Senin, 15 Juni 2015

[Cerpen/FF] Have we ever met?


Have we ever met?

            “Tidak! Tidak! Tidak!” Ji Yi menjerit berulang-ulang. Jawaban yang sama selalu ia berikan manakala aku bertanya padanya apakah ia percaya dengan deja vu, indera keenam, cenayang, atau hal-hal mistik lainnya. Sahabatku yang senantiasa mendapat nilai sempurna di pelajaran eksak itu memang terkenal logis. Ia takkan pernah mempercayai sesuatu jika hal tersebut tak bisa dijelaskan dengan akal sehat.
            Harusnya aku paham. Tapi tetap saja aku tak bisa menahan mulutku untuk tidak menyinggung masalah itu karena beberapa bulan ini aku dihantui mimpi aneh.
‘Masalah itu’? Well, sepele. Tapi tetap saja menganggu.
Hampir setiap malam aku bermimpi bertemu sesosok cowok yang berdiri di pinggir jembatan. Wajahnya terlihat jelas. Menawan, memikat, dan tampan. Aku menyapanya dan ia balas menyapaku. Dan selanjutnya, belum sempat kami berbincang-bincang, tiba-tiba saja ia meloncat, terjun dari atas jembatan, dan sosoknya yang jangkung tenggelam di sungai! Begitu saja. Ya, begitu saja. Dan aku tak bisa menyelamatkannya.
            Aku ingin mengabaikan  tapi gagal karena mimpi itu terus datang berulang-ulang. Aku menceritakan  pada Ji Yi dengan harapan agar ia mempunyai solusi, pendapat, atau apapun yang mampu menghentikanku dari mimpi tersebut. Tapi, beginilah akhirnya. Yang ku dapat adalah jeritan dan omelannya.
“Kau terlalu banyak menonton drama. Mimpi adalah mimpi, tak ada kaitannya dengan kenyataan.” Ji Yi berucap mantap.
“Ji Yi-ah, aku ‘kan tak suka nonton drama.” desisku. Ji Yi bersedekap, terdiam sesaat.  Alisnya bertaut. “Oh iya iya.” Jawabnya kemudian, nyengir. Kami bersahabat baik sejak masih kecil, dan mestinya ia masih ingat bahwa aku tak pernah suka menonton drama. Bahkan bila drama tersebut dibintangi idol favoritku, tetap saja aku tak tergerak untuk nonton. Alasannya? Well, tak ada alasan. Aku hanya lebih suka membaca buku daripada menonton tivi. 
            “Kalau begitu, kau terlalu banyak membaca buku. Makanya kau mimpi aneh-aneh.” Ucapnya lagi. Kali ini aku tertawa. “Ji Yi-ah, yang kubaca adalah buku tentang flora dan fauna ...” Aku serius. Semua koleksi bukuku memang tentang flora dan fauna  karena aku hanya punya dua cita-cita, kalau tidak jadi dokter hewan ya jadi insinyur pertanian. “ ... jadi bagaimana mungkin buku tentang flora dan fauna bisa membuatku memimpikan sesosok cowok tampan luar biasa? Kau dengar, cowok-tampan-luar-biasa?” Aku menjawab dengan mengatupkan gigiku agar Ji Yi paham maksudku.
            Dan sepertinya itu berhasil karena selanjutnya ia terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. “Kapan mimpi itu hadir?” Kali ini ia tampak penasaran.
“Hampir setiap malam?”
“Dan sejak kapan?”
“Mmm, beberapa bulan yang lalu mungkin.” Jawabku lagi.
“Selalu mimpi yang sama?”
“Selalu.” Kalimatku mantap. “Aku melihat sosok itu berdiri di pinggir jembatan. Lalu ia tersenyum ke arahku, melambaikan tangan ke arahku kemudian ia meloncat ke dalam sungai. Dan tubuhnya tenggelam. Begitulah.” Aku menjelaskan lagi.
“Jika mimpi itu selalu datang dengan cerita yang sama, seharusnya kau ingat detailnya ‘kan?” Ji Yi seakan memastikan sesuatu dariku. Keningku mengerut. “Maksudnya?”
            Ji Yi masih bersedekap dengan gaya sok elegan. “Jika mimpi itu datang berulang, harusnya kau bisa ingat semua detailnya. Bagaimana wajahnya, kapan kejadiannya, siang, sore atau malam. Lalu di mana peristiwa itu terjadi. Kau menyebut kata jembatan berulang-ulang. Dan dugaanku, jembatan itu tidak fiktif.”
Aku terpana dengan analisa Ji Yi. Ah, pantas saja ia mendapat predikat siswa paling pintar di sekolah kami.
            Setelah berpikir sejenak, aku seakan mendapat pencerahan seketika. Dan segera nama itu melintas di kepalaku. “Banpo Bridge.” Gumamku. Aku menyebut nama jembatan di atas sungai Han yang  menghubungkan kabupaten Seocho dan Yongsan itu. Aku ragu, tapi jembatan itu menyerupai yang ada di dalam mimpiku.
Ji Yi manggut-manggut.
            “Syukurlah kau ingat nama jembatannya.” Jawabnya. “Sekarang menunggu apa lagi?”
Aku menelengkan kepalaku ke arah Ji Yi, menandakan bahwa aku membutuhkan sebuah penjelasan lebih detail dan dapat dipercaya.
“Mimpimu selalu soal seorang cowok dan jembatan. Umpamakan saja ini nyata, pernahkah terpikir olehmu untuk pergi ke sana dan mencari tahu?”
Aku menggeleng. Ji Yi balas menelengkan kepalanya, tapi kali ini berlawanan dengan arah kepalaku. “Kalau begitu kau tunggu apa lagi? Coba saja pergi ke sana, Banpo Bridge. Siapa tahu kau akan menemukan jawaban atas mimpimu di sana.” Jelasnya.
            Aku ternganga. Betul juga. Kenapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku?
            “Aku pergi dulu ya.” Tanpa menunggu aba-aba lagi, aku meraup semua peralatan sekolahku dan memasukkannya ke dalam tas tanpa kutata dulu. Dan segera aku beranjak. “Semoga sukses.” Aku masih mendengar Ji Yi berteriak di belangku. Aku berbalik dan tersenyum seraya melambaikan tangan, tanpa menghentikan langkah kakiku.

***


15 menit kemudian aku sampai di jembatan tersebut. Dengan taksi. Serius! Dengan taksi! Aku bahkan merelakan jatah uang sakuku selama tiga hari untuk membayar ongkosnya! L
Setelah pak sopir pergi, aku menatap sekelilingku sesaat. Kemudian dengan langkah ragu, aku meyusuri jalan di sepanjang pinggir jembatan. Aku mencari, entah untuk apa. Sempat merasa putus asa karena merasa tindakan ini sia-sia, akhirnya aku melihat sosok itu. Jarak pandang yang masih lumayan jauh membuat sosok itu terlihat tak jelas.            
Semangatku seakan muncul dengan tiba-tiba. Aku mempercepat langkahku, berlari-lari kecil, ke arahnya. Seolah mendengar derap kakiku, sosok itu menoleh. Dan langkahku terhenti seketika. Tatapan kami terpaku. Oh Tuhan, itu dia!
Sosok cowok tampan yang berdiri sekitar 5 meter dariku itu memang dia! Yang hampir setiap malam datang ke dalam mimpku! Yang hampir setiap malam mengganggu tidurku! Yang hampir setiap malam ....
Cowok itu menatapku dengan bingung. Perlahan ia tersenyum kaku sambil melambaikan tangan dan aku seperti menyadari sesuatu! Oh tidak.
Andweeeeeee!! (Jangaaannn)!!” Aku berteriak. Dan tanpa menunggu aba-aba lagi, aku kembali berlari ke arahnya, menubruk tubuhnya dengan tubuhku, dan ... bugg!
Tubuh kami menghantam kerasnya aspal. Ia jatuh terlebih dulu. “What the ...” Aku mendengar ia mengumpat setelah sebelumnya mengaduh kesakitan.
Tatapan kami kembali beradu. Dan lagi-lagi aku terpaku. Dia persis seperti yang ada dalam mimpiku. Tampan luar biasa. Wajahnya yang American-look benar-benar menunjukkan kalau dia adalah bule. Dan matanya ... matanya yang berwarna coklat terang benar-benar ... indah.
Mwoyaaa? Apa-apaan kau ini?” Kalimatnya terdengar kesal. Dan lamunanku segera buyar. Aku menggigit bibirku tak kalah jengkel sambil mencengkeram kerah jaketnya.
“Dengar! Aku tak tahu apa yang menimpamu atau masalah apa yang kau alami. Tapi seberat apapun hidup yang kau jalani, bunuh diri dengan menceburkan ke sungai bukan jalan terbaik!” Aku berteriak. “Air sungai di bawah sana sangat dingin. Jika kau tak mati tenggelam, kau pasti mati kedinginan. Dan itu sama-sama tidak enak. Kau dengar?!” lanjutku. Cowok itu menatapku dengan bingung.
“Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa aku akan bunuh diri dengan loncat dari jembatan ini?” Ia bertanya sambil terus menatapku dengan bingung. Aku terdiam. Aduh, bagaimana menjelaskannya? Jika aku bercerita padanya bahwa aku melihat adegan ini dalam mimpiku, bahwa wajahnya yang tampan senantiasa hadir dalam tidurku, setiap malam, ia pasti takkan mempercayainya. Ia pasti akan menganggapku gila. Ya ‘kan?
            “Dan ... bisakah kita berbicara sambil mencari ... posisi lain?” Kalimatnya terdengar ragu. Dahiku mengernyit. “Hah?” Aku ganti menatapnya bingung. Cowok itu menggigit bibirnya dengan ekspresi tak nyaman. “Kau ... berbaring di atas tubuhku.” Lanjutnya kemudian.
            Mataku terbelalak. Alamak! Sekarang aku baru menyadari bahwa aku berbaring di atas tubuhnya. Oh-tidaaakkkkkkk....
Mianhae. (maaf)” Dengan segera aku bangkit. Tapi aku bahkan belum sempat duduk dengan sempurna ketika sekian detik kemudian aku menjerit karena merasakan rambutku tertarik. “Aw, kenapa kau menarik rambutku?!” Teriakku. “Aku tidak menariknya. Rambutmu tersangkut!” Cowok itu juga berteriak. Ia duduk lalu menunjukkan helaian rambutku yang tersangkut di kancing kemejanya. Oh sialan. Posisi kami semakin tak nyaman.
“Bantu aku melepaskanya!” hardikku.
“Kau pikir aku tak berusaha melepaskannya!” Ia juga berteriak. Tangannya sibuk melepaskan rambutku dari kancing bajunya, begitu juga tanganku. “Aw, pelan-pelan!” aku menjerit. “Aku juga sudah pelan-pelan!” Ia tak mau kalah. Lama berkutat ternyata tak membuahkan hasil. Rambutku tetap saja tersangkut. Demi Tuhan, ada berapa banyak sih rambutku yang tersangkut?
“Ambil gunting di tasku dan potong saja!” perintahku sambil menunjuk tas di punggungku. Cowok itu – yang entah siapa namanya – menuruti kata-kataku. Ia membuka resleting tasku, mencari-cari, kemudian menemukan gunting yang ku maksud. Setelah menemukannya, bukannya segera memotong rambutku, ia malah tampak bengong.
“Apa yang kau lakukan? Cepat potong! Palliii!” teriakku. Ia menatapku dengan ragu. “Aku ... tak tega.” Jawabnya. Aku mendelik. “Apa?!” aku kembali berteriak.
“Rambutmu bagus. Dan ... aku tak tega untuk memotongnya.” Jawabnya.
Aku terperangah. Cowok sinting mana yang menganggap .....
Tunggu! Dia tadi bilang apa? Rambutku ... bagus? Apakah ini pujian?
Tiba-tiba saja aku merasakan duniaku jungkir balik. Di antara bagian tubuhku yang paling tidak kusuka adalah : rambutku. Kenapa? Karena rambutku panjang dan bergelombang. Gaya rambut yang boleh dibilang kuno karena saat ini sedang ngetren rambut lurus. Sempat terpikir untuk meluruskan rambutku juga, tapi entah kenapa sampai saat ini batal terus.
Dan sekarang, cowok ini, cowok tampan di hadapanku ini memuji rambutku? Ini bukan mimpi ‘kan?
            “Oke, I’ll do it.” Aku menyambar gunting dari tangan cowok itu dan dalam hitungan detik, rambutku sudah terpotong dari kancing bajunya. “Lihat ‘kan? Hanya sedikit yang terpotong. Tidak sampai membuat kepalaku botak ‘kan?” Aku seperti menjelaskan padanya, seolah ingin menghiburnya karena ia terlihat kecewa. Lagipula kenapa ia harus kecewa? Karena aku memotong rambutku?
            Aku segera bangkit. Memasukkan gunting ke dalam tasku lalu membersihkan debu dari rok seragamku. Cowok itu juga melakukan hal yang sama. Ia bangkit, membersihkan debu dari celana dan jaketnya, lalu sisa rambutku di kancing bajunya.
“Aku tidak berniat bunuh diri dengan menceburkan diriku ke sungai. Aku hanya sekedar menikmati pemandangan.” Ia membuka suara. Aku meliriknya dengan tatapan tak percaya. Ia terkekeh. “Sungguh. Aku-tidak-berniat-bunuh-diri.” Ia mengucapkan kata perkata dengan artikulasi yang sangat jelas. Oke, aku percaya sekarang.
“Kalau begitu, mianhae. Aku yang salah paham.” Ucapku.
“Bagaiman kau bisa di sini?” Ia kembali bertanya dan aku tak segera menjawab.
“Sama sepertimu, menikmati pemandangan.” Jawabku kemudian. Berbohong.
“Tapi bagaimanapun juga, terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku.” Cowok itu kembali menatapku. Sinar matahari membuat rambut coklatnya bersemburat merah. Dan warna mata itu, serasi dengan warna rambutnya. Coklat memikat.
Mianhae.” Aku kembali meminta maaf dengan kesalah pahaman ini.
“Vernon imnida. Kau?” Tiba-tiba ia memperkenalkan diri. Aku menatap matanya dengan malu-malu. “So Hyun.” Jawabku kemudian.
            Cowok bernama Vernon itu menyipitkan matanya, menatapku dengan penasaran. Woa, bahkan ketika ia menyipitkan mata, ketampanannya seperti berlipat ganda. “So Hyun-ssi ...” Ia memanggil lirih. “Nde?” Hatiku berdebar.
“Apakah ... kita pernah bertemu sebelumnya?” Ia bertanya, tampak serius.
Keningku berkerut. “Kenapa kau menanyakannya?” tanyaku.
Vernon mengangkat bahu, tampak bingung.
“Entahlah. Hanya saja ... aku seperti pernah bertemu denganmu. Tapi entah di mana. aku lupa.” Jawabnya.
Aku nyaris saja tertawa. Kita bertemu berkali-kali, di dalam mimpiku. Teriakku dalam hati.
“Mm, entahlah. Aku tak tahu.” Jawabku kemudian, berbohong lagi. Aku tak mungkin menceritakan padanya perihal mimpiku ‘kan?
Vernon kembali mengangkat bahu. “Mungkin hanya perasaanku saja.” Desisnya.
Kami berdiri berhadap-hadapan. Hening. Situasi nampak canggung sekarang.
“Sepertinya aku harus pergi dulu. Ada ... urusan lain.” Aku memecah keheningan. Vernon kembali menatapku, tapi perlahan ia mengangguk. Aku memohon diri dengan sopan lalu berbalik. Baru beberapa langkah, aku mendengarnya memanggilku.
“So Hyun-ssi!” Ia mendekatiku. “Nde?” Aku menjawab gugup.
“Jika aku ingin bertemu denganmu lagi, bagaimana caranya?” Mata coklat itu kembali menatapku, tulus. Aku nyaris saja bersorak, green light!
“Kau ingin bertemu lagi denganku?” tanyaku. Cowok itu mengangguk tegas. “Boleh aku ... meminta nomor telponmu?” Ucapannya terdengar ragu, tapi sopan.
Pandangan kami kembali terkunci. Kami seperti sama-sama tersihir. Terpesona. Perlahan aku tersenyum, lalu meluncurlah sederetan angka dari mulutku. Aku memberitahunya nomor telponku! Dan dengan sigap, Vernon mengeluarkan phonselnya lalu mencatat nomor telponku. Aku bisa melihat senyumnya. Sungguh.
“Aku akan menelponmu.” Ia menatapku dengan tatapan berbinar. Dan tersenyum lagi. Senyumnya benar-benar ... luar biasa.
“Oke.” Jawabku. Aku tunggu, aku berteriak dalam hati. Aku melambaikan tanganku dan berbalik. Tapi cowok itu kembali memanggil namaku dengan lembut, hingga akupun kembali menatapnya. “Ya?” jawabku.
“Aku tak bermaksud kurang sopan padamu, So Hyun-ssi. Tapi ...” raut muka Vernon merona. “Rambutmu cantik.” Lanjutnya.
Wow, dia benar-benar memuji rambutku.
“Dan ...” Ia tampak kikuk. “Kau juga cantik.” Lanjutnya. Semburat merah memenuhi wajahnya. Dan aku yakin wajahku juga mengalami hal yang sama. “Gomawo.” Jawabku, sambil tersenyum.
“Jalan rumahku ke sebelah sana.” Vernon menunjuk belakangnya, arah yang berlawanan dengan arah rumahku. “Tapi jika kau tak keberatan, bolehkan aku mengantarmu sampai halte berikutnya?” Ia terlihat malu-malu. Aku tertegun sesaat. Tapi akhirnya aku tersenyum dan mengangguk.
Dengan langkah ringan dan wajah sumringah, Vernon beranjak mendekatiku. Kami berjalan beriringan, perlahan, menuju halte bis. Kami mengobrol dan terus saling mengenal satu sama lain. Ah, rasanya tak sia-sia hari ini aku membayar ongkos taksi dengan lumayan mahal.
Sampai detik ini aku tak tahu apa hubungan mimpi-mimpiku dengan pertemuan kami hari ini. Tapi jika mimpi itu adalah bagian rencana Tuhan untuk mempertemukanku dengan Vernon, maka aku akan menerimanya. Dan beryukur, tentu saja.

Selesai. 



wiwin setyobekti
15/06/2015
22.10


gambar : Vernon Seventeen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar