Seung Cheol menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. Kedua
matanya asyik menatap ke arah phonsel yang tengah ia utak utik. Dengan
ogah-ogahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya.
“Sedang apa kau di sini?” tanyaku kesal.
“Menjemputmu.” Ia menjawab singkat, tanpa melihat ke arahku.
“Sedang apa kau di sini?!” Aku mengulangi pertanyaanku dengan nada suara
yang lebih tinggi berharap agar ia mengalihkan pandangannya dari phonsel di
tangannya. Dan iapun menoleh ke arahku.
“Menjemputmu.” Ia kembali mengulangi jawabannya dengan nada yang sama. “Dan
bicaralah yang sopan padaku. Aku lebih tua darimu. Seharusnya kau memanggilku oppa.” Lanjutnya.
“Kita hanya selisih 3 minggu, aku tak akan memanggilmu oppa.” Jawabku ketus. “Dan kenapa kau harus menjemputku?” tanyaku
lagi.
Seung Cheol menarik nafas
kesal. Ia menutup phonselnya, memasukkanya ke dalam saku, lalu menatapku dengan
ogah-ogahan.
“Mulai sekarang aku resmi menjadi sopirmu. Aku yang akan mengantar ataupun
menjemputmu kemanapun kau ingin pergi. Puas?” Matanya menatapku jengkel. Aku
terkekeh. “Oh ya? Atas perintah siapa?” Aku tak kalah sebal.
“Tak ku jawabpun kau pasti sudah tahu. Yang jelas ini bukan kemauanku.
Jadi, jangan ge-er,” jawabnya lagi. Aku tersenyum sinis lalu beranjak
meninggalkannya tanpa mengatakan hal apapun.
“Mau kemana? Hellooo, aghassi!
mobilku ada di sebelah sini!” Seung Cheol berteriak. Aku menghentikan langkah
kakiku lalu berbalik menatapnya.
“Aku akan pulang naik bis. Puas?” jawabku.
“Terserah.” Cowok itu membuka pintu mobilnya dengan kasar lalu duduk di
kursi kemudi dan segera menjalankan mobilnya meninggalkan halaman kampus. Aku
menatap kepergiannya dengan kesal. Aku tak percaya dia benar-benar ... pergi!
Begitu saja? Bukankah seharusnya ia membujukku? Itu ‘kan yang dilakukan cowok
sejati?
Aku bersungut-sungut seraya terus melangkahkan
kakiku menuju halte bus.
“Bukannya itu tadi Seung Cheol-ssi?” Choa menepuk
pundakku lalu menyamai langkahku. Aku cuma mengangguk.
“Menjemputmu?”
Aku kembali mengangguk tanpa menghentikan langkahku.
“Kenapa menolak?”
Aku mengedikkan bahuku seraya berteriak sebal. “Si-reo-yo!”.
Choa tertawa. “Sudahlah, diterima saja takdir hidupmu. Kenyataannya kau
sudah bertunangan dengannya, mau bagaimana lagi? Lagipula, tak baik menolak
rejeki. Seung Cheol itu tampan, mapan. Kurang apa lagi?”
Aku melotot ke arah sahabat baikku tersebut.
“Jangan-bahas-dia-lagi.” Aku mengatupkan gigiku. Choa hanya terkikik.
Seperti yang dikatakan
Choa, cowok tadi, Seung Cheol, adalah tunanganku.
Aku mengenalnya 3 bulan yang lalu lewat pertemuan keluarga. Sebetulnya
orang tuaku dan orang tuanya adalah teman baik sejak es-em-a. Tapi aku baru bertemu
mereka karena selama ini mereka tinggal di luar negeri.
Beberapa bulan yang lalu mereka kembali ke Indonesia dan ... bam! Aku dan
Seung Cheol langsung dijodohkan. Mereka bilang, rencana perjodohan itu sudah
mereka rencanakan sejak mereka masih sama-sama kuliah. Dan begitulah, 2 minggu
yang lalu, kami resmi bertunangan!
Aku tak kuasa menolak rencana perjodohan ini
karena mamaku mengancam akan bunuh diri. Seung Cheol pun mengalami hal yang
sama. ia tak kuasa menolak karena mamanya – juga – mengancam akan bunuh diri. Orang
tua kami benar-benar kekanak-kanakan, ya ‘kan!
Kami menjalani perjodohan itu dengan berat hati,
tentu saja. Hari-hari yang kami lewati bersama tak lepas dari pertengkaran dan
adu mulut. Jika saja kami anak SD, kami pasti sudah saling serang dan saling
menggigit!
Sebenarnya, bukan karena aku tak menyukainya. Jika harus jujur, Choa betul
tentang Seung Cheol. Di antara semua cowok yang pernah dekat denganku, ia
adalah sosok yang paling oke dan nyaris mendekati sempurna. Wajahnya tampan, ia
mapan dan sikapnya sangat ramah pada siapapun.
Dan itulah yang membuatku berang. Karena ia menolakku!
Tidak secara langsung, tapi aku bisa melihatnya dari sikapnya padaku. Bayangkan
saja, ia ramah pada setiap orang – tapi tidak padaku. Ia baik pada semua orang
– tapi tidak padaku. Ia perhatian pada semua orang – tapi tidak padaku.
Bukankah itu sama saja dengan menolakku? Dan seumur hidupku, baru kali
inilah ada cowok yang tidak terpesona dan bertekuk lutut di hadapanku. Oke,
terdengar terlalu percaya diri memang, tapi itu betul. Selama ini, seabrek
cowok yang jungkir balik ingin mendapatkan cintaku. Serius.
“Kau harus melupakan Seokmin. Bisa jadi, Seung Cheol dan pertunangan ini,
adalah jalan terbaik buatmu.” Ujar Choa seraya menggamit tanganku.
Aku tak segera merespon.
Seokmin. 2 minggu sebelum pertunanganku, aku putus dengannya. Bukan karena
rencana pertunanganku. Tapi karena cowok yang telah kupacari selama hampir
setahun itu ketahuan selingkuh dengan pegawai cafe depan kampus. Mereka bahkan
sudah menjalin hubungan sejak aku berpacaran dengannya.
“Aku sudah melupakannya.” Jawabku kemudian.
***
Hari itu, Seungkwan, salah
satu temanku berulang tahun. Kami merayakannya bersama teman-teman kami dengan
makan bersama di sebuah kafe yang sering di datangi oleh anak-anak muda sebagai
tempat nongkrong. Ketika berada di sana, tanpa sengaja aku menyaksikan Seung
Cheol sedang makan berdua dengan seorang
perempuan cantik. Lelaki itu hanya menatapku sekilas tanpa menyapa ataupun
berkata sedikitpun padaku. Di antara semua temanku, hanya Choa yang tahu bahwa
dia adalah tunanganku. Untungnya hari itu dia tidak ikut, sehingga aku tidak
menjadi bahan olok-olokan.
Ah, semoga saja dia tersedak! Aku memaki ‘tunanganku’ itu dalam hati.
“Ha Yun-ssi.” Lamunanku buyar ketika Seungkwan memanggil namaku dengan
lembut. Dia sudah berada di depanku dan menyodorkan sesendok kue ulang tahun di
depan mulutku.
“Hari ini, kau adalah tamu teristimewa buatku. Jadi, aku ingin memberikan
suapan yang pertama kali untukmu,” ucapnya. Anak-anak yang lain mulai gaduh
menggoda kami. Mereka tahu bahwa Seungkwan menaruh hati padaku. Tapi mereka
juga tahu bahwa aku sudah menolaknya dengan halus. Tapi, cowok ini seperti tak
kenal kata menyerah.
“Ayolah, terimalah suapan dariku. Nde?”
Ia memohon hingga akhirnya dengan ragu aku menerima suapan tersebut. Dan teman-temanku
bersorak.
“Aku butuh sebuah ciuman selamat ulang tahun darimu. Itu adalah kado terindah
buatku. Bisakah?” Seungkwan kembali memohon. Aku merasakan mukaku memerah.
“Aku ‘kan sudah mengucapkan selamat ulang tahun dan memberimu kado,”
belaku.
“Iya, tapi itu tak istimewa. Ha Yun-ssi, jebaalll,” Seungkwan memohon dengan lucu. Teman-temanku yang lain
pun kembali bersorak-sorak menggoda kami.
“Ayolah, Ha Yun-ssi, berikan saja dia kado yang istimewa,”
“Iya, hanya ciuman pipi saja kok,”
“Ya, cium! Cium!”
Mereka mulai ribut. Akhirnya aku bangkit dari kursiku, lalu menjabat
tangannya.
“Selamat ulang tahun,” ucapku seraya mencium kedua pipinya. Aku ingin
melakukannya dengan cepat dan segera kembali ke tempatku semula, tapi dugaanku
meleset. Seungkwan merengkuh tubuhku lalu memelukku dengan erat. Dan
teman-teman kami kembali bersorak gaduh.
“Gomawo,” ucap Seungkwan. Dengan bersusah payah, aku melepaskan diriku dari
pelukannya lalu segera kembali ke tempat dudukku.
Ketika kembali ke tempat dudukku, tanpa sengaja tatapan mataku singgah ke
meja Seung Cheol. Dan ternyata, ia juga tengah menatap ke arahku. Aku melotot. Apa pedulimu!?
***
Tatapan mataku menyapu
seluruh halaman kampus dan tempat parkir. Tumben bocah tengik itu tak nongol?
Tanyaku dalam hati. Aku segera melangkahkan kakiku menuju halte bus, seperti
biasanya. Tapi langkah kakiku terhenti ketika Seokmin menghadangku.
“Bisa kita bicara sebentar?” pintanya. Aku tak menggubris dan kembali
melangkahkan kakiku. “Tak ada lagi yang perlu dibicarakan,” jawabku.
“Ha Yun-ah, kumohon maafkan aku. Aku tahu aku salah,” Seokmin berjalan dan
menyamai langkahku.
“Aku sudah lama
memaafkanmu. Tapi jangan harap aku akan
kembali padamu,”
‘Tapi, aku masih sangat
mencintaimu,”
“Itu masalahmu, bukan masalahku!” teriakku.
“Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku, ku mohon. Aku janji
aku takkan mengulanginya lagi,”
Aku menghentikan
langkahku dan menatap lelaki itu dengan tajam.
“Jika kau mencintaiku, kau
takkan berani mengkhianatiku.” Tukasku.
“Aku khilaf,”
“Khilaf? Kau berselingkuh
dengan cewek lain selama menjadi pacarku dan sekarang kau bilang khilaf? Kau
pikir aku cewek apa?!”
“Aku sudah putus
dengannya,”
“Dan sekarang kau ingin kembali padaku? Bedebah kau,” aku kembali
melangkahkan kakiku. Seokmin mengekor dan berusaha menghentikanku. Beberapa
kali ia menarik tanganku dan aku senantiasa menepisnya.
Terjadi tarik menarik dan kami mulai ribut. Ia berteriak, aku balas
berteriak.
Keributan di antara kami terhenti ketika tiba-tiba sebuah mobil menepi dan
berhenti tak jauh dari kami. Aku menyipitkan kedua mataku. Dan tak lama
kemudian Seung Cheol keluar dari mobil lalu menutup pintunya dengan kasar.
Wow, aku terpesona sesaat. Penampilannya agak berbeda. Biasanya ia
mengenakan baju kasul, tapi kali ini, ia terlihat maskulin dengan setelan
kemeja. Mungkin ia baru saja menghadiri pertemuan bisnis. Ah, siapa peduli.
“Ada apa ini?” Ia beranjak mendekati kami sambil menatap ke
arahku dan ke arah Seokmin secara bergantian.
“Dan singkirkan tanganmu darinya!” Ia berteriak seraya menarik lengan
tanganku lalu mendorong tubuh Seokmin dengan kasar. Aku sempat terhenyak heran
dengan tindakannya.
“Siapa kau?” Seokmin bertanya dengan tak ramah. Seung Cheol menoleh dan
menatap mantan pacarku itu dengan tajam.
“Dan kau sendiri siapa?” Ia balik bertanya dengan nada tak ramah pula.
“Aku Seoikmin, pacar Ha Yun,” jawab Seokmin.
Aku melotot ke arahnya.
“Kita sudah putus!” teriakku.
“Aku tak bisa berpisah denganmu, Ha Yun-ah. Aku sangat mencintaimu,”
Seokmin berkilah.
“Mencintaiku? Kau berkhianat dan berselingkuh dariku, dan sekarang kau
masih berani bilang cinta padaku?!”
“Bukankah aku sudah bilang, aku khilaf,”
“Hah! Setelah apa yang kau lakukan padaku, kau hanya bilang bahwa kau
khilaf?”
“Ha Yun-ah, aku ___”
“Oh, jadi kau lelaki yang telah mengkhianatinya dan berselingkuh dengan
pegawai kafe di depan kampus itu?” sela Seung Cheol. Aku melongo. Pandanganku
kini beralih ke arahnya. Bagaimana dia bisa tahu kalau Seokmin berselingkuh
dengan pegawai kafe di depan kampus? Aku toh tak pernah cerita.
“Diam kau! Ini bukan urusanmu!” bentak Seokmin. Seung Cheol terkekeh. Ia melepaskan genggaman
tangannya – dan aku baru menyadari bahwa sejak tadi ia terus memegangi lengan
tanganku – lalu bergerak beberapa langkah mendekati Seokmin.
“Tentu saja ini menjadi urusanku karena Ha Yun adalah tunanganku,”
jawabnya.
“Apa?” Seokmin tampak kaget.
“Kau tak perlu memberitahunya kalau kita bertunangan!” teriakku kesal. Seung
Cheol menatapku.
“Kenapa? Kau tak mau dia tahu bahwa kita sudah bertunangan? Apa kau masih
ingin kembali pada lelaki playboy macam dia?” Nada suara Seung Cheol seakan
mengejekku. Aku mendesah.
“Playboy? Bagaimana dengan dirimu? Bukankah kau juga sama dengan dirinya?”
tanganku bersedekap angkuh. Seung Cheol menaikkan kedua alisnya.
“What?” teriaknya. Ia berbalik mendekatiku. “Apa maksudmu?” Pertanyaannya
terdengar tak terima. Aku tertawa sinis.
“Kau bilang kau tunanganku, tapi kau makan siang dengan seorang perempuan
dan senantiasa menatapnya dengan mesra. Apa itu bukan playboy?” balasku.
“Kapan aku melakukannya?” Seung Cheol tampak bingung.
“Kemarin,” jawabku tegas.
“Oh, yang di kafe itu. Dia sahabatku semasa kuliah di luar negeri,”
“Sahabat?” Aku tertawa sinis. “Kau menatapnya dengan mesra selama makan seolah-olah
kau ingin menelannya hidup-hidup. Kau bahkan juga memegang tangannya dengan
lembut. Apa itu yang namanya sahabat? Kau pikir aku anak kecil?”
“Kau cemburu ya?”
Kata-kata Seung Cheol nyaris membuatku tersedak.
“Cemburu kepalamu!” teriakku.
“Bukankah kau juga melakukan hal yang sama?” Kali ini Seung Cheol bersedekap dan menatapku dengan angkuh.
Aku mengernyitkan dahiku. “Melakukan apa?” tanyaku bingung.
“Kau tahu aku berada di sana, tapi kau malah berpelukan dan berciuman mesra
denga lelaki lain,”
“Lelaki yang mana?” Aku makin bingung.
“Yang berulang tahun kemarin,”
“Dia juga sahabatku,”
“Oh ya? Dan haruskah kau menciumnya dengan begitu mesra?”
“Itu ciuman selamat ulang tahun,”
“Dan haruskah dia juga memelukmu dengan begitu intim?”
Aku tergelak. “Nah, apa sekarang kau yang cemburu?” tanyaku kesal.
Seung Cheol hendak kembali mengatakan sesuatu tapi tiba-tiba saja Seokmin
melayangkan sebuah pukulan ke arahnya hingga membuatnya terhuyung. Aku menjerit.
“Menyingkirlah darinya! Kau juga bukan seorang lelaki yang baik untuk Ha
Yun!” teriak Seokmin. Seung Cheol meraba wajahnya yang baru saja terkena
pukulan.
“Sialan! Tidakkah kau lihat kami sedang berdiskusi?” Ia berteriak, kemudian
ia bergerak, lalu melayangkan pukulan ke arah Seokmin.
Dan dalam waktu singkat, mereka terlihat baku hantam. Kesal karena
teriakkanku tak digubris, aku beranjak, dan berusaha melerai mereka. Dan
hasilnya ... bukkk!
Aku merasakan sebuah pukulan mendarat di wajahku hingga membuatku
sempoyongan. Aku menjerit kesakitan. Dan ajaib, teriakan ini baru membuat
mereka berhenti saling serang.
Sambil memegangi pipiku yang nyeri, aku menatap kedua lelaki itu dengan
tajam. Jika saja tatapan bisa melukai, aku yakin mereka berdua sudah
tercabik-cabik.
Seung Cheol dan Seokmin berdiri mematung seraya menatapku dengan ekspresi
ketakutan.
“Dia yang memukulmu. Bukan aku.” Seung Cheol membuka suara seraya menunjuk
ke arah Seokmin.
Seokmin tampak pucat seketika. Ia mengangkat tangannya. “Maaf, aku tak
bermaksud memukulmu Ha Yun-ah. Aku tadi berniat memukul dia.” Ia ganti menunjuk
ke arah Seung Cheol. Kalimatnya terdengar penuh penyesalan.
Aku menatap mereka dengan amarah meledak-ledak.
“Enyah kalian dari hadapankuuuuu....!!” Aku menjerit.
***
Aku celingukan menatap
seluruh halaman depan kampus dan juga parkiran di sebelah taman. Seung Cheol
tak ada. Dan entah mengapa – untuk yang pertama kalinya – aku merasa kecewa
karena ia tak nongol seperti biasanya.
“Mengharapkan Seokmin atau Seung Cheol?” Suara Choa yang tiba-tiba muncul
membuyarkan lamunanku.
“Tidak dua-duanya.” Jawabku berbohong. Choa mencibir.
“Gojitmal. Aku tahu kau mengharapkan tunanganmu datang seperti biasanya. Ya
‘kan? Ngomong-ngomong, tumben dia tak kesini?”
“Molla.” Jawabku pendek sambil melangkahkan kakiku menyusuri halaman kampus,
menuju halte bus. Choa terkikik kemudian bergelayut di lenganku seperti
biasanya.
“Aku sudah dengar tentang insiden kemarin dari teman-teman. Tentang
pertengkaran kalian di ujung jalan itu. Whoa, coba saja kalau aku ada di sana.
Aku pasti akan merekam kejadian tersebut.” Cewek itu kembali terkikik. Aku
meliriknya dengan kesal. “Jangan membahasnya.” Gerutuku.
“Tapi itu terdengar keren, Ha Yun-ah. Mantan pacarmu berkelahi dengan
tunanganmu, memperebutkan dirimu. Whoa, jinjja. Itu seperti adegan dalam
drama.” Kalimat Choa terdengar begitu menggebu-gebu. Aku hanya meringis. “Itu
memalukan.” Desisku.
Ketika sampai di halte bus, kami di buat heran karena 100 meter dari tempat
kami berada, banyak orang berkerumun dan beberapa polisi berlalu lalang.
“Ada apa? Kecelakaan? Lihat yuk.” Tanpa menunggu komando Choa menyeret
tanganku dan mengajakku menyeruak di antara kerumunan orang untuk melihat apa
yang terjadi. Dan benarlah dugaannya, telah terjadi kecelakaan.
Tampak oleh kami sebuah mobil sedan mewah tengah dalam posisi terbalik dan
ringsek. Dari beberapa orang di sana yang melihat kejadian itu, mobil itu
menabrak pohon hingga akhirnya terpental dan terguling.
Aku kembali menatap dengan seksama ke arah mobil yang melintang di tengah
jalan tersebut dan tiba-tiba saja aku merasakan darahku berhenti mengalir. Itu
mobil Seung Cheol!
“Bukankah itu mobil Seung Cheol?!” Choa mendahuluiku berkata-kata. Aku tak tak
mampu menjawab.
“Ahjussi, kemana korban kecelakaan dibawa?” tanyaku pada seorang lelaki
setengah baya yang berada tak jauh dariku.
“Sudah di bawa ke rumah sakit sekitar 5 menit yang lalu,” jawabnya. Tanpa
menunggu lagi aku berlari dan segera menghentikan sebuah taksi. Aku masih
sempat mendengar Choa memanggil namaku, tapi aku tak menggubrisnya!
***
Aku berlari menyusuri
lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa. Beberapa kali aku bahkan menabrak orang
yang berlalu lalang. Pikiranku serasa kacau. Membayangkan Seung Cheol terluka
dan berlumuran darah, dadaku sesak. Entah kenapa, aku mengkhawatirkannya.
“Hati-hati kalau jalan!” Seorang lelaki mengeluh dan marah-marah ketika aku
menabraknya di persimpangan lorong.
“Joesong-hamnida, ahjussi,” ucapku seraya kembali berlari-lari kecil. Aku
masih berada di lorong rumah sakit ketika tatapan mataku menangkap sesosok
tubuh yang telah melenggang dari arah berlawanan. Lelaki itu berjalan ke arahku
dan menatapku dengan keheranan.
“Ha Yun?” Ia membuka suara. Aku menelan ludah. Sembari menatapnya dari
ujung rambut hingga ujung kaki, aku tata nafasku yang terengah-engah dengan
perlahan. Aku lega. Ia tak mengalami luka serius. Hanya ada perban di kening
dan lengan kirinya. Itupun hanya perban biasa. Perkiraanku, itu pasti hanya
luka gores.
“Untuk apa kau di sini?” Ia bertanya heran.
Aku tak segera menjawab.
“Aku melihat mobilmu ringsek. Mereka bilang kau di bawa ke sini, jadi __”
aku menghentikan kata-kataku dan kembali menata nafasku yang tersengal-sengal.
Aku baru saja ingin kembali berkata-kata tapi tiba-tiba saja Seung Cheol
merengkuhku lalu menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Dan entah mengapa, itu
sedikit menenangkanku.
“Aku baik-baik saja. Tenanglah,” bisiknya.
“Duduklah dulu agar kau lebih tenang.” Ia menggandeng tanganku lalu
mengajakku duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di taman rumah sakit, tak jauh dari tempat
kami.
“Kau mengkhawatirkanku?” Ia menatapku dengan lembut. Aku tak segera
menjawab.
“Kau mengkhawatirkanku ‘kan?” Ia
bertanya lagi. Dan perlahanpun aku mengangguk. Ia tersenyum. Ia punya lesung
pipi yang lucu. Astaga, aku baru tahu kalau ia punya senyuman yang indah.
“Tadinya aku ingin menjemputmu. Tapi kecelakaan itu benar-benar di luar
kontrolku. Tapi jangan cemas, aku tak apa-apa. Hanya sedikit luka robek di
keningku dan lengan tanganku,” ia memberikan sedikit penjelasan.
Aku manggut-manggut. Syukurlah!
“Dan kenapa kau menangis?”
Aku tersentak. Dengan segera aku mengucek-ucek kedua mataku dengan malu.
Aku ingat, karena terlalu khawatir padanya, tanpa sadar aku menangis.
“Aku tak menangis. Hanya kemasukan debu,” jawabku pendek lalu kembali
menatap ke arahnya untuk meyakinkan padanya bahwa aku tak menangis, meskipun
itu bohong.
Seung Cheol kembali tersenyum. Aku sempat memaki dalam hati. Sialan,
senyuman itu benar-benar membuat
jantungku berdebar hebat. Kami berpandangan.
“Jadi, bagaimana sekarang?” Ia bertanya lagi.
“Apanya?” Aku balik bertanya.
“Apakah kita harus bicara dari hati ke hati ... di sini?”
Aku menyipitkan mataku. “Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Baiklah, kita bicarakan di sini saja,”
“Tentang __ apa?” aku makin bingung.
“Pertunangan kita.” Jawab Seung Cheol.
Aku tertegun. Bicara dari hati ke hati tentang pertunangan? Sebenarnya apa
yang ingin ia bicarakan?
“Ha Yun-ah.” Seung Cheol memanggilku lembut, lengkap dengan banmal di
belakang namaku. Dan itu terasa ... wow, intim, dekat, atau apalah!
“Jujur, awalnya aku benar-benar tak menyukai rencana pertunangan ini,”
“Karena kau sudah punya kekasih?” potongku.
“Tidak, bukan itu masalahnya. Aku hanya benci dengan cara orang tua kita
mencampuri urusan soal pendamping hidup. Aku seperti manusia yang tak punya kebebasan. Meskipun
aku tahu bahwa ternyata kau jauh lebih cantik dari foto yang diberikan papaku,
tetap saja aku masih sulit menerima perjodohan ini,”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Foto? Foto apa?”
“Ketika aku masih di luar negeri, papaku pernah menunjukkan fotomu padaku.”
Ia menjawab, enteng. Aku melongo.
“Jadi kau sudah tahu tentang rencana pertunangan ini jauh sebelum kau
kembali ke ke sini?”
Seung Cheol mengangguk. Aku terperangah. Nyaris memekik, tapi batal karena
Seung lagi-lagi menatapku dengan lembut.
“Tapi lambat laun semuanya berubah. Perasaankupun juga berubah. Aku mulai tak
suka melihatmu dekat dengan lelaki yang
lain.”
“Lelaki yang mana?”
“Teman-teman kampusmu itu. Yang setiap hari menyapamu dengan gaya sok
kecakepan, merayumu dengan mulut manis, menawarimu banyak hal, ingin mengantarmu pulang, inilah,
itulah. Aku benar-benar tak suka melihat mereka tebar pesona padamu.”
Aku kembali melongo. Eh, dia cemburu?
“Puncaknya adalah ketika kau merayakan ulang tahun temanmu di restoran
tersebut. Kau mencium pipinya dengan mesra dan ia juga memelukmu dengan begitu
intim. Sumpah, aku benci adegan itu setengah mati.” Kata-kata Seung Cheol terdengar geram.
“Hari ketika aku melihatmu bertengkar dengan Seokmin, aku mulai menyadari
sesuatu. Aku seakan berjanji pada diriku sendiri bahwa tak ada seorang lelaki
manapun yang boleh memilikimu, selain diriku.” Seung Cheol menatapku dengan dalam hingga membuatku
tak berkutik.
“Aku mulai menyukaimu,” lanjutnya kemudian.
“Dan aku yakin kau juga merasakan hal yang sama padaku.” Ia menambahkan,
tanpa menghentikan tatapannya dariku.
Aku merasakan mukaku memerah.
“Jangan bicara sembarangan.” Gerutuku.
“Terserah. Tapi instingku benar ‘kan? Hari ketika aku makan siang berdua
dengan teman kuliahku di restoran tersebut, kau menatap kami dengan rasa tak
suka. Kau bahkan masih membahasanya ketika kau bertengkar dengan Seokmin,
seolah-olah kau meminta penjelasan padaku, meski tidak serasa langsung, tentang
siapa perempuan itu dan apa hubungannya denganku. Dan sekarang, kau bahkan
jauh-jauh datang ke sini untuk mengetahui keadaanku setelah kecelakaan itu. Kau
mengkhawatirkan aku, kau bahkan menangis untukku. Adakah yang harus kau
jelaskan lagi tentang perasaanmu padaku.”
Aku menunduk, tanpa mampu menatapnya. Ya, Seung Cheol memang benar
semuanya. Tapi ia tak tahu bahwa jauh sebelum aku melihatnya berduaan dengan
perempuan itu di restoran itu, aku sudah mulai menyukainya. Entah kapan
tepatnya?
“Jadi ___”
“Dari mana kau tahu bahwa Seokmin berselingkuh dengan pegawai kafe di depan
kampus?” potongku.
“Mamamu yang menceritakannya padaku,”
“Mamaku?”
Seung Cheol mengangguk.
“Aku sering berkunjung ke rumahmu dan mengobrol tentang banyak hal dengan
mamamu. Tentu saja tanpa sepengetahuanmu.”
Untuk kesekian kalinya, aku serasa di buat sport jantung oleh lelaki ini.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Tentu saja untuk mencari tahu tentang dirimu. Aku ingin mengenalmu lebih
jauh. Aku ingin tahu apa kesukaanmu, apa yang tak kau suka, apa hobimu, makanan
kesukaanmu, kebiasaanmu, pokoknya banyak hal tentang dirimu. Termasuk tentang
hubunganmu dengan mantan-mantan pacarmu,”
Aku mendelik. Astaga, sebenarnya apa yang ada di kepalanya?
“Aku benar-benar ingin menerima pertunangan ini,” ucapnya lagi.
Aku tergelak.
“Kita bahkan sudah bertunangan sejak beberapa minggu yang lalu, kenapa kau
baru bilang kau bahwa kau menerimanya?”
“Dulu aku melakukannya dengan terpaksa, tapi sekarang tidak lagi.”
jawabnya. Kami kembali berpandangan. Hening sesaat.
“Tolong jangan cari tahu tentang diriku pada orang lain, bahkan pada mamaku
sekalipun.” Aku membuka suara. Alis Seung Cheol yang tebal bertaut.
“Kenapa?”
“Karena aku tak suka kau mengorek-ngorek tentang kehidupan pribadiku pada
orang lain. Jika ada yang ingin kau tahu, kau bisa menanyakannya langsung
padaku,” jawabku.
“Oh ya? Ada banyak hal yang ingin kutahu tentang dirimu. Kau tak keberatan
sama sekali?”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu, aku ingin tahu reaksimu tentang ini,” Seung Cheol
memiringkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Sudah lama aku ingin melakukan hal ini padamu dan aku penasaran akan
reaksimu.” Ia menyentuh daguku lalu mengecup bibirku dengan lembut.
Ini? yang di maksud dengan ‘ini’ adalah ... ciuman.
Aku tersentak. Karena terlalu kaget menerima ciuman yang tak terduga
tersebut, reflek aku mendorong tubuhnya.
“Apa-apaan kau ini? Ini di tempat umum, banyak orang melihat,” desisku
kesal. Aku menatap sekelilingku dengan malu, tampak beberapa orang mulai
memperhatikan kami dengan tersenyum-senyum.
“Apa itu berarti aku boleh melakukannya di tempat lain? yang sepi? yang
tidak banyak orang? Di rumahmu mungkin? lagipula, aku mencium tunanganku
sendiri, siapa yang akan keberatan?”
Seung Cheol manatapku dengan tatapan nakal. Aku mencubit pinggangnya
dengan kesal. Ia tampak meringis kesakitan.
“Hati-hati, ada luka di sana,” keluhnya. Aku terhenyak.
“Oh, maaf. Aku tak tahu. Di mana yang sakit? Haruskah kita menemui dokter
lagi?” tanyaku panik. Tiba-tiba Seung Cheol tergelak. Dan aku baru menyadari
bahwa ia hanya pura-pura kesakitan.
Lelaki itu beranjak lalu menggandeng tanganku.
“Ayo kita pulang. Aku akan bicara pada orang tua kita agar mempercepat
rencana pernikahan kita.” Ucapnya seraya melangkahkan kakinya. Aku mengikutinya
dengan bingung.
“Kenapa?”
“Karena aku tak sabar ingin menikahimu. Menunggumu lulus terlalu lama buatku.”
Jawabnya. Aku terdiam sesaat. Alih-alih aku malah menjawab, “Oke, bicarakan
saja pada orang tua kita.” Ucapku. Pipiku pasti sudah merona merah.
Seung Cheol tersenyum dan menatapku dengan lembut. Ow, aku juga seakan baru
menyadari bahwa bulu matanya begitu panjang. Dan ... lagi-lagi aku terpesona.
“Pilih salah satu. Oppa atau Jagiya?” Seung Cheol kembali berucap tanpa
menghentikan langkah kami.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku calon suamimu. Kau tak mungkin memanggilku dengan sebutan ‘hei’.”
Jawabnya, terdengar sedikit kesal.
Aku terdiam sesaat untuk berpikir. “Kalau ... yeobo?” Aku menawarkan.
Kalimat itu membuat langkah Seung Cheol berhenti mendadak. Ia menatapku
dengan takjub. Dan sesaat kemudian ia tertawa lepas.
Ia melepaskan pegangan tangannya lalu mencubit pipiku dengan gemas. “Itu
saja kalau begitu.” Jawabnya.
Kami kembali melangkah bergandengan tangan. Sesaat setelah masuk ke dalam
taksi yang akan mengantarkan kami pulang, Seung Cheol berbisik di telingaku. “Saranghae.”
Aku tersenyum. Tanpa mengatakan apapun, Seung Cheol pasti sudah tahu
jawabanku.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar