Kamis, 11 Juni 2015

[Cerpen/FF] H.E.L.P !



  Ini untuk ke sekian kalinya aku menemukan surat yang ditulis dengan tinta warna merah darah di lokerku. Surat dengan isi yang sama dan dikirim oleh orang yang sama pula. Aku mendesis kesal, meremas-remas surat tersebut, lalu melemparkannya ke tempat sampah!
Wae?” Yuri menghampiriku dengan pertanyaan. Ia melihat ke arahku, lalu ke tempat sampah secara bergantian.
“Biasa,” jawabku seraya menutup loker dengan kasar, lalu menguncinya dengan gemas.
“Sepertinya aku harus ganti kunci loker, kalau perlu, ganti lokernya saja sekalian,” gerutuku lagi.
“Ada apa sih? Kamu masih terima surat dari penggemar gelap itu?” Yuri kembali bertanya. Aku mengangguk.
“Astaga, sepertinya orang ini benar-benar cinta mati sama kamu. Tuh, buktinya tiap hari dia rajin mengirimimu surat-surat cinta, puisi-puisi romantis, dan __”
Kalimat Yuri terhenti ketika aku mengangkat tanganku ke arahnya dengan isyarat agar ia berhenti bicara.
“Ralat, Yuri. Dia bukan penggemar gelap. Aku mengenalnya dan aku tahu namanya,”
Yuri manggut-manggut. “Ya, ya, ya, aku juga tahu kok dia siapa,” jawabnya.
“Dan lagi, dia tidak romantis. Dia ___ aneh dan menakutkan. Well, dia memang rajin mengirimiku surat romantis, puisi-puisi cinta dan juga bunga. Tapi kau lihat sendiri ‘kan apa yang dia lakukan? Dia membobol kunci lokerku, berkali-kali, hanya untuk menyelipkan surat tak penting itu di sana. Di sana, di dalam lokerku. Itu gila! Dia seperti pencuri,” aku nyaris berteriak, frustasi.
Yuri terdiam, tampak mencerna kalimatku.
Namja satu ini lama-lama menakutkan juga ya?” Ia menggumam.
Aku memutar bola mataku dengan kesal.
“Nah itu dia, aku juga mau ngomong kalau dia menakutkan. Dan asal kamu tahu, Yuri. Dia tidak sekedar mengirimkan surat-surat cinta yang berisi puisi-puisi romantis. Tapi dia juga rajin menelponku, mengirimiku pesan-pesan singkat, dan kata-katanya ___ tak jelas,”
“Tak jelas bagaimana?” Yuri menatapku, bingung. Aku mendekatkan mulutku di dekat telinganya.
“Dia bilang ... aku adalah belahan jiwanya dan dia akan mati  kalau tidak bisa mendapatkanku. Selain itu, dia juga bilang kalau kami ditakdirkan bersama dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dia untuk mendapatkanku,” bisikku.
“Astaga, dia agresif,” sela Yuri. Aku mengangguk setuju.
“Aku sudah bilang ke dia kalau aku sudah punya pacar. Tapi dia tak peduli. Katanya, pacarku hanyalah rintangan kecil untuk mendapatkanku,”
“Wew,” Yuri bergidik ngeri. Aku kembali mencondongkan tubuhku dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Dan juga ___ ada ancaman.”
“Apa!?” Yuri berteriak. Aku melotot untuk menyuruhnya mengecilkan suaranya. Ia melihat ke sekeliling. Syukurlah kampus sudah sepi, dan tak ada yang memperhatikan kami.
“Oke, ancaman apa?” sahabat baikku itu setengah berbisik. Aku terdiam sesaat.
“Kalau aku tak mau menerima cintanya, dia mau bunuh diri,” jawabku.
“Heeeeh?” Yuri kembali memekik.
“Atau, aku yang mati,” Aku melanjutkan. Kali ini Yuri melotot.
“Atau ___ Mingyu yang mati,” lanjutku lagi dengan menekankan nama Mingyu, cowokku.
“Yoona-ah, dia gila!” Yuri tak bisa mengontrol suaranya. Aku manggut-manggut.
“Astaga, jangan-jangan dia itu seorang psikopat?”
Aku mengangkat bahu.
“Lapor ke polisi saja, Yoona,”
“Atas tuduhan apa? Ancaman? Atau tindakan tak menyenangkan?” tanyaku, ogah-ogahan.
Yuri menggaruk-garuk kepalanya. Bingung.
“Sudahlah, masuk ke kelas dulu saja. Kita pikirkan itu nanti sambil lihat situasi,” aku beranjak, cewek berambut sebahu itu mengikutiku.

***

            Yang jelas, orang yang sering mengirimiku surat cinta itu bukan penggemar gelap. Seperti yang sudah aku bilang tadi, aku mengenalnya. Namanya Wonwoo. Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu lewat acara festival musik di kampusku. Kebetulan waktu itu aku adalah panitia dan Wonwoo adalah bassist dari band yang menjadi salah satu perserta di acara musik kami.
Awalnya semuanya berjalan biasa saja. Kami berkenalan, kami mengobrol, kami bertukar nomor telepon. Dia ramah dan menyenangkan di ajak bicara. Dan jujur saja, dia tampan luar biasa! Pembawaannya kalem, senyumnya menawan, dan tatapan matanya teduh memikat. Ternyata, aku terkecoh.
Selang beberapa hari setelah acara festival musik itu, aku dibuat kaget ketika Wonwoo menelponku dan mengatakan kalau dia jatuh cinta padaku. Tapi aku menolaknya dengan halus dan berkata jujur padanya bahwa aku sudah punya pacar.
Lalu, mulailah teror-teror itu. Surat-surat cinta, puisi-puisi romantis, bunga, pesan-pesan bernada ancaman...

***

Jika kau menolakku, kau atau aku yang mati?

Kau atau aku yang mati?

Kau atau aku yang mati???

Itu pesan singkat ke sekian kali yang masuk ke phonselku.

Atau ... Mingyu yang mati?

Aku meremas phonselku dengan geram. Sialan!

***    

            Malamnya, aku tergopoh-gopoh ketika phonselku berdering berkali-kali pada jam 2 dini hari. Firasatku mengatakan jika ada orang menelpon di jam-jam tak masuk akal seperti itu, pasti ada berita buruk.
Dan terdengar suara Yuri dari seberang sana.
“Yoona-ah, cepatlah ke rumah sakit. Mingyu kecelakaan,”
Dan lutuku lemas.

***
            Ketika aku sampai di rumah sakit, Mingyu masih belum siuman. Dia mengalami cedera di kepalanya. Tapi untunglah dia tak gegar otak.
“Polisi sudah menangani kasus kecelakaanya. Dugaan sementara, rem nya blong,” ucap Yuri. Aku terdiam. Rem blong? Entahlah, tapi aku tak mempercayainya. Setahuku, Mingyu orang yang sangat teliti. Ia takkan pernah lupa mengecek kondisi mobilnya sebelum bepergian.
Phonselku berdering. Pesan singkat bertambah di kotak masuk.

Ini baru peringatan. Kelak, aku bisa lebih nekat daripada sekedar menyabotase rem mobil cowokmu..

Aku bangkit dengan tiba-tiba hingga Yuri yang duduk di sampingku ikut terlontar dari tempat duduknya. “Ada apa?” ia bertanya keheranan. Aku belum sempat mengatakan apapun ketika pesan masuk bertambah.

Jangan bilang pada siapapun atau bahkan pada polisi. Atau aku akan membuat kita semua membusuk di neraka. Aku serius!

Tubuhku melorot lemas di kursi tunggu rumah sakit. Brengsek!

***
            Aku menaiki gedung  kosong berlantai 5 itu melalui tangga. Pukul 8 malam, ah, lebih sedikit. Wonwoo memberitahuku untuk datang ke sini, sendirian. Dia bilang ada yang harus diselesaikan denganku. Dan aku pun mengiyakannya.
Dia ingin aku menyelesaikan masalah, aku juga.
Dia memintaku datang sendiri, aku menyanggupi.
Tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada...
“Kau sudah datang?” Wonwoo menyapaku dengan ramah ketika aku sudah sampai di atap gedung, lantai 5, seperti yang ia mau. Aku mengangguk.
Cowok bertubuh jangkung itu duduk disebuah bangku reyot yang nyaris patah.
“Kau sendirian?” ia kembali bertanya tanpa beranjak. Aku mengangguk.
“Kau ingin aku datang sendiri, aku datang sendiri,” jawabku, tenang.
Woonwoo kembali tersenyum, tanpa melepaskan pandangannya dariku.
“Kau tak takut padaku?” Ia bertanya lagi. Aku tersenyum.
Dan aku yang berinisiatif mendekatinya.
“Kenapa harus takut? Kau ‘kan orang baik,” jawabku.
Aku sempat melirik sekelilingku untuk melihat situasi dan kondisi atap gedung tersebut, sebelum melemparkan senyum lagi ke arah Wonwoo.
Wonwoo terkekeh. Ia bangkit dan melangkah mendekatiku. Dan tanpa kuduga, ia mengeluarkan sebuah pisau dari balik jaketnya, menodongkannya ke leherku, lalu mendorongku ke arah dinding.
Lelaki beralis tebal itu tersenyum puas.
“Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kamu hanya pura-pura. Senyummu palsu, sikap baikmu juga palsu,” ia mendekatkan mata pisau lebih dekat ke leherku.
Dan aku merasakannya.
Perih.
Sialan, pisau itu pasti menggores leherku!
“Aku sudah tak punya ide lagi selain ini. jika aku tak bisa mendapatkanmu, maka tak seorangpun yang boleh mendapatkanmu. Jadi, akan lebih baik lagi jika ... kita mati bersama-sama,” ia mendesis, licik.
Dan aku kembali merasakan rasa perih di leherku.
“Kamu sakit jiwa,” desisku.
Wonwoo terkikik.
“Terima kasih,” ucapnya, bangga.
Aku terkekeh.
“Dan aku menolak mati di tangan orang gila!” Aku meraih tangan Wonwoo yang terulur ke leherku, menggigitnya kuat-kuat, dan setelah pisau ditangannya terjatuh, dengan sekuat tenaga aku membenturkan keningku ke wajah Wonwoo. Namja itu mengaduh kesakitan. Ia memegangi mulutnya sambil mengumpat. Aku yakin telah berhasil merontokkan gigi depannya!
Aku pernah ikut taekwondo ketika masih es-em-a. Dan aku yakin aku bisa membela diri dari cowok sialan ini!
Dan tanpa membiarkan Wonwoo pulih dari sakitnya, aku menendang perutnya dengan sekuat tenaga. Cowok itu terjatuh, mengaduh lagi. Tanpa menunggu lama, aku meraih kayu yang berada di bawah bangku rusak yang tadi ia duduki – dan yang telah ku amati sejak aku sampai di atap ini – lalu memukulkan balok kayu itu ke kepala Wonwoo dengan sekeras-kerasnya!
Cowok itu menjerit kesakitan. Kepalanya berlumuran darah. Dan sesaat kemudian, ia diam tak bergerak. Aku menata nafasku yang naik turun, dan terduduk lemas.

***

            Keesokan harinya, Mingyu sudah siuman. Dokter bilang ia sudah melewati masa kritis. Aku menarik nafas lega, begitu pula dengan Yuri. Aku juga bersyukur karena ia tak mengalami patah tulang.
“Lehermu kenapa?” Yuri bertanya sambil menunjuk leherku yang dibalut perban. Perban itu memang tidak terlihat mencolok karena hanya menutup luka goresku dan hari itupun aku sengaja mengenakan baju dengan kerah agak tinggi. Wajar jika Yuri baru menyadarinya.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Tak apa-apa. Cuma tergores kawat berduri saja,” jawabku.
“Kok bisa?”
“Iya, kawat berduri di belakang rumah tuh.  Bolanya adikku terlempar ke halaman belakang tetangga, jadi aku harus merayap dan melewati kawat berduri untuk mengambilnya,” jawabku.
“Untung tak kena mukamu yang mulus,” ujar Yuri lagi. Aku tersenyum. Adikku memang sering bermain bola. Dan seperti biasa, dia memang sering membuat bolanya melayang ke halaman rumah atau perkebunan tetangga. Dan aku memang biasa merayap melewati pagar berduri di sekitar rumahku untuk membantu mengambilkannya. Jadi, memang sudah sewajarnyalah Yuri tak curiga.
“Oh iya, kau sudah lihat berita?” Yuri menambahkan. Aku mengangkat bahu.
“Hari ini aku tak sempat nonton tivi. Ada apa?” Aku balik bertanya.
“Jadi kau tak tahu kabar itu?” Yuri nampak kaget. Aku menggeleng.
“Kau ingat Wonwoo?”
“Namja tak waras yang ngejar-ngejar aku itu ‘kan?” jawabku. Yuri mengangguk.
“Dia bunuh diri,” ucapnya. Aku melotot.
“Hah? Bunuh diri?”
Sahabat baikku itu mengangguk.
“Dia terjun dari lantai 5 dari sebuah gedung kosong di pinggir kota,”
“Jinjja??!” Aku kembali berteriak kaget. Yuri manggut-manggut.
“Kenapa dia begitu nekat? Memang kenapa dia bunuh diri?” Aku tak berhenti berpura-pura kaget.
Yuri mengangkat bahu.
“Mungkin sakit hati karena cintanya kau tolak. Tapi kata polisi, belum diketahui motifnya. Yang jelas, berdasarkan bukti-bukti di TKP, polisi menyimpulkan kalau pemuda itu bunuh diri,” Yuri kembali menjelaskan. Aku manggut-manggut.
“Kasian sekali,” gumamku.
“Yaa, itu sudah takdirnya mungkin. Lagipula, sekarang kau bisa tenang karena tak ada lagi yang menguntitmu,”
Aku manggut-manggut.
Tidak, Yuri tak perlu tahu yang sebenarnya.
Ia tak perlu tahu apapun.
Wonwoo harus mati karena bunuh diri. Aku tak punya pilihan, aku hanya membela diri.
Well, aku memang berhadapan dengan orang tak waras, tapi aku tidak bodoh.
Bahkan jika Polisi datang menanyaiku, aku sudah menyiapkan alibi yang kuat. Dan barang bukti itu, pisau, balok kayu, tempat kejadian di atap gedung kosong itu, aku sudah membereskannya...
 
Selesai

Gambar di dapat dari grup.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar