Have we ever met?
“Tidak!
Tidak! Tidak!” Ji Yi menjerit berulang-ulang. Jawaban yang sama selalu ia
berikan manakala aku bertanya padanya apakah ia percaya dengan deja vu, indera
keenam, cenayang, atau hal-hal mistik lainnya. Sahabatku yang senantiasa
mendapat nilai sempurna di pelajaran eksak itu memang terkenal logis. Ia takkan
pernah mempercayai sesuatu jika hal tersebut tak bisa dijelaskan dengan akal
sehat.
Harusnya
aku paham. Tapi tetap saja aku tak bisa menahan mulutku untuk tidak menyinggung
masalah itu karena beberapa bulan ini aku dihantui mimpi aneh.
‘Masalah itu’? Well, sepele. Tapi tetap
saja menganggu.
Hampir setiap
malam aku bermimpi bertemu sesosok cowok yang berdiri di pinggir jembatan.
Wajahnya terlihat jelas. Menawan, memikat, dan tampan. Aku menyapanya dan ia
balas menyapaku. Dan selanjutnya, belum sempat kami berbincang-bincang, tiba-tiba
saja ia meloncat, terjun dari atas jembatan, dan sosoknya yang jangkung
tenggelam di sungai! Begitu saja. Ya, begitu saja. Dan aku tak bisa
menyelamatkannya.
Aku
ingin mengabaikan tapi gagal karena
mimpi itu terus datang berulang-ulang. Aku menceritakan pada Ji Yi dengan harapan agar ia mempunyai
solusi, pendapat, atau apapun yang mampu menghentikanku dari mimpi tersebut.
Tapi, beginilah akhirnya. Yang ku dapat adalah jeritan dan omelannya.
“Kau terlalu banyak menonton drama.
Mimpi adalah mimpi, tak ada kaitannya dengan kenyataan.” Ji Yi berucap mantap.
“Ji Yi-ah, aku ‘kan tak suka nonton
drama.” desisku. Ji Yi bersedekap, terdiam sesaat. Alisnya bertaut. “Oh iya iya.” Jawabnya
kemudian, nyengir. Kami bersahabat baik sejak masih kecil, dan mestinya ia
masih ingat bahwa aku tak pernah suka menonton drama. Bahkan bila drama
tersebut dibintangi idol favoritku, tetap saja aku tak tergerak untuk nonton.
Alasannya? Well, tak ada alasan. Aku hanya lebih suka membaca buku daripada
menonton tivi.
“Kalau
begitu, kau terlalu banyak membaca buku. Makanya kau mimpi aneh-aneh.” Ucapnya
lagi. Kali ini aku tertawa. “Ji Yi-ah, yang kubaca adalah buku tentang flora
dan fauna ...” Aku serius. Semua koleksi bukuku memang tentang flora dan
fauna karena aku hanya punya dua
cita-cita, kalau tidak jadi dokter hewan ya jadi insinyur pertanian. “ ... jadi
bagaimana mungkin buku tentang flora dan fauna bisa membuatku memimpikan
sesosok cowok tampan luar biasa? Kau dengar, cowok-tampan-luar-biasa?” Aku
menjawab dengan mengatupkan gigiku agar Ji Yi paham maksudku.
Dan
sepertinya itu berhasil karena selanjutnya ia terdiam, seperti tengah
memikirkan sesuatu. “Kapan mimpi itu hadir?” Kali ini ia tampak penasaran.
“Hampir setiap malam?”
“Dan sejak kapan?”
“Mmm, beberapa bulan yang lalu mungkin.”
Jawabku lagi.
“Selalu mimpi yang sama?”
“Selalu.” Kalimatku mantap. “Aku melihat
sosok itu berdiri di pinggir jembatan. Lalu ia tersenyum ke arahku, melambaikan
tangan ke arahku kemudian ia meloncat ke dalam sungai. Dan tubuhnya tenggelam.
Begitulah.” Aku menjelaskan lagi.
“Jika mimpi itu selalu datang dengan
cerita yang sama, seharusnya kau ingat detailnya ‘kan?” Ji Yi seakan memastikan
sesuatu dariku. Keningku mengerut. “Maksudnya?”
Ji
Yi masih bersedekap dengan gaya sok elegan. “Jika mimpi itu datang berulang,
harusnya kau bisa ingat semua detailnya. Bagaimana wajahnya, kapan kejadiannya,
siang, sore atau malam. Lalu di mana peristiwa itu terjadi. Kau menyebut kata
jembatan berulang-ulang. Dan dugaanku, jembatan itu tidak fiktif.”
Aku terpana dengan analisa Ji Yi. Ah,
pantas saja ia mendapat predikat siswa paling pintar di sekolah kami.
Setelah
berpikir sejenak, aku seakan mendapat pencerahan seketika. Dan segera nama itu
melintas di kepalaku. “Banpo Bridge.” Gumamku. Aku menyebut nama jembatan di
atas sungai Han yang menghubungkan kabupaten Seocho dan Yongsan itu. Aku
ragu, tapi jembatan itu menyerupai yang ada di dalam mimpiku.
Ji Yi manggut-manggut.
“Syukurlah
kau ingat nama jembatannya.” Jawabnya. “Sekarang menunggu apa lagi?”
Aku menelengkan kepalaku ke arah Ji Yi,
menandakan bahwa aku membutuhkan sebuah penjelasan lebih detail dan dapat
dipercaya.
“Mimpimu selalu soal seorang cowok dan
jembatan. Umpamakan saja ini nyata, pernahkah terpikir olehmu untuk pergi ke
sana dan mencari tahu?”
Aku menggeleng. Ji Yi balas menelengkan
kepalanya, tapi kali ini berlawanan dengan arah kepalaku. “Kalau begitu kau
tunggu apa lagi? Coba saja pergi ke sana, Banpo Bridge. Siapa tahu kau akan
menemukan jawaban atas mimpimu di sana.” Jelasnya.
Aku
ternganga. Betul juga. Kenapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku?
“Aku
pergi dulu ya.” Tanpa menunggu aba-aba lagi, aku meraup semua peralatan
sekolahku dan memasukkannya ke dalam tas tanpa kutata dulu. Dan segera aku
beranjak. “Semoga sukses.” Aku masih mendengar Ji Yi berteriak di belangku. Aku
berbalik dan tersenyum seraya melambaikan tangan, tanpa menghentikan langkah
kakiku.
***
15 menit kemudian
aku sampai di jembatan tersebut. Dengan taksi. Serius! Dengan taksi! Aku bahkan
merelakan jatah uang sakuku selama tiga hari untuk membayar ongkosnya! L
Setelah pak
sopir pergi, aku menatap sekelilingku sesaat. Kemudian dengan langkah ragu, aku
meyusuri jalan di sepanjang pinggir jembatan. Aku mencari, entah untuk apa.
Sempat merasa putus asa karena merasa tindakan ini sia-sia, akhirnya aku
melihat sosok itu. Jarak pandang yang masih lumayan jauh membuat sosok itu
terlihat tak jelas.
Semangatku
seakan muncul dengan tiba-tiba. Aku mempercepat langkahku, berlari-lari kecil,
ke arahnya. Seolah mendengar derap kakiku, sosok itu menoleh. Dan langkahku
terhenti seketika. Tatapan kami terpaku. Oh Tuhan, itu dia!
Sosok cowok
tampan yang berdiri sekitar 5 meter dariku itu memang dia! Yang hampir setiap
malam datang ke dalam mimpku! Yang hampir setiap malam mengganggu tidurku! Yang
hampir setiap malam ....
Cowok itu
menatapku dengan bingung. Perlahan ia tersenyum kaku sambil melambaikan tangan
dan aku seperti menyadari sesuatu! Oh tidak.
“Andweeeeeee!! (Jangaaannn)!!” Aku berteriak. Dan tanpa
menunggu aba-aba lagi, aku kembali berlari ke arahnya, menubruk tubuhnya dengan
tubuhku, dan ... bugg!
Tubuh kami menghantam kerasnya aspal. Ia
jatuh terlebih dulu. “What the ...” Aku mendengar ia mengumpat setelah
sebelumnya mengaduh kesakitan.
Tatapan kami kembali beradu. Dan
lagi-lagi aku terpaku. Dia persis seperti yang ada dalam mimpiku. Tampan luar
biasa. Wajahnya yang American-look benar-benar menunjukkan kalau dia adalah
bule. Dan matanya ... matanya yang berwarna coklat terang benar-benar ...
indah.
“Mwoyaaa?
Apa-apaan kau ini?” Kalimatnya terdengar kesal. Dan lamunanku segera buyar. Aku
menggigit bibirku tak kalah jengkel sambil mencengkeram kerah jaketnya.
“Dengar! Aku tak tahu apa yang menimpamu
atau masalah apa yang kau alami. Tapi seberat apapun hidup yang kau jalani,
bunuh diri dengan menceburkan ke sungai bukan jalan terbaik!” Aku berteriak.
“Air sungai di bawah sana sangat dingin. Jika kau tak mati tenggelam, kau pasti
mati kedinginan. Dan itu sama-sama tidak enak. Kau dengar?!” lanjutku. Cowok
itu menatapku dengan bingung.
“Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa
aku akan bunuh diri dengan loncat dari jembatan ini?” Ia bertanya sambil terus
menatapku dengan bingung. Aku terdiam. Aduh, bagaimana menjelaskannya? Jika aku
bercerita padanya bahwa aku melihat adegan ini dalam mimpiku, bahwa wajahnya
yang tampan senantiasa hadir dalam tidurku, setiap malam, ia pasti takkan
mempercayainya. Ia pasti akan menganggapku gila. Ya ‘kan?
“Dan
... bisakah kita berbicara sambil mencari ... posisi lain?” Kalimatnya
terdengar ragu. Dahiku mengernyit. “Hah?” Aku ganti menatapnya bingung. Cowok
itu menggigit bibirnya dengan ekspresi tak nyaman. “Kau ... berbaring di atas
tubuhku.” Lanjutnya kemudian.
Mataku
terbelalak. Alamak! Sekarang aku baru menyadari bahwa aku berbaring di atas
tubuhnya. Oh-tidaaakkkkkkk....
“Mianhae. (maaf)”
Dengan segera aku bangkit. Tapi aku bahkan belum sempat duduk dengan sempurna
ketika sekian detik kemudian aku menjerit karena merasakan rambutku tertarik.
“Aw, kenapa kau menarik rambutku?!” Teriakku. “Aku tidak menariknya. Rambutmu
tersangkut!” Cowok itu juga berteriak. Ia duduk lalu menunjukkan helaian
rambutku yang tersangkut di kancing kemejanya. Oh sialan. Posisi kami semakin
tak nyaman.
“Bantu aku melepaskanya!” hardikku.
“Kau pikir aku tak berusaha
melepaskannya!” Ia juga berteriak. Tangannya sibuk melepaskan rambutku dari
kancing bajunya, begitu juga tanganku. “Aw, pelan-pelan!” aku menjerit. “Aku
juga sudah pelan-pelan!” Ia tak mau kalah. Lama berkutat ternyata tak
membuahkan hasil. Rambutku tetap saja tersangkut. Demi Tuhan, ada berapa banyak
sih rambutku yang tersangkut?
“Ambil gunting di tasku dan potong
saja!” perintahku sambil menunjuk tas di punggungku. Cowok itu – yang entah
siapa namanya – menuruti kata-kataku. Ia membuka resleting tasku, mencari-cari,
kemudian menemukan gunting yang ku maksud. Setelah menemukannya, bukannya
segera memotong rambutku, ia malah tampak bengong.
“Apa yang kau lakukan? Cepat potong!
Palliii!” teriakku. Ia menatapku dengan ragu. “Aku ... tak tega.” Jawabnya. Aku
mendelik. “Apa?!” aku kembali berteriak.
“Rambutmu bagus. Dan ... aku tak tega
untuk memotongnya.” Jawabnya.
Aku terperangah. Cowok sinting mana yang
menganggap .....
Tunggu! Dia tadi bilang apa? Rambutku
... bagus? Apakah ini pujian?
Tiba-tiba saja aku merasakan duniaku
jungkir balik. Di antara bagian tubuhku yang paling tidak kusuka adalah :
rambutku. Kenapa? Karena rambutku panjang dan bergelombang. Gaya rambut yang
boleh dibilang kuno karena saat ini sedang ngetren rambut lurus. Sempat
terpikir untuk meluruskan rambutku juga, tapi entah kenapa sampai saat ini
batal terus.
Dan sekarang, cowok ini, cowok tampan di
hadapanku ini memuji rambutku? Ini bukan mimpi ‘kan?
“Oke,
I’ll do it.” Aku menyambar gunting dari tangan cowok itu dan dalam hitungan
detik, rambutku sudah terpotong dari kancing bajunya. “Lihat ‘kan? Hanya
sedikit yang terpotong. Tidak sampai membuat kepalaku botak ‘kan?” Aku seperti
menjelaskan padanya, seolah ingin menghiburnya karena ia terlihat kecewa. Lagipula
kenapa ia harus kecewa? Karena aku memotong rambutku?
Aku
segera bangkit. Memasukkan gunting ke dalam tasku lalu membersihkan debu dari
rok seragamku. Cowok itu juga melakukan hal yang sama. Ia bangkit, membersihkan
debu dari celana dan jaketnya, lalu sisa rambutku di kancing bajunya.
“Aku tidak berniat bunuh diri dengan
menceburkan diriku ke sungai. Aku hanya sekedar menikmati pemandangan.” Ia
membuka suara. Aku meliriknya dengan tatapan tak percaya. Ia terkekeh.
“Sungguh. Aku-tidak-berniat-bunuh-diri.” Ia mengucapkan kata perkata dengan
artikulasi yang sangat jelas. Oke, aku percaya sekarang.
“Kalau begitu, mianhae. Aku yang salah paham.” Ucapku.
“Bagaiman kau bisa di sini?” Ia kembali
bertanya dan aku tak segera menjawab.
“Sama sepertimu, menikmati pemandangan.”
Jawabku kemudian. Berbohong.
“Tapi bagaimanapun juga, terima kasih
karena kau berusaha menyelamatkanku.” Cowok itu kembali menatapku. Sinar
matahari membuat rambut coklatnya bersemburat merah. Dan warna mata itu, serasi
dengan warna rambutnya. Coklat memikat.
“Mianhae.”
Aku kembali meminta maaf dengan kesalah pahaman ini.
“Vernon imnida. Kau?” Tiba-tiba ia
memperkenalkan diri. Aku menatap matanya dengan malu-malu. “So Hyun.” Jawabku
kemudian.
Cowok
bernama Vernon itu menyipitkan matanya, menatapku dengan penasaran. Woa, bahkan
ketika ia menyipitkan mata, ketampanannya seperti berlipat ganda. “So Hyun-ssi
...” Ia memanggil lirih. “Nde?” Hatiku berdebar.
“Apakah ... kita pernah bertemu
sebelumnya?” Ia bertanya, tampak serius.
Keningku berkerut. “Kenapa kau
menanyakannya?” tanyaku.
Vernon mengangkat bahu, tampak bingung.
“Entahlah. Hanya saja ... aku seperti
pernah bertemu denganmu. Tapi entah di mana. aku lupa.” Jawabnya.
Aku nyaris saja tertawa. Kita bertemu berkali-kali, di dalam mimpiku.
Teriakku dalam hati.
“Mm, entahlah. Aku tak tahu.” Jawabku
kemudian, berbohong lagi. Aku tak mungkin menceritakan padanya perihal mimpiku
‘kan?
Vernon kembali mengangkat bahu. “Mungkin
hanya perasaanku saja.” Desisnya.
Kami berdiri berhadap-hadapan. Hening.
Situasi nampak canggung sekarang.
“Sepertinya aku harus pergi dulu. Ada
... urusan lain.” Aku memecah keheningan. Vernon kembali menatapku, tapi
perlahan ia mengangguk. Aku memohon diri dengan sopan lalu berbalik. Baru
beberapa langkah, aku mendengarnya memanggilku.
“So Hyun-ssi!” Ia mendekatiku. “Nde?”
Aku menjawab gugup.
“Jika aku ingin bertemu denganmu lagi, bagaimana
caranya?” Mata coklat itu kembali menatapku, tulus. Aku nyaris saja bersorak,
green light!
“Kau ingin bertemu lagi denganku?”
tanyaku. Cowok itu mengangguk tegas. “Boleh aku ... meminta nomor telponmu?” Ucapannya
terdengar ragu, tapi sopan.
Pandangan kami kembali terkunci. Kami
seperti sama-sama tersihir. Terpesona. Perlahan aku tersenyum, lalu meluncurlah
sederetan angka dari mulutku. Aku memberitahunya nomor telponku! Dan dengan
sigap, Vernon mengeluarkan phonselnya lalu mencatat nomor telponku. Aku bisa
melihat senyumnya. Sungguh.
“Aku akan menelponmu.” Ia menatapku
dengan tatapan berbinar. Dan tersenyum lagi. Senyumnya benar-benar ... luar
biasa.
“Oke.” Jawabku. Aku tunggu, aku
berteriak dalam hati. Aku melambaikan tanganku dan berbalik. Tapi cowok itu
kembali memanggil namaku dengan lembut, hingga akupun kembali menatapnya. “Ya?”
jawabku.
“Aku tak bermaksud kurang sopan padamu,
So Hyun-ssi. Tapi ...” raut muka Vernon merona. “Rambutmu cantik.” Lanjutnya.
Wow, dia benar-benar memuji rambutku.
“Dan ...” Ia tampak kikuk. “Kau juga
cantik.” Lanjutnya. Semburat merah memenuhi wajahnya. Dan aku yakin wajahku
juga mengalami hal yang sama. “Gomawo.” Jawabku, sambil tersenyum.
“Jalan rumahku ke sebelah sana.” Vernon
menunjuk belakangnya, arah yang berlawanan dengan arah rumahku. “Tapi jika kau
tak keberatan, bolehkan aku mengantarmu sampai halte berikutnya?” Ia terlihat
malu-malu. Aku tertegun sesaat. Tapi akhirnya aku tersenyum dan mengangguk.
Dengan langkah ringan dan wajah
sumringah, Vernon beranjak mendekatiku. Kami berjalan beriringan, perlahan,
menuju halte bis. Kami mengobrol dan terus saling mengenal satu sama lain. Ah,
rasanya tak sia-sia hari ini aku membayar ongkos taksi dengan lumayan mahal.
Sampai detik ini
aku tak tahu apa hubungan mimpi-mimpiku dengan pertemuan kami hari ini. Tapi
jika mimpi itu adalah bagian rencana Tuhan untuk mempertemukanku dengan Vernon,
maka aku akan menerimanya. Dan beryukur, tentu saja.
Selesai.
wiwin setyobekti
15/06/2015
22.10
gambar : Vernon Seventeen
wiwin setyobekti
15/06/2015
22.10
gambar : Vernon Seventeen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar