Ternyata aku salah. Ji Hoon seorang musisi. Bukan musisi amatir, percayalah. Ia seorang profesioanal. Ia menciptakan beberapa lagu terkenal untuk penyanyi-penyanyi terkenal. Beberapa lagunya bahkan begitu familiar di telingaku. Dan aku baru tahu bahwa penciptanya adalah dia, lelaki yang sekarang menjadi ‘pacarku’. Wow, daebak!
Selain menjadi seorang musisi, Ji Hoon ternyata juga punya beberapa usaha kafe dan rumah makan. Jika dilihat dari kaca mata perempuan menilai, dia benar-benar lajang mapan yang patut diperhitungkan untuk dijadikan target suami. Tapi, ah sudahlah. Aku juga menjalankan pekerjaanku dengan profesional. Kami hanya klien.

Sejak menjalani profesi sebagai pacar sewaan sekitar 3 tahun yang lalu, aku sudah menemui bermacam-macam model pelanggan. Dan selama ini aku memang selalu mendapatkan pelanggan yang sopan dan baik. Tentu saja, jika mereka tak baik, mereka tak akan menyewaku, tapi menyewa perempuan komersial. Lelaki mana yang mau menyewa pacar sewaan yang hanya mau diajak jalan-jalan dan mengobrol saja? Tentu hanya lelaki baik-baik saja ‘kan?
Itulah mengapa tak pernah ada yang bersikap kurang ajar padaku. Mereka memperlakukanku dengan baik dan sopan.

Tapi Jihoon berbeda. Jika lelaki lain bersikap sopan. Dia ... luar biasa sopan.
Kesepakatan memperbolehkan kami berciuman, tapi ia tak melakukannya. Ia bahkan senantiasa menghindari kontak fisik denganku. Hal terjauh yang pernah ia lakukan padaku hanyalah menggandeng dan menggenggam tanganku. Ia juga rajin membawakanku hadiah, walau hanya sebuket bunga. Dan kata-katanya padaku selalu lembut dan penuh perhatian. Memang sih semua pelangganku bersikap seperti itu, tapi sekali lagi, dia ... berbeda. Semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku takjub. Berkali-kali aku bahkan mendapati diriku tengah menatap tanpa sadar ke arahnya ketika ia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Atau ketika ia asyik bercerita tentang kegiatannya, aku juga dengan asyik menatap dirinya.
Dia ... manly. Posturnya tak begitu tinggi. Tapi tubuhnya seakan memancarkan aura laki-laki yang tak bisa kupungkiri. Sungguh.

Ah, ini tidak mungkin! Aku sudah bertekad untuk melakoni profesiku secara profesional dan tidak akan jatuh cinta pada pelangganku sendiri. Tapi, Jihoon membuat hidupku jungkir balik...

***  
“Kau ingin mengajakku kemana hari ini?” tanyaku.
Jihoon membuka pintu mobil lalu menyilakanku masuk.
“Tempat karaoke. Aku ada janji dengan beberapa teman lama. Tak apa-apa ‘kan?” Ia bertanya, agak ragu.
Aku tersenyum lalu menggeleng. “Kau berhak mengajakku kemana saja.” Jawabku.
Jihoon mengangguk, lalu berjalan memutar, dan sekian detik kemudian ia sudah duduk di kursi kemudi.
Mobil yang kami tumpangi melaju perlahan menuju tempat karaoke yang ia maksud.
Ketika sampai di sana, kami segera menuju meja yang telah di pesan oleh beberapa teman Jihoon. Sudah ada beberapa orang yang menunggunya di sana. Dan tak ada satupun dari mereka yang ku kenal.
Pertemuan itu berjalan seperti biasanya. Kami mengobrol, kami menikmati minuman, kami menikmati musik.
Sampai akhirnya aku menyadari bahwa seorang lelaki yang duduk tak jauh dariku terus saja memandangku. Aku mencoba tersenyum ramah ke arahnya, ia membalasnya.  Jengah karena ia terus menerus memandangku, aku memutar tubuhku ke arahnya.
“Ada yang salah dengan diriku?” Aku bertanya tanpa sungkan, dengan suara setengah berbisik. Ia tersenyum.
“Kau tak mengenalku?” Ia balas bertanya. Aku mengernyitkan dahi. Ku tatap lelaki itu lekat. Dan, ingatanku akan dirinya seakan pulih.
“Aku masih ingat siapa kau.” Ucapku kemudian. Aku lupa siapa namanya, tapi wajahnya tidak.
“Apa sekarang kau berubah?” Lelaki itu bertanya lagi. Aku tersenyum.
“Tidak. Aku masih tetap tak menjajakan sex.” Jawabku. Ia terkekeh, sinis.
“Sombong.” Dengusnya. “Jika suatu saat nanti kau berubah pikiran dan mau menemaniku di tempat tidur, sebutkan saja tarifnya. Akan ku bayar dua kali lipat.” Lanjutnya.
Aku menatapnya dengan mantap lalu kembali tersenyum.
“Itu takkan terjadi.” Ucapku tegas. Rahang namja itu kaku, tampak tersinggung. Ia menoleh ke arah Jihoon.
“Jihoon!” Panggilnya. Obrolan Jihoon dengan beberapa rekannya yang lain terhenti, ia menoleh.
“Kau rugi jika menyewa perempuan jalang seperti dia.” Lelaki itu berucap lantang. Tatapanku singgah ke arah Jihoon. Ekspresi wajahnya berubah tegang. Ia nampak kaget.
“Kau-bilang-apa?” Jihoon berucap dengan gigi terkatup. Aku merasakan firasat buruk.
“Kau hanya buang-buang uang untuk wanita jalang seperti dia.” Ia menunjukku dengan ibu jarinya. “Ia cantik, tapi tak asyik.” Lanjutnya.
“Aku bisa mengenalkanmu pada perempuan jalang yang lain. Sama cantiknya, dan yang jelas, bisa kau ajak ke tempat tidur. Percayalah ___”
Kalimat itu terhenti ketika tiba-tiba Jihoon bangkit, menerjang ke arah namja tersebut, lalu melayangkan sebuah pukulan telak ke wajahnya. Aku  menjerit kemudian tersentak dari tempat dudukku. Segera situasi menjadi ribut.
“Jaga mulutmu!” Jihoon menarik kerahnya. “Bahkan jika dia jalang, kau tetap tak berhak menghinanya!” Ia mendesis lalu mendorong lelaki itu dengan kasar.
“Dia berada di bawah kontrakku. Jika kau cari masalah dengannya, kau cari masalah denganku.” Kalimat yang keluar dari mulut Jihoon ibarat sebuah peringatan.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi.” Ia menatap ke arah rekan-rekannya yang lain, lalu bergerak menghampiriku yang masih berdiri mematung.
“Kita pulang.” Kemudian ia menarik lengan tanganku dan membawaku keluar dari tempat tersebut, menuju tempat parkir.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku. Langkah Jihoon terhenti. Ia menatapku heran.
“Harusnya aku yang bertanya padamu? Apa kau baik-baik saja?” Ia terdengar kesal.
Aku mengangkat bahu.
“Memang aku kenapa? Aku baik-baik saja.” Jawabku.
“Nara, dia ...”
“Menghinaku?” potongku. Selanjutnya aku terkekeh. “Aku sudah terbiasa. Aku kebal. Aku takkan terluka oleh kata-kata seperti itu. Dan aku takkan menangis. Oke?” sergahku. “Biar ku lihat tanganmu?” Aku menarik tangan Jihoon yang ternyata masih memegang tanganku. Tampak buku-buku jemarinya memerah.
“Harus di kompres dengan es.” Ujarku. Aku mendengar Jihoon menarik nafas panjang.
“Maaf. Lain kali, aku takkan mengajakmu ke tempat seperti ini lagi.” Desisnya. Aku mendongak dan balas menatapnya.
“It’s okay.” Jawabku.
Ya, it’s okay. Takkan ada lagi lain kali. Karena besok, hari terakhir kita ‘pacaran’.

***

                Jam menunjukkan pukul 11 malam ketika Jihoon menjemputku dari tempat kerja lalu mengajakku ke apartemennya. Malam itu  ia tetap kelihatan rapi seperti biasanya dengan memadukan celana hitam dan kemeja yang lengannya dilipat hingga ke bawah siku.
“Datanglah ke apartemenku, aku menyiapkan suatu kejutan untukmu,” ucapnya lembut dengan mata berbinar-binar.  “Oh ya?” tanyaku antusias. Dan namja itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
Ketika sampai di apartemennya, aku terperangah ketika menyaksikan Jihoon telah menyiapkan sebuah candle light dinner yang romantis.
“Selamat ulang tahun, beib,” ucap Jihoon kemudian. Oh, aku belum cerita? Hanya dia satu-satunya lelaki yang memanggilku dengan sebutan kesayangan ‘Beib’.
Aku melongo. Sesaat kemudian aku menepuk jidatnya dengan kesal. Astaga, aku lupa kalau hari ini adalah ulang tahunku.
“Dari mana kau tahu kalau hari ini adalah ulang tahunku?” tanyaku bingung. Jihoon tersenyum lembut.
“Tahu. Masak ulang tahun pacar sendiri tak hafal?” jawabnya seraya menarik kursi di depan meja makan untuk diriku.
“Terima kasih,” jawabku, lalu duduk di kursi tersebut. Banyak lelaki yang telah memanggilku ‘pacar’ karena pada dasarnya aku memang ‘pacar’ orang banyak. Tapi jika kata-kata itu keluar dari bibir Jihoon, rasanya ...  menyenangkan.
“Ada lagi, sebentar.” Ia beranjak menuju dapur dan sesaat kemudian ia kembali membawa sebuah kue tart yang telah dilengkapi dengan lilin berbentuk angka 21, umurku.
                Dan keharuanku makin bertambah ketika ia menyanyikan lagu ulang tahun dengan suaranya yang merdu.
Make a wish, beib,” ucapnya sesaat sebelum aku meniup lilin tersebut. Aku tersenyum,  memejamkan mata sesaat untuk berdoa, lalu meniup lilin ulang tahun tersebut.
“Maaf ya, perayaannya sederhana,” ujar Jihoon kemudian sambil meletakkan kue tart tersebut di ujung meja, di samping menu candle light dinner kami.
“Terima kasih, ini perayaan ulang tahunku yang paling ... wow,” jawabku, jujur.
Jihoon tertawa bahagia. “Terima kasih.”
“Tidak, aku yang terima kasih.” Ujarku.
                Dan kami menghabiskan sisa malam itu dengan dinner yang romantis sambil terus mengobrol tentang banyak hal. Entahlah, aku hanya merasa bahwa semua ini ... nyata.
“Boleh aku bertanya banyak hal?” pertanyaan Jihoon terdengar ragu. Sesaat setelah melewati makan malam yang romantis, kami duduk-duduk di balkon apartemen sambil menatap indahnya suasana kota di malam hari.
Aku tersenyum lalu menatapnya.
“You’ve got me, boy. So, please ...” jawabku.
“Sejak kapan kau menjalani profesi sebagai pacar sewaan?” ia mulai bertanya.
Aku tak segera menjawab karena mencoba mengingat kapan tepatnya aku mulai menjalani profesi ini.
“Kalau tidak salah, sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku kuliah semester 1,” jawabku.
“Dan kenapa kau harus melakukannya?” ia bertanya lagi.
Aku menyibakkan rambutku yang berjuntaian karena tertiup angin. Lalu dengan bertopang dagu, aku kembali menatap Jihoon.
“Aku datang dari keluarga yang tidak berada. Dan kau tahu biaya kuliah jaman sekarang sangat tinggi. Sebenarnya aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko, tapi tetap saja gajiku tak cukup untuk membayar kuliah dan juga biaya hidup. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi pacar sewaan. Tapi percayalah, aku tidak menjajakan sex. Aku hanya memanfaatkan apa yang ada pada diriku. Well, bukannya sombong. Tapi aku memang cantik, aku menyenangkan diajak ngobrol, dan percayalah, aku adalah pendengar yang baik,” jawabku.
Jihoon tertawa lirih. Ia manggut-manggut. Ah, suaranya ketawanya indah.
“Kau benar. Kau cantik, kau menyenangkan dan kau memang pendengar yang baik,” jawabnya.
Aku ikut tertawa. “Aku hanya bercanda,” ujarku. Jihoon menggeleng.
“Tidak, aku yang serius. Kau memang ... begitu,” tukasnya.
“Oke deh, terima kasih,” aku tergelak.
“Kau tak takut kalau ada pelangganmu yang bersikap kurang ajar padamu? Maksudku ... yaa, kau tahulah ... pelecehan seksual dan semacamnya?” Pertanyaan Jihoon terdengar ngeri.
Aku menggeleng.
“Tidak. Karena aku yakin pelanggan-pelangganku adalah lelaki terhormat yang mampu menghargai perempuan.” ucapku, yakin.
“Dari mana kau tahu?”
Aku terkekeh sesaat.
“Sayaang, coba deh dipikir. Kalau mereka lelaki brengsek, maka mereka tak akan menyewaku. Mereka pasti lebih memilih menyewa pelacur yang bisa di ajak tidur daripada diriku yang hanya menawarkan jasa ‘mengobrol’ saja,” jelasku.
Jihoon mengangguk-angguk.
“Dan aku tetap yakin bahwa akan ada saja lelaki yang ingin menyewaku karena aku tahu, tidak semua laki-laki memikirkan sex semata. Ada di antara mereka yang benar-benar butuh teman dekat yang bisa di ajak mengobrol, berbagi cerita, di dengarkan keluh kesahnya, ditemani saat dia makan dan membuatnya nyaman ketika di ajak jalan-jalan, benar ‘kan?” aku seperti menanyakan itu pada Jihoon.
Dan lelaki itu kembali mengangguk-angguk.
“Dan sampai kapan kau berencana meneruskan profesi sebagai pacar sewaan?”
Aku mengangkat bahu.
“Setelah kuliahku selesai, aku berencana berhenti lalu mencari pekerjaan yang mapan dan mulai menata hidupku,” jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dalam.
“Jika aku ingin menyewamu untuk jangka waktu yang sangat lama, berapa harga yang harus kubayar?” ia bertanya kemudian.
Aku balas menatapnya dengan bingung.
Sangat lama maksudnya ... berapa tahun?”
“Seumur hidup,” Ia menjawab cepat hingga membuatku tertegun beberapa saat.
Aku menyelonjorkan kedua kakiku di bawah meja lalu memperbaiki posisi dudukku. Aku sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawabanku.
“Well, sepertinya tarifnya akan sangat mahal,” jawabku kemudian.
“Berapa?”
“Semua yang kau punya,” jawabku asal.
“Jika aku bersedia memberikan semua yang aku punya, apa kau akan bersamaku, seumur hidupmu?” Jihoon terus menatapku.
Aku mematung. Hening sesaat. Apa orang ini serius?
“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” kata-kataku pelan, tapi tak begitu lirih.
Jihoon menarik nafas, terlihat sedang menyusun kalimat di benaknya.
“Apa yang ku punya saat ini memang kuperuntukkan untuk dirimu, Nara.”  Timbre suaranya yang lembut benar-benar membuat jantungku jungkir balik.
“Asal kau tahu, sebenarnya aku berasal dari kampus yang sama denganmu. Aku berada beberapa tingkat di atasmu. Kita satu fakultas, tapi beda jurusan,” ia mulai menjelaskan.
Aku menatapnya, kembali bingung.
“Sunbae?” Cetusku. Jihoon mengangguk.
“Aku sudah skripsi ketika kau baru menjadi mahasiswa baru,” lanjutnya.
“Aku pertama kali melihatmu di acara pengenalan mahasiswa baru. Dan sejak saat itu, aku benar-benar terpesona olehmu. Lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama ... denganmu,”
Dan aku makin terkesiap.
“Aku ingin mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh. Tapi aku tak punya keberanian. Hingga akhirnya aku tahu bahwa kau menjalani profesi sebagai pacar sewaan dan aku benar-benar tak punya nyali untuk mendekatimu. Yaaa... kau tahulah. Aku hanya mahasiswa biasa yang belum bekerja, dan masih mengandalkan kiriman dari orang tua untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, sesaat setelah yudisium, aku bertekad untuk mempunyai pekerjaan. Dan beginilah akhirnya. Setelah bersusah payah, aku mulai menata kehidupanku menjadi pria yang mapan baik secara mental maupun finansial. Dan itu yang membuatku berani untuk mendekatimu kembali,” jelas Jihoon lagi.
Kedua mataku mengerjap.
“Nara ... aku punya gaji setiap bulannya. Hartaku tak terlalu banyak, tapi aku punya beberapa apartemen dan beberapa usaha. Dan percayalah, aku mampu menghidupimu secara layak. Kau tak perlu lagi menjadi pacar sewaan untuk membayar biaya kuliahmu karena aku mampu secara finansial menanggung biaya hidupmu. Kau bisa mengandalkanku sebagai laki-laki,”
Ji Hoon merogoh sesuatu dari saku celananya lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depanku. Aku kembali melongo. Cincin!
“Bersediakah kau membuat kontrak seumur hidup denganku?” kalimat Jihoon terdengar begitu lembut dan tulus.
Aku menatap cincin itu dan juga ke arah Jihoon secara bergantian. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa.
“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba buatmu. Tapi ku harap kau mau memberikanku kesempatan untuk menunjukkan betapa tulus cintaku padamu,” Lelaki itu  kembali melanjutkan.
“Jika kau bersedia memberiku kesempatan, ambil dan simpanlah cincin ini. Jika tidak, atau saat ini kau sedang terlibat hubungan serius dengan pria lain, maka lemparkan saja cincin ini ke sana,” Ji Hoon menunjuk ke arah luar balkon.
“Dan aku janji aku takkan lagi mengganggumu ataupun menemuimu,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali terkunci.
Aku sempat menyaksikan rahang Jihoon mengeras. Ia pasti tegang luar biasa, sama seperti diriku.
Aku merasakan kedua mataku berkaca-kaca. Bibirku bergetar.
Perlahan, ku raih cincin di meja lalu ku genggam dengan erat. Dan kembali aku menatap Jihoon. Lelaki itu menggigit bibirnya dengan gusar.
“Aku sedang tidak terlibat hubungan serius dengan pria manapun, jadi ... cincin ini akan ku simpan,” jawabku kemudian.
Jihoon menatapku dengan tatapan tak percaya.
“Ini artinya kau menerimaku?” Ia memastikan. Aku mengangguk.
Senyum mengembang di bibirnya yang tipis. Lalu ia tertawa lirih. Tawa bahagia.
Kami kembali berpandangan. Dan aku menyaksikan kedua matanya juga berkaca-kaca.
“Boleh aku menangis? Sekali-kali pria tak apa-apa ‘kan menangis?” ia seperti bertanya dirinya sendiri.
Aku tergelak, lalu mengangguk.
Jihoon kembali menggigit bibirnya.
“Aku hanya ... terlalu bahagia, Nara. Sepertinya aku ingin menangis lalu memelukmu erat,” ucapnya lagi.
Aku kembali tersenyum. Perlahan aku bangkit lalu mengulurkan kedua tanganku.
“Kalau begitu, kemarilah,” ucapku.
Dan tak perlu menunggu lama bagi Jihoon untuk bangkit, menghambur ke arahku, lalu memelukku erat.
“Aku mencintaimu, Nara,” bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk. Aku juga.

Selesai.

By : Wiwin.83
Gambar bukan punyaku. Ku ambil dari grup.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar