Jumat, 19 Juni 2015

Fate - Bab 1



Bab 1 


                Aku masih bergelung di bawah selimut tebalku ketika aku merasakan sosok itu, suamiku tercinta, memelukku erat dari belakang, lalu mencoba membangunkanku dengan sebuah kecupan hangat di pipi. Ia membisikkan kata-kata manis di telingaku, seperti biasanya. “Aku cinta padamu,” ucapnya seraya kembali mengecup pipiku dengan lembut. Aku membuka mata dan tersenyum. Perlahan aku beringsut, memutar tubuhku ke arahnya, dan menatapnya. Tapi, seketika aku terlonjak. Itu ... bukan dia!

Dan aku terbangun. Aku terduduk tiba-tiba dengan nafas terengah-engah dan peluh membanjiri tubuhku. William, suamiku yang tengah tertidur pulas di sampingkupun ikut terbangun karena gerakanku yang tiba-tiba. Lelaki berkulit bersih itu beranjak menyalakan lampu lalu menyentuh pundakku.
“Ada apa?” ia bertanya dengan suara sedikit panik seraya menyeka peluh di keningku. “Maaf aku membangunkanmu,” ucapku dengan nada penuh penyesalan. Tapi, aku menyadari bahwa suaraku bergetar. “Astaga, ada apa denganmu?” ia beranjak turun dari tempat tidur, berlari keluar kamar lalu beberapa detik  kemudian ia kembali dengan membawakanku segelas air minum.
“Minumlah, sayang,” ia menyodorkan gelas itu tepat di depan mulutku. Aku meraihnya dengan tanganku yang masih gemetar, lalu meneguk air itu, sampai habis.
Aku merasakan William mengelus lengan tanganku dengan lembut.
“It’s okay. Aku hanya mimpi buruk, kembalilah tidur,” jawabku seraya meletakkan gelas di tanganku ke atas meja rias di dekat tempat tidur. Lelaki itu menatapku dengan tatapan matanya yang lembut. Aku tersenyum. “Hanya mimpi buruk, percayalah, aku tak apa-apa,” ucapku lagi. Will mengangguk-angguk. Ia membantuku kembali berbaring. Dan aku tidur dalam pelukannya. Tidak, aku tak bisa tidur, sampai keesokan paginya.

***

                “Pagi sayang,” aku menyapa dengan renyah ketika lelaki itu melangkah dengan malas-malasan menuju meja makan. Ia masih mengenakan baju tidur. “Kau bangun jam berapa?” ia bertanya seraya menyisir rambutnya dengan jari. Aku tersenyum. “pagi sekali. Lihat, aku sudah membuatkanmu sarapan,” aku menunjuk ke arah meja makan yang telah dipenuhi hidangan hasil masakanku. Aku mendekatinya, menggamit lengannya lalu menarik tubuhnya menuju kamar mandi. “Cuci mukalah dulu. Setelah itu kita akan sarapan, oke,” ucapku. Will tersenyum. Ia sempat mendaratkan ciuman ringan di keningku sebelum masuk ke kamar mandi.

***

                “Kau ingin kemana hari ini?” Will bertanya seraya memasukan sepotong roti ke mulutnya. Kami mengobrol di sela-sela sarapan pagi kami. Aku tak segera menjawab. “Entahlah, tapi sepertinya aku ingin bermalas-malasan saja hari ini,” jawabku. “Kau tak ingin jalan-jalan?” aku menggeleng, tanpa sadar. Will menatapku lembut. “Kau baik-baik saja ‘kan sayang?” ia bertanya. Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja. Kita sudah berkeliling kota ini. kita sudah ke pantai, ke museum, ke pameran, ke pertunjukkan seni, ke banyak tempat. Jadi, bisakah kita bermalas-malasan saja hari ini?” ucapku lagi.  Tatapan Will tak beralih dariku. Aku tertawa kecil. “ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyaku. Will menarik nafas panjang. Ia meletakkan sendok garpunya, dan dengan tangan terlipat di atas meja, ia menatapku, dalam.
“Kau aneh, Letha,” ucapnya. Aku mengernyit. “Aneh kenapa?” tanyaku. “Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, kau mengalami mimpi buruk setiap malam. Kau ketakukan dan ... tertekan. Ceritakan padaku, sebenarnya mimpi apa yang mengganggumu?” suara Will terdengar serius. Aku mengangkat bahu, tak segera menjawab. Setiap malam aku bermimpi tidur bersama seorang pria, dan pria itu bukan kau!
Ah, tidak. Aku tidak mungkin menceritakan hal itu padanya.
“Aku bermimpi di kejar oleh hantu. Hantu yang sangat menyeramkan,” ucapku, berbohong. Will menatap sekelilingnya. “Haruskah aku mencarikanmu tempat lain? Tempat yang lebih nyaman dan tenang. Aku bisa menelpon seseorang untuk mencarikan hotel yang lainnya,”
“Untuk apa?”
“Yaa, mungkin kau benar tentang tempat ini. bisa saja tempat ini berhantu dan mereka mengganggumu dengan mimpi-mimpi buruk itu,”
Aku terbahak. “Astaga, kau terlalu banyak menonton film horor, sayang. Tidak, aku tidak percaya hal itu. Apa yang ku alami hanyalah mimpi, itu saja. Dan tak lebih,” jawabku. Will mengulurkan tanganya lalu meraih tanganku. Ia menggenggamnya erat.
“Dengar sayang, kita ke sini untuk berbulan madu. Aku ingin kita bersenang-senang. Dan jika ada hal sekecil apapun yang mengganggumu, ceritakanlah padaku,” ucap Will. Aku tersenyum. Perlahan aku bangkit dari kursiku dan beranjak mendekatinya. Dan aku yang berinisiatif untuk duduk di pangkuannya dan melingkarkan tanganku di lehernya. “Aku baik-baik saja dan aku bahagia, yakinlah padaku. Aku memang tak ingin kemana-mana hari ini. yang kuinginkan adalah, aku ingin di sini,bersamamu. Dan ... kita bisa melakukan banyak hal untuk bersenang-senang,” ucapku seraya mengedipkan mata dengan nakal ke arahnya. Will tersenyum. “Setuju,” ia menjawab cepat seraya memeluk pinggangku dengan erat.

***
                “Aletha!” Aku baru saja melewati front desk ketika panggilan itu terdengar. Langkahku terhenti dan Emma menghambur ke arahku. “Astaga, kau sudah bekerja hari ini? bukankah seharusnya kau masih berbulan madu di Paris?” ia menggamit lenganku. Kami berjalan berdampingan. Aku tersenyum.
“Sebenarnya, kami berangkat berbulan madu lebih awal dari yang dijadwalkan. Jadi, kami juga pulang lebih awal. Dan cutiku memang sudah selesai. So, hari ini aku mulai bekerja,” ucapku.
“Oke, ceritakan tentang bulan madumu di kota paling romantis di dunia,” Emma seakan memberi perintah. “Dengan senang hati,” jawabku. Kami tetap melangkah menuju ruang kerja kami.
Emma adalah sahabat terbaik yang kupunya. Kami dekat karena sejak dulu kami selalu satu sekolah. Baik di SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah. Dan sekarang, kami bahkan bekerja di perusahaan yang sama, di ruangan yang sama, bagian marketting. Dia gadis ceria dan baik. Hanya saja, aku selangkah lebih maju darinya. Aku memutuskan mengakhiri masa lajang, dan dia belum. Aku tahu banyak lelaki yang tertarik padanya, tapi dia memutuskan untuk fokus dulu pada pekerjaan. Dia bilang, dia belum siap untuk menikah. Dan selama ini, kepadanyalah aku terbiasa menceritakan banyak hal tentang diriku, tentang masalahku. Begitu pula sebaliknya.
Dan akhirnya, hari pertama kembali bekerja, mulutku tak bisa berhenti untuk bercerita banyak hal pada Emma. Aku dengan senang hati menceritakan perjalanan bulan maduku padanya. Dan dia dengan senang hati pula mendengarkan ocehanku.
“Cepatlah menikah agar kau bisa segera merasakan indahnya punya keluarga sendiri,” ucapku. Emma mencibir.
“Apa kau pikir aku akan membujang selamanya? Tentu saja aku akan menikah. Hanya saja, mendapatkan lelaki yang nyaris sempurna seperti Will tidaklah mudah. Tampan, sukses, kaya raya, baik, oh astaga, adakah orang yang seperti dirinya? Jika ada, aku pasti akan menikahinya, detik ini juga,”
Aku tergelak. “hati-hati, kau sedang membicarakan suamiku,” aku memperingatkan dengan nada bercanda.
“Oke, oke, aku tahu. Aku takkan menggoda suamimu. Apa kau pikir aku gila?” ia mengomel.
“Kembalilah ke mejamu, Em. Lihatlah, ini harus segera kuselesaikan,” aku menunjuk ke arah tumpukan map di mejaku. “Kau sendiri yang bilang bahwa ini harus selesai dalam 2 hari. Jadi, ayo kita lembur,” aku menambahkan. Emma mendelik. “Ups, aku lupa,” ia bangkit dari kursi yang ada di sampingku lalu segere bergerak menuju mejanya, meja paling ujung dekat jendela.

                Kami menikmati waktu sore hari itu di sebuah taman di pinggir danau. Aku ingat bahwa aku tidur di pangkuannya. Ia membelai kepala, rambut dan juga tulang pipiku dengan lembut. Dan aku asyik menikmati momen itu dengan tetap memejamkan mata. “Akankah kita bisa menikmati masa-masa indah seperti ini selamanya, Aletha?” ia berbicara padaku. “Tentu,” dan aku menjawab cepat. “Dan kau tahu bahwa aku mencintaimu melebihi apapun,” ia kembali berbicara, kali ini setengah berbisik di dekat telingaku. “Aku tahu,” aku menggumam, tapi aku tahu ia mendengarnya dengan jelas. Perlahan mataku terbuka. Aku beringsut dan mendongakkan kepalaku ke arahnya. Aku menatap seraut wajah yang berada di atasku. Tatapan mata kami beradu. Mata yang teduh dan menghanyutkan. Ia tersenyum, begitu menawan. “Aku mencintaimu,” bibirnya kembali berucap. Dan aku tersenyum. Aku juga.

Aku membuka mata. Sentuhan tangan yang mengoyang-goyangkan bahuku membuat kepalaku terangkat dengan tiba-tiba. Dengan mata setengah terpejam, aku menatap sekelilingku. Emma, ada di sampingku.
“Astaga, apa kau begitu kelelahan berbulan madu hingga kau harus ketiduran di meja kerjamu?” nada kalimatnya terdengar kesal. Aku mengucek-ucek kedua mataku. Aku ketiduran di meja kerjaku?
“Maaf,”ucapku kemudian seraya menata rambutku yang terasa berjuantaian. “Ada bekas pulpen di pipimu. Sepertinya kau ketiduran cukup lama,” Emma menunjuk pipiku. “Oh ya?” aku bangkit. “Kalau begitu, aku akan ke kamar mandi dulu,” aku melewatinya menuju kamar mandi.
Aku menatap bayanganku di cermin. Ada apa denganku? Ini pertama kalinya sepanjang sejarah aku tertidur di tempat kerja. Dan, aku kembali memimpikannya. Memimpikan lelaki misterius yang selalu membisikkan kata-kata cinta padaku. Selalu lelaki yang sama dan dia bukan Will, suamiku!
Aku menarik nafas panjang. Kunyalakan kran lalu kubasuh mukaku dengan gemas dan putus asa.

***

                Aku sedang menikmati sarapan pagiku di kantin ketika tiba-tiba Emma nimbrung di mejaku dengan roti lapis di tangannya. “Apakah ini benar-benar kau, Aletha?” ia bertanya dengan mulut terisi makanan. Aku memandangnya, sekilas, lalu kembali menikmati sarapanku.
“Ada yang aneh?” aku bertanya.
“Ya,” ia menjawab cepat. Aku mendongak, menatapnya.
“Bukankah aku terbiasa sarapan di sini? Apanya yang aneh?”
“Oke, kau memang selalu makan pagi di sini. Tapi itu dulu, ketika kau masih lajang. Dan sekarang, kau sudah menikah. Tidakkah kau sarapan di rumah bersama suamimu?”
Aku tersenyum, lalu manggut-manggut.
“Oh, jadi itu masalahnya. Tidak, karena suamiku sedang dinas ke luar kota selama 2 hari. Ia berangkat kemarin sore,” jawabku. Sekarang, ganti Emma yang manggut-manggut.
“Wah, kebetulan sekali,” ucapnya.
“Apanya yang kebetulan?” aku bertanya.
“kebetulan sekali suamimu tak ada di rumah karena hari ini aku berencana mengajakmu untuk lembur sampai malam,” ia menjawab.
“Lembur lagi?” aku meletakkan sendok makanku.
“lagi? Tentu saja. Pekerjaan kita terbengkalai karena kau menikah kemudian berbulan madu. Banyak dokumen yang belum selesai. Dan kita msih punya 3 orang klien yang harus kita temui, secepatnya. Aku tak bisa mengerjakan semuanya sendirian, Letha. Tenagaku terbatas,” Emma terdengar lelah.
Aku mendesah. “Oke,” jawabku cepat.
Well, lagipula ini juga pekerjaanku ‘kan? “Dan, maafkan aku karena kepergianku berbulan madu, kau harus mengerjakan semuanya sendirian,” ucapku kemudian. Emma menyenggol lenganku dengan sikunya.
“hei, aku hanya bercanda. Kenapa kau berubah sensitif begini. Percayalah, aku adalah salah satu orang yang paling bahagia dengan pernikahanmu. Dan aku juga bahagia jika kau menjalani bulan madu dan juga pernikahanmu dengan bahagia. Tak jadi soal jika aku harus mengerjakan pekerjaanmu. Percayalah padaku, oke?” Emma kembali menggodaku dengan menyenggol lenganku, kali ini dengan punggung tangannya. Aku tersenyum.
“Mm, boleh kutanyakan sesuatu?” nada suara Emma terdengar serius. “Apa lagi?”
Emma menatapku dengan ragu. “Kau baik-baik saja ‘kan? Mm, maksudku, kau benar-benar bahagia ‘kan?”
Aku mengernyit. “Kenapa?”
Emma tak segera menjawab. “Sejak kembali dari bulan madu, kau terlihat aneh, Letha. Kau tampak lelah dan ... tertekan. Ini pertama kalinya terjadi pada dirimu. Kau tertidur di tempat kerja, kau melamun dan ... kau tampak tak fokus. Aku bahkan sempat memergokimu mengigau di meja kerjamu. Kau seperti sedang bermimpi buruk. Kau baik-baik saja ‘kan?”
Aku menatap Emma dengan takjub. Astaga, dia ‘kan Emma? Sahabat terbaikku selama bertahun-tahun. Akan sangat sulit sekali menyembunyikan sesuatu darinya. Dan selama ini, aku memang tak berhasil menyembunyikan apapun darinya!
“Ceritakanlah padaku jika kau mengalami sesuatu yang buruk. Aku tahu kau sudah menikah. Tapi aku yakin, ada beberapa hal yang tak bisa kau ceritakan pada suamimu,” ia menambahkan.
Emma, hampir setiap malam aku memimpikan sesosok lelaki jangkung bermata teduh dan dia bukanlah suamiku! Ah, haruskah aku menceritakan hal itu? Pasti akan terdengar konyol.
“Tak ada apa-apa. Aku hanya merasa lelah. Kau tahu pesta pernikahanku dirayakan dengan meriah dan setelah itu aku melakukan perjalanan jauh untuk berbulan madu. Tentu hal itu menguras banyak energi ‘kan? Tenanglah, I’m okay,” aku cepat-cepat bangkit untuk mengalihkan pembicaraan kami. “Yuk, kita harus segera kembali bekerja. Kita punya waktu 2 hari untuk menyelesaikan segalanya. Karena setelah suamiku kembali dari luar kota, aku takkan mau lagi ada lembur, titik,” aku meraih tasku dan segera beranjak tanpa menunggu komando Emma.
               
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar