Kamis, 04 Juni 2015

Always It's You - Part 2



 Part 2



Dea mematut bayangannya di cermin yang berada di kamar mandi rumah sakit. Perban selebar 4 centi menempel di kening sebelah kiri. Kemarin, setelah ia mengalami kecelakaan kecil, jatuh terjerembab di trotoar dengan kening menghantam ke pot bunga, ia segera pergi ke rumah sakit. Dan alhasil, ia harus menerima 3 jahitan.
            Sebenarnya hari ini belum waktunya kontrol. Tapi ia memang sengaja datang ke  Rumah Sakit dan menemui dokter. Ia tak sabar untuk meminta pada dokter agar memberinya obat terbaik, berapapun harganya, demi bisa mempercepat proses penyembuhan lukanya. Dan lebih penting lagi, menghilangkan bekas luka jahitan di keningnya. Beberapa minggu lagi ia akan menikah, dan ia tak mau menikah dengan bekas jahitan di kening. Terlebih lagi, ia tak mau capek-capek memberikan penjelasan perihal kecelakaan kecil yang ia alami kepada Dimas kalau dia pulang nanti. Ketika Dimas pulang nanti, lukanya harus sembuh, seratus persen. Titik!
            Tapi dokter bilang, Dea tak memerlukan obat khusus. Luka yang ia alami termasuk ringan. Dan ia memastikan, luka itu akan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka yang berarti, saat ia menikah nanti.
            “Semoga kau bisa dipercaya, dok.” Ia mendesis seraya merapikan rambutnya lalu beranjak keluar. Ia berniat kembali ke hotel.
            Ia sampai di halaman Rumah Sakit dan berniat memanggil taksi ketika tatapan matanya menangkap sesosok perempuan yang tengah bermain-main di taman dengan seorang anak kecil. Wajah mereka familiar. Perempuan itu, dan juga anak kecil yang bersamanya. Lama Dea termangu, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tak salah lihat. Dan ia memang benar. Perempuan itu kak Cici, kakak perempuan Gail.
            “Kak Cici!” Ia menyapa tanpa ragu seraya melangkah mendekati perempuan tersebut. Yang dipanggil namanya menoleh, menatap Dea sesaat, lalu tersenyum sumringah.
            “Dea?” Ia memastikan. Dea mengangguk. Dan segera keduanya berpelukan. Tak aneh jika mereka terlihat akrab, karena dulu ketika Dea masih menjadi pacar Gail, ia sering main ke rumahnya dan sering bertemu dengan Kak Cici. Hubungan di antara mereka terjalin dengan sangat baik. Kak Cici bahkan sudah menganggap Dea sebagai adik sendiri.
            “Astaga, Dea. Lama nggak ketemu kamu makin cantik aja. Kudengar kamu di Jakarta.” Ucap kak Cici seraya meremas bahu Dea dengan gemas. Dea mengangguk. “Aku ke sini hanya untuk berkunjung aja kok kak. Beberapa hari lagi udah balik ke Jakarta.” Jawabnya.
            “Keningmu ...” Kak Cici menunjuk ke arah kening Dea yang diperban. Dea terkekeh. “Kecelakaan kecil. Tapi nggak apa-apa sekarang.” Jawabnya. “Kak Cici sendiri, untuk apa di sini?”
            Kak Cici belum sempat menjawab ketika balita perempuan itu bergelayut rewel di kakinya. Dea berjongkok dan menyapa anak kecil itu dengan gemas.
“Halo sayang? Yuk, ikut tante yuk,” Ia menggapai tubuh mungil itu dengan kedua lengannya. Dan di luar dugaan, balita mungil itu menurut. Kak Cici tertawa.
            “Tumben dia mau diajak. Padahal kalian ‘kan baru ketemu,” ujarnya.
Dea tersenyum. “Aku sudah bertemu dengannya kok, kak. Beberapa yang hari yang lalu di taman, dengan ayahnya.” Ia menjawab ragu. Kak Cici mengernyit.
“Kamu bertemu dengan suamiku?”
Dea menggeleng. “Oh, bukan. Aku bertemu dengannya dan Gail.” Jawabnya cepat.
Kak Cici kembali mengernyit. “Gail?”
Dea mengangguk. “Dia anaknya Gail ‘kan?” ucap perempuan itu lagi.
Sesaat kemudian kak Cici tertawa. “Ah, kamu pasti dikerjain Gail tuh.” Ujarnya. Dea mengernyit. “Maksudnya?”
Kak Cici kembali tertawa lirih. “Gail belum menikah, bagaimana mungkin dia punya anak. Dan si kecil ini ___” ia menunju ke anak kecil di gendongan Dea. “Dia anakku.” Lanjutnya. Dea terperangah. Untuk sesaat ia masih nampak bingung. Tapi sekian detik kemudian ia tertawa. Ah, bagaimana ia bisa lupa? Gail gemar sekali bercanda. Dulu ketika mereka masih berpacaran, lelaki itu gemar sekali ngerjain dirinya. Entah itu dengan berpura-pura marah, kemudian ujung-ujungnya memberinya hadiah. Mengatakan ia tak bisa menemaninya nonton konser musik, tapi tiba-tiba kemudian  ia muncul di hadapannya dengan cengengesan sambil bilang ‘I love you’. Ah, Gail ....
“Astaga.” Ia menggeleng-geleng tak percaya sambil terkekeh. Kak Cici tersenyum. “Sini sayang...” Perempuan berumur sekitar 37 tahun itu meraih putri kecilnya dari gendongan Dea.
            “Oh iya, kak Cici ngapain di sini? Siapa yang lagi sakit?” Dea menjumput untaian rambut anak kak Cici lalu menyelipkan di belakang telinganya.
            “Kemarin Gail drop lagi. Jadi dia harus dirawat. Dokter bilang ...”
            “Siapa yang drop?” Dea memotong cepat.
            Kak Cici menatapnya, terlihat bingung. Merasa keceplosan.
            “Gail ...?” Dea seperti meminta penegasan. Kak Dea terdiam sesaat.
            “Jadi kamu belum tahu?” Ia bertanya ragu. Dea menggeleng pelan.
            Kak Cici melihat sekeliling. Ia memanggil seorang lelaki seumuran dirinya yang berada di depan pintu masuk. Lelaki itu melangkah ke arahnya.
            “Sayang, ajak dia jalan-jalan dulu sebentar ya.” Kak Cici menyerahkan putrinya kepada lelaki tersebut, yang ternyata adalah suaminya. Setelah itu mereka bermain di sisi taman yang satunya.       
            Dea masih merasa bingung dengan keadaan tersebut. Hingga kak Cici merangkul pundaknya lalu mengajaknya duduk di bangku  yang berada di dekat mereka. Perempuan itu nampak ragu membuka suara.
            “Kak ...” Dea memanggil lirih. Seakan tak sabar untuk mendengar penjelasan mbak Cici. Perempuan itu menarik nafas berat sebelum berkata.
            “Gail sakit. Tumor otak, stadium 4.”
            Dea terperanjat. Tubuhnya terasa lemas seketika.
            “Dia sudah menjalani kemo, radiasi, bahkan juga operasi. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani operasi yang terakhir. Tapi dokter bilang, kemungkinan akan keberhasilan operasi tersebut hanya 10%. Hingga akhirnya, Gail memutuskan untuk tidak melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ... pergi dengan tenang.” Kak Cici menelan ludah. Dea merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.
            “Obat yang diberikan dokter hanya bersifat sementara. Itu hanya untuk memperpanjang hidupnya selama ... beberapa bulan saja.” Kali ini kedua mata mbak Cici nampak berkaca-kaca. Namun perempuan itu nampak tegar.
            Tapi tidak bagi Dea. Karena air matanya sudah mengalir deras, sejak beberapa detik yang lalu.

***

            Dea memasuki ruangan perawatan itu dengan hati-hati. Kak Cici yang memberinya ijin mengunjungi Gail di ruang perawatan.
Ketika ia berada di sana, ia melihat sosok lelaki itu terbaring tenang di tempat tidur. Selimut menutupi bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Masih mengenakan topi rajut, mata lelaki itu terpejam. Air mata Dea kembali menitik. Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Tapi ia tak berhasil. Menutup mulutnya dengan tangan, tetap saja ia sesenggukan, pelan. Dan sedikit tertahan.
            Entah karena menyadari keberadaan Dea atau karena mendengar isak tangisnya, tubuh Gail bergerak-gerak. Perlahan kedua matanya terbuka dan ia menoleh. Menatap ke arah Dea dengan lemah. Ia menyipit, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu ia tersenyum. “De ....” Panggilnya lirih. Dan matanya kembali terpejam. Ia tertidur lagi.

*** 

            “Harusnya kamu dengerin kata dokter. Kondisimu masih lemah, mestinya lusa atau lusanya lagi kamu baru boleh pulang.” Kak Cici terdengar kesal. Tapi toh ia tetap saja membantu Gail berkemas-kemas. Gail hanya terkekeh. Tangannya juga sibuk melipat beberapa baju tipisnya. Hari ini ia memaksa pulang dari Rumah Sakit meski dokter melarangnya.
            “Kak, aku toh hanya akan tiduran aja. So, mau tiduran di rumah apa di rumah sakit, sama aja ‘kan?” Jawabnya. Kak Cici hanya mendengus kesal.
            “Oh iya, kak. Selama aku sakit, apa ada seseorang yang mengunjungiku?”
            Pertanyaan Gail mengalihkan perhatian kak Cici. Perempuan itu menghentikan tangannya yang sibuk berkemas-kemas. Ia melirik ke arah Gail sesaat, tapi kemudian asyik berkemas-kemas lagi. “Maksudmu?” Ia bertanya tanpa melihat ke arah Gail.
            Gail tak segera menjawab. Ia mengangkat bahu, bingung.
            “Entahlah. Aku hanya merasa bahwa ....” Ia mendesah. “Kakak masih ingat Dea ‘kan?”
            Bibir kak Cici berdecak. “Ya, ya, tentu saja aku masih ingat dia. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang dia. Kamu memajang foto-fotonya di kamarmu selama sekian tahun, mengatakan bahwa dia adalah perempuan satu-satunya yang kamu cintai, bagaimana aku bisa lupa tentang dia.”  Jawabnya. “Emang, ada apa dengannya?”
            Gail terdiam lagi.
            “Aku merasa dia sering mengunjungiku, setiap malam. Di sini. Tapi, itu mustahil ‘kan? Aku pasti sedang bermimpi.” Lelaki itu terkekeh.
            Kak Cici mematung sesaat. Ia meletakkan baju-baju yang tadi ia lipat, lalu berbalik menghadap Gail.
            “Kamu nggak bermimpi.” Ucapnya. Gail mendongak, menatap ke arah kakaknya. Matanya menyipit tak mengerti.
            “Kamu nggak bermimpi, Gail. Sejak kamu di rawat di sini, Dea memang selalu mengunjungimu. Setiap malam dia ke sini, menungguimu. Aku yang mengijinkannya.” Kak Cici melanjutkan. Gail tak bergerak. Syok.
            “Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Dan ...” Kak Cici menggigit bibirnya. “Aku menceritakan kondisimu padanya. Semuanya.”
Rahang Gail tampak kaku. Ekpresinya tak terbaca. Entah ia merasa kaget dengan informasi yang kakaknya sampaikan. Atau entah ia merasa marah karena kak Cici menceritakan kondisinya pada Dea, perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan namun tak bisa.
“Dia ada di luar. Ingin ku suruh dia masuk?”
Mata Gail melebar. Dea ada di luar kamarnya?!
“Dia ... di sini?”
Kak Cici mengangguk. Dan lutut Gail terasa lemas seketika. Ia heran ketika menyadari bahwa dirinya tak ambruk. Belum sempat ia mengatakan apapun, kakaknya sudah berteriak.
“Dea, masuklah.” Ucapnya.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan ... sosok perempuan itu muncul dari sana. Seperti sebuah adegan dalam film. Saat ketika Dea melangkahkan kakinya memasuki kamar, berlangsung lambat. Dunia Gail seperti berhenti berputar. Ia menelan ludah, nyaris tak bisa bernafas. Ia hanya ... terlalu terkejut dengan kedatangan perempuan itu. Ia hanya tak percaya bahwa wanita yang selama ini ia pikirkan sekarang ada di hadapannya, mengetahui kondisinya, mengetahui penyakitnya, mengetahui bahwa ia sekarat!
Dea tersenyum ke arah Gail. Senyumnya getir. Kedua matanya berkaca-kaca, ia tak tahu kenapa.
“Well, kita bertemu lagi.” Perempuan itu mengangkat bahu. Gail menatapnya dengan dalam, tanpa mampu berkata.
“Akan kutinggalkan kalian berdua.” Kak Cici beranjak, meninggalkan Gail dan Dea berdua saja.
Hening.
Tatapan mereka terkunci. Lama.
“Keningmu kenapa?”
“Hanya kecelakaan kecil. I’m okay.” Jawab Dea.
“Kenapa kamu bisa di sini?” Gail kembali bertanya dengan lirih.
Dea kembali tersenyum. “Untuk bertemu denganmu.” Jawabnya.
Hening lagi. Gail terkekeh lirih. “Maaf jika kita harus ketemu dalam kondisi seperti ini. Seperti yang sudah diceritakan kakakku, kondisiku sedang tidak baik. Jadi ...”
“Gail, bolehkan aku memelukmu?” Dea memotong cepat.
I need a hug.” Bibirnya bergetar.
Merasa tak butuh jawaban dari Gail, perempuan itu bergerak perlahan, mendekati lelaki yang masih mematung tersebut lalu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya.  
Ia hanya ingin memeluk Gail. Itu saja.
Dan tangis perempuan itu pecah ketika ia merasakan kedua lengan Gail melingkari tubuhnya, balas memeluknya.

***

            Dea membantu Gail berkemas-kemas. Ia juga ikut mengantarkan lelaki itu pulang ke rumah.
            Kedua orang tua Gail sudah lama meninggal. Jadi selama ini ia tetap tinggal di rumah lama mereka bersama kak Cici dan keluarganya.
            “Rumahnya masih sama kok. Hanya ada perbaikan kecil-kecilan. Mau mampir?” Gail menawarkan sesaat setelah mereka turun dari taksi. Sementara kak Cici dan suaminya sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah membawa barang-barang Gail.
Dea mengangguk dengan antusias. “Nggak mengganggu istirahatmu ‘kan?”
Gail menggeleng dan menyilakan perempuan cantik itu masuk ke rumah. Awalnya ia hanya ingin mengantar sampai ruang tamu. Tapi karena Gail harus segera pergi ke kamarnya untuk beristirahat, ia pun mengikutinya.
            “Anggap aja rumah sendiri. Toh dulu kamu juga sering ke sini ‘kan?” Kak Cici muncul dari balik pintu sambil membawa 2 botol air mineral. “Sori, hanya ada air putih.” Ujarnya lagi. Dea tersenyum. “Trims kak.” Jawabnya. Kak Cici tersenyum seraya beranjak meninggalkan mereka berdua di kamar Gail.
            Gail duduk di pinggir ranjangnya sementara Dea sibuk berkeliling kamar, melihat-lihat seisi ruangan.
            “Kamarnya juga masih sama. Nggak ada yang berubah.” Gail membuka suara.
            Dea tak menjawab. Ia terlalu sibuk melihat seisi kamar. Dan ia terlalu takjub dengan apa yang dilihatnya.
Kamar itu memang masih sama seperti yang pernah ia datangi beberapa tahun yang lalu. Tempat tidur, perabot, rak buku, koleksi CD musik, bahkan pajangan gitar di dinding, semuanya masih sama. Dan ia juga masih bisa menemukan foto dirinya! Berdua dengan Gail, mengenakan seragam SMA. Foto itu terpajang rapi di meja dekat tempat tidur. Tak hanya itu saja, Ia juga bisa menemukan beberapa foto dirinya, ada yang sendiri, ada pula yang berdua dengan Gail, terpajang di dinding kamarnya yang berwarna hijau cerah.
            “Aku nggak bisa membuang foto-fotomu. Sori.” Gail membuka suara. “Lagipula aku nggak punya alasan untuk membuangnya. Foto-foto itu sudah menjadi bagian dari tempat ini.” Lanjutnya.
            Tatapan Dea bergerak lagi. Kali ini menangkap sebuah pigura berukuran sekitar 120 cm x 90 cm. Pigura itu tidak berisi foto, tapi sebuah tulisan.

Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun orang yang ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan sukarela ......

            “Supernova?” Dea menggumam setelah selesai membaca tulisan tersebut. Tatapan matanya tak bergerak dari tulisan itu.
“Ya. Aku mengutipnya dari novel Supernova. Novel kesukaanmu.” Jawab Gail. Dea merasakan dadanya berdebar.
            “Aku juga masih menyimpan semua barang-barang pemberianmu. Ada di lemari. Semuanya di situ.” Lelaki itu menunjuk ke arah lemari unik di dekat rak buku.
Dea menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Dan lelaki berhidug mancung itu hanya mengangguk, mengiyakan. Dan tanpa menunggu lama, Dea bergerak mendekati lemari, membukanya dengan perlahan, dan segera matanya menatap serangkaian benda-benda yang begitu ... memorable.
            Ia ingat semuanya. Beberapa potong baju, sebuah sweater warna indigo, jaket berkerudung dengan tulisan Liverpool, topi, dan beberapa barang sepele semacam gantungan kunci dan peralatan sekolah. Iya, semua itu Dea-lah yang memberikannya.
            Rasa takjub Dea tak berhenti di situ karena ia juga masih bisa menemukannya, semua surat-surat cinta mereka, ada di kotak terbuka di rak paling bawah.
            “Kamu juga masih menyimpan surat-surat ini rupanya?” Dea berujar tanpa melihat ke arah Gail. Ia berjongkok, menyapukan jemarinya di surat-surat tersebut. Seolah mereka adalah benda-benda paling lembut yang pernah ia temui.
            “Ya. Aku sudah bilang ‘kan? Selain karena aku nggak punya alasan untuk membuangnya, benda-benda itu juga sangat berharga buatku. Benda-benda itu milikku, dan aku berniat untuk merawatnya.”
            Dea menggigit bagian dalam bibirnya. Perasaannya campur aduk. Terharu, putus asa. Beberapa waktu yang lalu ia telah berbicara dengan Kak Cici. Dan perempuan itu menceritakan segalanya. Menceritakan bahwa selama ini, Gail tak pernah bisa melupakan dirinya. Bahkan ketika Dea menghilang begitu saja,  laki-laki itu tetap memikirkannya, merindukannya, mencintainya. Dan perasaan itu tak pernah berubah, sedikitpun.
            Awalnya Dea tak percaya. Tapi sekarang, dengan melihat apa yang telah Gail lakukan dengan kenangan-kenangan mereka, ia tak sanggup menghindar lagi!
            Perempuang itu bangkit, berbalik, lalu menatap Gail dengan dalam. “Gail ...” panggilnya. Suaranya serak. “Apa kamu masih mencintaiku?”
            Gail mematung. Tatapan matanya kaget bercampur bingung. Tak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Perlahan lelaki itu menarik nafas panjang.
            “De, aku tahu ini nggak penting lagi untuk dibicarakan karena sebentar lagi kamu akan menikah. Tapi, umurku nggak panjang lagi. Jadi aku nggak akan berbohong padamu.  Jika kamu bertanya apakah aku masih mencintaimu, maka aku akan menjawab : ya.”  Ia menjawab tegas.
            Kedua mata Dea berkaca-kaca. Ia hanya tak tahu harus berkata apa.
            “Sebentar lagi aku mati, De. Jadi aku nggak ingin menyembunyikan apa-apa darimu, atau dari siapapun. Dari dulu hingga sekarang, aku selalu mencintaimu. And ...  always it’s you.”
            Dea menatap lurus ke mata Gail. Dan ia bisa melihat bahwa mata bening itu juga berkaca-kaca.
            “Kamar ini ...” Lelaki itu membentangkan tangannya ke arah seisi kamarnya. “ ... akan terus seperti ini. Aku sudah meminta secara khusus pada kak Cici agar membiarkan kamar ini seperti ini, bahkan jika diriku sudah tiada. Permintaan ini mungkin terdengar aneh. Tapi kakakku bersedia menyanggupinya. Yaa ... anggap saja permintaan terakhir dari seseorang yang akan segera menjemput ajal. Jadi untuk kedepannya, foto-fotomu, semua barang pemberianmu, juga akan tetap berada di sini, seperti semula. Ku harap kamu nggak marah.” Lelaki itu menjelaskan.
            Dea menelan ludah.
            “Kalau begitu, apa yang ingin kamu minta dariku?” Suaranya bergetar.
            “Hm?” Gail mengernyitkan dahinya. Tak mengerti.
            “Apa yang ingin kamu minta dariku?” Dea mengulangi pertanyaannya.
            Gail tak segera menjawab.
            “Kamu.” Akhirnya ia berkata. “Permintaanku adalah kamu, De.”
            Bersamaan dengan itu air mata Gail menitik. “Aku ingin kamu, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia melanjutkan.
Dea beranjak mendekati Gail yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya lirih. Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.

***

Bersambung ....
               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar