Jumat, 19 Juni 2015

[Cerpen/FF] Jadilah Pacarku (Lagi)



 


            Aku baru saja akan mengganti baju seragamku dengan seragam olah raga ketika tiba-tiba Ye-Eun menerobos begitu saja ke dalam kamar ganti. Aku menatapnya keheranan, begitu pula dengannya. Dia tidak ada  jam olahraga karena kelas kami beda. Jadi, akulah yang  sepantasnya heran dengan kemunculannya!
“Kita bicara sebentar.” Dia menarik lenganku lalu mengajakku ke pojok ruangan, menjauh dari anak-anak lainnya.
“Mwoya?” Tanyaku dengan malas-malasan.
Ye-Eun, sahabatku sedari kecil itu menatapku penuh selidik.
“Ada hal penting?” Aku bertanya lagi setelah menangkap ada yang tidak beres. Cewek berambut sebahu itu mengangguk serius lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Ah-Reum, apa itu benar?” Bisiknya.
“Apa?” Aku juga ikut berbisik.
“Kamu pacaran lagi sama Jisoo.”
“Eh!?” Aku nyaris memekik.
“Kabar ini sudah menyebar ke seantero sekolah. Mereka sudah tahu kalau kau pacaran lagi dengan dia. Tapi, bagaimana mungkin kau merahasiakan ini dariku.”
Aku mendelik. “Itu__”
Kata-kataku tertahan ketika peluit dari pak guru olah raga sudah melengking-melengking memanggil kami untuk segera berkumpul.
“Kita bahas ini nanti saja, oke.” Aku beranjak. Mengganti seragamku lalu segera menghambur ke lapangan untuk bergabung dengan teman-teman lainnya.
Tapi, kata-kata Ye-Eun tetap mengganggu konsentrasiku. Aku pacaran lagi sama Jisoo? Astaga, apa-apaan ini? Itu tidak benar sama sekali. Siapa yang tega menyebarkan gosip bahwa aku pacaran lagi sama dia?
Tapi, jika benar ada kabar seperti itu bukankah ___ I’m in danger!
“Ah-Reum, awas!”
Dug! Aku memekik ketika bola itu menghantam jidatku hingga sempat membuatku terhuyung. Aku meringis sembari memegangi kepalaku. Well, aku sudah menduganya!

***

            “Sakit?” tanya Ye-Eun seraya menyodorkan es batu untuk mengompres keningku yang memar.
Bibirku manyun. “Bola sebesar itu menghantam kepalaku, tentu saja sakit!” jawabku kesal. Cewek itu hanya nyengir. “Jadi, apa itu benar?” Ia kembali bertanya.
“Apanya?” Aku menempelkan es batu itu ke keningku.
“Kau pacaran lagi sama Jisoo?”
Aku mendesah lalu menggeleng.
“Jadi itu cuma ___”
“Gosip.” Potongku.
“Jeongmallo?” Ia kembali memastikan. Dan aku mengangguk. “Aku tak pacaran lagi sama Jisoo. Itu gosip, sumpah. Dan aku tak tahu siapa yang menyebarkannya.“ Jawabku. Ye-Eun manggut-manggut.
“Tak peduli itu gosip atau fakta, yang jelas, nyaris semua siswa di sekolah kita sudah mendengarnya. Dan percayalah, untuk beberapa hari ke depan, kau tidak akan bisa menjalani hidupmu dengan tenang,” Ye-eun seperti mengingatkan. Dan kedua bahuku serasa melorot seketika. Dia benar, jika gosip ini benar-benar sudah beredar, aku takkan bisa menjalani hidupku dengan tenang, untuk beberapa hari ke depan.
Aku menarik nafas panjang. Kusandarkan punggungku ke kursi kayu di ruang UKS dengan perlahan. Dan, mau tak mau ingatanku kembali ke masa-masa itu lagi ...
Dua tahun yang lalu ketika pertama kali masuk ke SMA ini perhatianku langsung tertuju padanya, Jisoo. Cowok jangkung bermata indah dengan senyum menawan. Sosoknya sempurna. Wajahnya tampan luar biasa ibarat di pahat tanpa cela oleh seniman terkemuka. Dan matanya, mata yang teduh, mata yang menyipit alami tatkala bibirnya tersenyum, mata yang membuatku seperti dialiri listrik dari ujung kepala sampai ujung kaki! Yup, I love him at the first sight!
Dan seperti yang sudah kuduga, sosoknya yang eye-catching benar-benar menjadi magnet bagi cewek-cewek di sekolah ini. Selain ganteng dan populer, ternyata ia juga pintar dan berbakat. Ia pintar olahraga, ia pintar matematika, ia pintar menyanyi. Suaranya merdu sekali. Dan semua alasan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seabrek cewek yang mau jungkir balik memperebutkan cintanya. Dari jajaran cewek-cewek papan atas, sampai anak penjual minuman di depan sekolah kamipun ikut jatuh bangun untuk mendapatkan cintanya. Termasuk aku? Ah, tidak. Aku menyukainya, tapi aku tak bisa seagresif mereka. Yang ku lakukan hanyalah menatapnya dan mengaguminya, diam-diam.
Tapi, ternyata Tuhan berkehendak lain. Tiba-tiba saja Jisoo mendekatiku. Ia sering datang ke kelasku ketika jam istirahat hanya untuk menyapaku. Menyapaku! Sungguh!
Dan kamipun bersahabat. Ia sering meminta saran padaku tentang banyak hal. Ia bahkan sering mampir ke rumahku hanya untuk membawakanku bermacam-macam dvd jepang. Ia tahu bahwa aku adalah penggemar dorama jepang. Dan, beberapa bulan kemudian aku seperti memenangkan undian, jackpot! Ketika tiba-tiba ia mengakui bahwa ia mencintaiku. Oh, demi Tuhan Yang Maha Esa, aku bahagia luar biasa. Dan singkat kata, kamipun berpacaran. Tapi  3 bulan kemudian – hanya 3 bulan saja -  aku memutuskkanya. Tidak, bukan karena aku tak mencintainya.
Hanya saja, menjadi pacarnya adalah sebuah beban buatku.
Cewek-cewek yang gagal mendapatkan Jisoo berbalik menyerangku. Aku semakin punya banyak haters. Mereka bahkan punya akun di Facebook yang khusus didedikasikan untuk mereka yang tidak menyukaiku menjadi pacar Jisoo. Dan kau tahu berapa anggotanya? Ratusan!
Mereka bahkan punya petisi yang ditanda tangani banyak orang yang tidak menyukaiku berpacaran dengan cowok itu. Dan bisa dipastikan, setiap hari jumlahnya kian bertambah.
Banyak yang tidak suka aku berpacaran dengan Jisoo karena mereka beranggapan bahwa cowok itu terlalu sempurna untukku. Sebenarnya aku juga tidak terlalu jelek sih. Tapi jika dibandingkan dengan cewek-cewek papan atas yang jungkir balik mengejar cintanya, aku terlihat ... sedikit biasa. Dan itu juga yang membuatku bertanya-tanya kenapa Jisoo lebih menyukaiku ketimbang mereka.
Dan sekarang?
Ya Tuhan, apa aku akan mengalami masa-masa buruk itu lagi?
“Jika aku menemukan orang yang menyebarkan gosip itu, akan ku jambak rambutnya!” gerutuku kesal.
“Akan ku bantu kau menghajarnya,” sahut Ye-eun. Kami berpandangan. Kedua mata kami seakan mengatakan: The war is begin!

***

            Aku merasakan aura tak sehat ketika  memasuki kantin. Hal yang sama juga kurasakan ketika aku memasuki ruang perpustakaan, atau bahkan ruang kelasku sendiri. Aku melihat tatapan sinis dari para JFC. Jisoo Fans Club!
Mereka seakan ingin menelanku hidup-hidup. Ini sama persis seperti yang terjadi 2 tahun yang lalu. Situasi inilah yang membuatku terpaksa memutuskan Jisoo! Bukan karena nyaliku ciut hingga tak berani untuk berhadapan dengan mereka. Hanya saja, aku malas ribut. Itu saja! Suerr...
“Gosip sialan itu benar-benar membuat hidupku tidak tenang,” desahku kesal. Akhirnya, aku memutar badanku lalu meninggalkan tempat tersebut tanpa membeli apapun.
Ketika sampai di lorong kelas, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Jisoo. Ah, panjang umur dia. Baru juga sosoknya nangkring di kepalaku.
Seperti biasa, cowok berpembawaan kalem itu tersenyum ramah padaku. Ah, senyumnya tetap saja menawan, menenangkan. Well, kami memang mantan pacar. Tapi kami masih saling bertegur sapa, seperti layaknya teman biasa.
“Mm, bisa bicara sebentar?” Aku memberanikan untuk menghentikan langkahnya. Jisoo berhenti lalu menatapku keheranan. “Ya, soal apa?”
Aku tak segera menjawab.“Kau sudah dengar soal gosip itu ‘kan? Aku ___”
“Oh, kabar bahwa kita kembali berpacaran? Ah, sudahlah. Abaikan saja, jangan terlalu dipikirkan. Gosip seperti itu pasti akan hilang dalam beberapa hari.” Kalimat Jisoo terdengar berwibawa – seperti biasanya – hingga membuat hatiku tenang. Ia tersenyum hangat padaku seolah ingin meyakinkan aku bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Kalau begitu ____” Aku terkesiap ketika sosoknya yang jangkung tiba-tiba telah berada di depanku dalam hitungan detik.
“Keningmu kenapa?” Ia menatap memar di keningku dengan seksama. Aku nyengir seraya menyentuh keningku sendiri.
“Ow, ini. Mm, aku kurang hati-hati ketika mengikuti pelajaran olahraga. Dan, inilah hasilnya.”
Aku mundur beberapa langkah ketika Jisoo mengulurkan tangannya dan berniat menyentuh keningku.
Gwaencana,” jawabku gelagapan. Tidak, aku takkan membiarkannnya menyentuhku! Sedikit saja kontak fisik dengannya akan berakibat fatal karena itu seolah membenarkan bahwa kami kembali berpacaran. Tidak! aku tidak akan membiarkannya.
“Aku pergi dulu ya. Annyeong,” tanpa menunggu komando, aku ngacir meninggalkan Jisoo.

***

            Byuuurrrr!! Aku menjerit kaget ketika ember berisi air itu menimpa diriku hingga membuat tubuhku basah kuyup. Menaruh ember berisi air di atas pintu kamar mandi? Itu jebakan kuno! Tapi, tetap saja aku kena!
Eotte? Segar airnya?” Solbi, model sekaligus cewek paling populer di sekolah kami, muncul dari balik pintu kamar mandi yang lain, diikuti dua rekannya.
“Apa-apaan ini?” tanyaku kesal.
“Itu balasan karena kau kembali pacaran dengan Jisoo. Mungkin aku memang gagal mendapatkan cintanya. Tapi setidaknya aku sudah merasa puas karena telah memberimu pelajaran,” jawabnya.
Aku melotot. “Sampai kapan kalian akan bertingkah kekanak-kanakan seperti ini?!” teriakku.
Solbi mengangkat bahu.
“Entahlah, tapi bagaimanapu juga, chukkae karena kau berhasil kembali ke sisi Jisoo.”
Cewek berambut panjang itu berlalu begitu saja diikuti dua rekannya. Aku menggigit bibirku dengan kesal seraya menatap diriku yang basah kuyup.

***

            Ye-eun menatap diriku yang basah kuyup dengan tatapan heran. “Wae? Kenapa kau basah kuyup begini?” suaranya melengking. Aku mendesah kesal. “Tak penting untuk dibahas. Kau ada pelajaran olah raga ‘kan? Tolong pinjami aku baju olah ragamu. Aku tak bisa mengenakan baju basah seperti ini. Bisa-bisa aku masuk angin,” jawabku.
Ye-Eun manggut-manggut. Segera ia beranjak ke kelasnya dan tak lama kemudian ia kembali ke ruang UKS membawa baju olah raga yang kumaksudkan.
“Setelah ini, aku ingin di sini dulu sejenak. Bangunkan aku jika aku ketiduran,” ujarku padanya.
“Are you okay?” Ye-eun mengulurkan tangannya dan menyentuh keningku.
“Astaga, kau demam?”
“I’m okay. Hanya sedikit kurang enak badan. Mungkin aku terlalu stres beberapa hari ini,” jawabku.
Ye-eun beranjak menuju kotak obat dan mengambilkan sebutir obat demam.
“Minumlah obatnya dan istirahatlah di sini. Nanti akan kubangunkan kalau kau ketiduran,”
Aku hanya mengangguk pelan mendengar instruksi Ye-eun.

***

            Aku membelalak menyaksikan jam di dinding yang menunjukkan pukul 15.10. T-tapi ‘kan kelas usai jam 14.15?
Astaga, aku ketiduran?! Ye-eun di mana? Apa ia tak membangunkanku? Dasar pengkhianat! Aku menggerutu dalam hati.
“Sudah bangun?” Suara itu nyaris membuatku terlonjak dari tempat tidur. Ketika aku menoleh. Deg, Jisoo duduk di salah satu kursi dekat jendela yang berada tak jauh dari tempat tidur. Aku tidak bermimpi. Itu memang dia!
“Jisoo?” Aku menggumam kaget. Cowok itu hanya mengangguk.
“Kau __ di sini?” tanyaku lagi. Dan cowok itu kembali mengangguk.
“Sudah 1 jam lebih aku menungguimu di sini,” jawabnya, tenang. Ah, pembawaannya selalu saja tenang seperti itu.
“Menungguiku di sini? Untuk apa?” Aku turun dari tempat tidur lalu melipat selimut dan merapikan seprei.
“Aku dengar dari teman-teman kalau Solbi cari masalah denganmu di kamar mandi. Aku mencarimu di kelas tapi kau tak ada. Waktu ketemu Ye-eun, dia bilang kau di UKS. Begitu sampai di sini, kau sedang tertidur pulas,” Jisoo bangkit lalu membantuku merapikan tempat tidur.
“Tadinya Ye-eun ingin membangunkanmu, tapi aku melarangnya,” lanjutnya.
“Kenapa?”
“Kau tidur nyenyak. Kelihatan capek. Aku tak tega membangunkanmu. Lagipula, di luar masih hujan. Jadi, aku sengaja membiarkanmu tidur dan menyuruh Ye-eun pulang dulu. Nanti aku yang akan mengantarkanmu pulang.”
Aku menatap Jisoo sekilas.
“Ngomong-ngomong, untuk apa kau di sini?” tanyaku dengan hati-hati.
“Aku mengkhawatirkanmu,” jawabnya. Aku terkekeh.
“Khawatir kenapa? Karena Solbi cari masalah denganku? It’s Okey. Aku sudah biasa,” jawabku asal.
Jisoo menatapku dengan tatapan menyesal. Aku seakan mengingatkannya pada hubungan kami yang sudah berlalu. Dan aku seolah mengatakan : jadi pacarmu, aku terbiasa di bully.
Mian,” ucapku kemudian. Jisoo tak menjawab.
Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ah, tiba-tiba saja aku ge-er.
“Bagaimanapun juga, aku lega kau tak apa-apa,” cowok itu kembali duduk di kursinya semula.
Aku beringsut dan duduk di tepi tempat tidur. Keadaan hening sesaat. Sedikit canggung.
“Boleh kutanyakan sesuatu?” Jisoo membuka suara.
“Soal apa? Soal gosip bahwa kita kembali berpacaran? Maaf, aku tak tahu apa-apa. Dan sumpah, bukan aku yang menyebarkannya,”  jawabku.
“Tidak, bukan soal itu,” sergah Jisoo.
“Lantas?”
Jisoo menyandarkan punggungnya di kursi lalu menatapku dengan lekat hingga membuatku jengah.
“Jangan menatapku seperti itu,” ucapku gusar. Bukannya berhenti, cowok berhidung mancung itu terus menatapku dengan dalam hingga membuatku mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Kenapa kau tidak pacaran lagi?” tanya Jisoo lagi. Suaranya terdengar tenang.
“Maksudmu?” tanyaku. Aku menoleh dan menatapnya.
“Setelah putus denganku 2 tahun yang lalu, aku tidak melihatmu berpacaran lagi dengan cowok lain,” Ucapannya terdengar yakin.
“Bagaimana kau tahu? Apa kau memata-mataiku?”
“Ya,” Kali ini Jisoo menjawab cepat hingga membuatku tersipu. Kenapa dia memata-mataiku? Kenapa ia ingin tahu aku berpacaran dengan siapa?
“Kau sendiri? Bukankah kau juga tak berpacaran lagi sejak putus denganku?” balasku kemudian.
“Apa kau juga memata-mataiku?” Pertanyaan Jisoo terdengar antusias. Aku menggeleng.
“Tidak, hanya tahu saja.” Jawabku kemudian.
Jisoo tertawa kecil mendengar ucapanku.
“Ya, kau benar. Aku memang tak pacaran sejak kau memutuskanku.” Jawabnya kemudian. “Jadi, kenapa kau tak pacaran lagi?” Ia kembali mengulangi pertanyaannya.
“Kau sendiri, kenapa tak pacaran lagi?” balasku.
Jisoo menatapku dengan dalam.
“Karena aku masih mencintaimu,” jawabnya kemudian.
Aku melongo. Jantungku berdebar lagi, lebih cepat. Jisoo menatapku dengan lembut. Ah, mata itu ...
“Ah-reum, menyakitkan sekali ketika kau memutuskanku dan meninggalkanku begitu saja. Hatiku hancur berkeping-keping. Tapi, tetap saja aku tak bisa melupakanmu. Aku benar-benar tak mampu melupakanmu. Sampai detik inipun, aku masih selalu mencintaimu,” Jisoo kembali berucap, mantap.
Aku tertegun.
“Maafkan aku jika selama menjadi pacarku kau mendapatkan banyak beban dan masalah. Tapi percayalah, aku tak pernah berniat membuatmu seperti itu. Aku selalu mencoba membuatmu bahagia. Meskipun pada akhirnya, aku hanya mampu memberikanmu penderitaan tanpa mampu melindungimu – karena kau tak pernah membiarkanku melakukan itu – melindungimu,”
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya kulakukan selama ini? Cowok di depanku ini berusaha membuatku bahagia, tapi hanya karena egoku, aku memutuskannya? Apa aku sinting?
“Sebenarnya, aku tak pernah rela ketika kau memutuskanku. Tapi ketika aku tahu bahwa kau tertekan karena banyak mengalami intimidasi dari cewek-cewek penggemarku yang lain, aku pasrah. Jika aku terus mempertahanmu menjadi pacarku, kau pasti semakin tertekan dan tak bahagia. Makanya aku menerima keputusanmu untuk meninggalkanku. Tapi, satu hal yang pasti, aku tak pernah berhenti untuk mencintaimu,”
Tatapan Jisoo begitu tulus dan lembut. Hatiku berdesir.
Ia bangkit lalu berjalan mendekatiku hingga jarak di antara kami hanya tinggal beberapa langkah.
“Maukah kau jadi pacarku lagi?” Pintanya.
Mataku mengerjap, kaget. Eh?
“Aku tulus menyayangimu dan aku benar-benar ingin agar kita bisa kembali bersama lagi. Bisakah?” ucapan Jisoo benar-benar terdengar lembut. Aku tak segera menjawab. Kami hanya berpandangan sesaat.
“Jisoo, kenapa harus aku?” tanyaku kemudian.
Jisoo mengernyitkan dahinya. Tak mengerti dengan pertanyaanku.
“Dari sekian cewek di sekolah ini, kenapa kau harus memilihku? Aku tak cantik, aku juga tak pintar, aku juga tak terkenal. Kenapa kau tetap menyukaiku?”
Jisoo tersenyum lembut mendengar pertanyaanku. Matanya yang menyipit ketika ia tersenyum, ah, aku selalu terpesona.
“Aku menyukai semua yang ada pada dirimu, tulus dan serius. Kau cewek yang begitu ceria dan apa adanya. Dan aku benar-benar nyaman dan bahagia berada disisimu. Tidakkah alasan itu cukup untuk membuatmu kembali padaku?” ucapnya.
Aku terdiam.
“Tolong beri aku kesempatan untuk menunjukkan ketulusan perasaanku. Aku janji, aku tak akan membiarkan siapapun menyentuh ataupun menyakitimu. Jebal, beri aku kepercayaan untuk melindungimu,”
Jisoo menyentuh pipiku dengan lembut. Dan aku tak berusaha untuk menghindar.
“Bisakah kita pacaran lagi?” Pertanyaan itu kembali ia ulang.
Aku tak segera menjawab.
“Kita bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi jika kau keberatan untuk diketahui orang lain agar mereka tak mengganggumu lagi.”
“Tidak.” Jawabku cepat.  Jisoo menarik sentuhan tangannya. Ia menatapku kaget.
“Kau tak mau menerimaku kembali?” Nada suaranya tampak takut. Aku menggeleng.
Anio, maksudku bukan itu. Aku tak mau berpacaran denganmu secara sembunyi-sembunyi. Jika kita memang berpacaran, semua orang berhak mengetahuinya. Percayalah aku bisa menghadapi mereka,” jawabku, mantap.
Jisoo mengernyitkan dahinya.
“Apa ini berarti kau mau jadi pacarku lagi?”
Aku kembali terdiam. Perlahan aku mengangguk. Kulihat sebuah senyum kembali merekah di bibir Jisoo hingga membuat pipiku merona.
Aku sudah bertekad, untuk kali ini aku takkan menyerah! Tak peduli siapa dan berapa banyak cewek yang berusaha untuk menghancurkan hubunganku dengan Jisoo, aku akan melawannya!
“Soal gosip bahwa kita kembali berpacaran, aku bersumpah bukan aku pelakunya,” ujarku.
Jisoo manggut-manggut. “Itu ... aku yang melakukannya,” jawabnya ragu.
Aku melotot. Hah?
Cowok tampan di hadapanku itu menyeringai. Perlahan ia mengangguk. “Maaf, tapi akulah yang menyebarkan gosip bahwa kita kembali berpacaran,” ucapnya lagi.
Aku terperanjat. “Apa!?” teriakku. Jisoo hanya tersenyum nyengir.
“Mian, tapi hanya itulah satu-satunya cara yang terpikir olehku untuk bisa kembali padamu. Aku tahu aku lancang, tapi jika tidak begitu, aku tak akan bisa menarik perhatianmu.”
“Termasuk menarik perhatian anak-anak yang lain hingga mereka rame-rame mengeroyokku!?” Aku kembali berteriak seraya menatap Jisoo dengan kesal.
“Itu ... di luar perkiaraanku. Tapi, sisi baiknya adalah ... kita bisa bicara kembali dari hati ke hati. Ya ‘kan?” kalimat Jisoo terdengar sebuah rengekan.
Aku  kembali mendesah kesal. Tapi amarahku sedikit buyar dan berganti dengan kekagetan ketika sebuah ciuman ringan mendarat dipipiku.
“Maafkan aku.” Jisoo menatapku dengan tatapan memohon.
“Siapa yang memberimu ijin untuk menciumku!?” Aku menjerit.
“Ow, maaf aku tak meminta ijin. Kau tak suka? Oke, ku kembalikan lagi,” Kali ini Jisoo kembali mendaratkan ciuman ringan di pipiku. Di tempat yang sama. Aku mendelik dan ia hanya terkekeh.
Ah, sudahlah. Tak perlu ribut soal masa lalu. Yang jelas, sekarang aku sudah memutuskan untuk kembali padanya. Dan, aku takkan menyesalinya.
“Sekarang, boleh aku menciummu?” Jisoo kembali menatapku dengan tatapan nakal. Dan sebuah pukulan ringan segera ku layangkan ke dadanya hingga membuatnya meringis lucu. Ah, aku tahu ia hanya pura-pura kesakitan...

Selesai.

Gambar di ambil dari grup.

                                                                                                           
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar