Mingyu, Wonwoo, Vernon, Jisoo, S.coup, udah.
Sekarang giliran : uri maknae – Lee Chan.
p.s. tokoh perempuan fiksi aja, cz kagak suka nge-pair member seventeen
dengan cewek manapun. Maklum, posesif. Hehehe...
Judul : My little boyfriend
Genre : Romance, Comedy
Aku hanya melongo
menyaksikan rumahku yang dipenuhi dengan buket bunga dimana-mana. Di meja, di
lantai, di kursi, di ruang tamu, di ruang tengah, hampir di semua tempat.
Tampak mamaku dan adik lelaki juga mengalami hal yang sama. Mereka melongo menatap
hamparan bunga di rumah kami.
“Astaga, apa-apaan ini? Siapa yang mengirim semua ini?” tanyaku kesal.
“Begitu banyak kurir yang mengantarkan bunga sampai-sampai mama tak tahu
harus menaruhnya di mana lagi. Tuh, di teras rumah juga masih ada.” Mama menunjuk
ke arah berpuluh-puluh buket bunga yang tergeletak di lantai teras rumah. Aku
menggaruk-garuk kepalaku dengan kesal. “Orang sinting mana yang mengirim bunga
sampai segini banyak?” Gerutuku.
Min Hyuk, adik lelakiku, mengambil salah satu buket bunga yang ada kartu
namanya.
“Untuk Yoo Jin-nuna. Dari Lee Chan.” Ia membaca kartu pengirim tersebut
dengan nyaring. Aku melotot, ia juga.
“Lee Chan?!” Dan kami memekik bersamaan.
“Lee Chan murid privat nuna itu ya?” tanya Min Hyuk kemudian. Aku mendengus
kesal. Ku raih phonsel dari dalam tasku lalu ku langkahkan kakiku menuju kamar.
Aku tak ingin pembicaraanku di dengar oleh mama ataupun dongsaeng-ku.
“Yoboseyo, Lee Chan?”
“Ow, nuna ___?”
“Apa yang kau lakukan pada rumahku?!” semprotku.
“Memang aku melakukan apa?” Suara Lee Chan tampak bingung.
“Apa kau berniat memindahkan toko bunga ke rumahku?”
“Bunga? Oh itu. Iya, aku mengirimkan bunga pada nuna. Bukankah nuna bilang,
nuna suka bunga. Tapi aku tak tahu bunga apa yang nuna suka, jadi aku kirimkan
saja semuanya. Nuna suka?” Suara Lee Chan terdengar ceria seperti biasanya.
“Suka kepalamu! Mentang-mentang orang tuamu juga punya toko bunga, lantas
kau mengirimkan semua daganganmu ke sini? Kau berniat menyuruhku berjualan
bunga sekarang?”
“Anio. Bukan begitu maksudku. Itu__”
“Cepat ambil kembali bunga-bunga itu. Rumahku sudah tak muat lagi!” Aku
mengakhiri pembicaraanku. Ku lemparkan phonselku dengan gemas ke meja lalu ku
rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan kesal.
Ah, ternyata Lee Chan memang tak bisa di remehkan. Aku tak menyangka kalau
anak kecil ini akan cukup merepotkanku. Haha, barusan aku menyebutnya anak
kecil?
Ya, umurnya baru 17 tahun, sebaya dengan dongsaengku. Mereka sama-sama baru
duduk di bangku kelas 2 SMA, tapi bukan SMA yang sama.
Aku mengenal Lee Chan sejak 6 bulan yang lalu. Semua bermula ketika salah
satu dosenku mengatakan bahwa salah satu temannya memerlukan seorang guru
privat untuk putra semata wayangnya. Kebetulan, aku punya keahlian di beberapa
bahasa asing dan juga matematika. Karena tergiur dengan honornya yang sangat
lumayan, akhirnya aku menawarkan diri untuk menerima pekerjaan itu, sebagai
guru les privat Lee Chan.
Aku datang ke rumahnya untuk memberikan les privat setiap hari senin –
kamis dari jam 7 sampai jam 9 malam. Aku benar-benar menyukai pekerjaanku. Dan
aku benar-benar suka mengajari Lee Chan. Anak ini benar-benar menarik
perhatianku. Ia imut, lucu, ceria, tampan, dan pintar.
Ia benar-benar berbeda dari anak-anak orang kaya yang sering ku jumpai.
Mereka yang tumbuh dengan fasilitas melimpah dan harus bolak-balik ditinggal
orang tuanya mengurusi bisnis ke luar kota ataupun ke luar negeri biasanya
tumbuh menjadi anak yang introvert, kesepian dan cenderung penyendiri. Tapi, Lee
Chan berbeda. Meski sering menghabiskan waktunya dengan para pembantunya, ia
tetap tumbuh jadi anak yang sangat ceria dan seolah-olah tak kekurangan
limpahan kasih sayang. Bagusnya lagi, ia tak suka dugem, clubbing, ataupun
berfoya-foya dengan pesta-pesta yang biasanya di lakukan oleh anak-anak chaebol.
Ia lebih suka mengikuti berbagai kegiatan organisasi di sekolahnya. Ia bahkan
menjabat sebagai ketua OSIS di sana. Ia juga lebih suka melukis ataupun ikut
les privat. Dan ia bahkan lebih suka
bersepeda bila ada waktu luang. Yang jelas, kegiatannya senantiasa positif.
Dan jujur, aku benar-benar kagum padanya karena ia begitu berbeda dengan dongsaengku
yang lebih suka nongkrong atau main play station bila ada waktu luang!
Awalnya semua berjalan biasa. Bahkan ketika ia meminta tambahan jam les
menjadi senin sampai sabtu – dan akupun mengiyakan – hubungan kamipun masih
berjalan normal.
Tapi, sekitar 3 bulan yang lalu aku menerima pengakuan mengejutkan darinya.
Dia bilang, dia mencintaiku dan ingin berpacaran denganku!
Awalnya aku menganggap ini lelucon. Tapi ternyata tidak. Anak a-be-ge itu
serius dengan perkataannya!
“Aku tahu nuna tidak punya kekasih. Makanya aku berani mengakui hal ini. Nuna,
aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Dan aku benar-benar serius
ingin berpacaran denganmu,” ucapnya waktu itu. Dan tentu saja, aku menolaknya
dengan halus.
“Lee Chan, bukannya aku tak menyukaimu. Aku menyukaimu, tentu saja. Tapi
sebagai adik. Jadi aku benar-benar tak bisa menerimamu. Lagipula, umur kita
berbeda terlalu jauh. Sepantasnyalah kau
berpacaran dengan gadis yang seumuran denganmu,”
“Kita hanya selisih 5 tahun. Tidak terlalu jauh,”
“6 Tahun.” Ralatku.
“Tak masalah.” Jawab Lee Chan enteng.
Aku menarik nafas panjang. “Kau mungkin hanya sekedar kagum padaku, Lee
Chan. Dan rasa kagum itu tidak selamanya berarti cinta.” Ucapku lembut.
berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.
“Aku perlu waktu setengah tahun untuk mempertimbangkan perasaanku, nuna.
Dan aku yakin ini bukan hanya rasa kagum biasa,”
“Lee Chan ...”
“Nuna boleh menolakku sekarang. Tapi setelah itu, berilah aku waktu untuk
membuktikan bahwa aku benar-benar menyukaimu. Bahwa apa yang aku rasakan pada nuna
bukanlah sebatas rasa kagum biasa, tapi ini cinta. Cinta yang serius.” Kilah
Lee Chan lagi. Nah loh, anak ini benar-benar tak bisa diremehkan ‘kan?
***
Mobil mewah itu sempat
berputar-putar sebentar di halaman kampus sebelum akhirnya berhenti tak jauh
dariku. Perlahan kaca pintu mobil
terbuka dan tampak Lee Chan tersenyum kepadaku sambil melambaikan
tangannya. Aku berlari-lari kecil ke arahnya.
“Untuk apa kau kesini?” tanyaku sedikit ketus.
“Menjemput nuna,” jawabnya.
“Wae?”
“Tentu saja untuk mengantarkan nuna pulang,” ucapnya lagi.
“Dan kau menyetir mobil sendiri?” Aku makin kesal.
“Tentu saja.” Ia menjawab santai. Aku mendesah.
“Memangnya kau sudah punya SIM?”
Lee Chan hanya tersenyum nyengir seraya menggeleng.
Aku menggigit bibirku sesaat lalu
membuka pintu mobil, di bagian kemudi.
“Bergeserlah,” perintahku. Setelah Lee Chan bergeser ke arah sisi yang
satunya, aku segera duduk di kursi kemudi.
“Biar aku yang menyetir,” ujarku.
“Kenapa nuna yang harus menyetir?” tanya Lee Chan, bingung. Aku memutar
bola mataku dengan kesal.
“Kau bisa di tilang karena menyetir di bawah umur. Dan aku tak mau repot-repot
mengurusimu di kantor polisi. Jadi, biar nuna saja yang menyetir. Okay, adik
manis?” jawabku.
Lee Chan manggut-manggut seperti anak kecil. Dan tanpa menunggu lagi, aku
segera menjalankan mobil dan meluncur di jalan raya. Sejujurnya, aku memang benar-benar
mengkhawatirkannya karena ia menyetir mobil sendirian sementara aku tahu bahwa
ia baru bisa mengendarainya.
“Nuna tak suka dengan bunga yang ku kirimkan kemarin?” Ia kembali membuka
suara.
“Tidak,” jawabku pendek tanpa melihat ke arahnya.
“Wae?”
“Kau nyaris menimbun rumahku dengan bunga, bagaimana aku bisa menyukainya,”
jawabku lagi, asal.
“Nuna‘kan tahu aku masih kecil. Aku belum berpengalaman menghadapi
perempuan yang aku suka. Jadi aku tak tahu harus bagaimana memperlakukan wanita
dengan bunga.” Lee Chan mengomel.
“Nah, kau sadar ‘kan kalau kau masih kecil? Berani-beraninya kau mengaku
cinta padaku?” Kali ini aku yang mengomel sambil sesekali melihat ke arahnya.
Ia menyeringai. “Kalau begitu ku ralat kata-kataku. Aku bukan anak kecil lagi.
Aku pernah berpacaran satu kali, sewaktu
SMP. Tapi itu hanya cinta monyet, teman dekat saja.” ucapnya dengan cengiran.
Aku mendelik, alamak!
“Jadi, aku harus mengirimkan bunga berapa buket pada nuna?”
“Sewajarnya saja. Jangan seperti kemarin. Seikat bunga saja sudah cukup
‘kan?” jawabku lagi. Sesaat aku mengernyitkan dahiku. Astaga, barusan aku
bilang apa? Aku seolah menyarankan pada Lee Chan agar mengirimi aku bunga lagi
dan aku akan menerimanya? Begitu? Busyet, ada apa denganku?
“Baiklah, akan ku kirimkan lagi besok,” jawab Lee Chan. Tampak kedua
matanya berbinar-binar ceria. Aku meringis.
“Tidak, tidak, ku ralat kata-kataku. Jangan mengirimi aku bunga lagi.” Tukasku.
“Kenapa?” Lee Chan menatapku dengan raut kecewa.
Aku tak menjawab. Kenapa? Karena aku takut. Aku takut jika ia terus menerus
memberikan kejutan seperti ini padaku, lama-lama aku bisa jatuh cinta padanya!
“Lho, ini ‘kan bukan jalan menuju rumah nuna?” Lee Chan nyaris berteriak
sambil menatap ke sekelilingnya.
“Ya, kau tak perlu mengantarkanku. Aku yang akan mengantarkanmu pulang
dulu, setelah itu aku akan pulang naik taksi saja,” jawabku.
“Kenapa harus begitu?”
“Bukankah aku sudah bilang, aku tak mau kau menyetir mobil sendirian. Itu
berbahaya karena kau baru bisa mengemudi. Selain itu, kau tak punya SIM. Dan
aku tak mau kau berurusan dengan polisi. Kalau sampai kau berurusan dengan
polisi, aku juga ‘kan yang repot. Ingat, orang tuamu ada di luar negeri. Jadi,
kau tanggung jawabku.” Lagi-lagi aku mengomel kesal. Tapi Lee Chan malah
tersenyum.
“Nuna mengkhawatirkan aku?”
“Tentu.” Jawabku pendek.
“Gomawo.”
“Untuk apa?”
“Karena nuna khawatir padaku. Itu artinya, nuna perhatian padaku,”
jawabnya.
Aku mendesah. Astaga, anak kecil.
Dan begitulah akhirnya, alih-alih menjemputku dari kampus, malah aku yang
mengantarkannya pulang.
“Nuna, mampir dulu ya,” Lee Chan menarik lengan bajuku ketika aku selesai
memarkir mobil di garasi.
“Tidak, aku harus segera pulang,” jawabku.
“Tapi aku punya sesuatu,” Lee Chan menarik lengan tanganku dan mengajakku
masuk ke dalam rumah. Karena tak kuasa menolak, aku mengikutinya. Setelah itu
ia berlari-lari kecil ke kamarnya lalu sekian detik kemudian ia kembali
dengan membawa sesuatu.
“Ini hadiah untuk nuna,” ia menyodorkan sebuah pigura bernuansa gold ke
arahku. Pigura itu berisi lukisan. Lukisan diriku.
“Aku membuatnya sendiri. Bagus ‘kan? Tak jauh beda dengan aslinya. Cantik.”
ucap nya dengan bangga sambil menatap ke arahku lalu ke arah lukisan tersebut
secara bergantian. Aku menerima dan menatap lukisan itu dengan seksama. Dan
tiba-tiba saja aku terharu. Jujur, aku sudah pernah beberapa kali punya pacar,
tapi tak ada yang memperlakukan aku semanis ini.
***
Sudah dua hari ini aku tak
memberikan les pada Lee Chan. Dia sendiri yang meminta libur beberapa hari. Dia
bilang, ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan berkaitan dengan sekolah.
Dan akupun mengiyakan karena aku sendiri juga sibuk. Tugas kuliah di semester
akhir menumpuk tak karuan.
Tapi, malam itu aku dikejutkan dengan kedatanganya ke rumahku.
“Untuk apa kau ke sini?” tanyaku heran.
“Nuna, aku ada masalah dengan pelajaranku. Bisa bantu?” Ia tersenyum manis.
“Bukankah kau sendiri yang minta libur?”
“Iya, tapi ini darurat,” jawabnya. Ketika ia melewati ruang tengah, ia
menyapa mamaku dan dongsaengku yang tengah nonton tv, dengan sapaan akrab.
“Halo, Ma, selamat malam. Hai, bro, selamat malam juga,” sapanya. Mama
menjawab dengan ramah sementara adikku hanya melongo tanpa ekspresi. Ia tampak
syok!
“Oke, di mana kamar nuna? Di lantai atas ‘kan?” Lee Chan ngeloyor begitu
saja menaiki tangga tanpa menunggu jawabanku.
“Untuk apa ke kamarku?” Aku mengekor di belakangnya.
“Aku perlu tempat yang tenang untuk belajar. Dan sepertinya kamar nuna-lah
yang paling pas,” jawabnya.
“Sok tahu,” desisku. “Hei, itu kamar adikku. Kamarku ada di sebelah sana!” Aku
berteriak ketika Lee Chan nyaris membuka kamar Min Hyuk.
“Ups, mian.” Jawabnya seraya nyengir lalu melangkahkan kakinya ke arah
kamar yang terletak paling ujung. Kamarku.
“Waah, apakah ini benar-benar kamar nuna?” Ucapnya takjub. Aku melotot.
“Bukan, kamar ayahku.” cetusku. “Ya iyalah kamarku. Kurang kerjaan banget
aku ngajak kamu ke kamar ayahku.” Lanjutku, sewot. Lee Chan menyeringai lucu.
“Rapi sekali,” ia melihat isi kamarku dengan seksama. Aku tak menanggapi.
Ku singkirkan beberapa buku di meja belajarku lalu kuletakkan satu kursi lagi
di depan mejanya untuk Lee Chan.
“Nuna memajangnya juga?” Ia menunjuk ke lukisan diriku yang terpajang di
dinding dengan bangga. Lukisan itu ia hadiahkan padaku beberapa hari yang lalu.
“Sudahlah, bawa sini bukumu. Pelajaran apa yang tak kau mengerti,” ucapku
kemudian. Bukannya segera duduk di sampingku, Lee Chan malah berkeliling kamar
dan meneliti semua barangku satu-satu persatu, dengan penuh antusias.
“Kenapa tak ada warna pink di sini?” Ia bertanya heran.
“Memang kenapa dengan warna pink?” aku balik bertanya.
“Biasanya ‘kan cewek suka dengan warna pink,”
“Apa semua cewek harus suka warna pink? Aku tidak. I like blue,” jawabku kemudian.
“Kalau Blue Film, suka?” Lee Chan bertanya dengan cengengesan. Aku segera
melotot.
“Kau datang untuk belajar apa mau wawancara?” tanyaku kesal.
Lee Chan kembali nyengir lalu segera duduk di sampingku.
Dan ia tak bohong. Ia memang ada masalah dengan beberapa bab bahasa jepang.
“Nuna, setelah ini les-nya libur dulu selama 2 bulan ya,”
“Lama sekali. Kenapa?” tanyaku heran, tanpa melihatnya ke arahnya.
“Besok pagi aku berangkat ke Sydney,”
“Untuk?” Kali ini aku mengarahkan pandanganku ke arahnya.
“Aku ikut pertukaran pelajar ke Australia selama 2 bulan,” jawabnya pelan.
Kami berpandangan. Keadaan hening sesaat.
“Kenapa kau tak pernah cerita sebelumnya?” tanyaku kemudian.
“Maaf, aku ingin bilang tapi lupa terus,” jawabnya. Aku manggut-manggut.
Anak cowok itu mendesah. “Aku pasti akan sangat merindukan Nuna,” bisiknya.
“Jangan over ah. Sekarang ‘kan sudah ada telefon, email, skype, sosial media,
kalau kau merindukanku, kau ‘kan bisa menghubungiku?” jawabku.
Lee Chan terdiam, tak bersuara.
“Semoga kegiatanmu lancar,” ucapku lagi.
Lee Chan tersenyum dan mengangguk. Setelah selesai belajar, ia pamit. Tapi
sebelum itu, ia memberiku sesuatu. Sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas
warna pink.
“Ini hadiah buat nuna. Jangan khawatir, aku sudah ijin pada papa untuk membelinya. Bukalah
kalau aku sudah pergi dari sini, nde?” Setelah menyerahkan bingkisan kecil itu,
Lee Chan berlari kecil menuju ke arah mobil yang sudah menunggunya. Rupanya ia
ke sini di antarkan sopir.
Setelah mobil itu berlalu, aku segera membuka kotak bersampul pink tersebut
dengan penasaran. Sebuah arloji.
Aku meraih arloji tersebut dan mengamatinya sesaat. Dan ... aku membelalak.
Aku tak terlalu mengikuti barang-barang branded. Tapi aku tahu, harga
arloji ini setara dengan harga dua buah sepeda motor.
“Lee Chaaaaannn.....!!!”
***
Sepi. Itu yang kurasakan
sejak kepergian Lee Chan.
Aku benar-benar kesepian tanpa dirinya. Hatiku terasa hampa. Entah mengapa,
aku seakan telah terbiasa dengan kehadirannya. Aku terbiasa dengan
celotehannya, terbiasa mendengar tawanya, terbiasa melihat kemanjaannya,
kepolosannya, ketengilannya, semuanya.
Aku merindukan semua yang ada tentang dirinya. Rindu ketika dia jahil,
rindu ketika dia mengganggu, rindu ketika dia mendebatku. Rindu ketika ia
tertawa, rindu ketika ia tersenyum tulus padaku ....
Sudah satu bulan ia menjalani program pertukaran pelajarnya. Tak ada sms
darinya, tak email, tak ada komunikasi apapun. Ia seakan lenyap begitu saja.
Aku sempat berpikir, apakah ia mengenal seorang cewek di sana yang seumuran
dengannya dan dia jatuh cinta padanya? Mungkinkah ___?
“Nuna, gwaencana?” suara Min Hyuk
yang cempreng membuyarkan lamunanku. Aku setengah tergagap.
“Memang aku kenapa?” aku balik bertanya.
“Akhir-akhir ini Nuna jadi pendiam dan lebih suka melamun. Ibarat phonsel,
nuna seperti kehabisan baterei. Kenapa? Apa nuna sedang patah hati?”
Aku terkekeh.“Kenapa aku harus patah hati?” aku kembali bertanya.
“Jangan bilang kalau nuna jadi begini karena si tengil itu?”
“Si tengil siapa?”
“Itu, si Lee Chan. Sejak dia tak muncul dan nuna tak pernah memberi les lagi ke rumahnya,
nuna jadi berubah,”
Aku mengernyitkan dahiku. Oh, benarkah aku seperti itu?
“Jangan katakan kalau nuna jatuh cinta padanya!”
Aku tergelak mendengar ucapan dongsaeng ku satu-satunya itu. Ku lempar ia
dengan bantal di sofa.
“Jangan bicara sembarangan ya,” ucapku.
“Habisnya, nuna berubah sejak bertemu dengannya. Kalau sampai nuna pacaran
dengannya, aku lebih baik bunuh diri,” Min hyuk terlihat manyun.
Aku ngakak mendengar ucapannya.
“Wae geurae?” teriakku tanpa bisa menghentikan tawaku.
“Aku malu, nuna. Lee Chan ‘kan sebaya denganku, kalau kalian pacaran dan akhirnya
menikah, aku harus memanggilnya hyung ‘kan? Si-reo-yo.”
Aku kembali tersenyum. Pikirannya sudah sejauh itu?
“Geurae, bunuh diri saja sana,” ucapku seraya beranjak.
“Jadi nuna benar-benar jatuh cinta padanya?”
Aku hanya tersenyum nakal ke arahnya seraya berlari ke kamarku. Sesaat aku
kembali tertawa ketika mendengar ia berteriak-teriak dengan gaya dramatis.
“Andweeeeeeee!! Eomma, oediseo??” terdengar ia berlarian mencari mamaku..
Aku terkikik sambil menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Dan kata-kata
dongsaeng ku terngiang di telingaku.
Mungkinkah aku memang sudah jatuh cinta dengan bocah itu? Lee Chan? Jika
iya, apa yang harus kulakukan? Menerimanya? Tentu tidak semudah itu. Min hyuk
benar, perbedaan usia di antara kami akan menjadi kendala besar.
Tapi, sepertinya aku memang telah jatuh cinta dengan bocah itu..
***
Pagi itu aku terlonjak
ketika membuka emailku. Berkali-kali aku membacanya.
Aku rindu padamu, nuna. Rindu
setengah mati...
Email dari Lee Chan. Email itu kuterima jam 2 dini hari tadi.
Dan entah apa yang ada di otakku ketika aku membalas email tersebut dengan
bunyi : Aku juga.
***
Aku menarik nafas panjang.
Menyibukkan diri dengan kegiatan kampus dan juga tugas-tugas kuliah yang
banyaknya tak terkira, ternyata tetap tak mampu mengenyahkan Lee Chan dari
kepalaku. Aku merindukannya, sungguh.
Pukul 7 tepat ketika kuliah terakhir selesai, aku meraih tasku dan segera
melangkahkan kakiku meninggalkan kampus menuju halte bis.
Hanya perlu waktu sekitar 3 menit untuk menunggu bis datang. Aku bahkan
sempat ketiduran di dalam bis. Untungnya aku terbangun ketika bis yang
kutumpangi telah sampai di halte bis dekat rumah. Dengan malas aku melangkahkan
kakiku menuju rumah yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat bis tadi
menurunkan penumpang.
Sesampainya di rumah aku segera berendam air hangat selama hampir setengah
jam. Awalnya aku berencana tidur setelah mandi, kenyataannya aku hanya
berbaring saja tanpa bisa memejamkan mata.
Akhirnya, aku meraih jaket dan memutuskan untuk keluar jalan-jalan mencari
udara segar. Sembari menyusuri trotoar depan rumah, aku semakin sadar bahwa
hidupku begitu hampa sekarang. Tentu akan sangat berbeda kalau saat ini aku
bersama Lee Chan, mengajari les, mengobrol dengannya, ah, I miss him ....
Langkahku terhenti ketika sebuah mobil berhenti tak jauh dariku. Aku
menoleh. Kaca pintu mobil terbuka dan tampak Lee Chan tersenyum ke arahku.
Aku mematung.
“Nuna, annyeong,” Ia menyapa ceria sembari keluar dari mobil.
Aku tak mampu menjawab. Masih mencoba meyakinkan bahwa itu memang dia.
“Nuna ...?” Lee Chan menggerak-gerakkan tangannya.
“Apakah ini kau?” tanyaku tanpa sadar. Lee Chan kembali tersenyum dan
beranjak mendekatiku.
“Kapan kau pulang?” tanyaku.
“Beberapa jam yang lalu,”
“Beberapa jam yang lalu?” Aku mengulang kata-kata itu.
“Hm.” Lee Chan mengangguk.
“Apa progam pertukaran pelajarnya sudah selesai?”
Ia menggeleng.
“Lalu?” tanyaku lagi.
“Aku ijin minta pulang dulu sebentar karena ada yang kangen padaku. Jadi
aku langsung memesan tiket dan terbang kemari,” jawabnya.
Aku tertegun.
“Ada yang kangen padamu?” tanyaku lirih. Lee chan mengangguk.
“Aku mengirim email pada seseorang dan mengatakannya padanya kalau aku
merindukannya, setengah mati. Dan ia membalasnya, mengatakan bahwa ia juga
merasakan hal yang sama. Jadi ...” Lee Chan memasukkan kedua tangan ke saku
jaketnya.
Hening sesaat. Aku menelan ludah. Perasaanku terasa membuncah. Dia jauh-jauh
datang dari Australia ke sini, untukku? Aku terharu, sungguh. Aku yakin mungkin
kedua mataku sudah berkaca-kaca.
“Apa kau menyetir sendiri dari rumah?” tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraan. Lee Chan mengangguk.
“Bukankah aku sudah bilang itu berbahaya untukmu. Sini, biar aku antarkan
pulang,” aku beranjak, tapi Lee Chan menghalauku dengan kedua tangannya.
“Apa nuna berubah pikiran sekarang?”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Berubah ___ apanya?”
“Jelas-jelas nuna menulis dalam email kalau nuna juga kangen padaku. Apa
sekarang nuna masih menolak menjadi pacarku?”
Aku merasakan dadaku berdetak kencang.
“Apa kau jauh-jauh datang dari luar
negeri untuk menanyakan ini?”
“Nde.” Lee Chan mengangguk cepat.
“Nuna mencintaiku juga ‘kan?”
Aku menggigit bibir. Tak tahu harus menjawab apa.
“Apakah nuna masih mempermasalahkan umur? Aku tak mempermasalahkannya. Yang
jelas, aku benar-benar jatuh cinta pada nuna. Bahkan jika umur nuna 20, 30,
atau 40 sekalipun, aku akan tetap suka pada nuna,”
Aku menatapnya takjub. Sebenarnya
makhluk ini datang darimana? Umurnya baru belasan tahun tapi ia mampu berpikir
dewasa.
“Kalau nuna menganggap aku masih terlalu kecil, tolong tunggulah beberapa
tahun lagi, aku pasti akan tumbuh jadi lelaki dewasa,”
“Dan aku akan tumbuh semakin tua,” potongku.
“Dan aku tak peduli,” sahutnya.
Aku kembali menatapnya dengan takjub. Lee Chan terlihat begitu tulus.
Hatiku bergetar.
Dan aku menyerah. Sungguh, aku menyerah sekarang! Aku tak mampu
menyembunyikannya lagi!
Dengan mantap aku bergerak, mendekati Lee Chan, menarik kerah jaketnya,
lalu mendaratkan ciuman ringan di bibirnya.
Sesaat aku merasakan tubuhnya membeku. Ia tampak sangat terkejut dengan
tindakanku. Dan aku merasa sedikit takut dengan reaksinya.
“Apakah ini ciuman pertamamu?” tanyaku lirih setelah aku menyadari reaksi
yang aku timbulkan.
Lee Chan tampak terkejut sekian detik sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
Wajahnya merona. Aku tersenyum.
“Kalau begitu, pelajarilah baik-baik.” Gumamku seraya kembali mencium bibirnya
dengan lebih lembut.
“Ciuman ini adalah jawabanku.” Ucapku lagi. Aku merapatkan jaketnya karena
udara malam yang kian menusuk.
“Sekarang, akan ku antarkan kamu pulang. Aku yang akan menyetir,” Aku
berbalik.
“Apa itu artinya ... kita resmi pacaran?” Lee Chan mengikutiku.
Aku tersenyum ke arahnya, lalu mengangguk.
“Apa orang dewasa selalu meresmikan hubungan dengan ... ciuman?” Pertanyaan
Lee Chan terdengar gugup.
Aku tertawa. Tapi kemudian aku mengangguk lagi. “Tak suka?”
Wajah Lee Chan merona. “Wow, itu keren.” Jawabnya.
Dan aku bisa melihat senyum sumringah di wajah cowok tersebut.
Kemudian ia berlari kegirangan dan masuk ke dalam mobil ketika aku
memintanya.
“Nanti nuna pulangnya bagaimana?”
“Setelah mengantarkanmu, aku akan pulang naik taksi,” jawabku sambil menghidupkan mesin mobil dan mulai
menjalankan mobil mewah tersebut dengan perlahan menyusuri jalan raya. Dan
sepanjang perjalanan kami, tak sedikitpun Lee Chan mengalihkan pandangannya
dariku.
“Kenapa kau terus menatapku seperti itu?” tanyaku gusar.
“Aku benar-benar merindukanmu, nuna,”
“Terima kasih,”
“Dan nuna benar-benar ... cantik,”
“Terima kasih lagi,” jawabku.
“Beberapa bulan lagi akan ikut ujian mendapatkan SIM. Dan kelak, akulah
yang akan senantiasa mengantar jemput nuna,”
Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Ah, manis sekali.
“Dan mulai detik ini, jangan panggil aku nuna lagi,” sergahku.
“Kenapa?”
“Karena aku bukan nuna-mu dan kau juga bukan dongsaeng-ku,”
Lee Chan manggut-manggut.
“Kalau ku panggil ... sayang?”
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Ayank?”
Aku tertawa
“Itu norak,”
“Cinta?”
“No, it sounds too sweet,”
“Honey?”
Aku tak segera menjawab.
“Aduh, apa saja deh. Asal jangan nuna,” aku nyaris berteriak.
“Beib?”
Aku tergelak. “Oke,” jawabku kemudian. Kami tertawa.
Sesampainya di rumah, Lee Chan sempat mengecup keningku dengan lembut
sebelum turun dari mobil. Malam ini ia akan segera berkemas-kemas lagi karena
besok pagi-pagi sekali ia harus ke Bandara untuk kembali lagi ke Australia. Dan
aku tak ingin mengganggu istirahatnya sehingga aku memilih untuk segera pulang
naik taksi.
Aku sadar, berpacaran dengan Lee Chan pasti punya banyak kendala. Adikku
bisa saja tak setuju. Orang tuaku bisa saja menentang. Orang tua Lee Chan juga.
Tapi, aku tak gentar. Apapun kendala itu, kami akan menghadapinya.
Jika cinta kami kuat, kami pasti mampu melewatinya. Aku yakin itu.
Yang jelas, saat ini aku benar-benar ingin menikmati kebersamaanku dengannya karena aku bahagia
bersamanya, begitu pula sebaliknya. Begitu saja.
Sederhana.
Ketika di dalam taksi, Lee Chan mengirimiku pesan singkat.
I love you, beib. Itu isinya.
Pesan singkat itu membuatku tertawa.
Ah, beib, aku juga.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar