Bab 1
Aku masih
bergelung di bawah selimut tebalku ketika aku merasakan sosok itu, suamiku
tercinta, memelukku erat dari belakang, lalu mencoba membangunkanku dengan
sebuah kecupan hangat di pipi. Ia membisikkan kata-kata manis di telingaku,
seperti biasanya. “Aku cinta padamu,” ucapnya seraya kembali mengecup pipiku
dengan lembut. Aku membuka mata dan tersenyum. Perlahan aku beringsut, memutar
tubuhku ke arahnya, dan menatapnya. Tapi, seketika aku terlonjak. Itu ... bukan
dia!
Dan aku terbangun. Aku
terduduk tiba-tiba dengan nafas terengah-engah dan peluh membanjiri tubuhku. William,
suamiku yang tengah tertidur pulas di sampingkupun ikut terbangun karena
gerakanku yang tiba-tiba. Lelaki berkulit bersih itu beranjak menyalakan lampu
lalu menyentuh pundakku.
“Ada apa?” ia bertanya dengan
suara sedikit panik seraya menyeka peluh di keningku. “Maaf aku
membangunkanmu,” ucapku dengan nada penuh penyesalan. Tapi, aku menyadari bahwa
suaraku bergetar. “Astaga, ada apa denganmu?” ia beranjak turun dari tempat tidur,
berlari keluar kamar lalu beberapa detik
kemudian ia kembali dengan membawakanku segelas air minum.
“Minumlah, sayang,” ia
menyodorkan gelas itu tepat di depan mulutku. Aku meraihnya dengan tanganku
yang masih gemetar, lalu meneguk air itu, sampai habis.
Aku merasakan William mengelus
lengan tanganku dengan lembut.
“It’s okay. Aku hanya mimpi
buruk, kembalilah tidur,” jawabku seraya meletakkan gelas di tanganku ke atas
meja rias di dekat tempat tidur. Lelaki itu menatapku dengan tatapan matanya
yang lembut. Aku tersenyum. “Hanya mimpi buruk, percayalah, aku tak apa-apa,”
ucapku lagi. Will mengangguk-angguk. Ia membantuku kembali berbaring. Dan aku
tidur dalam pelukannya. Tidak, aku tak bisa tidur, sampai keesokan paginya.
***
“Pagi sayang,” aku menyapa dengan renyah ketika
lelaki itu melangkah dengan malas-malasan menuju meja makan. Ia masih
mengenakan baju tidur. “Kau bangun jam berapa?” ia bertanya seraya menyisir
rambutnya dengan jari. Aku tersenyum. “pagi sekali. Lihat, aku sudah membuatkanmu
sarapan,” aku menunjuk ke arah meja makan yang telah dipenuhi hidangan hasil
masakanku. Aku mendekatinya, menggamit lengannya lalu menarik tubuhnya menuju
kamar mandi. “Cuci mukalah dulu. Setelah itu kita akan sarapan, oke,” ucapku.
Will tersenyum. Ia sempat mendaratkan ciuman ringan di keningku sebelum masuk
ke kamar mandi.
***
“Kau ingin kemana hari ini?” Will bertanya seraya
memasukan sepotong roti ke mulutnya. Kami mengobrol di sela-sela sarapan pagi
kami. Aku tak segera menjawab. “Entahlah, tapi sepertinya aku ingin
bermalas-malasan saja hari ini,” jawabku. “Kau tak ingin jalan-jalan?” aku
menggeleng, tanpa sadar. Will menatapku lembut. “Kau baik-baik saja ‘kan
sayang?” ia bertanya. Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja. Kita sudah
berkeliling kota ini. kita sudah ke pantai, ke museum, ke pameran, ke
pertunjukkan seni, ke banyak tempat. Jadi, bisakah kita bermalas-malasan saja
hari ini?” ucapku lagi. Tatapan Will tak
beralih dariku. Aku tertawa kecil. “ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?”
tanyaku. Will menarik nafas panjang. Ia meletakkan sendok garpunya, dan dengan
tangan terlipat di atas meja, ia menatapku, dalam.
“Kau aneh, Letha,” ucapnya.
Aku mengernyit. “Aneh kenapa?” tanyaku. “Sejak pertama kali menginjakkan kaki
di kota ini, kau mengalami mimpi buruk setiap malam. Kau ketakukan dan ...
tertekan. Ceritakan padaku, sebenarnya mimpi apa yang mengganggumu?” suara Will
terdengar serius. Aku mengangkat bahu, tak segera menjawab. Setiap malam aku bermimpi tidur bersama
seorang pria, dan pria itu bukan kau!
Ah, tidak. Aku tidak mungkin
menceritakan hal itu padanya.
“Aku bermimpi di kejar oleh
hantu. Hantu yang sangat menyeramkan,” ucapku, berbohong. Will menatap
sekelilingnya. “Haruskah aku mencarikanmu tempat lain? Tempat yang lebih nyaman
dan tenang. Aku bisa menelpon seseorang untuk mencarikan hotel yang lainnya,”
“Untuk apa?”
“Yaa, mungkin kau benar
tentang tempat ini. bisa saja tempat ini berhantu dan mereka mengganggumu
dengan mimpi-mimpi buruk itu,”
Aku terbahak. “Astaga, kau
terlalu banyak menonton film horor, sayang. Tidak, aku tidak percaya hal itu.
Apa yang ku alami hanyalah mimpi, itu saja. Dan tak lebih,” jawabku. Will
mengulurkan tanganya lalu meraih tanganku. Ia menggenggamnya erat.
“Dengar sayang, kita ke sini
untuk berbulan madu. Aku ingin kita bersenang-senang. Dan jika ada hal sekecil
apapun yang mengganggumu, ceritakanlah padaku,” ucap Will. Aku tersenyum.
Perlahan aku bangkit dari kursiku dan beranjak mendekatinya. Dan aku yang
berinisiatif untuk duduk di pangkuannya dan melingkarkan tanganku di lehernya.
“Aku baik-baik saja dan aku bahagia, yakinlah padaku. Aku memang tak ingin
kemana-mana hari ini. yang kuinginkan adalah, aku ingin di sini,bersamamu. Dan
... kita bisa melakukan banyak hal untuk bersenang-senang,” ucapku seraya
mengedipkan mata dengan nakal ke arahnya. Will tersenyum. “Setuju,” ia menjawab
cepat seraya memeluk pinggangku dengan erat.
***
“Aletha!” Aku baru saja melewati front desk ketika
panggilan itu terdengar. Langkahku terhenti dan Emma menghambur ke arahku.
“Astaga, kau sudah bekerja hari ini? bukankah seharusnya kau masih berbulan
madu di Paris?” ia menggamit lenganku. Kami berjalan berdampingan. Aku
tersenyum.
“Sebenarnya, kami berangkat
berbulan madu lebih awal dari yang dijadwalkan. Jadi, kami juga pulang lebih
awal. Dan cutiku memang sudah selesai. So, hari ini aku mulai bekerja,” ucapku.
“Oke, ceritakan tentang bulan
madumu di kota paling romantis di dunia,” Emma seakan memberi perintah. “Dengan
senang hati,” jawabku. Kami tetap melangkah menuju ruang kerja kami.
Emma adalah sahabat terbaik
yang kupunya. Kami dekat karena sejak dulu kami selalu satu sekolah. Baik di
SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah. Dan sekarang, kami bahkan bekerja di
perusahaan yang sama, di ruangan yang sama, bagian marketting. Dia gadis ceria
dan baik. Hanya saja, aku selangkah lebih maju darinya. Aku memutuskan mengakhiri
masa lajang, dan dia belum. Aku tahu banyak lelaki yang tertarik padanya, tapi
dia memutuskan untuk fokus dulu pada pekerjaan. Dia bilang, dia belum siap
untuk menikah. Dan selama ini, kepadanyalah aku terbiasa menceritakan banyak
hal tentang diriku, tentang masalahku. Begitu pula sebaliknya.
Dan akhirnya, hari pertama
kembali bekerja, mulutku tak bisa berhenti untuk bercerita banyak hal pada
Emma. Aku dengan senang hati menceritakan perjalanan bulan maduku padanya. Dan
dia dengan senang hati pula mendengarkan ocehanku.
“Cepatlah menikah agar kau
bisa segera merasakan indahnya punya keluarga sendiri,” ucapku. Emma mencibir.
“Apa kau pikir aku akan
membujang selamanya? Tentu saja aku akan menikah. Hanya saja, mendapatkan
lelaki yang nyaris sempurna seperti Will tidaklah mudah. Tampan, sukses, kaya
raya, baik, oh astaga, adakah orang yang seperti dirinya? Jika ada, aku pasti
akan menikahinya, detik ini juga,”
Aku tergelak. “hati-hati, kau
sedang membicarakan suamiku,” aku memperingatkan dengan nada bercanda.
“Oke, oke, aku tahu. Aku
takkan menggoda suamimu. Apa kau pikir aku gila?” ia mengomel.
“Kembalilah ke mejamu, Em.
Lihatlah, ini harus segera kuselesaikan,” aku menunjuk ke arah tumpukan map di
mejaku. “Kau sendiri yang bilang bahwa ini harus selesai dalam 2 hari. Jadi,
ayo kita lembur,” aku menambahkan. Emma mendelik. “Ups, aku lupa,” ia bangkit
dari kursi yang ada di sampingku lalu segere bergerak menuju mejanya, meja
paling ujung dekat jendela.
Kami menikmati
waktu sore hari itu di sebuah taman di pinggir danau. Aku ingat bahwa aku tidur
di pangkuannya. Ia membelai kepala, rambut dan juga tulang pipiku dengan
lembut. Dan aku asyik menikmati momen itu dengan tetap memejamkan mata.
“Akankah kita bisa menikmati masa-masa indah seperti ini selamanya, Aletha?” ia
berbicara padaku. “Tentu,” dan aku menjawab cepat. “Dan kau tahu bahwa aku
mencintaimu melebihi apapun,” ia kembali berbicara, kali ini setengah berbisik
di dekat telingaku. “Aku tahu,” aku menggumam, tapi aku tahu ia mendengarnya
dengan jelas. Perlahan mataku terbuka. Aku beringsut dan mendongakkan kepalaku
ke arahnya. Aku menatap seraut wajah yang berada di atasku. Tatapan mata kami
beradu. Mata yang teduh dan menghanyutkan. Ia tersenyum, begitu menawan. “Aku
mencintaimu,” bibirnya kembali berucap. Dan aku tersenyum. Aku juga.
Aku membuka
mata. Sentuhan tangan yang mengoyang-goyangkan bahuku membuat kepalaku
terangkat dengan tiba-tiba. Dengan mata setengah terpejam, aku menatap
sekelilingku. Emma, ada di sampingku.
“Astaga, apa kau begitu kelelahan
berbulan madu hingga kau harus ketiduran di meja kerjamu?” nada kalimatnya
terdengar kesal. Aku mengucek-ucek kedua mataku. Aku ketiduran di meja kerjaku?
“Maaf,”ucapku kemudian seraya
menata rambutku yang terasa berjuantaian. “Ada bekas pulpen di pipimu.
Sepertinya kau ketiduran cukup lama,” Emma menunjuk pipiku. “Oh ya?” aku
bangkit. “Kalau begitu, aku akan ke kamar mandi dulu,” aku melewatinya menuju
kamar mandi.
Aku menatap bayanganku di
cermin. Ada apa denganku? Ini pertama kalinya sepanjang sejarah aku tertidur di
tempat kerja. Dan, aku kembali memimpikannya. Memimpikan lelaki misterius yang
selalu membisikkan kata-kata cinta padaku. Selalu lelaki yang sama dan dia
bukan Will, suamiku!
Aku menarik nafas panjang.
Kunyalakan kran lalu kubasuh mukaku dengan gemas dan putus asa.
***
Aku sedang menikmati sarapan pagiku di kantin ketika
tiba-tiba Emma nimbrung di mejaku dengan roti lapis di tangannya. “Apakah ini
benar-benar kau, Aletha?” ia bertanya dengan mulut terisi makanan. Aku
memandangnya, sekilas, lalu kembali menikmati sarapanku.
“Ada yang aneh?” aku bertanya.
“Ya,” ia menjawab cepat. Aku mendongak,
menatapnya.
“Bukankah aku terbiasa sarapan
di sini? Apanya yang aneh?”
“Oke, kau memang selalu makan
pagi di sini. Tapi itu dulu, ketika kau masih lajang. Dan sekarang, kau sudah
menikah. Tidakkah kau sarapan di rumah bersama suamimu?”
Aku tersenyum, lalu
manggut-manggut.
“Oh, jadi itu masalahnya.
Tidak, karena suamiku sedang dinas ke luar kota selama 2 hari. Ia berangkat
kemarin sore,” jawabku. Sekarang, ganti Emma yang manggut-manggut.
“Wah, kebetulan sekali,”
ucapnya.
“Apanya yang kebetulan?” aku
bertanya.
“kebetulan sekali suamimu tak
ada di rumah karena hari ini aku berencana mengajakmu untuk lembur sampai
malam,” ia menjawab.
“Lembur lagi?” aku meletakkan
sendok makanku.
“lagi? Tentu saja. Pekerjaan
kita terbengkalai karena kau menikah kemudian berbulan madu. Banyak dokumen
yang belum selesai. Dan kita msih punya 3 orang klien yang harus kita temui,
secepatnya. Aku tak bisa mengerjakan semuanya sendirian, Letha. Tenagaku
terbatas,” Emma terdengar lelah.
Aku mendesah. “Oke,” jawabku
cepat.
Well, lagipula ini juga
pekerjaanku ‘kan? “Dan, maafkan aku karena kepergianku berbulan madu, kau harus
mengerjakan semuanya sendirian,” ucapku kemudian. Emma menyenggol lenganku
dengan sikunya.
“hei, aku hanya bercanda.
Kenapa kau berubah sensitif begini. Percayalah, aku adalah salah satu orang
yang paling bahagia dengan pernikahanmu. Dan aku juga bahagia jika kau
menjalani bulan madu dan juga pernikahanmu dengan bahagia. Tak jadi soal jika
aku harus mengerjakan pekerjaanmu. Percayalah padaku, oke?” Emma kembali
menggodaku dengan menyenggol lenganku, kali ini dengan punggung tangannya. Aku
tersenyum.
“Mm, boleh kutanyakan
sesuatu?” nada suara Emma terdengar serius. “Apa lagi?”
Emma menatapku dengan ragu. “Kau
baik-baik saja ‘kan? Mm, maksudku, kau benar-benar bahagia ‘kan?”
Aku mengernyit. “Kenapa?”
Emma tak segera menjawab.
“Sejak kembali dari bulan madu, kau terlihat aneh, Letha. Kau tampak lelah dan
... tertekan. Ini pertama kalinya terjadi pada dirimu. Kau tertidur di tempat
kerja, kau melamun dan ... kau tampak tak fokus. Aku bahkan sempat memergokimu
mengigau di meja kerjamu. Kau seperti sedang bermimpi buruk. Kau baik-baik saja
‘kan?”
Aku menatap Emma dengan
takjub. Astaga, dia ‘kan Emma? Sahabat terbaikku selama bertahun-tahun. Akan
sangat sulit sekali menyembunyikan sesuatu darinya. Dan selama ini, aku memang
tak berhasil menyembunyikan apapun darinya!
“Ceritakanlah padaku jika kau
mengalami sesuatu yang buruk. Aku tahu kau sudah menikah. Tapi aku yakin, ada
beberapa hal yang tak bisa kau ceritakan pada suamimu,” ia menambahkan.
Emma, hampir setiap malam aku memimpikan sesosok lelaki jangkung
bermata teduh dan dia bukanlah suamiku! Ah, haruskah aku menceritakan hal
itu? Pasti akan terdengar konyol.
“Tak ada apa-apa. Aku hanya
merasa lelah. Kau tahu pesta pernikahanku dirayakan dengan meriah dan setelah
itu aku melakukan perjalanan jauh untuk berbulan madu. Tentu hal itu menguras
banyak energi ‘kan? Tenanglah, I’m okay,” aku cepat-cepat bangkit untuk
mengalihkan pembicaraan kami. “Yuk, kita harus segera kembali bekerja. Kita
punya waktu 2 hari untuk menyelesaikan segalanya. Karena setelah suamiku
kembali dari luar kota, aku takkan mau lagi ada lembur, titik,” aku meraih
tasku dan segera beranjak tanpa menunggu komando Emma.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar