Part 2
Dea mematut bayangannya di cermin yang berada di kamar
mandi rumah sakit. Perban selebar 4 centi menempel di kening sebelah kiri.
Kemarin, setelah ia mengalami kecelakaan kecil, jatuh terjerembab di trotoar
dengan kening menghantam ke pot bunga, ia segera pergi ke rumah sakit. Dan
alhasil, ia harus menerima 3 jahitan.
Sebenarnya hari ini belum waktunya
kontrol. Tapi ia memang sengaja datang ke
Rumah Sakit dan menemui dokter. Ia tak sabar untuk meminta pada dokter
agar memberinya obat terbaik, berapapun harganya, demi bisa mempercepat proses
penyembuhan lukanya. Dan lebih penting lagi, menghilangkan bekas luka jahitan
di keningnya. Beberapa minggu lagi ia akan menikah, dan ia tak mau menikah
dengan bekas jahitan di kening. Terlebih lagi, ia tak mau capek-capek
memberikan penjelasan perihal kecelakaan kecil yang ia alami kepada Dimas kalau
dia pulang nanti. Ketika Dimas pulang nanti, lukanya harus sembuh, seratus
persen. Titik!
Tapi dokter bilang, Dea tak
memerlukan obat khusus. Luka yang ia alami termasuk ringan. Dan ia memastikan,
luka itu akan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka yang berarti, saat ia
menikah nanti.
“Semoga kau bisa dipercaya, dok.” Ia
mendesis seraya merapikan rambutnya lalu beranjak keluar. Ia berniat kembali ke
hotel.
Ia sampai di halaman Rumah Sakit dan
berniat memanggil taksi ketika tatapan matanya menangkap sesosok perempuan yang
tengah bermain-main di taman dengan seorang anak kecil. Wajah mereka familiar.
Perempuan itu, dan juga anak kecil yang bersamanya. Lama Dea termangu, meyakinkan
dirinya bahwa ia sedang tak salah lihat. Dan ia memang benar. Perempuan itu kak
Cici, kakak perempuan Gail.
“Kak Cici!” Ia menyapa tanpa ragu
seraya melangkah mendekati perempuan tersebut. Yang dipanggil namanya menoleh,
menatap Dea sesaat, lalu tersenyum sumringah.
“Dea?” Ia memastikan. Dea
mengangguk. Dan segera keduanya berpelukan. Tak aneh jika mereka terlihat
akrab, karena dulu ketika Dea masih menjadi pacar Gail, ia sering main ke rumahnya
dan sering bertemu dengan Kak Cici. Hubungan di antara mereka terjalin dengan
sangat baik. Kak Cici bahkan sudah menganggap Dea sebagai adik sendiri.
“Astaga, Dea. Lama nggak ketemu kamu
makin cantik aja. Kudengar kamu di Jakarta.” Ucap kak Cici seraya meremas bahu
Dea dengan gemas. Dea mengangguk. “Aku ke sini hanya untuk berkunjung aja kok kak.
Beberapa hari lagi udah balik ke Jakarta.” Jawabnya.
“Keningmu ...” Kak Cici menunjuk ke
arah kening Dea yang diperban. Dea terkekeh. “Kecelakaan kecil. Tapi nggak apa-apa
sekarang.” Jawabnya. “Kak Cici sendiri, untuk apa di sini?”
Kak Cici belum sempat menjawab
ketika balita perempuan itu bergelayut rewel di kakinya. Dea berjongkok dan
menyapa anak kecil itu dengan gemas.
“Halo
sayang? Yuk, ikut tante yuk,” Ia menggapai tubuh mungil itu dengan kedua
lengannya. Dan di luar dugaan, balita mungil itu menurut. Kak Cici tertawa.
“Tumben dia mau diajak. Padahal
kalian ‘kan baru ketemu,” ujarnya.
Dea
tersenyum. “Aku sudah bertemu dengannya kok, kak. Beberapa yang hari yang lalu
di taman, dengan ayahnya.” Ia menjawab ragu. Kak Cici mengernyit.
“Kamu bertemu dengan suamiku?”
Dea menggeleng. “Oh, bukan. Aku bertemu dengannya dan
Gail.” Jawabnya cepat.
Kak Cici kembali mengernyit. “Gail?”
Dea mengangguk. “Dia anaknya Gail ‘kan?” ucap
perempuan itu lagi.
Sesaat kemudian kak Cici tertawa. “Ah, kamu pasti
dikerjain Gail tuh.” Ujarnya. Dea mengernyit. “Maksudnya?”
Kak Cici kembali tertawa lirih. “Gail belum menikah,
bagaimana mungkin dia punya anak. Dan si kecil ini ___” ia menunju ke anak
kecil di gendongan Dea. “Dia anakku.” Lanjutnya. Dea terperangah. Untuk sesaat
ia masih nampak bingung. Tapi sekian detik kemudian ia tertawa. Ah, bagaimana
ia bisa lupa? Gail gemar sekali bercanda. Dulu ketika mereka masih berpacaran,
lelaki itu gemar sekali ngerjain dirinya. Entah itu dengan berpura-pura marah,
kemudian ujung-ujungnya memberinya hadiah. Mengatakan ia tak bisa menemaninya
nonton konser musik, tapi tiba-tiba kemudian
ia muncul di hadapannya dengan cengengesan sambil bilang ‘I love you’.
Ah, Gail ....
“Astaga.” Ia menggeleng-geleng tak percaya sambil
terkekeh. Kak Cici tersenyum. “Sini sayang...” Perempuan berumur sekitar 37
tahun itu meraih putri kecilnya dari gendongan Dea.
“Oh iya, kak Cici ngapain di sini?
Siapa yang lagi sakit?” Dea menjumput untaian rambut anak kak Cici lalu
menyelipkan di belakang telinganya.
“Kemarin Gail drop lagi. Jadi dia
harus dirawat. Dokter bilang ...”
“Siapa yang drop?” Dea memotong
cepat.
Kak Cici menatapnya, terlihat
bingung. Merasa keceplosan.
“Gail ...?” Dea seperti meminta
penegasan. Kak Dea terdiam sesaat.
“Jadi kamu belum tahu?” Ia bertanya
ragu. Dea menggeleng pelan.
Kak Cici melihat sekeliling. Ia
memanggil seorang lelaki seumuran dirinya yang berada di depan pintu masuk.
Lelaki itu melangkah ke arahnya.
“Sayang, ajak dia jalan-jalan dulu
sebentar ya.” Kak Cici menyerahkan putrinya kepada lelaki tersebut, yang ternyata
adalah suaminya. Setelah itu mereka bermain di sisi taman yang satunya.
Dea masih merasa bingung dengan
keadaan tersebut. Hingga kak Cici merangkul pundaknya lalu mengajaknya duduk di
bangku yang berada di dekat mereka.
Perempuan itu nampak ragu membuka suara.
“Kak ...” Dea memanggil lirih.
Seakan tak sabar untuk mendengar penjelasan mbak Cici. Perempuan itu menarik
nafas berat sebelum berkata.
“Gail sakit. Tumor otak, stadium 4.”
Dea terperanjat. Tubuhnya terasa
lemas seketika.
“Dia sudah menjalani kemo, radiasi,
bahkan juga operasi. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ia harus menjalani
operasi yang terakhir. Tapi dokter bilang, kemungkinan akan keberhasilan
operasi tersebut hanya 10%. Hingga akhirnya, Gail memutuskan untuk tidak
melakukan operasi tersebut. Dia bilang, dia ingin ... pergi dengan tenang.” Kak
Cici menelan ludah. Dea merasakan dadanya tertusuk sesuatu. Sakit.
“Obat yang diberikan dokter hanya
bersifat sementara. Itu hanya untuk memperpanjang hidupnya selama ... beberapa
bulan saja.” Kali ini kedua mata mbak Cici nampak berkaca-kaca. Namun perempuan
itu nampak tegar.
Tapi tidak bagi Dea. Karena air
matanya sudah mengalir deras, sejak beberapa detik yang lalu.
***
Dea memasuki ruangan perawatan itu
dengan hati-hati. Kak Cici yang memberinya ijin mengunjungi Gail di ruang
perawatan.
Ketika
ia berada di sana, ia melihat sosok lelaki itu terbaring tenang di tempat
tidur. Selimut menutupi bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Masih
mengenakan topi rajut, mata lelaki itu terpejam. Air mata Dea kembali menitik.
Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Tapi ia tak berhasil. Menutup mulutnya
dengan tangan, tetap saja ia sesenggukan, pelan. Dan sedikit tertahan.
Entah karena menyadari keberadaan
Dea atau karena mendengar isak tangisnya, tubuh Gail bergerak-gerak. Perlahan
kedua matanya terbuka dan ia menoleh. Menatap ke arah Dea dengan lemah. Ia
menyipit, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu ia tersenyum.
“De ....” Panggilnya lirih. Dan matanya kembali terpejam. Ia tertidur lagi.
***
“Harusnya kamu dengerin kata dokter.
Kondisimu masih lemah, mestinya lusa atau lusanya lagi kamu baru boleh pulang.”
Kak Cici terdengar kesal. Tapi toh ia tetap saja membantu Gail berkemas-kemas. Gail
hanya terkekeh. Tangannya juga sibuk melipat beberapa baju tipisnya. Hari ini
ia memaksa pulang dari Rumah Sakit meski dokter melarangnya.
“Kak, aku toh hanya akan tiduran
aja. So, mau tiduran di rumah apa di rumah sakit, sama aja ‘kan?” Jawabnya. Kak
Cici hanya mendengus kesal.
“Oh iya, kak. Selama aku sakit, apa
ada seseorang yang mengunjungiku?”
Pertanyaan Gail mengalihkan
perhatian kak Cici. Perempuan itu menghentikan tangannya yang sibuk
berkemas-kemas. Ia melirik ke arah Gail sesaat, tapi kemudian asyik
berkemas-kemas lagi. “Maksudmu?” Ia bertanya tanpa melihat ke arah Gail.
Gail tak segera menjawab. Ia
mengangkat bahu, bingung.
“Entahlah. Aku hanya merasa bahwa
....” Ia mendesah. “Kakak masih ingat Dea ‘kan?”
Bibir kak Cici berdecak. “Ya, ya,
tentu saja aku masih ingat dia. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang dia.
Kamu memajang foto-fotonya di kamarmu selama sekian tahun, mengatakan bahwa dia
adalah perempuan satu-satunya yang kamu cintai, bagaimana aku bisa lupa tentang
dia.” Jawabnya. “Emang, ada apa
dengannya?”
Gail terdiam lagi.
“Aku merasa dia sering
mengunjungiku, setiap malam. Di sini. Tapi, itu mustahil ‘kan? Aku pasti sedang
bermimpi.” Lelaki itu terkekeh.
Kak Cici mematung sesaat. Ia
meletakkan baju-baju yang tadi ia lipat, lalu berbalik menghadap Gail.
“Kamu nggak bermimpi.” Ucapnya. Gail
mendongak, menatap ke arah kakaknya. Matanya menyipit tak mengerti.
“Kamu nggak bermimpi, Gail. Sejak
kamu di rawat di sini, Dea memang selalu mengunjungimu. Setiap malam dia ke
sini, menungguimu. Aku yang mengijinkannya.” Kak Cici melanjutkan. Gail tak
bergerak. Syok.
“Beberapa hari yang lalu aku bertemu
dengannya tanpa sengaja. Dan ...” Kak Cici menggigit bibirnya. “Aku
menceritakan kondisimu padanya. Semuanya.”
Rahang Gail tampak kaku. Ekpresinya tak terbaca. Entah
ia merasa kaget dengan informasi yang kakaknya sampaikan. Atau entah ia merasa
marah karena kak Cici menceritakan kondisinya pada Dea, perempuan yang
mati-matian ingin ia lupakan namun tak bisa.
“Dia ada di luar. Ingin ku suruh dia masuk?”
Mata Gail melebar. Dea
ada di luar kamarnya?!
“Dia ... di sini?”
Kak Cici mengangguk. Dan lutut Gail terasa lemas
seketika. Ia heran ketika menyadari bahwa dirinya tak ambruk. Belum sempat ia
mengatakan apapun, kakaknya sudah berteriak.
“Dea, masuklah.” Ucapnya.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan ... sosok
perempuan itu muncul dari sana. Seperti sebuah adegan dalam film. Saat ketika
Dea melangkahkan kakinya memasuki kamar, berlangsung lambat. Dunia Gail seperti
berhenti berputar. Ia menelan ludah, nyaris tak bisa bernafas. Ia hanya ...
terlalu terkejut dengan kedatangan perempuan itu. Ia hanya tak percaya bahwa
wanita yang selama ini ia pikirkan sekarang ada di hadapannya, mengetahui
kondisinya, mengetahui penyakitnya, mengetahui bahwa ia sekarat!
Dea tersenyum ke arah Gail. Senyumnya getir. Kedua
matanya berkaca-kaca, ia tak tahu kenapa.
“Well, kita bertemu lagi.” Perempuan itu mengangkat
bahu. Gail menatapnya dengan dalam, tanpa mampu berkata.
“Akan kutinggalkan kalian berdua.” Kak Cici beranjak,
meninggalkan Gail dan Dea berdua saja.
Hening.
Tatapan mereka terkunci. Lama.
“Keningmu kenapa?”
“Hanya kecelakaan kecil. I’m okay.” Jawab Dea.
“Kenapa kamu bisa di sini?” Gail kembali bertanya
dengan lirih.
Dea kembali tersenyum. “Untuk bertemu denganmu.”
Jawabnya.
Hening lagi. Gail terkekeh lirih. “Maaf jika kita
harus ketemu dalam kondisi seperti ini. Seperti yang sudah diceritakan kakakku,
kondisiku sedang tidak baik. Jadi ...”
“Gail, bolehkan aku memelukmu?” Dea memotong cepat.
“I need a hug.”
Bibirnya bergetar.
Merasa tak butuh jawaban dari Gail, perempuan itu bergerak
perlahan, mendekati lelaki yang masih mematung tersebut lalu menghambur ke
arahnya dan memeluknya erat. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya.
Ia hanya ingin memeluk Gail. Itu saja.
Dan tangis perempuan itu pecah ketika ia merasakan
kedua lengan Gail melingkari tubuhnya, balas memeluknya.
***
Dea membantu Gail berkemas-kemas. Ia
juga ikut mengantarkan lelaki itu pulang ke rumah.
Kedua orang tua Gail sudah lama
meninggal. Jadi selama ini ia tetap tinggal di rumah lama mereka bersama kak
Cici dan keluarganya.
“Rumahnya masih sama kok. Hanya ada
perbaikan kecil-kecilan. Mau mampir?” Gail menawarkan sesaat setelah mereka
turun dari taksi. Sementara kak Cici dan suaminya sudah terlebih dahulu masuk
ke dalam rumah membawa barang-barang Gail.
Dea
mengangguk dengan antusias. “Nggak mengganggu istirahatmu ‘kan?”
Gail
menggeleng dan menyilakan perempuan cantik itu masuk ke rumah. Awalnya ia hanya
ingin mengantar sampai ruang tamu. Tapi karena Gail harus segera pergi ke
kamarnya untuk beristirahat, ia pun mengikutinya.
“Anggap aja rumah sendiri. Toh dulu
kamu juga sering ke sini ‘kan?” Kak Cici muncul dari balik pintu sambil membawa
2 botol air mineral. “Sori, hanya ada air putih.” Ujarnya lagi. Dea tersenyum.
“Trims kak.” Jawabnya. Kak Cici tersenyum seraya beranjak meninggalkan mereka
berdua di kamar Gail.
Gail duduk di pinggir ranjangnya
sementara Dea sibuk berkeliling kamar, melihat-lihat seisi ruangan.
“Kamarnya juga masih sama. Nggak ada
yang berubah.” Gail membuka suara.
Dea tak menjawab. Ia terlalu sibuk
melihat seisi kamar. Dan ia terlalu takjub dengan apa yang dilihatnya.
Kamar
itu memang masih sama seperti yang pernah ia datangi beberapa tahun yang lalu.
Tempat tidur, perabot, rak buku, koleksi CD musik, bahkan pajangan gitar di
dinding, semuanya masih sama. Dan ia juga masih bisa menemukan foto dirinya!
Berdua dengan Gail, mengenakan seragam SMA. Foto itu terpajang rapi di meja
dekat tempat tidur. Tak hanya itu saja, Ia juga bisa menemukan beberapa foto
dirinya, ada yang sendiri, ada pula yang berdua dengan Gail, terpajang di
dinding kamarnya yang berwarna hijau cerah.
“Aku nggak bisa membuang
foto-fotomu. Sori.” Gail membuka
suara. “Lagipula aku nggak punya alasan untuk membuangnya. Foto-foto itu sudah
menjadi bagian dari tempat ini.” Lanjutnya.
Tatapan Dea bergerak lagi. Kali ini
menangkap sebuah pigura berukuran sekitar 120 cm x 90 cm. Pigura itu tidak
berisi foto, tapi sebuah tulisan.
Dengan sederhana
dan tak banyak tanya, bertahun-tahun aku mencintai orang yang sama.
Ku arungi
perasaan itu tanpa lelah seperti menakhlukkan jeram.
Namun orang yang
ku cintai serupa kabut.
Ada dan tiada
bagaikan awan yang tak tergenggam.
Dan aku selalu
memilih untuk memandangi.
Merapuh, dengan
sukarela ......
“Supernova?” Dea menggumam setelah
selesai membaca tulisan tersebut. Tatapan matanya tak bergerak dari tulisan
itu.
“Ya. Aku mengutipnya dari novel Supernova. Novel
kesukaanmu.” Jawab Gail. Dea merasakan dadanya berdebar.
“Aku
juga masih menyimpan semua barang-barang pemberianmu. Ada di lemari. Semuanya
di situ.” Lelaki itu menunjuk ke arah lemari unik di dekat rak buku.
Dea
menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Dan lelaki berhidug mancung itu
hanya mengangguk, mengiyakan. Dan tanpa menunggu lama, Dea bergerak mendekati
lemari, membukanya dengan perlahan, dan segera matanya menatap serangkaian
benda-benda yang begitu ... memorable.
Ia ingat semuanya. Beberapa potong
baju, sebuah sweater warna indigo, jaket berkerudung dengan tulisan Liverpool,
topi, dan beberapa barang sepele semacam gantungan kunci dan peralatan sekolah.
Iya, semua itu Dea-lah yang memberikannya.
Rasa takjub Dea tak berhenti di situ
karena ia juga masih bisa menemukannya, semua surat-surat cinta mereka, ada di
kotak terbuka di rak paling bawah.
“Kamu juga masih menyimpan
surat-surat ini rupanya?” Dea berujar tanpa melihat ke arah Gail. Ia
berjongkok, menyapukan jemarinya di surat-surat tersebut. Seolah mereka adalah
benda-benda paling lembut yang pernah ia temui.
“Ya. Aku sudah bilang ‘kan? Selain
karena aku nggak punya alasan untuk membuangnya, benda-benda itu juga sangat
berharga buatku. Benda-benda itu milikku, dan aku berniat untuk merawatnya.”
Dea menggigit bagian dalam bibirnya.
Perasaannya campur aduk. Terharu, putus asa. Beberapa waktu yang lalu ia telah
berbicara dengan Kak Cici. Dan perempuan itu menceritakan segalanya.
Menceritakan bahwa selama ini, Gail tak pernah bisa melupakan dirinya. Bahkan
ketika Dea menghilang begitu saja,
laki-laki itu tetap memikirkannya, merindukannya, mencintainya. Dan
perasaan itu tak pernah berubah, sedikitpun.
Awalnya Dea tak percaya. Tapi
sekarang, dengan melihat apa yang telah Gail lakukan dengan kenangan-kenangan
mereka, ia tak sanggup menghindar lagi!
Perempuang itu bangkit, berbalik,
lalu menatap Gail dengan dalam. “Gail ...” panggilnya. Suaranya serak. “Apa
kamu masih mencintaiku?”
Gail mematung. Tatapan matanya kaget
bercampur bingung. Tak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Perlahan lelaki itu menarik nafas panjang.
“De, aku tahu ini nggak penting lagi
untuk dibicarakan karena sebentar lagi kamu akan menikah. Tapi, umurku nggak
panjang lagi. Jadi aku nggak akan berbohong padamu. Jika kamu bertanya apakah aku masih
mencintaimu, maka aku akan menjawab : ya.”
Ia menjawab tegas.
Kedua mata Dea berkaca-kaca. Ia
hanya tak tahu harus berkata apa.
“Sebentar lagi aku mati, De. Jadi
aku nggak ingin menyembunyikan apa-apa darimu, atau dari siapapun. Dari dulu
hingga sekarang, aku selalu mencintaimu. And
... always it’s you.”
Dea menatap lurus ke mata Gail. Dan
ia bisa melihat bahwa mata bening itu juga berkaca-kaca.
“Kamar ini ...” Lelaki itu
membentangkan tangannya ke arah seisi kamarnya. “ ... akan terus seperti ini.
Aku sudah meminta secara khusus pada kak Cici agar membiarkan kamar ini seperti
ini, bahkan jika diriku sudah tiada. Permintaan ini mungkin terdengar aneh.
Tapi kakakku bersedia menyanggupinya. Yaa ... anggap saja permintaan terakhir
dari seseorang yang akan segera menjemput ajal. Jadi untuk kedepannya,
foto-fotomu, semua barang pemberianmu, juga akan tetap berada di sini, seperti
semula. Ku harap kamu nggak marah.” Lelaki itu menjelaskan.
Dea menelan ludah.
“Kalau begitu, apa yang ingin kamu
minta dariku?” Suaranya bergetar.
“Hm?” Gail mengernyitkan dahinya.
Tak mengerti.
“Apa yang ingin kamu minta dariku?”
Dea mengulangi pertanyaannya.
Gail tak segera menjawab.
“Kamu.” Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku adalah kamu, De.”
Bersamaan dengan itu air mata Gail
menitik. “Aku ingin kamu, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku
mati.” Ia melanjutkan.
Dea
beranjak mendekati Gail yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur,
jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya
lirih. Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.
***
Bersambung
....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar