Ini untuk ke sekian kalinya aku
menemukan surat yang ditulis dengan tinta warna merah darah di lokerku. Surat
dengan isi yang sama dan dikirim oleh orang yang sama pula. Aku mendesis kesal,
meremas-remas surat tersebut, lalu melemparkannya ke tempat sampah!
“Wae?” Yuri menghampiriku dengan
pertanyaan. Ia melihat ke arahku, lalu ke tempat sampah secara bergantian.
“Biasa,”
jawabku seraya menutup loker dengan kasar, lalu menguncinya dengan gemas.
“Sepertinya
aku harus ganti kunci loker, kalau perlu, ganti lokernya saja sekalian,”
gerutuku lagi.
“Ada
apa sih? Kamu masih terima surat dari penggemar gelap itu?” Yuri kembali
bertanya. Aku mengangguk.
“Astaga,
sepertinya orang ini benar-benar cinta mati sama kamu. Tuh, buktinya tiap hari
dia rajin mengirimimu surat-surat cinta, puisi-puisi romantis, dan __”
Kalimat
Yuri terhenti ketika aku mengangkat tanganku ke arahnya dengan isyarat agar ia
berhenti bicara.
“Ralat,
Yuri. Dia bukan penggemar gelap. Aku mengenalnya dan aku tahu namanya,”
Yuri
manggut-manggut. “Ya, ya, ya, aku juga tahu kok dia siapa,” jawabnya.
“Dan
lagi, dia tidak romantis. Dia ___ aneh dan menakutkan. Well, dia memang rajin
mengirimiku surat romantis, puisi-puisi cinta dan juga bunga. Tapi kau lihat
sendiri ‘kan apa yang dia lakukan? Dia membobol kunci lokerku, berkali-kali,
hanya untuk menyelipkan surat tak penting itu di sana. Di sana, di dalam lokerku. Itu gila! Dia seperti pencuri,” aku
nyaris berteriak, frustasi.
Yuri
terdiam, tampak mencerna kalimatku.
“Namja satu ini lama-lama menakutkan juga
ya?” Ia menggumam.
Aku
memutar bola mataku dengan kesal.
“Nah
itu dia, aku juga mau ngomong kalau dia menakutkan. Dan asal kamu tahu, Yuri.
Dia tidak sekedar mengirimkan surat-surat cinta yang berisi puisi-puisi romantis.
Tapi dia juga rajin menelponku, mengirimiku pesan-pesan singkat, dan
kata-katanya ___ tak jelas,”
“Tak
jelas bagaimana?” Yuri menatapku, bingung. Aku mendekatkan mulutku di dekat
telinganya.
“Dia
bilang ... aku adalah belahan jiwanya dan dia akan mati kalau tidak bisa mendapatkanku. Selain itu,
dia juga bilang kalau kami ditakdirkan bersama dan tidak ada seorangpun yang
bisa menghalangi dia untuk mendapatkanku,” bisikku.
“Astaga,
dia agresif,” sela Yuri. Aku mengangguk setuju.
“Aku
sudah bilang ke dia kalau aku sudah punya pacar. Tapi dia tak peduli. Katanya,
pacarku hanyalah rintangan kecil untuk mendapatkanku,”
“Wew,”
Yuri bergidik ngeri. Aku kembali mencondongkan tubuhku dan membisikkan sesuatu
ke telinganya.
“Dan
juga ___ ada ancaman.”
“Apa!?”
Yuri berteriak. Aku melotot untuk menyuruhnya mengecilkan suaranya. Ia melihat
ke sekeliling. Syukurlah kampus sudah sepi, dan tak ada yang memperhatikan
kami.
“Oke,
ancaman apa?” sahabat baikku itu setengah berbisik. Aku terdiam sesaat.
“Kalau
aku tak mau menerima cintanya, dia mau bunuh diri,” jawabku.
“Heeeeh?”
Yuri kembali memekik.
“Atau,
aku yang mati,” Aku melanjutkan. Kali ini Yuri melotot.
“Atau
___ Mingyu yang mati,” lanjutku lagi dengan menekankan nama Mingyu, cowokku.
“Yoona-ah,
dia gila!” Yuri tak bisa mengontrol suaranya. Aku manggut-manggut.
“Astaga,
jangan-jangan dia itu seorang psikopat?”
Aku
mengangkat bahu.
“Lapor
ke polisi saja, Yoona,”
“Atas
tuduhan apa? Ancaman? Atau tindakan tak menyenangkan?” tanyaku, ogah-ogahan.
Yuri
menggaruk-garuk kepalanya. Bingung.
“Sudahlah,
masuk ke kelas dulu saja. Kita pikirkan itu nanti sambil lihat situasi,” aku
beranjak, cewek berambut sebahu itu mengikutiku.
***
Yang jelas, orang yang sering
mengirimiku surat cinta itu bukan penggemar gelap. Seperti yang sudah aku
bilang tadi, aku mengenalnya. Namanya Wonwoo. Aku mengenalnya beberapa bulan yang
lalu lewat acara festival musik di kampusku. Kebetulan waktu itu aku adalah
panitia dan Wonwoo adalah bassist dari band yang menjadi salah satu perserta di
acara musik kami.
Awalnya semuanya berjalan biasa saja. Kami berkenalan,
kami mengobrol, kami bertukar nomor telepon. Dia ramah dan menyenangkan di ajak
bicara. Dan jujur saja, dia tampan luar biasa! Pembawaannya kalem, senyumnya
menawan, dan tatapan matanya teduh memikat. Ternyata, aku terkecoh.
Selang beberapa hari setelah acara festival musik itu,
aku dibuat kaget ketika Wonwoo menelponku dan mengatakan kalau dia jatuh cinta
padaku. Tapi aku menolaknya dengan halus dan berkata jujur padanya bahwa aku
sudah punya pacar.
Lalu,
mulailah teror-teror itu. Surat-surat cinta, puisi-puisi romantis, bunga,
pesan-pesan bernada ancaman...
***
Jika kau menolakku, kau atau aku yang
mati?
Kau atau aku yang mati?
Kau atau aku yang mati???
Itu
pesan singkat ke sekian kali yang masuk ke phonselku.
Atau ... Mingyu yang mati?
Aku
meremas phonselku dengan geram. Sialan!
***
Malamnya, aku tergopoh-gopoh ketika
phonselku berdering berkali-kali pada jam 2 dini hari. Firasatku mengatakan
jika ada orang menelpon di jam-jam tak masuk akal seperti itu, pasti ada berita
buruk.
Dan
terdengar suara Yuri dari seberang sana.
“Yoona-ah, cepatlah ke rumah sakit.
Mingyu kecelakaan,”
Dan
lutuku lemas.
***
Ketika aku sampai di rumah sakit,
Mingyu masih belum siuman. Dia mengalami cedera di kepalanya. Tapi untunglah
dia tak gegar otak.
“Polisi
sudah menangani kasus kecelakaanya. Dugaan sementara, rem nya blong,” ucap Yuri.
Aku terdiam. Rem blong? Entahlah, tapi aku tak mempercayainya. Setahuku, Mingyu
orang yang sangat teliti. Ia takkan pernah lupa mengecek kondisi mobilnya
sebelum bepergian.
Phonselku berdering. Pesan singkat bertambah di kotak
masuk.
Ini baru peringatan. Kelak, aku bisa
lebih nekat daripada sekedar menyabotase rem mobil cowokmu..
Aku
bangkit dengan tiba-tiba hingga Yuri yang duduk di sampingku ikut terlontar
dari tempat duduknya. “Ada apa?” ia bertanya keheranan. Aku belum sempat
mengatakan apapun ketika pesan masuk bertambah.
Jangan bilang pada siapapun atau bahkan
pada polisi. Atau aku akan membuat kita semua membusuk di neraka. Aku serius!
Tubuhku
melorot lemas di kursi tunggu rumah sakit. Brengsek!
***
Aku menaiki gedung kosong berlantai 5 itu melalui tangga. Pukul
8 malam, ah, lebih sedikit. Wonwoo memberitahuku untuk datang ke sini,
sendirian. Dia bilang ada yang harus diselesaikan denganku. Dan aku pun
mengiyakannya.
Dia
ingin aku menyelesaikan masalah, aku juga.
Dia
memintaku datang sendiri, aku menyanggupi.
Tak
ada yang perlu ditakutkan. Tak ada...
“Kau
sudah datang?” Wonwoo menyapaku dengan ramah ketika aku sudah sampai di atap
gedung, lantai 5, seperti yang ia mau. Aku mengangguk.
Cowok
bertubuh jangkung itu duduk disebuah bangku reyot yang nyaris patah.
“Kau
sendirian?” ia kembali bertanya tanpa beranjak. Aku mengangguk.
“Kau
ingin aku datang sendiri, aku datang sendiri,” jawabku, tenang.
Woonwoo
kembali tersenyum, tanpa melepaskan pandangannya dariku.
“Kau
tak takut padaku?” Ia bertanya lagi. Aku tersenyum.
Dan
aku yang berinisiatif mendekatinya.
“Kenapa
harus takut? Kau ‘kan orang baik,” jawabku.
Aku
sempat melirik sekelilingku untuk melihat situasi dan kondisi atap gedung
tersebut, sebelum melemparkan senyum lagi ke arah Wonwoo.
Wonwoo terkekeh. Ia bangkit dan melangkah mendekatiku.
Dan tanpa kuduga, ia mengeluarkan sebuah pisau dari balik jaketnya,
menodongkannya ke leherku, lalu mendorongku ke arah dinding.
Lelaki
beralis tebal itu tersenyum puas.
“Kau
pikir aku bodoh? Aku tahu kamu hanya pura-pura. Senyummu palsu, sikap baikmu
juga palsu,” ia mendekatkan mata pisau lebih dekat ke leherku.
Dan
aku merasakannya.
Perih.
Sialan,
pisau itu pasti menggores leherku!
“Aku
sudah tak punya ide lagi selain ini. jika aku tak bisa mendapatkanmu, maka tak
seorangpun yang boleh mendapatkanmu. Jadi, akan lebih baik lagi jika ... kita
mati bersama-sama,” ia mendesis, licik.
Dan
aku kembali merasakan rasa perih di leherku.
“Kamu
sakit jiwa,” desisku.
Wonwoo
terkikik.
“Terima
kasih,” ucapnya, bangga.
Aku
terkekeh.
“Dan
aku menolak mati di tangan orang gila!” Aku meraih tangan Wonwoo yang terulur
ke leherku, menggigitnya kuat-kuat, dan setelah pisau ditangannya terjatuh,
dengan sekuat tenaga aku membenturkan keningku ke wajah Wonwoo. Namja itu mengaduh kesakitan. Ia
memegangi mulutnya sambil mengumpat. Aku yakin telah berhasil merontokkan gigi
depannya!
Aku
pernah ikut taekwondo ketika masih es-em-a. Dan aku yakin aku bisa membela diri
dari cowok sialan ini!
Dan tanpa membiarkan Wonwoo pulih dari sakitnya, aku
menendang perutnya dengan sekuat tenaga. Cowok itu terjatuh, mengaduh lagi.
Tanpa menunggu lama, aku meraih kayu yang berada di bawah bangku rusak yang
tadi ia duduki – dan yang telah ku amati sejak aku sampai di atap ini – lalu
memukulkan balok kayu itu ke kepala Wonwoo dengan sekeras-kerasnya!
Cowok
itu menjerit kesakitan. Kepalanya berlumuran darah. Dan sesaat kemudian, ia
diam tak bergerak. Aku menata nafasku yang naik turun, dan terduduk lemas.
***
Keesokan harinya, Mingyu sudah
siuman. Dokter bilang ia sudah melewati masa kritis. Aku menarik nafas lega,
begitu pula dengan Yuri. Aku juga bersyukur karena ia tak mengalami patah
tulang.
“Lehermu
kenapa?” Yuri bertanya sambil menunjuk leherku yang dibalut perban. Perban itu
memang tidak terlihat mencolok karena hanya menutup luka goresku dan hari
itupun aku sengaja mengenakan baju dengan kerah agak tinggi. Wajar jika Yuri
baru menyadarinya.
Aku
tersenyum dan menggeleng.
“Tak
apa-apa. Cuma tergores kawat berduri saja,” jawabku.
“Kok
bisa?”
“Iya,
kawat berduri di belakang rumah tuh.
Bolanya adikku terlempar ke halaman belakang tetangga, jadi aku harus
merayap dan melewati kawat berduri untuk mengambilnya,” jawabku.
“Untung
tak kena mukamu yang mulus,” ujar Yuri lagi. Aku tersenyum. Adikku memang
sering bermain bola. Dan seperti biasa, dia memang sering membuat bolanya
melayang ke halaman rumah atau perkebunan tetangga. Dan aku memang biasa
merayap melewati pagar berduri di sekitar rumahku untuk membantu
mengambilkannya. Jadi, memang sudah sewajarnyalah Yuri tak curiga.
“Oh
iya, kau sudah lihat berita?” Yuri menambahkan. Aku mengangkat bahu.
“Hari
ini aku tak sempat nonton tivi. Ada apa?” Aku balik bertanya.
“Jadi
kau tak tahu kabar itu?” Yuri nampak kaget. Aku menggeleng.
“Kau
ingat Wonwoo?”
“Namja tak waras yang ngejar-ngejar aku itu ‘kan?” jawabku. Yuri mengangguk.
“Dia
bunuh diri,” ucapnya. Aku melotot.
“Hah?
Bunuh diri?”
Sahabat
baikku itu mengangguk.
“Dia
terjun dari lantai 5 dari sebuah gedung kosong di pinggir kota,”
“Jinjja??!” Aku kembali berteriak kaget. Yuri manggut-manggut.
“Kenapa
dia begitu nekat? Memang kenapa dia bunuh diri?” Aku tak berhenti berpura-pura
kaget.
Yuri
mengangkat bahu.
“Mungkin
sakit hati karena cintanya kau tolak. Tapi kata polisi, belum diketahui
motifnya. Yang jelas, berdasarkan bukti-bukti di TKP, polisi menyimpulkan kalau
pemuda itu bunuh diri,” Yuri kembali menjelaskan. Aku manggut-manggut.
“Kasian
sekali,” gumamku.
“Yaa,
itu sudah takdirnya mungkin. Lagipula, sekarang kau bisa tenang karena tak ada
lagi yang menguntitmu,”
Aku
manggut-manggut.
Tidak,
Yuri tak perlu tahu yang sebenarnya.
Ia
tak perlu tahu apapun.
Wonwoo harus mati karena bunuh diri. Aku tak punya
pilihan, aku hanya membela diri.
Well,
aku memang berhadapan dengan orang tak waras, tapi aku tidak bodoh.
Bahkan
jika Polisi datang menanyaiku, aku sudah menyiapkan alibi yang kuat. Dan barang
bukti itu, pisau, balok kayu, tempat kejadian di atap gedung kosong itu, aku
sudah membereskannya...
Selesai
Gambar di dapat dari grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar